Bagian 3

Bab 17: Awal Karier Bisnis

“Kemanusiaan tidak dibatasi oleh agama, suku, atau pandangan. Kita semua ingin bahagia, damai, dan bebas dari penderitaan.”

 

Selama menjalani kehidupan kebhikkhuan, saya semakin menyadari bahwa sekat-sekat identitas sering kali menjadi sumber salah paham, konflik, bahkan kebencian. Agama, suku, status sosial, dan pandangan politik bisa memisahkan manusia—bukan karena ajarannya, tapi karena cara kita melekat pada identitas itu secara sempit.

 

Dhamma justru mengajarkan untuk melampaui semua itu. Dalam praktik meditasi, kita tidak melihat ras atau agama seseorang. Yang kita lihat adalah batin yang sama-sama berjuang memahami penderitaan dan mencari kedamaian. Saya merasa bahwa tugas saya bukan membela agama Buddha semata, tapi membela nilai-nilai luhur yang hidup dalam semua hati yang terbuka.

 

“Saat kita bisa melihat manusia sebelum melihat agamanya, kita sedang memasuki wilayah welas asih yang sejati.”

 

Saya telah berkali-kali berdialog dengan tokoh lintas agama, dan saya temukan bahwa ketika ego dilepas, tidak sulit menemukan titik temu. Kita semua ingin anak-anak kita tumbuh dengan nilai, ingin hidup dalam masyarakat yang adil, dan ingin meninggal dengan damai.

 

Melampaui sekat tidak berarti mencampuradukkan ajaran. Melainkan memahami bahwa Dhamma bisa hadir dalam segala perbuatan baik, meskipun ia tidak disebut dengan nama yang sama. Bahkan dalam hati orang yang tidak beragama sekalipun, welas asih bisa tumbuh. Maka siapa kita untuk menghakimi?

Bab 18: Matang di Unilever Indonesia

“Menapak pasti bukan berarti langkah kita selalu mulus, tetapi bahwa kita terus berjalan meski pelan, dengan hati yang jernih dan arah yang jelas.”

 

Perjalanan hidup saya—dari anak keluarga Muslim yang sederhana, menjadi Bhikkhu, hingga berbagi Dhamma ke banyak tempat—bukanlah perjalanan yang saya rancang sendiri. Ini adalah jejak yang terbentuk dari keberanian untuk memilih kejujuran, ketulusan, dan keheningan, meski harus menyimpang dari arus umum.

 

Banyak orang bertanya: apakah saya tidak pernah ragu? Tentu pernah. Apakah tidak pernah lelah? Sangat sering. Tapi saya tahu, bahwa setiap kali saya kembali ke Dhamma—melalui meditasi, keheningan, dan refleksi—kekuatan itu muncul kembali. Dan saya melangkah lagi. Pelan, namun pasti.

 

“Yang penting bukan seberapa cepat kita berjalan, tapi seberapa sadar setiap langkah itu dijalani.”

 

Menapak pasti berarti hidup dengan kesadaran. Tidak tergesa, tidak terombang-ambing, tidak mencari pujian atau menolak kritik. Kita belajar berjalan bersama angin, bersama waktu, dan bersama batin sendiri yang terus berkembang.

 

Saya tidak tahu berapa lama lagi saya bisa berjalan. Tapi saya tidak khawatir. Karena selama langkah ini dituntun oleh Dhamma, bahkan jika saya berhenti, jejak itu akan tetap memberi arah bagi yang datang kemudian.

Bab 19: Direktur Human Resource Development

“Kepemimpinan sejati adalah seni menumbuhkan manusia — bukan hanya mengelola angka.”

 

Setelah hampir dua dekade mengabdi di Unilever, saya akhirnya mengambil keputusan besar — keluar dari zona nyaman dan menempuh jalan baru sebagai Direktur Human Resource Development di Indofood Group.

 

Perjalanan ini bukan sekadar naik jabatan. Ini tentang menghidupkan nilai-nilai spiritual Buddhis di tengah ekosistem bisnis yang penuh tekanan dan tantangan. Bersama Hendy Rusli, saya menyaksikan visi mulia untuk menjadikan Indofood sebagai Spiritual Company — sebuah perusahaan yang tidak hanya mengejar untung, tetapi juga membentuk manusia-manusia unggul dengan nilai, etika, dan prinsip.

 

“Khanti paramang tapo titthika” – Kesabaran adalah pertapaan tertinggi.
— Dhammapada 184

 

Saya memulai dengan membenahi ketenagakerjaan, memfasilitasi pendirian serikat pekerja (SPSI), mengadakan pelatihan HRD berjenjang, membangun pusat pelatihan di Cibodas, hingga memperluas peran HR menjadi profit center. Semua dilandasi oleh semangat pelayanan, transparansi, dan pendekatan hati.

