Salam sejahtera bagi kita semua, Namo Buddhāya, tidak terasa satu tahun sudah melewati Vesak Festival sebelumnya dan saya selaku pelindung daripada YBA ini termasuk old buddhist yang pada bulan Maret kemarin melakukan reuni bersama aktivis organisasi pemuda buddhis pertama di Indonesia untuk merayakan 60 tahun Gerakan Pemuda Buddhis Indonesia (GPBI) dan sekarang saya lihat banyak sekali anak-anak muda yang merupakan generasi berikutnya yang melanjutkan usaha-usaha kami pada waktu itu.
Pemuda adalah bibit-bibit yang penting di dalam suatu organisasi terutama saat ini dan pada diorama kelahiran calon Buddha melambangkan the young generation turun ke bumi untuk melakukan sesuatu yang terbaik untuk kemanusiaan, dan yang kedua tidak kalah pentingnya adalah lahirnya seorang Buddha yang kita peringati waktu Waisak. Sukho Buddhānam Uppādo (berbahagialah dengan kelahiran seorang Buddha) karena lahirnya seorang Buddha bukan membawa malapetaka, bukan membawa kesulitan, tetapi membawa kedamaian, ketentraman, dan kesejahteraan bagi semuanya. Karena itulah maka kelahiran seorang Buddha ini kita peringati sebagai hari Waisak, tidak saja dirayakan di Indonesia, kita bersyukur bahwa Waisak sudah ditetapkan menjadi hari libur nasional sehingga dikenal semua orang dan perjuangan para sesepuh daripada para sesepuh kita cukup berat sehingga bisa ditetapkan dan kita tahu bahwa Waisak juga sudah menjadi trademark internasional. Yang diagungkan adalah lahirnya seorang Buddha yang penuh dengan kasih sayang tanpa adanya kekerasan. Sang Buddha sendiri pada akhirnya juga akan mengakhiri usia-Nya. Kita tahu di dalam sejarah kehidupan Sang Buddha bahwa Beliau menyiapkan orang-orang untuk menjadi pengganti-Nya. Oleh karena Sang Buddha melihat Bāhusaccañca Sippañca Vinayo Ca Susikkhito (berpengetahuan luas, berketerampilan, terlatih baik dalam tata susila) bahwa penggantinya itu harus dipersiapkan pengetahuannya, keterampilannya, dan tidak kalah pentingnya adalah etika dan sopan santunnya, maka yang dipilih adalah Sāriputta dan Mahāmoggallāna. Putra tunggalnya, Rāhula maupun ipar Sang Buddha tidak ditunjuk sebagai pengganti-Nya.
Pada menjelang beliau wafat Beliau mengatakan: “yang Saya tunjuk sebagai pengganti Saya adalah Dhamma dan Vinaya itulah yang akan menggantikan saya untuk waktu yang lama.” Inilah pesan-pesan dari Sang Buddha khususnya bagi YBA dan organisasi buddhis lainnya. Pada akhirnya saya pun juga akan mengakhiri usia. Karena itulah bagaimana saya bisa membimbing YBA dan yang lain agar mereka bisa mempersiapkan diri baik dalam Bāhusaccañca (pengetahuan), Sippañca (keterampilan), dan Vinaya (aturan) sehingga menjadi pemimpin yang baik dan bertanggung jawab bukan untuk kepentingan pribadi tetapi adalah kepentingan semuanya.
Semoga kita semua berbahagia, jalan terus, pantang mundur, semoga Sang Tiratana selalu memberikan kekuatan, berkah kepada kita sekalian. Sabbe Sattā Bhavantu Sukhitattā, Semoga semuanya berbahagia.
