Bagian 2

Bab 6: Agama Buddha Bangkit dari Tidur Panjang

“Agama Buddha di Indonesia pernah tertidur lama, namun kini ia mulai bangkit kembali membawa terang bagi banyak pencari kebenaran.”

 

Selama berabad-abad, ajaran Buddha pernah jaya di Nusantara, terbukti dari peninggalan sejarah seperti Borobudur dan prasasti-prasasti kuno. Namun, seiring waktu, ajaran ini mengalami masa surut, hingga hanya menjadi bagian kecil dari kehidupan masyarakat. Lama tertidur, seolah lenyap dari peradaban arus utama.

 

Namun saya menyaksikan—dan ikut mengalami—bagaimana kebangkitan itu mulai terjadi. Sejak era 1970-an dan 1980-an, semakin banyak umat yang mulai kembali mencari makna hidup di luar arus materialisme. Mereka haus akan ajaran yang membawa kedamaian batin, dan banyak yang menemukan jawaban dalam Dhamma.

 

“Kebangkitan agama Buddha bukan semata kebangkitan institusi, melainkan kesadaran individu yang haus akan kebenaran dan kebijaksanaan.”

 

Banyak wihara mulai dibangun, para Bhikkhu ditahbiskan, dan umat belajar Dhamma dengan lebih terbuka. Kebangkitan ini juga ditandai oleh munculnya organisasi-organisasi Buddhis yang aktif mengajarkan meditasi, Dhamma, dan kegiatan sosial.

 

Yang paling saya syukuri adalah bahwa kebangkitan ini bersifat inklusif. Ia tidak eksklusif untuk kelompok tertentu saja, tapi terbuka bagi siapa saja yang ingin belajar, apa pun latar belakangnya. Anak-anak muda pun banyak yang tergerak untuk mendalami ajaran ini dengan sungguh-sungguh.

 

Saya percaya, selama masih ada manusia yang menderita, Dhamma akan terus dibutuhkan. Karena Dhamma bukan hanya milik satu kaum—Dhamma adalah jalan menuju pembebasan batin siapa pun yang bersungguh hati.

Bab 7: Mengabdi pada Dharma

“Sejak ditahbiskan, hidup saya hanya untuk satu hal: mengabdi pada Dhamma.”

 

Menjadi Bhikkhu bukan sekadar mengganti pakaian duniawi dengan jubah kuning. Itu adalah transformasi total—dari cara berpikir, bertindak, hingga tujuan hidup. Saya memilih jalan ini bukan untuk dihormati, tapi untuk melayani. Dhamma adalah cahaya, dan saya hanya ingin menjadi penjaga pelitanya.

 

Pengabdian pada Dhamma berarti hadir untuk siapa pun yang mencari ketenangan batin, bukan hanya umat Buddha, tapi siapa saja yang gelisah dan mencari makna. Di wihara, di vihara kecil, di rumah-rumah umat, bahkan di pinggir jalan—saya mencoba membawa Dhamma ke mana pun saya dipanggil.

 

“Dhamma bukan milik saya, tapi tugas saya adalah membagikannya.”

 

Saya menyadari bahwa tantangan utama bukan datang dari luar, tetapi dari dalam diri sendiri: kemalasan, keakuan, keinginan untuk dihormati. Maka, saya terus belajar untuk menjernihkan batin agar pengabdian saya tidak ternodai ambisi pribadi.

 

Pengabdian juga berarti siap untuk tidak dipahami. Ada kalanya orang menolak, meremehkan, bahkan mencibir. Tapi semua itu menjadi bagian dari latihan. Bila Dhamma memang membawa kebijaksanaan, maka ia akan menyentuh hati yang siap, pada waktunya.

 

Kini, saya merasa damai. Bukan karena tidak ada kesulitan, tapi karena saya tahu saya berjalan di jalur yang benar—jalan yang telah dilalui oleh para suci sejak berabad-abad lalu.

Bab 8: Ketertarikan pada Dhamma

“Ketertarikan saya pada Dhamma bukan karena pengaruh luar, tapi karena resonansi batin yang kuat sejak awal.”