 

Di tengah perjalanan, saya harus menghadapi pergantian pimpinan yang membawa angin perubahan drastis. Tuduhan tak berdasar menghampiri, dan saya memutuskan pensiun dini di usia 55. Namun luka itu bukan akhir. Dari situ saya menulis buku, bermeditasi, dan akhirnya melahirkan Perbudhi, wadah spiritual karyawan Buddhis Indofood.

Bab 20: Direktur Perusahaan Sigaret

“Menjadi direktur di perusahaan multinasional bukan akhir dari perjalanan, melainkan ujian bagi nilai-nilai batin di tengah pusaran dunia.”

 

Setelah keluar dari Indofood, dan suasana hati mulai membaik, saya kembali ke dunia kerja. Kali ini saya bergabung dengan Rothmans of Pall Mall Indonesia (RPMI), perusahaan rokok putih internasional. Sebenarnya saya hanya ingin menjadi konsultan, tapi pihak perusahaan meminta saya menjabat sebagai direktur tetap, meskipun dengan peran dan kewenangan layaknya konsultan.

 

Saya adalah satu-satunya direktur berkebangsaan Indonesia di antara jajaran direksi ekspatriat dari Australia dan Inggris. Di bawah kepemimpinan Peter Barton, saya merasa dihargai secara pribadi dan profesional. Ia tidak hanya memberi ruang untuk saya bekerja, tetapi juga mempercayai saya dalam menangani banyak urusan penting di tengah gejolak ekonomi dan politik saat itu.

 

“Jika ekspatriat bisa pergi ke luar negeri karena situasi genting, mengapa kamu tidak bisa pergi ke Genewa?” — Peter Barton

 

Saat kerusuhan Mei 1998 melanda Jakarta, situasi bisnis sangat kacau. Saya harus siaga menjaga keselamatan karyawan dan operasional kantor. Di tengah situasi mencekam, saya masih harus memutuskan apakah akan pergi ke Genewa menghadiri konferensi ILO mewakili Apindo. Saya pikir saya harus tetap menjaga “gawang” di Indonesia, tapi Peter justru mendorong saya untuk berangkat, dengan syarat saya tetap memberi laporan harian via telepon setiap pagi dari Genewa.

 

Itu adalah bentuk penghargaan luar biasa. Saya merasa dilihat bukan hanya sebagai direktur, tapi sebagai manusia yang dipercaya dan diandalkan.

 

Setelah perusahaan diakuisisi oleh British American Tobacco (BAT), saya membantu proses transisi dan membimbing dua direktur HRD yang akhirnya mengundurkan diri. Setelah pengganti yang saya usulkan berhasil melewati masa pelatihan, saya pun resmi mundur. Ini adalah akhir dari karier saya di industri sigaret, dan menjadi salah satu pengalaman penting dalam perjalanan batin saya.

Bab 21: Konsultan Manajemen

“Saya percaya, pengalaman dan keahlian bukan untuk dikumpulkan, tetapi untuk dibagikan — agar menjadi ladang berkah bagi sesama.”

 

Setelah menyelesaikan masa tugas di British American Tobacco, saya dengan mantap melangkah ke dunia baru yang tidak sepenuhnya asing: dunia konsultasi manajemen. Ini bukan sekadar pekerjaan, tapi kelanjutan dari apa yang telah saya pelajari dan alami selama puluhan tahun.

 

Saya pernah ditantang oleh Managing Director Indofood, Hendy Rusli, untuk menjadikan HRD bukan sebagai cost center, melainkan sebagai profit center. Tantangan itu saya jawab bukan hanya dengan kata-kata, tapi dengan tindakan nyata. Di situlah awal mula saya mengembangkan model konsultasi yang efektif, berbasis pelayanan dan hasil.

 

Sebagai konsultan, saya menangani berbagai proyek besar: dari Bank Sumut di Medan, Banpu Coal Mining, hingga perusahaan pelayaran di Samarinda. Tugas saya bukan hanya membantu transformasi bisnis, tapi juga membentuk manusia-manusia kuat di dalamnya.

 

“Saya selalu mengajak teman-teman lama sebagai rekan. Membagi rejeki adalah tabungan untuk masa depan — bukan hanya dunia, tapi juga batin.”

 

Saya bekerja dengan kolega lama seperti Ali Hanafiah dan Gin Sugianto, serta membimbing anak muda seperti Muhammad Firdaus — yang kemudian menjadi asisten pribadi saya selama bertahun-tahun. Firdaus memanggil saya “Babeh,” bukan hanya karena kedekatan kami, tapi karena ia menemukan figur ayah dalam sosok saya. Ia tumbuh, belajar, dan menjadi sukses berkat pengalaman bersama.

 

Dalam banyak momen, saya merasa profesi ini bukan hanya soal konsultasi manajemen. Tapi juga tentang menginspirasi, membentuk karakter, dan menularkan nilai hidup yang saya yakini.

TRANSLATE