Namo Śākyamuni Buddhāya, Semoga kita semua selalu berada dalam cinta kasih Buddha dan Bodhisatwa, Vesak Festival yang dilakukan oleh Young Buddhist Association merupakan satu bentuk kerja keras, usaha, tekad, Adhiṣṭhāna yang luar biasa. Kita apresiasi Young Buddhist Association di mana mereka menjalani dengan sungguh hati, baik dari pikiran maupun cinta kasih mereka terhadap ajaran Buddha sehingga kita bisa merayakan gaung Waisak terutama di kota Surabaya. Anak-anak muda buddhis bisa berkumpul, bersatu tanpa melihat perbedaan dan memberikan satu kebahagiaan kepada semua, baik umat Buddha yang hadir dan semua makhluk agar Vesak Festival ini bisa memberikan gambaran bagaimana umat Buddha penuh dengan cinta kasih.
Inilah praktik cinta kasih bukan hanya sekedar ucapan, harus kita praktikkan. Energi cinta kasih ini apabila kita berikan ke semua makhluk, orang-orang di sekitar kita mulai dari lingkungan terkecil, keluarga kita hingga ke lingkungan mana pun kita pergi. Hal ini akan memberikan kedamaian, kebahagiaan bagi semuanya. Sehingga segala rasa kebencian, rasa tidak suka, cemburu, hingga peperangan tidak akan terjadi. Di balik cinta kasih harus diimbangi dengan kebijaksanaan. Āmìtuófó.
Young Buddhist Association of Indonesia (YBAI) merupakan organisasi buddhis yang khusus bergerak dalam perkembangan muda-mudi buddhis di Indonesia. Dengan keyakinan dalam misi penyebaran ajaran Buddha yang melandaskan sifat welas asih dengan kebajikan dengan tujuan mulia agar muda-mudi mampu bertumbuh kembang dengan baik sesuai ajaran Buddha dalam mengatasi segala masalah dan rintangan kehidupan duniawi. YBAI akan terus bertumbuh untuk terlibat dalam perkembangan ajaran Buddha di kancah nasional, mempropagandakan ajaran Buddha kepada muda-mudi dan memberikan sarana dan prasarana latihan jiwa kepemimpinan untuk muda-mudi buddhis Indonesia. Dengan landasan-landasan kuat tersebut, agama Buddha di Nusantara dapat mencatatkan perkembangan yang baik untuk kehidupan umat Buddha dan non-umat Buddha. YBAI secara bertahap akan mengembangkan Buddhisme di Indonesia dengan metode modern dan dapat diterima oleh seluruh elemen masyarakat.
Setiap tahunnya, Vesak Festival membawa tema baru yang relevan dengan kondisi sosial dan spiritual masyarakat. Pada tahun 2025 yang sekaligus menandai sepuluh tahun diselenggarakannya Vesak Festival, Vesak Festival mengusung tema: “Light of Compassion: Guiding the Next Generation” yang berfokus pada pentingnya welas asih dan kepedulian sebagai kekuatan untuk membimbing dan memperkuat generasi muda sebagai tanggung jawab bersama untuk perkembangan umat manusia dan tantangan masa depan dengan prinsip-prinsip Buddhisme. Melalui tema ini, kami berharap dapat menyebarkan nilai kepedulian dan kasih sayang yang menjadi landasan dalam ajaran Buddha, demi menciptakan generasi penuh kasih yang lebih kuat, peduli, dan berkomitmen untuk kebaikan bersama.
Vesak Festival 2025 akan diisi dengan pameran seni, diorama, dan berbagai pertunjukan dari vihara-vihara di Surabaya, Jakarta, dan wilayah sekitarnya. Melalui kolaborasi lintas tradisi buddhis dan berbagai komunitas, Vesak Festival 2025 menjadi wadah untuk memperkuat persaudaraan, memperkaya pemahaman, dan mempraktikkan compassion sebagai dasar kehidupan yang harmonis. Sebagai perayaan satu dekade Vesak Festival, diharapkan Vesak Festival 2025 ini bukan hanya sebuah peringatan, tetapi juga sebuah panggilan untuk memperkuat semangat welas asih dan kebersamaan yang dapat membawa perubahan positif bagi bangsa dan negara, khususnya dalam menciptakan masyarakat Indonesia yang harmonis dan saling menghargai dengan semangat welas asih yang menyala dalam setiap langkah kehidupan.
