Event

Sarasehan Kebangsaan di Surabaya Ingatkan Kembali Jadi Manusia Indonesia

September 2, 2019

Persatuan Indonesia telah digaungkan sejak 91 tahun silam. Seruan itu muncul dari gagasan generasi muda, yang kini kita kenal sebagai hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Untuk merayakan peristiwa bersejarah itu Young Buddhist Association (YBA) menggelar sebuah acara Sarasehan Kebangsaan bertajuk Merayakan Indonesia, Senin (28/10). Acara ini digelar di Auditorium Fakultas Kedokteran, Gedung MA lantai 6 Kampus Universitas Surabaya Tenggilis, Jl. Raya Kalirungkut, Surabaya.

Tidak tanggung-tanggung dalam Sarasehan Kebangsaan menghadirkan tiga tokoh Bangsa, yaitu; Bhikkhu Nyana Suryanadi dan Kyai Haji Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) serta seorang pengusaha dan aktivis sosial Harjanto Halim dengan moderator Prof. Sujoko Efferin, seorang dosen senior yang menjabat sebagai Ketua Pusat Kewirausahaan dan Inovasi Universitas Surabaya (Ubaya).

Pertunjukan salah satu seni daerah, tari Gaba-gaba dari Manado, Maluku Utara yang dibawakan oleh kolaborasi mahasiswa pertukaran pelajar menjadi pembuka acara ini. Hal ini memberikan pesan betapa keragaman dan budaya Indonesia dapat dicintai dan dapat diterima oleh seluruh bangsa-bangsa. “Saya sangat suka dengan budaya Indonesia, ketika saya melihat dan mendengar tarian itu (Gaba-gaba) dari dosen, saya tertarik untuk belajar,” kata salah satu penari.

Penari dari Negara Panama itu menurutkan banyak pelajaran berharga selama berlatih dan menari Gaba-gaba. Ia mengaku membutuhkan 8 Minggu untuk bisa menari bersama, mengatur kekompakan. “Ada dua pelajaran yang bisa kita petik dalam tarian ini, yaitu kerjasama dan ekspresi kebahagiaan,” imbuhnya.

Pesan para guru

Harojanto Halim, sebagai narasumber pertama menyampaikan beberapa tiga poin penting yang bisa dijadikan prinsip dalam menjaga keharmonisan dalam keberagaman. Pertama menghapus stereotyping, berdasarkan pengalamannya sewaktu penjadi penggerak perayaan Kopi Semawis di Semarang, ternyata beliau pun baru menyadari bahwa di dalam dirinya menyimpan stereotyping yang menjadi salah satu faktor sulitnya menerima dan berdamai dengan perbedaan yang ada dalam dirinya dan orang lain.

“Saya sangat senang sekali ketika Kopi Semawis ini berjalan lancar bahkan saya sempat lihat seorang perempuan yang pasti muslim karena berjilbab. Perempuan ini sedang foto di depan shio yang dipajang. Kan ada 12 shio yang dipajang untuk foto-foto, dan perempuan ini foto di depan gambar shio babi, dan akhirnya saya penasaran saya tanya, ‘lho mbak kamu kok fotonya di depan gambar babi?’ Dia jawab, ‘lho itu shio saya kok.’ Saya tanya lagi, ‘lho kamu kok tahu kalau shio kamu Babi?’ Dia jawab lagi, ‘lha kan emak saya Tionghoa.’ Oalah, saya bergumam.

“Tapi dari hal ini saya baru saja tersadarkan ternyata saya pun muncul stereotyping, ‘ini perempuan berjilbab nggak mungkin kalau tahu tentang shio, apalagi foto di depan shio babi’.  Tapi ini benar terjadi. Artinya apa? Kita sering kali sadar atau tidak telah melakukan stereotyping. ‘Owh Cina itu pelit, isinya cuma duit aja, macem-macem tapi intinya dosa, banyak dosa. Inilah stereotyping yang muncul.

