KBRN, Surabaya: Young Buddhist Association Indonesia (YBAI) bersama organisasi Buddhis, vihara dan organisasi sosial di Jawa Timur menggelar nonton bareng (nobar) film “Unearthing Muarajambi Temples” di Mal Cito Surabaya, Kamis (23/11/2023) malam. Kala itu, warga Surabaya begitu antusias menyaksikan film dokumenter yang disutradarai oleh Nia Dinata itu. Bahkan, 5 studio yang ada di Cito dan memutar film itu, semuanya full penonton.
Hadir dalam nobar itu sang sutradara Nia Dinata bersama sejumlah tokoh dalam film tersebut. Selain itu, hadir pula Komunitas Organisasi Buddha dan organisasi sosial masyarakat serta pecinta Muara Jambi Olga Lydia. Artis ibu kota ini bersama sutradara dan para tokoh dalam film itu juga sempat menyapa para penonton sembari menyampaikan pesan penting dalam menjaga toleransi.
Ditemui seusai nobar, Sutradara film Unearthing Muarajambi Temples Nia Dinata mengatakan pesan penting yang ingin selalu dia tularkan ketika pemutaran film tersebut adalah pesan untuk merajut toleransi. Sebab, ia mengakui tidak pernah melihat toleransi yang begitu besar dan inklusif seperti di Muara Jambi. Selain itu, orang Indonesia saat ini sudah mulai enggan untuk meneliti sejarah.
“Kalau kita menjadi masyarakat yang toleransi dan juga mencintai sejarah, pasti akan lebih maju lagi dan lebih damai lagi bangsa ini. Makanya, saya merajut toleransi ke berbagai daerah melalui film ini,” kata Nia.
Ia juga berharap toleransi itu bisa diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu caranya dengan banyak bergaul dengan orang lain, mengeksplorasi saudara yang berbeda agama, berbeda tingkat ekonomi dan sosialnya. Dengan cara itu, pasti akan banyak pelajaran yang dapat diambil dalam membina hubungan dan relasi itu.
“Jadi, kenalilah Indonesia seutuhnya, kenalilah Muara Jambi. Kita harus benar-benar mengaplikasikan Bhinneka Tunggal Ika,” tegasnya.
Nia juga bersyukur karena antusiasme warga Surabaya untuk menonton film tersebut sangat luar biasa. Menurutnya, warga Indonesia kini mulai haus dengan tontonan yang sekaligus mendidik. Makanya, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi Republik Indonesia dan Kalyana Shira Foundation mempersembahkan film dokumenter ini yang mengupas tentang keberadaan situs percandian Muara Jambi.
“Menjadikan kita bangsa yang mengerti sejarah dan terus merajut toleransi,” katanya.
Sementara itu, Komunitas Organisasi Buddha dan organisasi sosial masyarakat serta pecinta Muara Jambi Olga Lydia mengaku kaget setelah mendengar cerita bahwa Muara Jambi lebih besar dan lebih luas dibanding Candi Borobudur. Nah, setelah melihat film ini, ia merasa seluruh rakyat Indonesia harus tahu dan layak ikut berbangga karena memiliki Candi Muara Jambi.
“Karena Sang Sutradara dan para tokoh dalam film itu sedang ada acara di Malang, lalu saya berpikir kenapa gak sekalian digelar di Surabaya. Akhirnya digelarlah di Surabaya,” kata dia.
Awalnya, dia berpikir hanya mau menyewa dua studio. Namun, karena melihat Kota Surabaya yang sangat penuh toleransi, akhirnya semua studio di Cito disewa.
“Saya sangat senang karena ternyata yang datang banyak banget dan 5 studio itu penuh. Apalagi, yang datang ini sangat beragam dan penuh warna,” katanya.
Ia juga bersyukur acara itu lancar karena sangat dibantu oleh Young Buddhist Association Indonesia (YBAI). Apalagi, mereka juga sudah lama ingin memutar film ini di Surabaya, sehingga sekalian digelar di Surabaya.
“Saya juga sangat senang melihat antusiasme warga Surabaya ini yang penuh toleransi. Rasa toleransi ini harus terus ditularkan ke daerah lainnya di Indonesia,” ujarnya.
Ketua Harian YBA Indonesia Anthony Orodiputro juga bersyukur bisa mendapat kepercayaan dari Olga untuk bisa melaksanakan acara nobar ini bersama organisasi Buddhis dan organisasi sosial lainnya di Jawa Timur. Bagi dia, acara ini sangat bermanfaat tidak hanya memperkenalkan agama Buddha dan sejarah saja, tetapi bisa memberikan semagat toleransi antar umat beragama.
“Hal ini sebenarnya sudah terajut sejak zaman Sriwijaya dimana nenek moyang kita memiliki kearifan lokal bekal berharga yang kita perlukan untuk hidup bermasyarakat,” kata Anthony.
Oleh karena itu, ia menyampaikan terima kasih kepada Kemendikbud dan Teh Nia melalui Kalyana Shira Foundation yang telah membuat film ini. Dengan adanya film ini, akhirnya sejarah agama Buddha di Bumi Nusantara ini mampu dimengerti dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari oleh penonton, khususnya para pemuda-pemudi.
“Tidak hanya Umat Buddha saja yang mendapatkan banyak manfaat melalui film ini, tetapi semua umat beragama merasakan manfaat dalam merajut semangat toleransi. Dimana toleransi memiliki sifat yang universal untuk merawat bangsa kita tercinta ini, bangsa Indonesia,” pungkasnya.
Leave a Reply