Bab 1

Bab 1

Ayah Bundaku Tercinta

Ayah Sewaktu Muda
Merahnya tanah semakin terlihat membongkah manakala terik panas tidak segera disapa awan yang menggelayut untuk kemudian perlahan angin mengibas-ngibaskan awan menjadi butiran air hujan. Daratan pinggir-pinggir pantai terlihat dipenuhi butiran-butiran air laut mengeras dan memutih. Penglihatan akan menuju ke tempat jauh, bila ingin menggapai peradaban lebih modern, puluhan kilometer jauhnya, yaitu tepatnya di Pelabuhan Ujung, di pinggiran Kota Surabaya. Karena itulah, si jabang bayi yang baru lahir itu diberi nama Raden Panji Sumantri Endro, ayah saya, dan dalam catatan terlahir 29 Maret 1909.

 

Si orok laki-laki itu adalah keturunan asli orang Madura, ayahnya bernama Raden Panji Atmo Endro, putera dari Raden Panji Suromenggolo. Pada situasi peralihan abad baru itu, jika di Belanda mulai bergulir politik etis yang memberi peluang kepada kalangan bumi putera mengenyam pendidikan modern di kota-kota di Belanda, profesi dari Atmo Endro adalah Punggawa dari Kadipaten Bangkalan. Dalam kertas catatan yang ditulis ayah saya, sosok yang demikian membekas pada saya, dalam usia 4 tahun, Sumantri Endro telah terpisah dengan ayahnya itu, yang menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 21 Agustus 1912. Tahun itu artinya masa awal kebangkitan pergerakan pemuda, sebuah fase awal yang mana puluhan tahun berikutnya mendudukkan ayah dan ribuan pemuda lainnya mengisi pos-pos birokrasi di Hindia Belanda. Di Yogyakarta pada tahun yang sama berdirilah organisasi massa Islam, Muhammadiyah, menyusul ormas non-keagamaan Boedi Oetomo yang dicetuskan di Surabaya empat tahun sebelumnya, tepatnya 1908.

 

Sepeninggal kakek, nenek yang bernama Raden Ajeng Imah beserta saudara sekandung lainnya seperti kehilangan sauh yang menjadi tambatan keluarga. Atas inisiatif ibunya berdasar saran-saran dari keluarga besarnya, diboyonglah anak-anak mereka ke Pasuruan, tepatnya di rumah kakak nenek, Raden Ayu Nitiwidigdho. Keputusan itu tidaklah berjalan mulus, dan malah sebaliknya menumbuhkan ketidaksenangan dari pihak keluarga kakek di Bangkalan. Sebenarnya famili kakek dari Bangkalan ingin keluarga ini kembali lagi bersama mereka, akan tetapi nenek bersikukuh menolak. Naluri seorang ibu yang halus tetapi juga keras dalam berpendirian. Merasa bahwa lebih baik menjalani hidup berdekatan dengan saudara-saudara kandungnya di Pasuruan. Penolakan itu berbuah hal yang tidak diinginkan, hubungan persaudaraan antara famili nenek yang Jawa dengan famili kakek yang Madura terputus. Obor kekeluargaan dengan trah Madura menjadi terputus.

 

Waktu terus berubah demikian cepat. Tidak berselang lama, kakak perempuan ayah yang bernama Munah menikah dengan R.B. Satari, pria yang bekerja sebagai guru. Ayah yang kala itu berusia 7 tahun di ikutkan atau ngenger dalam istilah Jawa, ke keluarga kakaknya ini, seterusnya hingga ia tamat sekolah. Tidak
seperti sebagian anak yang langsung dalam pengasuhan ayah dan ibunya, bermanja-manja diiringi canda tawa, ayah yang masih kecil lebih banyak berlatih mendisiplinkan diri. Ayah pun mengakrabi kerja-kerja rumah-tangga seperti menyapu dan mengepel lantai, mencuci serta pekerjaan sejenisnya.

 

Sebagai guru sekolah Hollandshe Inland School (HIS), yang digaji oleh pemerintah Belanda, mengharuskan Satari berpindah-pindah tugas. Kota-kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur merupakan daerah yang pernah disinggahinya, seperti Rembang, Tuban, Jombang, dan Semarang. Ayah-pun mengikuti kepindahan itu hingga dirinya menyabet ijazah kelulusan dari HIS. Kala itu hanya orang keturunan bangsawan saja yang dapat memasuki HIS yang sederajat dengan SMP sekarang. Masa yang terlalu singkat berkumpul bersama keluarga kakaknya. Pada tahun 1923, setelah lulus dari HIS Jombang, oleh kakaknya ia dikembalikan ke Pasuruan, kembali kepada keluarga besarnya, sesuai dengan amanat kakaknya, yang wafat beberapa saat sebelumnya. Harapan bagi ayah untuk melanjutkan sekolah sedikit meredup. Harapan-harapan yang terus menyala-nyala itu hampir padam seiring terbenturnya dengan masalah biaya. Berhubung tidak ada lagi yang membiayai, maka ia tidak bisa melanjutkan sekolah.

 

Khawatir dengan masa depan keponakannya ini, Nyonya Nitiwidigdho berpikir bagaimana agar masa depan keponakannya itu lebih baik. Timbang demi timbang, akhirnya diikutkanlah ayah pada kakak sepupunya, R. Notoatmodjo, yang menjabat sebagai Assisten Wedana Kanigaran (Probolinggo). Di sana rencananya selain mengasuh keponakan-keponakan yang masih kecil ia akan dicarikan pekerjaan.

 

Setelah dicoba beberapa saat lamanya, rupa-rupanya usaha tersebut tidak berhasil dan ia kembali lagi ke Pasuruan. Akan tetapi Notowidigdho menjanjikan dirinya akan dicalonkan sebagai Naib Pengulu (Kantor Urusan Agama) sambil menunggu ketetapan mendapatkan pekerjaan sebagai pembantu juru tulis di Kantor Kotamadya (Gemeente) Pasuruan, dengan gaji 15 Gulden mulai tanggal 3 Februari 1926.

 

Mengelana Sampai Menjadi Pegawai Belanda

Sebab dirasakan kurang pasti setelah beberapa lama, ayah merasakan sendiri masa depannya lebih baik ditentukan dirinya sendiri. Menggantungkan harapan pada orang-orang dekatnya terasa begitu tersiksa dan terombang-ambingkan ketidakpastian. Pendidikan yang pernah dienyamnya di HIS memberikan sedikit gambaran kemandirian pada dirinya. Karena itulah ia memutuskan untuk meninggalkan Pasuruan. Kenyataan lain diterima ayah sebab keputusannya itu sebetulnya kurang disetujui oleh para sesepuh dan sebagian menganggap dirinya congkak dengan keputusan tersebut.