Di Taman Lumbini, dalam suasana damai alam, Ratu Mahāmāyā melahirkan seorang bayi luar biasa yang dikenal sebagai Siddhārtha Gautama. Legenda menyebutkan bahwa bayi Siddhārtha langsung berdiri dan melangkah tujuh langkah, dengan bunga teratai bermekaran di setiap langkahnya. Beliau menyatakan bahwa kelahirannya bertujuan untuk membebaskan makhluk dari penderitaan dan menyalakan pelita kasih sayang bagi dunia.
Kelahiran Siddhārtha bukan hanya kelahiran seorang pangeran, melainkan hadirnya cinta kasih murni yang akan menjadi cahaya pembebasan bagi semua makhluk. Ini menjadi simbol harapan, welas asih, dan potensi kebuddhaan yang ada dalam setiap insan.
Di bawah pohon Bodhi di Bodhigaya, Pertapa Siddhārtha Gautama bermeditasi hingga mencapai pencerahan sempurna. Beliau menembus tirai kebodohan dan menemukan Empat Kebenaran Mulia serta Jalan Mulia Berunsur Delapan yang merupakan kunci untuk mengakhiri penderitaan. Namun, pencapaian ini tidak disimpannya untuk diri sendiri. Dengan penuh welas asih (karuṇā), Beliau mengajarkan Dhamma kepada semua makhluk demi membebaskan mereka dari penderitaan.
Salah satu manifestasi cinta kasih Beliau yang paling menyentuh adalah saat mengajarkan Abhidhamma kepada ibunya, Ratu Mahāmāyā, di Surga Tāvatiṁsa. Hal ini mencerminkan kasih yang melampaui batas duniawi dan menunjukkan bahwa pencapaian sejati adalah untuk kebaikan semua makhluk.
Di Kusinārā, di antara dua pohon sala yang bermekaran, Sang Buddha memasuki Parinibbāna dengan tenang. Dalam detik-detik terakhirnya, Beliau mengingatkan bahwa segala yang terkondisi adalah tidak kekal (anicca) dan mendorong murid-muridnya untuk terus berusaha dengan tekun. Parinibbāna bukanlah akhir, melainkan pencapaian tertinggi, yakni kebebasan mutlak dari kelahiran dan kematian.
Tidak hanya makhluk yang berada di Bumi, para dewa dari 10,000 Alam Semesta, termasuk Ibu dari Sang Buddha, Ratu Mahāmāyā juga menyaksikan parinibbāna putranya. Ratu Mahāmāyā memahami bahwa perpisahan ini adalah bentuk tertinggi dari cinta: bukan keinginan untuk memiliki, tetapi untuk membebaskan. Kasih seorang Buddha bukan hanya bagi satu makhluk, melainkan mencakup seluruh alam semesta.
Compassion dapat diartikan sebagai welas asih dalam bahasa Indonesia atau sering disebut sebagai Karuṇā di kalangan buddhis. Welas asih merupakan salah satu dari 4 sifat luhur (Brahmavihāra) yang diajarkan Buddha bersama dengan cinta kasih (mettā), simpati (muditā), dan keseimbangan batin (upekkha).
Sifat welas asih ini sangat erat hubungannya dengan kasih sayang, bagaikan seorang ibu yang memberikan kasih sayang kepada anaknya. Berbeda dengan belas kasih, sifat welas asih tidak hanya mengacu ke perasaan iba atau kasihan terhadap penderitaan makhluk lain tapi juga disertai keinginan untuk membantu meringankan penderitaannya. Oleh karena itu, praktik welas asih umumnya mengandung rasa kasihan dan kepedulian untuk membantu.
Berikut merupakan beberapa contoh praktik welas asih dalam aspek kehidupan sehari hari:
| Pendidikan |
|
|---|---|
| Sosial |
|
| Hubungan dengan Alam |
|
| Beragama |
|
| Kepedulian kepada generasi penerus |
|
Ada beberapa manfaat dari mengembangkan sifat welas asih, seperti:
Memandikan Buddha (浴佛yùfó) adalah upacara penting dalam tradisi buddhis, terutama untuk memperingati kelahiran Pangeran Siddhārtha Gautama, yang kemudian dikenal sebagai Buddha Śākyamuni. Upacara ini biasanya dilakukan pada hari Waisak, yang dirayakan oleh umat Buddha di seluruh dunia sebagai hari kelahiran, pencerahan, dan parinibbāna Sang Buddha.
