Hari Trisuci Waisak merupakan rangkaian dari tiga peristiwa besar kehidupan Sang Guru Agung, yaitu kelahiran Pangeran
Siddhartha Gautama, Pangeran Siddhartha mencapai Pencerahan Sempurna (menjadi Buddha), dan mangkatnya Buddha
yang disebut sebagai Parinirvana. Ketiga peristiwa ini mengingatkan betapa besar cinta dan welas Buddha kepada semua
makhluk tanpa terkecuali. Oleh karena itu, para murid Buddha tetap menjalankan ajaran sang Guru Agung tersebut, agar
dapat mencapai kebahagiaan sejati sama persis seperti Buddha.
Di dalam ajaran Buddha, manusia dikatakan mampu untuk mengembangkan empat sifat dasar tanpa batas yang saling
melengkapi, yaitu:
Cinta 慈 (Sanskrit: Maitri, Pali: Metta) adalah cinta tanpa nafsu untuk memiliki, memahami dengan baik bahwa dalam hakikat
tertinggi, tidaklah ada kepemilikan maupun pemilik: inilah cinta yang tertinggi. Sifat ini dapat diumpamakan sebagai rasa
cinta seorang ibu yang melindungi anaknya yang tunggal, sekalipun harus mengorbankan kehidupannya, seharusnya
seseorang memelihara cinta yang tidak terbatas itu pada semua makhluk.
Welas 悲 (Pali: Karuna) yaitu suatu rasa empati atas penderitaan orang lain sehingga muncul keinginan untuk meringankan
penderitaan tersebut. Welas muncul dalam bentuk ketulusan berusaha mencari jalan yang terbaik agar penderitaan orang
tersebut bisa teratasi atau menjadi lebih ringan.
Sukacita 喜 (Pali: Mudita) yaitu perasaan gembira karena bersukacita atas kebajikan yang telah dilakukan oleh diri sendiri
maupun orang lain, sekaligus bersukacita atas kebahagiaan yang dialami oleh diri sendiri maupun orang lain.
Keseimbangan Batin 捨 (Sanskrit: Upeksha, Pali Upekkha) adalah batin yang mencerap fenomena dengan penuh kesadaran
secara apa adanya. Dengan batin yang waspada, stabil dan seimbang ini, maka cinta, welas dan sukacita dimungkinkan
untuk mengambil wujud tertingginya. Mereka yang memiliki batin yang tidak tergoyahkan oleh dualisme, dapat merespon
dunia ini dengan cara dan hati yang tanpa batas.
Keempat nilai ini dianut oleh nenek moyang bangsa Indonesia, terbukti dengan ditemukannya brahmawihara dalam naskah
Sutasoma karya Mpu Tantular. Sastra kuno Jawa, Sanghyang Kamahayanikan yang menyebutnya sebagai “asih”, sebuah
istilah yang digunakan dalam bahasa Indonesia hingga sekarang dan menjadi dasar watak bangsa Indonesia.