 

Namun ayah pantang surut langkah. Ia selanjutnya pergi ke Surabaya, kota yang lebih ramai perdagangannya ketimbang Pasuruan. Di sana dirinya ditampung sepupu lainnya. Waktu itu, keinginan Ayah untuk bekerja terus membara. Secara kebetulan kakaknya sendiri, R. Udoro Endro (Mas Dol) yang bekerja di Kantor Pajak Surabaya berhenti bekerja di tempat itu untuk kemudian pindah bekerja di PT. Prottel Surabaya. Saat itu gaji dari perusahaan swasta, apalagi milik orang asing sangat tinggi yang tak ubahnya dengan situasi sekarang, jauh berbeda ketimbang menjadi pegawai pemerintah. 

 

Pergi ke bekas kantornya, Udoro Endro mengantarkan ayah melamar sebagai penggantinya. Setelah melewati penyaringan, keberuntungan berpihak pada ayah saya karena dirinya yang diterima. Mulai hari itu, tercatat bulannya Juni 1926 ayah diangkat sebagai pegawai Kantor Pajak Surabaya. Ia menerima gaji 20 Gulden per bulan.

 

Sambil bekerja, ia berpikir bagaimana untuk meningkatkan kemampuannya. Ia mencari-cari informasi untuk dapat mengikuti sekolah lanjutan sepulang dari bekerja. Ia putuskan selanjutnya untuk mengikuti pelajaran di Christelyke Mulo di Surabaya pada sore hari.

Spiritualitas Ayah

Sewaktu remaja ayah diharapkan menjadi seorang penghulu agama Islam dan karenanya disekolahkan di sekolah agama. Namun karena sebab yang tidak pernah diceritakan beliau tidak meneruskan sekolah di sana.

 

Sebagai seorang priyayi ia tidak terlalu taat melaksanakan salat lima waktu seperti halnya sanak familinya yang lain dalam asuhan R.A. Nitiwidigdho, penghulu agama Islam Kabupaten Malang, suatu jabatan prestisius pada jamannya, melainkan lebih menyukai ilmu spiritualitas Jawa yang senang sarasehan tukar menukar kawruh serta menjalankan samadhi menyepi beserta teman–teman seperguruan spiritualnya.

 

Salah satu guru spiritual yang sangat dihormatinya setelah beranak enam adalah Pak Mat (Muhammad) asal Sumatera Barat yang mendalami spiritualitas Jawa. Seringkali beliau memberi ajimat kertas putih ditulis tangan beliau berbentuk huruf Arab ”Alif” yang bermakna Allah.

 

Namun setiap bulan Ramadhan beliau selalu berpuasa dan bila saatnya tiba selalu mengajak saya berjalan kaki menuju ke masjid besar Malang guna mengalap berkah Lailakatul Qadar—Malam Seribu Bintang. Di sana sang ayah dan anak berbincang–bincang tentang makna agung tersebut.

 

Pada waktu–waktu tertentu beliau beberapa malam tidak tidur, menyepi dan pagi hari langsung bekerja di Sidoarjo sebagai kepala kantor keuangan kabupaten (Kontrolir). Kadang–kadang menyepi di Ngliyep, pantai selatan Malang mendengar debur ombak lautan selatan yang konon masuk telatah kerajaan Kanjeng Ratu Kidul ataupun Nyai Roro Kidul.

 

Bagi Ayah yang terpenting dalam hidup ini adalah perilaku terhadap sesama tanpa membeda-bedakan suku, agama, kepercayaan maupun aliran politiknya, seperti nasihat KGPAA Mangkunegoro IV:

“Ngelmu iku kalakone kanthi laku” — ilmu spiritual itu terwujud dalam perilaku sehari-hari.

Sembahyang hanyalah alat atau sarana untuk berperilaku yang baik disamping menyembah Hyang layak disembah. Apa maknanya rajin sembahyang namun berperilaku buruk dan membeda–bedakan sesama. Beliau dengan caranya sendiri juga berdoa dihadapan jenasah yang beragama non-Islam. Kadangkala ada anggota keluarga yang nikah lintas agama yang tidak direstui orangtuanya yang Islam karena bertentangan dengan syariat Islam. Acapkali ayah turun tangan membantu dua anak muda yang dengan kasih ingin melangsungkan pernikahan antar agama. Ayah tidak keberatan menjadi wali pengantin putri yang muslim untuk masuk gereja dalam upacara pernikahan. Undangan–undangan lain dalam gereja pun seringkali dihadirinya tanpa canggung. Ucapnya: ”Masuk rumah pelacuran saja mau, masak masuk tempat ibadah yang suci menolak”. Dalam acara Natal di sekolah kakak perempuan saya juga diijinkan memerankan Santa Maria dalam tablo Natal, Kelahiran Isa Al Masih. Nyatanya sampai kini saudara-saudara saya tidak menjadi Kristen malahan mereka sudah menunaikan ibadah haji ke tanah suci Mekkah, Medinah.

 

Ajaran toleransi dan kerukunan hidup beragama inilah yang diturunkan kepada anak–cucu dan buyutnya. Berpindah agama tidak berarti buruk selama berperilaku yang membahagiakan orang banyak dan tidak merugikan siapa saja.

 

Saya kira ayah berkecenderungan mengikuti paham “Sufi” di mana mereka mengajarkan “cintailah semua dan jauhilah kebencian” (Love to all, Malice to none). Kaum Sufi lebih mengedepankan kesatuan umat manusia, kemanusiaan yang esa serta kesatuan di bawah Sinar Illahi daripada kesatuan di bawah perpolitikan.

 

Mereka lebih menekankan pada isi daripada pakaian, komunitas daripada individu, humanitas daripada identitas, kasih sayang daripada kedengkian. Oleh karenanya orang Jawa mengatakan bahwa:

“Agomo Agem-ageman” — agama adalah sekedar pakaian.

Tujuan mereka bukan meraih kekuasaan dan menjadi pemimpin komunitas melainkan sebagai pelayan masyarakat dan pekerja sosial. Agama di depan publik hendaknya bukan ditampilkan dalam bentuk formalitas namun yang penting adalah hakekat kemanusiaannya.

