Surabaya (ANTARA) – Young Buddhist Association menyatakan dalam agama Buddha, perempuan memiliki peran dan kedudukan yang sama dengan laki-laki, bahkan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan serta spiritual.
Tokoh Agama Buddha Attasilani Gunanandini dalam keterangan tertulis di Surabaya, Selasa, menjelaskan perempuan pada masa kehidupan Buddha, apalagi saat itu masih dipengaruhi oleh peradaban sebelumnya, memang dianggap sebagai sesuatu yang nomor dua, bukan primer.
“Namun, sebenarnya saat itu cara pandang buddhis berbeda dengan konstruksi sosial masyarakat masa itu, karena buddhis sendiri atau cara pandang agama Buddha melihat bahwa perempuan itu adalah sepenuhnya manusia,” katanya.
Pernyataan Attasilani Gunanandini tersebut disampaikan dalam kajian lintas agama bertema “Kemanusiaan Penuh Perempuan” perspektif agama Islam dan Buddha yang digelar Young Buddhist Association dalam rangka Hari Imlek di Surabaya, Senin (23/1).
“Manusia dalam konteks agama Buddha berasal dari manu dan usa. Manu itu yang punya pikiran, dan usa itu adalah yang kualitasnya bisa meningkatkan levelnya. Jadi, bisa dikembangkan dalam level yang tanpa batas, baik perempuan maupun laki-laki,” kata dia.
Dia mengakui ada perbedaan secara biologis antara perempuan dan laki-laki. Namun, peran dan kedudukannya tidak berbeda dan hal itu dibuktikan pada masa kehidupan Buddha. Bahkan, perempuan itu diangkat statusnya oleh Sang Buddha dalam kehidupan sosial kemasyarakatan dan spiritual.
“Jadi, perempuan itu bisa memiliki kemampuan intelektual dan spiritual yang sama dengan laki-laki,” ujarnya.
Dalam agama Buddha, lanjut dia, ada dua jenis kehidupan yang dianjurkan oleh Sang Buddha. Pertama, kelompok yang menjalani kehidupan rumah tangga layaknya pasangan suami istri pada umumnya. Kedua, kelompok yang meninggalkan rumah tangga, tujuannya bukan hanya tidak berumah tangga, tetapi tujuan spiritual tertinggi yang artinya tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan.
“Pada saat sekarang ini pun, buddhis sendiri memberikan keleluasaan terhadap peran perempuan dalam memilih kehidupan mereka, mengembangkan potensi mereka mau jadi apa, dan berkarya seperti apa. Tujuannya agar perempuan ini memiliki kebebasan dalam mengembangkan dirinya. Ini sangat baik karena perempuan diposisikan sebagai manusia seutuhnya dalam konteks ajaran Buddha,” ujarnya.
Oleh karena itu, Attasilani berharap, dapat menyadarkan semua perempuan dan mengambil pelajaran.
“Semoga pertemuan ini bermanfaat bagi kita semua, dan kemanusiaan penuh bagi seorang perempuan semakin utuh,” ucapnya.
Wakil Ketua Young Buddhist Association Limanyono Tanto mengatakan pertemuan semacam ini perlu dihadirkan di tengah-tengah muda-mudi Indonesia untuk saling mengenal antarajaran dengan tujuan akhir tercipta moderasi dan tenggang rasa antarumat beragama.
“Dari situlah kami berharap rasa persaudaraan dan rasa saling menjaga sebagai saudara antarsesama manusia bisa tercipta di tengah momen Imlek ini,” katanya.
Dia menjelaskan Imlek tradisi berkumpul dan saling bertukar kebahagiaan antarsesama anggota keluarga.
Oleh karena itu, ia mengaku bersyukur bisa melakukan kebaikan ini saat momentum imlek bersama studiagama.id.
“Kami juga muda-mudi buddhis di liburan Imlek ini bisa belajar dari kedua tokoh agama pada acara ini, yaitu semua agama sepakat untuk menghargai seorang perempuan dan pada hakikatnya ada persamaan dan satu semangat yang sama untuk dapat membawa kebahagiaan bagi kaum perempuan,” kata dia.
Leave a Reply