Menjalankan Tradisi Tidak Selalu Sama Dengan Jalankan Ajaran

Agama adalah warisan yang dipelihara dari generasi ke generasi. Namun, sekadar mewarisi tradisi tidak serta-merta menjadikan seseorang pengikut Buddha. Buddha tidak ditemukan dalam kitab-kitab suci, tidak terpatri di wihara-wihara, candi, atau pagoda yang menjulang megah. Inilah pesan mendalam yang disampaikan Bodhidharma pada abad keenam.

Tanpa cinta kasih, Buddha tidak hadir, Tanpa welas asih, ajaran-Nya hampa. Buddha tidak menyertai kekerasan, apalagi pertumpahan darah. Namun, ketika agama hanya sekadar tradisi yang dijalankan tanpa pemahaman mendalam, orang bisa saja berbondong-bondong mengikuti doa perdamaian di wihara, tetapi dengan tangan yang sama, mereka mengangkat senjata untuk memaksakan kehendak.

Menjaga tradisi Buddha tidak otomatis menjadikan seseorang penuh damai. Masyarakat yang mengaku memelihara nilai-nilai Buddha pun bisa bertindak bringas. Kekerasan tidak selalu muncul dari mereka yang tak mengenal agama, tetapi justru dari mereka yang gagal memahami esensi ajaran yang mereka ikuti.

Manusia membawa sifat bawaan dan kecenderungan dari kehidupan lampau. Ada yang terlahir dengan temperamen yang lebih panas, ada yang mudah terbakar dendam atau kecewa. Namun, kehidupan saat ini bukan sekadar hasil mutlak dari masa lalu. Tidak ada yang ditakdirkan menjadi pemarah, pencuri, atau pendusta hanya karena karma kehidupan sebelumnya. Manusia memiliki kebebasan untuk mengubah dirinya, untuk menentukan jalannya sendiri.

Sesuai dengan Vinaya, para bhikkhu tidak akan terlibat dalam kekerasan. Mereka memilih jalan kedamaian, bukan karena takut, tetapi karena sadar: kekerasan tidak pernah menjadi solusi. Buddha tidak ditemukan dalam pedang atau perang, tetapi dalam hati yang penuh kasih dan pikiran yang jernih. 

Sumber: Diandharma.org | Yang Brings dalam Tradisi Buddhis