 

Ajaran inti kaum Sufi adalah kepercayaan bahwa Tuhan berada di mana-mana dan karenanya mereka harus mengasihi dan merawat alam dan semua bentuk kehidupan. Kaum Sufi percaya hanya dengan hubungan yang teguh dengan Ketuhanan (Divine) bukan dengan pikiran, maka diri akan mencapai Penerangan Agung (Enlightenment).

 

Sebagaimana dengan Rumi, seorang Sufi Master, menguraikan: Illahi seperti samudera dan diri kita seperti air terpakai. Hanya melalui laut dan menuju samudera maka air terpakai akan dapat dimurnikan (The divine is like the ocean and self is like used water. Only through entering the ocean, can used water be purified).

 

Kaum Sufi berpedoman “Agamaku adalah Agama Kasih Sayang”. Kemanapun wajahku kuhadapkan hanyalah kasih sayang pada Tuhan. Kasih Sayang seperti sinar surya yang menghangatkan dan memberikan energi pada semua mahluk tanpa diskriminasi, sebuah hati tanpa kasih sayang adalah seperti sebongkah batu saja.

 

Hanyalah melalui paham tersebut maka kita dapat mengembangkan sungai kedermawanan, kesederhanaan, matahari kasih sayang serta bumi kesantunan. Itulah paham Sufi yang juga dianut ayah dalam kehidupan sehariannya.

Ibu, Calon Istri Tercinta Ayah

Tidak diketahui dengan jelas siapa ayah kandung ibu, calon istri ayah, ibu saya. Kakek dari pihak ibu saya ini juga wafat di kala ibu saya berusia dini. Bahasa Jawa yang tepat untuk melukiskannya, “kepathen obor” (obor padam), sehingga sukar diketahui asal usul kakek. Apalagi waktu itu sarana transportasi dan komunikasi sebelum perang sangatlah sukar, ditambah lagi di tahun awal-awal pernikahan ayah ibu, kondisi di bawah pendudukan Jepang yang memporak-porandakan hubungan keluarga. Konon menurut cerita, ayahanda ibu berasal dari bangsawan Jogja. Paman ibu yang bernama Suci, dianggap mempunyai ilmu spiritual yang unggul, yaitu biasa minta tidak diganggu karena akan bertapa di dalam kamar dan hendak berjumpa ibunya di Ambon yang dibuang Belanda mengikuti rombongan Sri Susuhunan Pakubuwono VI.

 

Adapun dari sisi ibu yang lahir 13 Juli 1917 (kini berusia 94 tahun) masih keturunan kesembilan, dari pihak ibunya, dari Kyai Ageng Brondong atau Pangeran Lanang Dangiran, pendiri Kadipaten Surabaya. Eyang buyut ibu adalah Kangjeng Raden Adipati Tjokronegoro IV (menjabat 1863-1901), Adipati Surabaya yang mendapat bintang kehormatan dari Raja Belanda berupa Ridder in de Orde van Oranje Nassau dan bintang Officer in de Orde van Oranje Nassau. Bintang Kehormatan tertinggi bagi kaum bumiputra di kala itu.

 

Gaya Muda dan Mempersunting Gadis Pujaannya

Cerita ayah selanjutnya, setelah dua tahun bekerja di kantor pajak itu, tepatnya pada tahun 1928 jabatannya dinaikkan menjadi klerk dengan gaji 45 Gulden ditambah 5 Gulden tunjangan. Mengejutkan bagi dirinya, ia adalah salah satu pegawai pribumi yang menduduki jabatan itu dan berhak mengikuti pendidikan kursus perpajakan pada sore hari yang diadakan oleh pemerintah Belanda. Lama kursus berlangsung satu tahun. Karena mengikuti pendidikan itu, maka ia lepaskanlah Christelyke Mulo, meskipun waktu itu dirinya sudah mulai duduk di kelas III.

 

Pendidikan perpajakan itu diselesaikannya persis satu tahun, tepatnya tahun 1930 dengan angka yang baik. Belum puas dengan pencapaiannya, ia teruskan dengan mengambil les tata buku A dan korespondensi berbahasa Belanda. Selepas mengikuti pendidikan perpajakan itu, tahun itu pula ia diangkat menjadi klerk kelas I dengan gaji sebesar 77,50 Gulden ditambah 15 Gulden tunjangan ijazah.

 

Karier pun terus melaju seiring dengan tidak henti-hentinya ayah mengasah kemampuannya. Di tahun 1933 setelah dirinya mengantongi 3 ijazah tersebut (pajak, Bon A, korespondensi berbahasa Belanda), kemudian ia diangkat menjadi Commies (komisaris) dengan gaji mencengangkan yaitu 125 Gulden ditambah 50 Gulden. Sebuah pencapaian prestisius yang langka bagi pribumi kala itu.

 

Baginya yang bujangan dan pribumi, gaji sebesar itu sudah tinggi (beras 1 kg seharga 4 sen dan gula 1 kg seharga 7 sen). Sebagai anak muda yang haus akan jati diri, dengan berbekal penghasilan sebesar itu tidak membuat dirinya terlalu ambil pusing. Ia berlaku sekehendak hatinya demi memuaskan kehendaknya seiring dengan pencapaiannya saat itu. Pergaulan dan hobi pun makin bermacam mulai dari main tenis, bola keranjang, dansa-dansi dengan masyarakat Belanda sepuas-puasnya. Tidak hanya itu, ia pun mengenal pakaian lux, kemeja Arrow dan sepatu Robinson, dan lain-lain, juga mentraktir teman-teman Belanda-Indo. Pencapaian ini baginya sekaligus melipur penderitaan hidupnya di masa lalu. Namun belakangan baru disadarinya ia tidak bisa menabung satu sen pun.

 

Berawal dari lapangan tenis pulalah ayah bertemu ibu. Di lapangan tenis, ayah termasuk pemain handal, dan juga seorang pelatih. Salah satu siswinya adalah ibu. Banyak gadis yang dilatih, tetapi pada yang satu ini ayah seakan tidak mau berhenti melatih. Di hati ayah, ada getar-getar aneh setiap ia melatih gadis remaja ini. Sikap gemulai dan anggun perawan ini membuatnya semakin kesengsem dan terpesona.

