Dalam ajaran Buddha, kematian dipahami bukan sebagai akhir, melainkan pintu menuju kelahiran kembali. Beberapa tradisi, khususnya Mahāyāna dan Vajrayāna, mengenal masa antara hingga 49 hari, yang mana kesadaran mendiang masih berada dalam proses transisi. Keluarga dianjurkan menjaga suasana batin yang tenang serta melakukan kebajikan, doa, dan pelimpahan jasa untuk menuntun perjalanan mendiang.
Selama periode 49 hari, kesadaran diyakini “menetap sementara”, menghadapi buah-buah karma hingga terdorong lahir kembali. Oleh sebab itu, keluarga biasanya mengadakan doa dan pelimpahan jasa setiap tujuh hari, dengan puncak pada hari ke-49. Walaupun tradisi Theravada tidak menekankan keberadaan alam antara, pelimpahan jasa tetap dianjurkan karena memberi manfaat bagi mendiang maupun yang ditinggalkan.
Tiga pilar utama adalah kebajikan, doa, dan etika. Kebajikan diwujudkan lewat sedekah atau berdana kepada Sangha, doa melalui pembacaan sutra atau mantra yang dilanjutkan pelimpahan jasa, sedangkan etika dijaga dengan ucapan baik, suasana rumah yang tenang, dan persembahan vegetarian. Praktik ini dijalankan hingga hari ke-49, dengan doa dan persembahan mingguan, lalu dipuncaki dengan upacara besar sebagai ungkapan terima kasih mendalam, juga perpisahan, serta mengenang kebajikannya.
Doa singkat yang umum adalah pelimpahan jasa agar mendiang damai dan mendapat kelahiran baik. Keluarga juga bisa mendoakan sebaik-baiknya, melanjutkan kebajikan mendiang, dan meski sedih, tetap dalam kondisi yang tenang, sehingga duka berkurang dan cinta kasih tetap tersalurkan.
Panduan 49 hari bukan semata rangkaian ritual, melainkan latihan batin untuk menyalurkan welas asih dan melepaskan dengan ikhlas. Melalui doa, kebajikan, dan keteduhan, keluarga mendoakan mendiang agar menemukan kelahiran yang baik, sambil melatih diri sendiri untuk hidup dengan hati yang lebih damai.
Leave a Reply