“Nah terkait pembelajaran berbangsa jelas harus juga mengikis stereotyping. Tidak semua Tionghoa begitu, tidak semua Jawa begitu, tidak semua muslim begitu, tidak semua Nasrani begitu dan yang lain-lain. Ini yang harus dikikis, stereotyping yang mendegradasi nilai kemanusiaan,” lanjutnya.

Kedua melestarikan budaya dan tradisi. “Dalam perjumpaan saya di Semawis, di sekolah Karang Turi, saya menjumpai berbagai macam hal yang menurut saya, saya selalu harus masuk untuk tanda petik mendidik dan mengarahkan. Di kantor bahkan di rumah saya selalu menggelorakan apa itu kearifan lokal. Saya itu tiap kali buka kantor, dan setiap Suro saya pasti selamatan. Itu di kantor, kalau di rumah saya ngundang modin. Lho muka saya gini tapi Alfatikah saya apal,” ungkapnya disambut riuh tawa audiens.

Ketiga, kontekstualisasi ritual keagamaan dengan alam dan tradisi setempat. Harjanto memberikan contoh,”Saya pengurus satu perkumpulan Tionghoa yang tertua. Dan mungkin itu satu-satunya perkumpulan Tionghoa yang di altar leluhurnya ada papan nama dengan tulisan K.H. Abdul Rahman Wahid, mantan Presiden Republik Indonesia.

“Kemudian kaitannya dengan alam, kalau di Buddhis ada yang namanya Fangsheng. Ketika Fangsheng menurut saya juga harus memperhatikan lingkungan alam atau habitat hewan yang akan di Fangsheng. Misalnya, kalau mau Fangsheng burung emprit yang ditangkap di desa yang masih banyak tanaman padinya kemudian dilepas di perkotaan apalagi perkotaan yang padat jelas tidak ada area pertanian atau tanaman-tanaman penyedia pangan burung emprit. Lalu bagaimana nasib burung emprit yg dilepas di perkotaan ini, mau makan apa setelah dilepas? Ini salah satu contoh kontekstualisasi ritual keagamaan dengan alam,” pungkasnya.

Sedangkan Bhikkhu Nyana Suryanadi berbagi pemikiran yang melihat dari kacamata modernisasi yang kian mengancam keharmonisan dalam perbedaan. Beliau memberikan kiat-kiat bagaimana menjaga keberagaman dalam era digital.

Tidak mungkin kita menjalani kehidupan ini sendiri, tanpa bantuan orang lain bahkan sekalipun orang lain itu mungkin kadang kita benci karena berbeda dengan kita. Namun dengan kesadaran bahwa hidup ini saling membutuhkan dan saling bergantung satu sama lain.

Sementara sudut pandang lain yang tidak kalah menarik dikemukakan oleh Gus Mus seorang Guru Besar yang merupakan tokoh intelektual Islam kelahiran Rembang, Jawa Tengah. Beliau adalah pengasuh Pondok Pesantren Raudlatul Thalibin, Leteh, Rembang dan menjadi Rais Syuriah PBNU.

Dalam salah satu pesan singkatnya beliau mengajak dan mengajarkan kita bagaimana berterima kasih dan bersyukur kepada Tuhan yang memberikan anugerah istimewa kepada kita dalam wujud negara Indonesia.

“Sudah selayaknya kita bersyukur sebagai manusia dengan menjaga kemanusiaan kita, menjaga akal, dan nurani kita. Kemudian kita bersyukur diberi anugerah Indonesia dengan menjaga Indonesia ini dengan sebaik-baiknya. Jaga Indonesia beserta keragamannya. Saya mengajak bersyukur kepada semuanya kita diciptakan sebagai manusia terlebih sebagai manusia Indonesia. Dan saya lebih bersyukur lagi anak-anak muda di sini masih mau menjaga Indonesia dengan mengadakan sarasehan kebangsaan merayakan Indonesia Raya ini dalam rangka Sumpah Pemuda,” pesan Gus Mus.

 

sumber : buddhazine.com

Tags :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

TRANSLATE