 

Dorongan untuk menyampaikan perasaan cintanya itu pun muncul. Pada suatu sore, ayah memberanikan diri menyatakan “Aku cinta padamu”, dalam bahasa Belanda. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Ibu menyambut cinta ayah. Diakuinya, bahwa selama ini ibu juga menaruh hati kepada pelatih tenisnya itu. Sore itu bola-bola tenis dan raket seolah menjadi pengisi taman hati yang dipenuhi bunga-bunga. Lantai lapangan tenis dan net menjadi saksi bisu dua sejoli yang tengah terjerat asmara. Awan-awan tampak terlihat mengembangkan senyumnya dan burung-burung mengintip dua muda-mudi ini dari balik rerimbunan pepohonan di tengah kota.

 

Setahun lamanya kedua insan ini saling memadu kasih sambil menjajagi sifat masing-masing. Sebagai keluarga yang ningrat ayah lebih rendah dibanding ningrat ibu, upaya persuntingan itu bukanlah semulus jalan tol. Ayah harus melewati pemeriksaan dari seluruh keluarga dan tetua-tetua ibu. Dari pihak ayah, niat mempersunting ibu tidak ada masalah. Bahkan nenek ayah langsung saja menyetujui untuk melamar. Bersama ibu dan kakaknya, ayah melamar ibunda—ibu. Karena telah didahului pemeriksaan intensif dari keluarga ibu, lamaran ayah mereka ini menjadi tidak masalah. Pada hari itu juga ditetapkan rencana tanggal pernikahan.

 

Pada tanggal 6 Maret 1935 sejak pagi hari, ayah dan ibu disandingkan di pelaminan. Mereka bak raja sehari. Upacara dilangsungkan di rumah orangtua ibu, di Jalan Lawang Seketeng III No. 13 Surabaya. Malamnya dimeriahkan dengan tontonan tayub. Pada hari itu genap usia ayah yang ke-26 tahun dan ibu
18 tahun.

 

Tekanan Hidup Masa Jepang-Agresi Belanda

Sebagai pegawai di kantor pemerintahan Belanda, ayah mengetahui situasi yang berkembang di negeri Belanda. Di tahun 1939 Pemerintah Belanda dilanda kecemasan akan diserang Jerman, sebab pemerintahan Nazi Jerman terus mengancam. Tahun itu juga, dirinya dipanggil masuk pendidikan militer Belanda (calon Vaandrig) untuk pertahanan kota (Staatwacht). Karena itulah, sebagai kenang-kenangan atas masa itu, saya diberi tambahan nama Satriyo, menjadi Herman Satriyo. Saya, yang lahir 1 April 1941. Dalam kesehariannya berdinas, ayah berpakaian lengkap ala militer dan di mana-mana mendapat sambutan hangat dari masyarakat Belanda.

 

Akan tetapi, perubahan dalam hidupnya terjadi untuk kesekian kalinya. Pertengahan 1941 ia berhenti dari tempat kerjanya di Kantor Pajak Surabaya dan tidak lama berselang lalu mendapat pekerjaan sebagai Ass. Boekhonder (pemegang buku) di NV. Borsumij, serta memimpin cabang juga di Jalan Tunjungan, Surabaya. Ia menggantikan pemimpin lama (orang Belanda) yang dipanggil dinas militer. Ayah adalah satu-satunya pribumi kepala cabang dengan membawahi tenaga-tenaga Belanda yang kebanyakan wanita.

 

Melihat situasi di sekitar 1941 itu, pada diri ayah mulai tumbuh rasa prihatin dengan masa depan diri dan keluarga dan bangsanya bakal dalam keadaan perang. Terlihat sekali pemerintah Hindia Belanda dan masyarakat Belanda begitu gelisah. Seiring berlalunya waktu, patriotisme pada pribadi ayah pelan-pelan pun muncul, berkat mendengar uraian-uraian dari grup Partai Indonesia Raya (Parindra), partai bentukan para pemuda terpelajar yang menyuarakan cita-cita kemerdekaan Indonesia, ayah pun lantas menjadi salah satu anggota. Dalam situasi rumit seperti itu, waktu memimpin perusahaan Belanda dalam keadaan genting akibat ancaman perang, ayah banyak menghadapi kesulitan, termasuk juga kesulitan moral. Perang berkecamuk dalam batinnya, antara membela Belanda atau Republik. Dengan keteguhan hati, pada saat di ujung
pilihan ia mantapkan memilih Republik.

 

Situasi lebih serba tidak pasti dan mendekati titik nol peradaban ketika pada tanggal 2 Februari 1942, bom pertama Jepang jatuh di Surabaya. Kota itu pada siang hari sekitar jam 11 diserang pesawat-pesawat terbang Jepang. Pesawat-pesawat itu membombardir membabi buta tanpa kenal ampun. Gedung-gedung besar peninggalan Belanda hancur luluh lantak. Termasuk juga gedung perusahaan tempat ayah bekerja terkena voltroffer hingga menyebabkan enam teman sekerja meninggal. Ia sendiri terluka. Ayah dan beberapa pegawai yang terluka diangkut ke Rumah Sakit Simpang, Surabaya.

 

Ibu dan keempat anaknya waktu itu sudah berada di pengungsian dan tidak mengetahui peristiwa itu. Ia baru mengetahui musibah yang menimpa ayah setelah diberi kabar lewat telepon oleh tetangganya di Surabaya. Lalu, ibu pun mencari ayah di rumah sakit. Akhirnya ibu dapat bertemu dengannya setelah susah payah menerobos barisan L.B.D. Serangan udara itu membuat ayah menderita luka di bagian kepala, muka dan lengan kiri. Setelah diperiksa dan diobati, lantas diperbolehkan pulang untuk istirahat, menghilangkan shock dan memulihkan luka-lukanya.

 

Mengungsi

Roda kehidupan memang terus berputar, seperti petuah Jawa kuno yang dikenal dengan Cakra Manggilingan. Pada suatu saat, sebuah titik berada di atas, di saat lain, tiba-tiba titik itu berada di kemiringan atau justru di bawah. Begitulah situasi jaman yang tepat untuk menggambarkan kehidupan orang-orang seperti ayah dan keluarganya. Semula cukup tenang hidup di bawah pemerintahan Belanda, tiba-tiba harus pontang-panting karena terperangkap peperangan.

 

Berhubung serangan udara bertubi-tubi, maka demi keselamatan keluarga, Soemantri mengambil keputusan untuk mengungsikan keluarganya ke sebuah desa di Kecamatan Kraton, Pasuruan. Di sana terdapat rumah kakak ipar ayah yang bernama Karto, pegawai Dinas Pegadaian. Dirinya yang sebagai seorang yang terkena wajib militer, dilarang meninggalkan kota Surabaya yang dinyatakan tertutup oleh Pemerintah Belanda, sebab dalam keadaan perang.