 

Sebelum saya mengenal Dhamma secara mendalam, saya sudah menyukai hal-hal yang bersifat filosofis dan reflektif. Saya senang merenungkan kehidupan, penderitaan, dan makna di balik segala peristiwa. Saat pertama kali saya membaca kutipan tentang ajaran Buddha, batin saya langsung tersentuh. Seolah-olah Dhamma menjawab pertanyaan yang selama ini saya simpan dalam hati.

 

Saya mulai membaca buku-buku Buddhis, mendengarkan ceramah, dan mengikuti diskusi Dhamma. Makin saya mendalaminya, makin kuat daya tariknya. Dhamma tidak menawarkan janji surga atau ancaman neraka, tapi menunjukkan jalan nyata untuk mengatasi penderitaan melalui pemahaman, welas asih, dan disiplin batin.

 

“Dhamma bukan untuk diyakini secara buta, tapi untuk dihayati lewat pengalaman langsung.”

 

Kesan saya tentang Dhamma adalah: ajaran ini sangat manusiawi. Ia tidak memaksa, tidak mengklaim kebenaran mutlak, dan tidak memusuhi pandangan lain. Justru karena itu, Dhamma sangat kuat—ia berbicara langsung pada nurani.

 

Saya merasa bahwa ajaran ini selaras dengan kecenderungan batin saya. Dhamma mengajarkan untuk tidak melekat, untuk jujur pada diri sendiri, dan untuk menyadari bahwa segala sesuatu bersifat sementara. Itu bukan konsep baru bagi saya, tapi Dhamma memberinya struktur dan jalan praktik yang konkret.

 

Sejak saat itu, saya tahu bahwa Dhamma akan menjadi bagian dari hidup saya, bukan hanya sebagai ajaran, tapi sebagai jalan yang saya jalani seumur hidup.

Bab 9: Organisasi Buddhis Mencari Bentuk

“Membangun organisasi Buddhis bukan sekadar membentuk struktur, tapi membangun semangat pelayanan yang dilandasi Dhamma.”

 

Ketika agama Buddha mulai bangkit kembali di Indonesia, kebutuhan akan wadah organisasi menjadi sangat mendesak. Masyarakat Buddhis yang mulai tumbuh memerlukan bimbingan, sistem pendidikan, kegiatan sosial, serta arah yang jelas dalam pembinaan umat.


Namun pada awalnya, organisasi-organisasi Buddhis masih mencari bentuknya. Ada semangat besar, tapi belum diimbangi dengan pemahaman mendalam tentang bagaimana membentuk lembaga yang sehat, transparan, dan tidak terjebak pada ego sektoral.


Saya turut terlibat dalam berbagai pertemuan, diskusi, bahkan pembentukan lembaga. Saya menyaksikan bahwa membangun organisasi bukan hanya soal manajemen, tapi juga integritas, kebijaksanaan, dan kesabaran. Banyak konflik muncul bukan karena perbedaan tujuan, tapi karena perbedaan ego dan pendekatan.

 

“Dhamma tidak bisa hidup dalam organisasi yang kaku, penuh ambisi, dan kehilangan semangat pelayanan.”

 

Yang saya harapkan dari organisasi Buddhis adalah kehadiran yang melayani, bukan menguasai. Tempat di mana umat merasa dibimbing, bukan dikendalikan. Dimana para Bhikkhu dan umat awam bekerja sama, bukan saling curiga. Dan itu hanya bisa terwujud jika kita mengedepankan Dhamma di atas kepentingan pribadi.


Kini saya melihat kemajuan luar biasa. Banyak organisasi Buddhis telah tumbuh menjadi wadah yang solid, aktif dalam pendidikan, sosial, hingga antarumat beragama. Tapi perjalanan ini panjang dan terus berkembang. Kita semua harus terus belajar menjaga semangat awal: melayani demi pembebasan batin, bukan mencari kekuasaan duniawi.

Bab 10: Agama Buddha Berunsur Budaya Indonesia

“Agar Dhamma bisa diterima secara luas, ia harus dibawakan dengan nuansa budaya setempat, tanpa kehilangan esensinya.”

 

Indonesia adalah negeri yang kaya budaya—dari Sabang sampai Merauke, setiap daerah memiliki warisan tradisi yang unik. Ketika agama Buddha kembali bangkit, muncul pertanyaan: bagaimana membawakan ajaran Buddha agar bisa menyatu dengan jiwa bangsa Indonesia?

