Bagian 4

Bab 22: Berjumpa Raja Keraton Surakarta

“Saya tak pernah mencari gelar, tapi ketika penghormatan itu datang dari ketulusan, saya menerimanya sebagai bentuk persahabatan spiritual.”

 

Pada 16 November 1995, saya diminta menjemput Raja Keraton Surakarta, Sinuhun Pakubuwono XII, yang akan hadir dalam pernikahan keponakan saya di Semarang. Tak mudah menemukan orang yang bisa berbahasa Jawa halus untuk berbicara dengan seorang raja. Tapi karena pengalaman saya di Jogja dan kedekatan saya dengan budaya Jawa, saya pun dipercaya untuk tugas itu.

 

Saya menjemput beliau di Hotel Patra, dan sejak awal sudah merasa cocok. Saya menyampaikan salam keluarga, dan bahkan dalam perjalanan sempat berdialog ringan namun penuh makna, termasuk soal hilangnya gamelan keraton dan insiden Presiden Soeharto masuk ruang pusaka dengan sepatu — sesuatu yang tabu menurut adat.

 

Hubungan kami berlanjut dengan pertemuan-pertemuan hangat. Beliau pun kagum ketika saya menjelaskan tentang kemiripan nilai budaya Jawa dengan ajaran Buddha. Saya tidak menyangka, pada malam 1 Suro tahun 2000, Sinuhun secara pribadi menyerahkan surat pengangkatan gelar bangsawan kepada saya: Kanjeng Raden Haryo (KRH) Endrokusumo, gelar tinggi yang diberikan sangat langka untuk orang luar.

 

“Gelar ini bukan untuk disombongkan, tapi sebagai simbol penghargaan budaya lintas iman — antara spiritualitas Buddhis dan tradisi Keraton Jawa.”

 

Saya pernah menjelaskan pada beliau bahwa dalam ajaran Buddha, yang memberi justru seharusnya berterima kasih — karena ia punya kesempatan menanam kebajikan. Beliau sangat tersentuh dengan pandangan itu.

 

Hubungan kami berlanjut hingga akhir hayat beliau. Ketika beliau wafat pada 11 Juni 2004, saya datang langsung ke Keraton dan duduk bersimpuh di depan jenazahnya. Raja yang agung, yang wafat tanpa kekuasaan dan tanpa tahta yang utuh. Sebagaimana saya sampaikan dahulu padanya: “Sinuhun, sebaiknya usulkan calon penerus agar tidak terjadi perebutan…” Namun beliau berkata, “Biarlah sejarah yang menentukan.”

 

Hari ini, perebutan tahta di Keraton Surakarta benar-benar terjadi — dua pihak sama-sama mengklaim sebagai Pakubuwono XIII. Sebuah ironi yang menyakitkan, namun telah beliau ramalkan sendiri.

Bab 23: Kontribusi dalam Dialog Antar Iman

“Saya percaya, kerukunan bukan sekadar slogan — tapi cita-cita luhur yang harus diperjuangkan lintas keyakinan dan batas budaya.”

 

Sejak masa muda, saya sudah tertarik dengan dunia dialog antar iman. Ketika Indonesia masih terguncang pasca peristiwa 1965, saya bersama Mochtar Rashid dipercaya mewakili komunitas Buddhis dalam pertemuan tokoh-tokoh agama di Bandung, yang diprakarsai oleh Jenderal Dharsono. Itulah titik awal langkah saya dalam upaya memperjuangkan pemahaman lintas agama.

 

Ketika banyak orang cenderung menjauhi ranah ini karena rumit dan sarat konflik, saya justru menapakinya. Saya bergabung dalam organisasi Masyarakat Dialog Antar Agama (MADIA) dan kemudian Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), tempat di mana aktivis, birokrat, profesional, dan agamawan berkumpul untuk membangun jembatan pengertian.

 

Bekerja di dalam forum lintas iman menantang cara berpikir saya. Dari yang sebelumnya sangat praktis dan strukturalis, saya belajar mengapresiasi kedalaman pemikiran teman-teman LSM dan idealisme mereka yang kadang berliku-liku namun penuh makna.