 

Perjalanan mengungsi ke Desa Kraton (dahulu bekas Kraton Untung Suropati) dekat kota Pasuruan, menggunakan mobil merk Ford Mercury keluaran tahun 1938 pemberian perusahaannya. Perjalanan ke lokasi pengungsian dari Surabaya ke Kraton itu bersama-sama Eyang Jayengkusumo, nenek dari pihak ibu, yang berusia 85 tahun, ibu dan empat anaknya. Perjalanan ke lokasi pengungsian itu diiringi lompatan degup jantung yang terus memburu. Setiap kali ada serangan udara dari Jepang, mobil berhenti, lalu penumpangnya lari masuk ke dalam tempat perlindungan yang sudah disiapkan pemerintah Belanda di beberapa tempat. Setelah selesai (tanda all clear), maka mobil meneruskan perjalanan.

 

Begitulah seterusnya sampai selamat di tempat tujuan. Dalam perjalanan itu rombongan pengungsi ini berpapasan dengan mobil-mobil ambulan yang membawa korban penyerangan udara itu.

 

Situasi betul-betul menegangkan. Karena itu keluarganya tetap terus berada di tempat pengungsian sampai Jepang benar-benar menguasai dan Belanda menyerah. Ayah sendiri setelah mengungsikan keluarganya masih terus berada di Surabaya dengan penuh ketakutan jika sewaktu-waktu ditangkap Jepang, karena statusnya sebagai anggota militer Belanda. Dua hari sebelum Belanda takluk, ia sudah disuruh melepaskan baju militer oleh Belanda. Dengan pakaian sipil, ia melihat masuknya balatentara Jepang dan rakyat menyambut beramai-ramai, ”Banzaai-banzaai!”

 

Lima hari kemudian dirinya menengok keluarganya di Kraton dengan naik kereta api gerobak untuk berkumpul dengan keluarga. Di perjalanan antara Porong-Gempol, dari dalam kereta api ia membaui mayat-mayat membusuk menusuk hidung. Mereka adalah mayat-mayat rakyat, tentara Jepang, dan tentara Belanda. Maklum di tepi sungai Porong terjadi pertempuran demi pertempuran dahsyat dan banyak korban berjatuhan. Ayah sendiri membatin waktu akan melarikan diri keluar kota Surabaya sebelum Jepang masuk, hampir menjadi korban apabila tidak diberi tahu oleh tentara Belanda di Tanggulangin bahwa tentara Jepang sudah ada di daerah Japanan, Gempol.

 

Ayah betul-betul ingin membuang jauh kecamuk pikiran akibat perang. Setelah berkumpul dengan keluarganya, aktivitas ayah selama di pengungsian itu lebih banyak dicurahkan untuk putra-putrinya. Setiap pagi, ia mengantarkan anak-anaknya ke sekolah dengan naik sepeda yang berjarak sekitar 10 KM. Begitulah hari-hari itu dilewatinya, hingga akhirnya Jepang benar-benar angkat kaki dari Bumi Pertiwi.

 

Setelah Jepang pergi, keluarga ini pun mengakhiri masa suram karena pengungsian, dan kembali ke Surabaya. Namun tanpa dinyana, baru beberapa minggu menetap di kota ini dan harapan-harapan baru mulai mekar di dalam kepala-kepala anggota keluarga ini, bom kembali berjatuhan. Kali ini yang menjatuhkan, bukan lagi tentara Jepang, melainkan tentara Belanda dengan pasukan bayangannya, NICA. Saat-saat itu adalah menjelang terjadinya perlawanan hebat arek-arek Suroboyo dalam mengusir Belanda pada tanggal 10 Nopember 1945. Ayah pun kembali membawa keluarganya ke desa Kraton, Pasuruan demi keamanan.

 

Bangun dari Mimpi Buruk

Situasi pasca kemerdekaan itu dirasakan sedikit berubah jika dibandingkan selama pendudukan Jepang. Sukacita kaum-kaum marjinal yang selama ini berpeluh penderitaan akibat kolonisasi pelan namun pasti, menyemburat seiring dengan janji-janji para pemimpin Republik di Jakarta. Semangat antikolonialisme itu mematri tekad pada pemuda untuk mempertahankan Republik dari pendudukan kembali Belanda yang membonceng sekutu.

 

Tekad ayah juga telah bulat, bergabung kedalam Barisan Keamanan Rakyat (BKR) yang bertugas mengurusi pengungsi dari Surabaya dan sekitarnya. Selain mengurusi pengungsi, dirinya juga ditugaskan untuk memantau perahu-perahu rakyat dan komunikasi yang dilakukan NICA. Setelah Komite Nasional Indonesia (KNI) terbentuk, dirinya selanjutnya dipercaya mengurus bagian sosial.

 

Sikap tanpa pamrih dan tanpa kenal lelah yang diberikannya kepada organisasi itu ternyata membawanya untuk menduduki jabatan wakil walikota Pasuruan, tepatnya di tahun 1946. Tidak lama tugas sebagai wakil walikota itu dijabatnya, usai menjalankan tugasnya itu, dirinya diminta pemerintah untuk bertugas di Jawatan Penerangan Kabupaten Pasuruan. Tugasnya adalah memberikan penerangan kepada rakyat tentang situasi yang dihadapi negara seperti penyelenggaraan Konferensi Meja Bundar (KMB) dan Perjanjian Renville.

 

Baginya yang pernah bekerja dengan Belanda, lancar berbahasa Belanda dan memahami kultur orang Belanda, sebenarnya bisa saja hidup enak apabila bersedia kembali menjadi pegawai Belanda. Kenikmatan hidup yang pernah dikecapnya satu dekade lalu bakal bisa diraihnya kembali. Namun era telah benar-benar berubah. Sukacita kaum Republiken menyala-nyala dalam dirinya. Karena patriotisme telah mengental, pilihannya bulat untuk mendukung republik dengan bergerilya bersama pejuang lainnya.

 

Lagi-lagi di tengah kokangan senjata yang siap menyalak baik dari pihak tentara Belanda maupun Republik. Dalam sebuah perjalanan gerilya, dirinya pernah hampir ditangkap Belanda. Kejadian itu berlangsung di daerah Bletok. Tentara Belanda telah mengepung daerah itu, untuk mencari para gerilyawan Republik. Belanda mencari para pejuang yang menyamar menjadi penduduk setempat.