 

Banyak orang mengira bahwa praktik Buddhis harus selalu bersumber dari budaya Tiongkok, Thailand, atau Sri Lanka. Padahal, Buddha mengajarkan Dhamma yang universal. Bentuk luar bisa beradaptasi, asal inti ajarannya tetap dijaga.

 

“Yang penting bukan bentuk ritualnya, tapi kualitas batin di balik praktik itu.”

 

Saya sering mengajak umat untuk tidak terjebak pada bentuk luar yang kaku. Misalnya, mengenakan pakaian adat saat upacara tidak membuat praktik Buddhis jadi kurang suci. Justru bisa menunjukkan bahwa Dhamma bisa hadir di tengah kehidupan bangsa, bukan seolah milik luar negeri.

 

Di beberapa wihara, saya mendorong penggunaan bahasa Indonesia dalam puja, ceramah, dan pelatihan meditasi. Hasilnya? Umat lebih mudah memahami dan terhubung secara emosional. Anak-anak muda pun jadi lebih tertarik, karena merasa Dhamma berbicara dalam bahasa mereka sendiri.

 

Adaptasi budaya bukan kompromi, tapi strategi welas asih agar Dhamma bisa mengakar dalam kehidupan masyarakat lokal. Asalkan tidak menyalahi Vinaya dan esensi Dhamma, keberagaman ekspresi justru memperkaya.

Bab 11: Perwalian Umat Buddha Indonesia

“Umat Buddha Indonesia membutuhkan sosok-sosok yang mampu menjadi wali: yang melindungi, membimbing, dan menyalakan semangat kebijaksanaan.”

 

Sebagai umat yang terus bertumbuh di tengah pluralitas Indonesia, umat Buddha menghadapi tantangan-tantangan unik. Banyak dari mereka adalah generasi baru yang lahir di zaman globalisasi, dengan kebutuhan spiritual dan sosial yang juga berubah. Dalam konteks ini, muncul kebutuhan akan adanya “perwalian” — bukan dalam arti kekuasaan, melainkan pendampingan dan pembimbingan.

 

Saya menyaksikan bahwa umat Buddha sering kali rindu pada kehadiran seorang pemuka yang tidak hanya mahir dalam Dhamma, tetapi juga memahami konteks lokal. Mereka butuh Bhikkhu yang bisa berbicara dengan bahasa hati, bukan hanya bahasa kitab.

 

“Seorang wali tidak menggurui dari atas mimbar, tapi menemani umat berjalan di jalan Dhamma dengan welas asih.”

 

Menjadi wali umat berarti hadir dalam kehidupan mereka—di saat suka dan duka, di dalam wihara maupun di luar. Bukan hanya saat puja bakti, tapi juga saat mereka menghadapi masalah keluarga, tekanan batin, hingga tantangan moral.

 

Perwalian juga berarti menjaga arah—agar kebangkitan Buddhisme tidak terseret ambisi duniawi. Agar organisasi tetap murni dalam semangat Dhamma. Agar generasi muda mendapat panutan, bukan sekadar struktur.

 

Saya merasa terhormat bila umat memercayakan perasaan-perasaan batinnya kepada saya. Namun saya sadar, perwalian bukan tugas satu orang. Ini adalah panggilan bersama—bagi setiap Bhikkhu, pandita, dan umat dewasa rohani untuk saling menjaga dan membimbing.

Bab 12: Pluralisme & Multikulturalisme Umat Buddha

“Menjadi Bhikkhu adalah memilih jalan sunyi. Bukan karena dipaksa keadaan, tapi karena ada kerinduan mendalam akan keheningan yang membebaskan.”

 

Banyak orang membayangkan kehidupan Bhikkhu sebagai kehidupan yang damai dan penuh penghormatan. Namun, di balik jubah safron yang saya kenakan, ada jalan panjang yang sunyi, penuh tantangan batin, dan pengendalian diri yang terus-menerus.

 

Saya sering bepergian sendiri, berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Mengandalkan dana umat, menginap di tempat sederhana, makan apa adanya. Tapi di sanalah saya merasakan kebebasan. Tanpa keterikatan, tanpa beban duniawi, hanya bersama Dhamma dan kesunyian yang mendalam.

 

“Sunyi bukan berarti sepi. Sunyi adalah ruang batin di mana kita berjumpa dengan diri sendiri tanpa topeng.”