 

“Kerukunan adalah hasil dari keberanian membuka diri, mendengar, dan melihat bahwa kebenaran tidak hanya milik satu pihak.”

 

Puncak pengalaman saya dalam dialog antar iman terjadi pada tahun 2000. Saya mewakili umat Buddhis Indonesia dalam The Millennium World Peace Summit of Religious and Spiritual Leaders di markas besar PBB, New York. Saya bergabung bersama Romo Ismartono, Pendeta Yewanggu, Gde Natih, dan Pangeran Djatikusumah — mewakili ragam iman Indonesia.

 

Di forum ini, saya bertemu banyak tokoh dunia, termasuk Kofi Annan dan cucu Mahatma Gandhi. Saya melihat langsung bagaimana ratusan pemimpin spiritual dari berbagai agama dan kepercayaan datang bukan untuk menunjukkan siapa yang paling benar, tapi untuk mencari cara damai hidup berdampingan.

 

Saya sangat terkesan saat Thich Nhat Hanh memimpin walking meditation untuk perdamaian dunia. Praktik ini menjadi simbol perjalanan batin umat manusia menuju kedamaian bersama — selaras dengan prinsip Dhamma yang saya yakini.

Bab 24: Center Of Asian Studies (CENAS)

“Spiritualitas bukan hanya jalan sunyi dalam gua — ia juga bisa hadir dalam riset, diskusi, dan kerja sama antar budaya yang mempererat sesama umat manusia.”

 

Suatu hari di awal 2003, saya kembali bertemu dengan Zaenal Eko, seorang anak muda dari ICRP yang penuh semangat pluralisme. Dari diskusi-diskusi kami tentang spiritualitas Buddhis dan Islam, kami merasakan kebutuhan untuk melahirkan sebuah lembaga yang bisa menjadi rumah bagi nilai-nilai kebijaksanaan Asia, khususnya dalam menjembatani kesalahpahaman antarperadaban.

 

Dari situlah gagasan Center of Asian Studies (CENAS) lahir. Lembaga ini ingin menjadi oase dalam ketegangan global antara Islam dan Barat, sekaligus laboratorium damai antara Buddhisme dan Islam. Kami terinspirasi dari pemikir seperti Dr. Imtiyaz Yusuf dari Thailand, dan dari nilai-nilai sufistik serta Buddhistik yang sama-sama mengajarkan kesederhanaan dan kedalaman batin.

 

Saya menerima tawaran menjadi penasihat CENAS. Bahkan saya izinkan rumah saya digunakan sebagai kantor awal lembaga ini. Bersama tokoh-tokoh muda seperti Irsyad Zamjani, Agustinus Sudarmanto, dan peneliti Jepang Hisanori Kato, CENAS mulai bergerak, menyusun riset dan membangun jaringan.

 

“Sebuah riset kecil kadang lebih berdampak dalam membangun harmoni, dibandingkan ribuan retorika politik.”

 

Kami turut dalam Dialog Buddhis-Muslim di Bangkok pada tahun 2006. Di sana, bersama tokoh-tokoh seperti Din Syamsuddin dan Dr. Amany Lubis, kami menelurkan Deklarasi Dusit — seruan moral lintas agama untuk meredakan konflik di Thailand Selatan.

 

CENAS juga melakukan riset lapangan di Kasembon, Malang, tentang relasi umat Buddhis dan Muslim. Hasilnya diterbitkan dalam buku “Berpeluh Berselaras: Buddhis-Muslim Meniti Harmoni”, yang kemudian diseminasi ke berbagai kampus dan forum internasional, termasuk di United Nations Day of Vesak Conference, Bangkok.

 

Melihat lembaga kecil ini bisa bekerja sama dengan mitra seperti HIVOS dari Belanda adalah kebahagiaan tersendiri. Saya merasa benih lama telah tumbuh, bahkan jika perlahan.

TRANSLATE