 

Untunglah penduduk desa itu segera menyembunyikan ayah di sebuah kandang kambing. Seumur-umur, baru kali itulah ayah tiduran bersama kambing sampai Belanda tidak mengincar lagi. Selamatlah dirinya dari pengejaran Belanda. Padahal, saat itu Belanda juga menggunakan taktik dengan memeriksa tangan dan kaki penduduk satu persatu. Jika tangannya halus dan kaki tidak melebar (njeber, Jawa), pasti dia bukan petani, melainkan pejuang gerilya. Kontan, Belanda menangkapi orang-orang seperti ini.

 

Perjalanan Republik kala itu benar-benar dipertaruhkan di pundak para politisi dengan kelihaian diplomasi mereka. Perundingan demi perundingan antara pihak Republik dan Belanda dilangsungkan berkali-kali dan negeri yang baru berdiri ini masih sangat rapuh. Pasalnya, Belanda belum benar-benar mengakui kemerdekaan Indonesia sampai di akhir tahun 1949. Setelah dicekam ketidakpastian dan ketakutan selama beberapa lama di jaman-jaman revolusi, akhirnya di awal tahun 1950 Republik Indonesia kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi.

 

Ayah selanjutnya oleh pemerintah diminta untuk bekerja sebagai pengawas keuangan di kantor Kabupaten Sidoarjo. Pada mulanya sesudah revolusi, keluargaku berpindah dari desa Kraton ke kota Pasuruan dan sesudah itu pindah ke Malang menumpang di rumah besar Eyang Notowidigdho yang penuh kasih sayang, di Jl. Talun Lor. Banyak keluarga tinggal di sana atas kebaikan hati beliau. 

“Mangan ora mangan asal ngumpul” — Makan tidak makan asal kumpul.

Pegangan hidup bersama itu melahirkan semangat saling gotong royong, mendukung satu sama lain baik finansial maupun material. Berpegang teguh dalam membina hidup yang harmonis benar-benar membuahkan persaudaraan sejati yang dapat mengangkat harkat dan derajat bersama. Semuanya akhirnya jadi orang yang mengharumkan nama keluarga.

 

Cukup lama ayah mondar-mandir antara Malang-Sidoarjo, dari tahun 1950 hingga akhirnya pensiun tahun 1963. Syukurlah akhirnya beliau mendapat mobil dinas merk Austin of England (AE) yang lebih membuat keluargaku terpandang. Waktu itu kami sudah menempati rumah di Jl. Guntur No.12 sesudah pindah dari rumah di Jl. Kawi, Malang.

 

Setelah pensiun, ayah bekerja di PT. Wartex yang berlokasi di Surabaya. Di perusahaan tekstil ini, dirinya dipercaya menjadi direktur. Pekerjaan itu dijalaninya dari tahun 1963 hingga tahun 1974. Di usia yang tidak muda lagi dan bekerja di Surabaya ini pun, beliau masih mondar-mandir Surabaya-Malang.

 

Demikianlah kegigihan ayah dalam membina keluarganya. Ia pernah mengalami kesuksesan masa muda bersama para pegawai Belanda, kemudian mengarungi masa-masa sulit di bawah tekanan Jepang. Ketika Repubik merdeka, patriotisme menguat seiring pergumulannya dengan kawan-kawan Parindra-nya, dan membuatnya memilih menjadi pejuang dan membangun Republik.

Anggota Keluarga

Setahun setelah perkawinannya dengan ibu, tepatnya pada tanggal 6 April 1936 lahirlah buah hati perempuan jelita yang diberi nama Hermini. Ketika dewasa, Hermini atau lebih akrab dengan panggilan Yu Jeng, menikah dengan Ir. Iskandar Danusugondo pada tanggal 12 Juli 1958. Perhatian yang penuh kepada ayahnya, Yu Jeng diakui anak-anak lainnya paling disayang ayah mereka. Suami Yu Jeng yang lulusan ITB adalah dosen di Fisika Teknik ITB. Menurut ayah, menantu pertamanya ini memegang banyak andil dalam mendukung keluarga. Sekolah yang bagus pada tahun 1960-an hanya ada di kota besar seperti Bandung. Selama kuliah, saya, kakak dan adik-adik tinggal di rumah Iskandar. Selesai satu, masuk satu yang lain. Dari sini tradisi saling membantu antar keluarga dimulai. Setelah anak satu keluar dari rumah Iskandar dan be-kerja, maka rumah anak yang sudah bekerja menjadi tumpuan adik-adiknya yang lain. Begitu seterusnya.

 

Anak kedua juga perempuan diberi nama Hermiati, lahir 10 Januari 1938 di Surabaya. Mbak Henniek, nama kecilnya, menikah dengan Brigadir Jendral Slamet Hidayat. Selanjutnya, anak ke tiga laki-laki lahir di Surabaya 26 Agustus 1939, bertepatan dengan peristiwa penyerbuan Jerman ke Negeri Belanda pada Perang Dunia II. Anak laki-laki ini diberi nama Herman Soedjarwo Endro yang kemudian oleh keluarga dipanggil Mas Henk dan menikah dengan Tenneke Herawati atau Mbak Ting. Saya terkenang, walau kakak pada masa kecilnya bandel, tetapi ayah sangat sayang padanya.

 

Saya, anak keempat lahir di Surabaya pada 1 April 1941, setahun sebelum bala tentara Jepang masuk yang diberi nama Herman Satriyo Endro yang panggilan dalam keluarga disebut Onny. Nama Satriyo diberikan untuk mengingatkan bahwa ayah mereka waktu itu menjadi staatswacht (semacam bela negeri) saat kelahiran anaknya yang keempat ini. Satriyo berarti satria atau prajurit.

 

Semua anak lelaki ayah diberi nama Herman Endro dan yang membedakan hanyalah nama dite-ngahnya. Ia meniru kebiasaan nama orang barat. Nama-nama anak perempuan diawali dengan kata Her.

 

Ada kejadian lucu mengenai kesamaan nama di belakang laki-laki keluarga ini. Saya pada fase kemudian, sejak bekerja di Unilever sampai di Indofood lebih dikenal dengan panggilan Onny. Suatu kali ada seorang staf mampir ke rumah saya di bilangan Petukangan, Jakarta Selatan. Saat itu beberapa kakak-adik tengah berkumpul di rumah saya.

