Abhiseka Penerus Dharma, memiliki sejarah panjang dalam Buddhadharma Mahayana dan berakar pada tradisi transmisi Dharma sejak zaman Buddha. Dalam ajaran awal, Buddha menunjuk Mahakasyapa sebagai penerus Dharma melalui transmisi langsung di Griddhaküta (Bukit Burung Nasar).
Konsep ini kemudian berkembang menjadi “transmisi di luar kitab suci”, yang menekankan pengalaman langsung terhadap pencerahan, dan akhirnya melahirkan tradisi abhiseka sebagai penobatan atau pemberkatan spiritual bagi penerus ajaran.
Dalam Vajrayana, terutama sejak abad ke-8 M pada masa Guru Padmasambhava, abhiseka menjadi bagian dari ritual pemberdayaan (empowerment, dbu bsko). Seorang guru Vajrayana memberikan abhiseka sebagai inisiasi ke dalam praktik mantra, yoga, dan meditasi esoterik, serta sebagai bentuk penobatan bagi penerus garis keturunan. Sistem tulku di Tibet juga menggunakan abhiseka dalam pengesahan reinkarnasi lama dan rinpoche sebagai penerus Dharma.
Di Jepang abhiseka berkembang dalam berbagai aliran Mahayana. Dalam Shingon yang didirikan oleh Kükai (774-835 M), abhiseka (kanjo) menjadi bagian dari ritual otoritas spiritual untuk penerus ajaran esoterik. Tradisi Tendai yang dibawa oleh saichö (767-822 M) dari Tiongkok juga menggunakan abhiseka sebagai syarat pengangkatan seorang bhiksu menjadi guru Dharma. Dalam Zen Jepang, seperti dalam aliran Soto yang dipimpin oleh Dögen Zenji (1200-1253 M), transmisi guru-murid (shisho) merupakan bentuk abhiseka, di mana seorang murid mendapatkan inka shömei sebagai bukti pengesahan dari gurunya.
Secara keseluruhan, Abhiseka penerus Dharma dalam tradisi Mahayana telah berkembang dari praktik pengesahan langsung oleh Buddha kepada murid-muridnya menjadi sebuah ritual formal di berbagai aliran Mahayana dan Vajrayana.
Dengan berbagai bentuk dan metodenya, abhiseka tetap menjadi bagian penting dalam menjaga kesinambungan ajaran Dharma di berbagai komunitas Buddhis di dunia.
Leave a Reply