DALAM AJARAN BUDDHA
welas asih dianggap mampu memberikan dimensi penting pada hampir segala hal, bahkan makanan; mempersiapkannya, berbagi dengan orang lain, atau bahkan hanya memakannya. Komentar pada Jataka mengatakan, “Tidak ada rasa yang sebanding dengan welas asih. Empat hal manis yang diberikan dengan ketidaksenangan tidak selezat sorgum kasar yang diberikan dengan welas asih” (Ja.lll,142).
Buddha mengemukakan hal yang sama ketika beliau mengajarkan, “Halus atau kasar, banyak atau sedikit, seseorang dapat memakan apapun yang dibuat dengan welas asih. Welas asih adalah rasa tertinggi” (Ja.lll,145).
Buddha menyarankan kepada para muridnya agar mereka membaca kata-kata berikut sebagai refleksi sebelum makan: “Kami akan makan dengan pantas.
Dengan bijak merenung, kami tidak akan makan untuk kesenangan, hiburan, atau daya tarik fisik, tetapi hanya untuk pemeliharaan dan kelangsungan tubuh ini, untuk menghilangkan ketidaknyamanan kelaparan, untuk membantu menjalani kehidupan suci, dan dengan pikiran ‘Saya akan mengakhiri keinginan lama dan tidak memunculkan yang baru, dan dengan demikian menjadi sehat, tak bersalah, dan hidup dengan nyaman” (M.1,273).
Tradisi Buddha yang telah berlangsung lama mengatakan bahwa seseorang sebaiknya berhenti makan ketika tiga atau empat suapan lagi atau dua atau tiga gelas air akan mengisi perut (Th.983; Vism.33).
Sumber:
Jātaka with commentary, ed. V. Fauseboll, London PTS 1877-96
Majjhima Nikaya, ed. V. Trenchner, R. Chalmers, PTS London 1887-1902
Visuddhimagga, ed. C. A. F. Rhys Davids, PTS London 1920-21
Anguttara Nikaya, ed. R. Morris, E. Hardy, PTS London 1885-1900
Leave a Reply