 

Staf itu kemudian bertanya, ”Saya ingin bertemu Pak Endro”, kata staf wanita itu. Spontan yang diajak bicara menjawab, ”Saya, saya”. Lalu keluar yang lain ”Saya juga saya”. Setelah dijelaskan yang dimaksud adalah Endro yang di Indofood barulah kedua orang yang mengaku nama Endro tadi mengatakan, ”Oh, Si Onny”. Suku Jawa tidak biasa memberikan nama orangtua di belakang. Ayah mengatakan bahwa ayahandanya meminta ada nama keluarga bagi keturunannya. ”Ini merupakan wasiat dari mbah kakung (kakek)”, jelas kata ayah di suatu waktu.

 

Dengan diberikannya nama Endro di belakang setiap nama anak-anak laki-laki, diharapkan semua anak, menantu, cucu, sampai cicit-cicitnya ingat asal cikal bakalnya. Menariknya, dari sebelas saudara saya, hanya saya yang memilih agama Buddha setelah dewasa, sementara yang lain beragama Islam.

 

Anak kelima bernama Mochammad Herman Endro. Lahir di Surabaya 19 Maret 1943. Herman kemudian di keluarga dipanggil Harry. Sarjana Elektro yang bekerja di Philips ini menikah pada 18 Juni 1972 dengan Indraswari yang juga lulusan ITB. Kedua-duanya bekerja. Istrinya yang sarjana sipil ITB bertugasdi Bina Marga.

 

Anak keenam diberi nama Hertuti alias Utje. Lahir 15 Maret 1945 lahir di desa Kraton, Pasuruan di kala, ketika dalam pengungsian. Hertuti menikah dengan Drs. Suwarno M. Serad, Kolonel (Purn.) yang kini lebih suka bekerja di Djarum Kudus dengan jabatan terakhir sebagai Direktur.

 

Anak ketujuh lahir 12 Juni 1947 di Pasuruan diberi nama Herman Supangkat Endro. Nama ini ada sejarahnya. Waktu itu ayah sedang menjabat wakil walikota Pasuruan sehingga adik saya diberi nama Supangkat yang artinya pangkat yang indah. Nama kecil Supangkat cukup unik, yaitu Tetet yang menikah dengan dokter Sri Aminahwati yang dipanggil Mimin.

 

Anak kedelapan wanita, lahir di Malang pada 15 April 1949, yang diberi nama Herawati Suci Rahayu atau Yayuk, sebuah nama yang akrab bagi gadis-gadis Jawa. Yayuk menikah dengan Heryanto, S.E.

 

Anak kesembilan diberi nama Herman Hariadi Endro, juga lahir di Malang pada 5 Juni 1952. Diberi nama Hariadi karena lahirnya bersamaan dengan Hari Raya Idul Fitri (hari adi). Hariadi yang ketika kecil dipanggil Didiet ini tamatan Universitas Ahmad Yani, Cimahi. Ia pernah menikah dengan Prapti Utami yang biasa dipanggil Titik Prapti Utami yang beragama Kristen Protestan.

 

Anak kesepuluh diberi nama Prihatini, lahir di Malang 25 Januari 1953. Nama Prihatini tentu saja ada hubungannya dengan rasa keprihatinan. Memang ketika tahun-tahun kelahiran Prihatini, keadaan ekonomi keluarga sedang dalam masa sulit. Prihatini yang punya nama kecil Fience itu menikah dengan dokter Rahayu Imam Santoso.


Anak kesebelas, atau paling bontot diberi nama Heryuni, lahir di Malang pada 29 November 1954. Heryuni yang dipanggil Yuyun itu menikah dengan seorang pemuda asal tanah Pasundan bernama Drs. Aten Waluya. Mereka berkenalan di ITB ketika sama-sama kuliah di Jurusan Seni Rupa. Jumlah anaknya memegang rekor, 6 orang.

 

Cucu paling disayang bernama Miranti, anak tertua Utje. Ia memperoleh perhatian yang lebih dari ayah. ”Sebelum saya meninggal, saya sangat ingin diberi kesempatan mendampingi Mira menikah”, harap ayah ketika di sore hari ketika berbincang ringan. Cucu yang paling beruntung adalah cucu ke-25, bernama Reza. Menurut adat Madura, bila seorang saat berusia 50 tahun memiliki cucu ke-25, maka cucu tersebut memiliki nilai yang tinggi. Sang cucu harus diberi gelang emas meski lelaki.

 

Pernikahan Berlian

Di tahun 1990-an, usia ayah yang sudah di atas 80 tahun dan ibu 70 tahun lebih memang tergolong sepuh. Yang terbayang oleh orang pada usia seperti itu pastilah sepasang kakek-nenek yang renta, berjalan terbungkuk-bungkuk dan tertatih-tatih dengan muka penuh kerut. Akan tetapi bayangan seperti itu akan sirna manakala melihat ayah dan ibu tampil sebagai orangtua yang masih terlihat sehat walafiat, anggun dan memiliki citra mandiri tersendiri. Cara berbusana mereka demikian rapi memberikan kesan welldress diiringi semangat hidup yang menyala-nyala. 

 

Ayah ini paling hobi membaca buku, koran, nonton film dan televisi. Untuk menghindari kejenuhan membaca, kadang ayah dan ibu pergi ke pasar swalayan. Kegiatan itu mereka lakukan berdua. Tidak pernah terbersit rasa takut sedikitpun walau mereka pergi dengan naik bus kota. Kalau anak-anaknya menawarkan kendaraan dan sopir untuk diantarkan, ayah selalu menolak. ”Bukannya apa, kami kan khawatir pada mereka. Ini kan kota besar, bukan Malang”, kata kakak.

 

Padahal semua kebutuhan ayah dan ibu telah terpenuhi, sehingga seharusnya mereka tidak perlu pergi ke supermarket. Namun rupanya mereka ingin pergi berduaan saja. Bukan sekedar ingin berbelanja, tetapi sekaligus ingin berjalan-jalan tanpa merepotkan anak cucu. Bila ke swalayan, yang mereka beli umumnya barang-barang yang kecil. Kalau dikhawatirkan, ayah cuma menjawab, ”Saya masih kuat kok. Mondar-mandir Surabaya-Jakarta-Bandung saja masih saya lakukan”, dalihnya. Akhirnya, semua saudara maklum, ayah sedikit keras. Sejak muda, ayah memang sangat fanatik pada sikapnya yang ingin selalu mandiri.


