Sila pertama pancasila dalam umat Buddha Indonesia percaya dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan menghayati benar-benar makna Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana diajarkan oleh Buddha dan tercantum dalam Kitab Suci Tipitaka (Pali), Kitab Udana, VIII: 3, yang artinya sebagai berikut…
Üdana, VIII: 3 “Para bhikkhu, ada Yang Tidak Dilahirkan, Tidak Menjelma, Tidak Tercipta, Yang Mutlak. Para bhikkhu, bila tak ada Yang Tidak Dilahirkan, Tidak Menjelma, Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka tak ada Kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan,pemunculan dari sebab yang lalu. Tetapi, para bhikkhu, karena ada Yang Tidak Dilahirkan, Tidak Menjelma, Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu”.
Umat Buddha Indonesia menyadari bahwa keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah pribadi yang paling dalam bagi seseorang, yang merupakan salah satu hak yang paling asasi di antara hak-hak asasi manusia, yang tidak dapat ditiadakan atau dicampuri oleh siapa pun juga. Sudah sewajarnyalah apabila di tanah air Indonesia terdapat berbagai agama dan kepercayaan, sedangkan tiap-tiap agama dan kepercayaan itu terbagi pula dalam berbagai mazhab atau aliran. Menyadari kenyataan demikian di dalam masyarakat, maka umat Buddha Indonesia memupuk sikap menghormati kemerdekaan setiap orang untuk memeluk agama dan kepercayaan yang diyakininya dan untuk beribadat sesuai dengan agama dan kepercayaannya itu.
Umat Buddha Indonesia sekali-kali tidak ingin memaksakan keyakinannya dengan cara apa pun kepada orang yang memeluk agama, mazhab, aliran, maupun kepercayaan yang berbeda-beda, sehingga dapat selalu terbina kerukunan hidup beragama di tanah air Indonesia. Saling menghormati dan bekerja sama antara pemeluk-pemeluk agama yang berbeda-beda merupakan sikap umat Buddha di seluruh dunia sejak zaman dahulu kala.
Terbukti dengan adanya Prasasti Batu Kalinga No. XXII dari Raja Asoka (abad ketiga sebelum Masehi) yang antara lain berbunyi: Janganlah kita menghormati agama sendiri dan mencela agama orang lain tanpa sesuatu dasar yang kuat… Sebaliknya, agama orang lain pun hendaknya dihormati atas dasar-dasar tertentu. Dengan berbuat demikian, kita telah membantu agama kita sendiri untuk berkembang, di samping menguntungkan agama orang lain.
Oleh karena barangsiapa menghormati agamanya sendiri dan mencela agama orang lain semata-mata karena terdorong oleh rasa bakti kepada agamanya sendiri, dengan berpikir: Oleh karena itu, kerukunanlah yang dianjurkan, dengan pengertian bahwa semua orang hendaknya mendengarkan dan bersedia mendengarkan ajaran yang dianut oleh orang lain.
Penulis: Herman S, Endro, S.H., Pedoman Penghayatan dan Pembabaran Agama Buddha Mazhab Theravada di Indonesia, Majelis Pandita Buddha Dhamma Indonesia, Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arama, 1978.
Leave a Reply