Komunitas internasional menekan junta agar membuka akses bagi organisasi kemanusiaan. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan beberapa negara Asia Tenggara berusaha menyalurkan bantuan melalui jalur diplomasi.
Beberapa analis membandingkan situasi ini dengan tsunami Aceh 2004, yang akhirnya menjadi pemicu rekonsiliasi antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Namun, dengan junta yang terus menindas lawan politiknya, harapan akan perubahan serupa masih jauh dari kenyataan. Di tengah keterbatasan, komunitas Buddhis global bergerak cepat. Wihara-wihara di Thailand, Sri Lanka, dan negara-negara lain menggalang dana serta mengirim relawan untuk membantu para korban.
Sementara itu, biara-biara yang masih berdiri di Myanmar berubah menjadi tempat perlindungan bagi mereka yang kehilangan rumah. Ritual doa dan persembahan dilakukan untuk mengenang mereka yang meninggal, memperlihatkan bahwa ajaran welas asih tetap hidup di tengah penderitaan.
Namun, pertanyaan besar masih menggantung di udara: Akankah bencana ini menjadi titik balik bagi Myanmar? Atau justru semakin memperpanjang penderitaan rakyatnya di bawah cengkeraman kekuasaan militer?
National Unity Government (NUG) menyerukan gencatan senjata untuk bantuan kemanusiaan, tetapi junta tetap melanjutkan operas militer, memperburuk krisis bagi ribuan korban dan pengungsi yang kekurangan kebutuhan dasar.
Leave a Reply