 

Kesunyian ini menjadi cermin. Segala kekotoran batin, segala keinginan, dan ego, muncul dengan jelas. Di sinilah latihan sejati dimulai: bukan untuk melarikan diri dari dunia, tapi untuk menaklukkan diri sendiri.

 

Ada rasa rindu pada keluarga, pada pertemanan, bahkan pada kenyamanan lama. Tapi semua itu saya hadapi dengan penuh kesadaran. Karena saya tahu, hanya dalam kesunyian saya bisa menyelami makna hidup yang sejati.

 

Bagi saya, jalan Bhikkhu bukan hanya jalur spiritual, tetapi laku totalitas yang menuntut keberanian. Keberanian untuk ditinggalkan, untuk tidak dimengerti, bahkan untuk dilupakan. Tapi justru dalam kesendirian itu, Dhamma berbicara paling jernih.

Bab 13: Bhikkhu Ashin Jinarakhitta

“Kebebasan bukan berarti bisa melakukan apa saja, tetapi tidak lagi dikuasai oleh keinginan.”

 

Sejak awal saya menjalani hidup kebhikkhuan, saya menyadari bahwa tugas seorang Bhikkhu bukan hanya menghafal Dhamma atau memimpin upacara. Lebih dari itu, Bhikkhu adalah perwujudan dari hidup yang sederhana, jujur, dan tidak terikat. Tidak terikat pada harta, pujian, pandangan dunia, bahkan tidak terikat pada identitas diri.

 

Saya tidak tinggal tetap di satu wihara. Saya memilih untuk berjalan, berpindah, dan tinggal di mana saja saya dibutuhkan atau bisa bermeditasi dengan tenang. Saya tidak memiliki properti pribadi, kendaraan, atau rekening bank. Semua kebutuhan saya datang dari dana umat, tapi saya juga tidak bergantung pada itu.

 

“Seorang Bhikkhu yang bebas tidak memihak pada apa pun, dan karena itu bisa melayani semua.”

 

Kebebasan sejati datang ketika kita tidak menuntut apa pun dari dunia. Ketika hati tidak lagi bergantung pada penghargaan atau penolakan. Ketika bisa melewati hina dan puji dengan batin yang sama—damai.

 

Saya tidak menolak teknologi, tapi saya juga tidak mengejarnya. Saya bisa makan makanan sederhana, tidur di lantai, dan duduk berjam-jam dalam meditasi. Semua itu bukan untuk menyiksa diri, melainkan untuk mengingatkan bahwa kebahagiaan tidak datang dari luar.

 

Sebagai Bhikkhu, saya tidak menghakimi siapa pun. Saya hanya ingin menunjukkan bahwa hidup bisa dijalani dengan ringan, tanpa beban keinginan yang terus membakar.

Bab 14: His Holiness Dalai Lama

“Menjadi diri sendiri bukan berarti mengikuti kehendak ego, tapi setia pada suara hati yang jujur dan sadar.”

 

Dalam hidup ini, kita sering diajarkan untuk menyesuaikan diri—dengan keluarga, masyarakat, bahkan ekspektasi agama. Tapi dalam proses itu, kita perlahan menjauh dari siapa diri kita sebenarnya. Saya juga pernah mengalaminya: mencoba menjadi seperti yang diharapkan orang, agar diterima, agar tidak dianggap aneh.

 

Namun semakin saya mencoba menyesuaikan diri, batin saya justru makin gelisah. Hingga suatu titik saya menyadari: saya harus punya keberanian untuk menjadi Bhikkhu yang jujur pada jalannya sendiri. Walau berbeda, walau sunyi, asal tidak melukai siapa pun dan tetap menjaga nilai-nilai luhur Dhamma—saya harus menjalani jalan yang sesuai dengan suara hati.

 

“Berani menjadi diri sendiri adalah bentuk penghormatan terdalam pada kehidupan yang telah diberikan kepada kita.”

 

Keberanian ini tidak datang begitu saja. Ia lahir dari proses panjang: meditasi, perenungan, jatuh bangun menghadapi tekanan dari luar dan dalam. Tapi justru karena saya memilih untuk hidup otentik, saya bisa menjalani kebhikkhuan dengan damai, tanpa beban untuk berpura-pura.