Menurut kitab-kitab Buddhisme, terutama “Lalitavistara Sūtra” dan teks-teks Mahāyāna lainnya, diceritakan bahwa setelah Pangeran Siddhārtha dilahirkan di Taman Lumbini. Beliau langsung berdiri dan berjalan tujuh langkah ke 4 arah (utara, selatan, timur, dan barat). Setiap langkahnya diiringi dengan pertumbuhan bunga teratai, yang merupakan simbol dari kesucian dan kebuddhaan.
Kemudian, Beliau menunjuk ke arah langit serta bumi, dan berkata: “Akulah pemimpin dalam dunia ini, Akulah tertua dalam dunia ini, Akulah teragung dalam dunia ini, Inilah kelahiranku yang terakhir, Tak akan ada tumimbal lahir lagi.” yang dimaknai secara simbolis sebagai potensi tercerahkan dalam diri semua makhluk. Sesudahnya, dua naga turun dari langit dan menuangkan air hangat dan dingin untuk memandikannya. Cerita ini lantas menjadi dasar dari tradisi memandikan Buddha, yang melambangkan penyucian lahir dan batin, serta penghormatan atas kelahiran Sang Buddha.
Dalam semangat Waisak yang suci, kita mengenang salah satu peristiwa agung Sang Buddha, yakni mencapai pencerahan. Setelah Sang Buddha mencapai pencerahan, Beliau naik ke Surga Tāvatiṁsa untuk membalas jasa ibunda-Nya, Ratu Mahāmāyā, dengan mengajarkan Abhidhamma. Peristiwa ini menggambarkan welas asih Sang Buddha yang melampaui dunia manusia. Momen ini menggambarkan Sang Buddha sebagai guru agung yang penuh welas asih membalas jasa orang tua, bukan dengan materi namun dengan kebijaksanaan yang membebaskan dari penderitaan.
Kita dapat menganalogikan kisah ini dalam perjalanan batin kita sendiri: Sang Buddha sebagai guru yang menerangi, Dhamma sebagai cahaya kebijaksanaan, Ratu Mahāmāyā sebagai cerminan cinta kasih tak bersyarat, dan kita semua sebagai pewaris nilai-nilai luhur yang dipraktikkan dalam kehidupan. Dengan menjadikan Dhamma sebagai landasan, kita tidak hanya menghormati ajaran, namun juga menghidupkan kembali hubungan batin dengan para leluhur, orang tua, dan semua makhluk.
“Dengan Dhamma, kita membalas budi. Dengan praktik, kita melanjutkan cahaya yang diwariskan.”
Dalam Buddhisme, relik adalah sisa-sisa fisik atau benda-benda yang diyakini memiliki hubungan langsung dengan Buddha atau makhluk suci lainnya. Relik dianggap sebagai simbol sakral yang merepresentasikan kehadiran spiritual Buddha di dunia setelah parinibbāna. Umat buddhis menghormati relik bukan karena benda itu sendiri, melainkan karena kualitas agung yang diwakilinya—kebijaksanaan, ketenangan, dan terutama welas asih. Melalui penghormatan terhadap relik, umat diajak untuk merenungkan ajaran-ajaran luhur Buddha dan menumbuhkan nilai-nilai kebajikan dalam kehidupan sehari-hari.