 

Saya tidak mengikuti gaya Bhikkhu lain yang tampil dengan cara tertentu. Saya tidak memakai gelar, tidak membangun citra, tidak ingin dikenal. Saya hanya ingin menjalani hidup Dhamma sebagaimana saya pahami dengan tulus.

 

Ketika kita berani menjadi diri sendiri, kita juga membebaskan orang lain. Kita tidak lagi menuntut orang untuk mengikuti kita, dan kita pun tidak merasa bersalah karena berbeda.

Bab 15: Berjumpa Gus Dur

“Setiap zaman memiliki tantangannya sendiri. Dan Dhamma, bila benar dipahami, selalu relevan menjawab kebutuhan zaman itu.”

 

Zaman terus berubah. Kehidupan manusia bergerak dari tradisi ke modernitas, dari komunitas ke individualisme, dari kesederhanaan ke kemajuan teknologi. Sebagai seorang Bhikkhu, saya tidak bisa menutup mata terhadap perubahan ini. Saya tidak anti-kemajuan, tapi saya percaya bahwa kemajuan tanpa arah batin justru membawa lebih banyak penderitaan.

 

Saya menyaksikan sendiri bagaimana anak-anak muda sekarang tumbuh dalam dunia yang serba cepat, instan, dan penuh tekanan. Mereka menghadapi kesepian digital, krisis identitas, dan kehilangan makna. Maka saya merasa terpanggil untuk menjadikan Dhamma hadir di tengah-tengah realitas mereka—bukan sebagai dogma lama yang beku, tetapi sebagai pelita yang membimbing secara relevan.

 

“Menjawab panggilan zaman bukan dengan meninggalkan Dhamma, tapi dengan memperbarui cara menyampaikannya.”

 

Saya mulai berbicara dengan bahasa yang mereka pahami. Tidak selalu dengan kutipan kitab, tapi dengan kisah-kisah manusiawi, refleksi pribadi, dan ajakan untuk kembali ke dalam diri. Saya tidak keberatan berbicara di media, tampil di video daring, atau berdialog lintas generasi—selama itu dilakukan dengan batin yang jernih.

 

Yang saya jaga hanyalah satu: jangan sampai niat melayani berubah menjadi keinginan tampil. Kita Bhikkhu bukan influencer, tapi penjaga Dhamma. Maka ketulusan harus selalu menjadi fondasinya.

 

Generasi muda bukan musuh tradisi. Mereka hanya butuh pendekatan yang segar, tanpa mengorbankan kedalaman. Dan selama Dhamma disampaikan dengan welas asih, ia akan selalu menemukan tempat di hati mereka.

Bab 16: Perjalanan ke Tanah Suci Buddhis

“Guru bukan hanya seseorang yang berbicara di depan kelas. Guru sejati adalah mereka yang hidup dalam Dhamma dan menjadi contoh nyata.”

 

Saya tidak pernah merancang diri untuk menjadi seorang “guru.” Tapi dalam perjalanan saya sebagai Bhikkhu, banyak orang datang bertanya, meminta nasihat, atau sekadar ingin didengarkan. Dari sanalah saya belajar: mengajar tidak selalu melalui kata-kata, melainkan dari laku.

 

Mengajar Dhamma berbeda dari mengajar pelajaran akademik. Ia tidak hanya mentransfer pengetahuan, tapi menyentuh batin. Itu sebabnya, seorang pengajar Dhamma harus terlebih dahulu mempraktikkannya. Kalau tidak, kata-kata hanya jadi hiasan kosong—indah didengar tapi tidak menyentuh.

 

“Guru yang baik bukan yang membuat murid tergantung, tapi yang menuntun mereka pada kemerdekaan batin.”

 

Dalam setiap ceramah atau sesi meditasi, saya selalu berusaha membangun keheningan bersama, bukan hanya memberi tahu. Saya tidak ingin murid-murid menghafal Dhamma, tapi mengalami Dhamma dalam hidup sehari-hari—dalam sabar mereka menghadapi orang tua, dalam tenang mereka menyelesaikan konflik, dalam sadar saat mereka bekerja atau makan.

 

Tugas guru adalah menjadi cermin. Ketika saya diam, semoga mereka bisa bercermin. Ketika saya bicara, semoga itu muncul dari batin yang hening. Saya juga selalu mendorong murid-murid untuk tidak fanatik kepada saya. Saya hanyalah jalan penunjuk, bukan tujuan.

TRANSLATE