Relik juga menjadi pengingat nyata dari praktik compassion yang diajarkan oleh Buddha sepanjang hidupnya. Welas asih dalam Buddhisme tidak hanya berarti merasa iba terhadap penderitaan orang lain, tetapi juga bertindak aktif untuk meringankannya. Keberadaan relik di stūpa atau vihara memicu perenungan mendalam akan pengorbanan dan cinta tanpa syarat yang diperlihatkan oleh Buddha, Arahat, dan makhluk suci lainnya. Dalam semangat ini, relik bukan hanya benda suci, tetapi juga inspirasi hidup bagi para praktisi untuk mengembangkan welas asih sebagai dasar dari semua tindakan, baik dalam hubungan antarmanusia maupun terhadap semua makhluk hidup.
aṅghadāna merupakan praktik berbagi yang dipersembahkan khusus untuk Saṅgha. Berbeda dengan berbagi pada umumnya, dāna yang diberikan pada Saṅghadāna bukan untuk seorang anggota Saṅgha secara individu, melainkan ditujukan untuk Komunitas Saṅgha. Dāna yang diberikan berupa kebutuhan hidup anggota saṅgha atau vihāra, seperti makanan, jubah, obat, kebutuhan vihara, perbaikan vihara, dan lainnya.
Saṅgha merupakan ladang yang tiada tara untuk berbuat kebajikan, ini dikarenakan saṅgha merupakan bagian penting dari pelestarian dan penyebaran ajaran Buddha, sehingga manfaatnya juga akan dirasakan oleh umat. Selain itu, dengan melaksanakan praktik berbagi kepada komunitas saṅgha, kita juga mengurangi rasa ketergantungan pada seorang anggota saṅgha tertentu.
Melaksanakan Saṅghadāna juga memiliki beberapa manfaat sebagai berikut:
Melalui melakukan Saṅghadāna pada Vesak Festival 2025 ini, peserta Saṅghadāna juga turut melakukan praktik compassion secara nyata, yakni mendukung pembangunan dan perbaikan gedung monastik, sekolah tinggi agama Buddha, vihara, serta operasional kehidupan anggota saṅgha di Myanmar yang terkena dampak gempa bumi pada 28 Maret 2025.
Sebagai apresiasi atas kebajikan yang dilakukan, Vesak Festival memberikan Rupang Souviner Saṅghadāna yang berupa Sang Buddha mencapai pencerahan di bawah pohon Bodhi. Rupang tersebut mencerminkan welas asih Sang Buddha demi menolong dan membimbing semua makhluk terbebas dari Saṃsāra dan mencapai penerangan sempurna. Welas asih inilah yang hendaknya kita teladani dan pancarkan ke seluruh penjuru, terutama kepada generasi penerus kita, agar berkembangnya bibit welas asih dan rasa tanggungjawab mereka dalam menjalani kehidupan serta merealisasi tujuan mulia, yakni melestarikan dan menyebarluaskan ajaran Buddha.
Dengan mendukung acara Vesak Festival 2025, para peserta Vesak Festival 2025 juga telah turut berpartisipasi dalam gerakan light of compassion dari Indonesia ke Myanmar. Dana yang dikumpulkan akan disalurkan melalui IBEC Myanmar untuk mendukung pembangunan dan perbaikan gedung monastik, sekolah tinggi agama Buddha, vihara, serta operasional kehidupan anggota saṅgha di Myanmar yang terkena dampak gempa bumi pada 28 Maret 2025.
Penggunaan bunga sebagai persembahan dalam tradisi Buddhis memiliki akar yang dalam sejak masa kehidupan Buddha. Meskipun bunga sedap malam (Polianthes tuberosa) bukan tanaman asli India, makna simbolisnya sejalan dengan nilai-nilai Buddhisme yang telah lama dihormati.
Meskipun bukan tanaman asli Indonesia, bunga sedap malam berasal dari Meksiko dan telah menyebar ke berbagai negara, termasuk Indonesia. Di India, bunga ini dikenal dengan nama: “Rajanīgandha”, yang berarti “harum di malam hari,” sesuai dengan karakteristiknya yang mekar dan mengeluarkan aroma kuat saat malam.
Selama masa kehidupan Buddha, umat sering mempersembahkan bunga sebagai bentuk penghormatan. Tradisi ini berlanjut hingga kini, dengan umat mempersembahkan bunga sebagai simbol penghormatan kepada Tiga Mustika: Buddha, Dhamma, dan Saṅgha.