Ketika merayakan ulang tahun perkawinan yang ke-55 (6 Maret 1990), semua keluarga berkumpul di Semarang. Sebuah pesta kecil diselenggarakan di sebuah hotel di Semarang. Beberapa pelawak dari Solo diundang untuk mengisi hiburan, sementara itu Febry (anak angkat saya) diminta untuk membacakan puisi. Semula ayah memang tidak ingin diadakan pesta. Alasannya, beliau tidak ingin menyusahkan orang lain. Itu memang prinsip hidupnya. Hanya saja karena desakan dan permintaan anak-anaknya, ayah menurut saja.

 

Pesta perkawinan berlian ke-60 pada 6 Maret 1995 rencananya akan diadakan di sebuah hotel berbintang di Jakarta. Namun rencana itu urung. Kondisi kesehatan ayah merosot tajam sejak Januari 1995. Sementara itu, walaupun ibu sudah tiga kali operasi usus dan aorta di Mt. Elizabeth Hospital Singapore namun kondisi ibu masih cukup baik. Dengan kondisi yang mendingan itulah saya memberanikan diri untuk memesan hotel sebagai tempat pesta perkawinan berlian ayah dan ibu. Sayangnya ayah harus bolak-balik ke rumah sakit dan tidak lagi bisa berjalan kecuali tergeletak di ranjang. Sayapun merasa tidak yakin acara pesta perkawinan berlian bisa dilakukan. Pemesanan ruang hotel pun dibatalkan. Acara dilangsungkan secara sederhana tanggal 6 Maret 1995 di rumah saya. Semua anak, menantu, cucu, cicit dan kerabat dekat diundang. Sejumlah bhikkhu Buddha hadir dan diminta untuk memberikan doa-doa pada pagi hari, sementara beberapa ulama muslim diundang siang harinya. Ayah dan ibu sangat ingin berkumpul dengan anak, menantu, cucu serta cicit pada saat perayaan hari perkawinan ke-60. Foto keluarga dilakukan, dihadapan kue tart kecil dengan sebuah lilin dengan angka 60, tanpa kehadiran ayah yang tergeletak di kamar karena fisik
yang tidak memungkinkan.

 

Kondisi Ayah Kritis

Di tengah menurunnya kesehatan ayah, kebetulan pada tanggal 2 April 1995, saya menerima penghargaan dari Sangha Theravada Indonesia (STI) di Vihara Mendut, Mungkid, Muntilan. Anggota keluarga banyak yang hadir termasuk tamu, Marsekal (Purn.) Budiarjo, mantan Menteri Perhubungan, yang mengabadikan peristiwa tersebut.


Setelah acara usai, maka saya mengusulkan kepada keluarga untuk malamnya berkumpul dan berdoa bersama di Candi Mendut guna mendoakan ayah agar tidak menderita terlalu lama atau diringankan penyakitnya. Doa itu dilakukan menurut agama masing-masing. Saya percaya kemanjuran Candi Mendut karena hampir semua tekad dan harapan terkabul setelah diuncarkan di candi ini. Acara ini terlaksana malam itu
dengan syahdu dan baik.

 

Keesokan harinya saya mengajukan permohonan pada Bhikkhu Sombat, bhikkhu Thailand untuk membantu doa guna maksud yang sama. Bhikkhu Sombat meminta saya mengambil jubah baru (simbol badan) dipersembahkan pada beliau dan kemudian oleh beliau diminta digunakan seketika oleh salah satu bhikkhu lain. Sehabis dipakai maka para bhikkhu yang hadir membacakan paritta perlindungan, agar ayah diringankan penyakitnya dan bila kehendak karma, maka proses dapat berjalan mudah dan dapat dilahirkan dalam alam yang membahagiakan. Terjadilah keajaiban karena sesudah acara tersebut lambat laun ayah pulih kembali, sehat, muka segar dan bisa berjalan-jalan di mall serta makan enak. Apakah hal ini mujizat? Hal ini berlangsung selama 140 hari penuh dengan kenangan manis dan ayah bertubuh segar.

 

Ayah Mengakhiri Tugasnya

Pada tanggal 15 Juli 1995, dua hari sesudah ulang tahun ibu ke-78, kondisi ayah mulai menurun lagi dan sering menggigil. Ayah sering mengigau kedatangan teman dekatnya yang sudah almarhum. Hal seperti ini beberapa kali terjadi. Saudara-saudara merasakan sesuatu akan segera terjadi.


Pada Sabtu, 21 Juli 1995, sekitar jam 08.30 WIB ayah sempat mengeluh sakit dan bertanya kepada saya apakah masih bisa mendapat kesempatan hadir pada pernikahan cucunya, Mira di Semarang pada bulan November yang akan datang. Saya menjawab sekedar membesarkan hati ayah, bahwa kesempatan itu pasti ada dan ayah hendaknya tetap terus mau minum obat. Dalam bulan Juli itu, ayah sering istighfar, sehingga pembantu rumah sering merinding mendengar suara itu.


Pada hari Sabtu esok harinya, kondisi ayah bertambah layu, kaki terasa dingin, tetapi badan terasa hangat dan bicaranya mulai kelu. Malam itu dr. Gunawan, dokter Indofood dipanggil untuk mengecek. Setiap hari dokter memeriksa kesehatan ayah yang makin menurun. Dokter juga menyarankan agar keluarga terdekat segera diberi tahu dan datang. Kondisi ayah dapat berubah menjadi koma dan dapat berlangsung berbulan-bulan. Pada tengah malam itu, dokter menyuruh segera di bawa ke rumah sakit. Kakak segera mencarikan tempat dan kemudian ayah dibawa ke RS. Pondok Indah. Dini hari itu kami membawa ayah ke rumah sakit dan mendampingi seraya membacakan doa-doa untuk ayah.


Ayah mendapatkan kamar nomor 401. Satu kamar itu khusus dipesan untuk ayah agar kami bebas menunggui. Dokter menyarankan agar tetap ditunggui orang terdekat. Pagi hari sampai sore kami menungguinya. Ayah dalam keadaan tidak sadar. Menjelang Isya, semua pulang kecuali saya, namun kakak tertua bolak-balik sampai tiga kali ke kamar ayah. Ada saja yang ketinggalan.

 

Karena terserang lapar, anak angkat saya mencari nasi goreng untuk anggota keluarga lain yang masih menunggu. Saya memegang tangan kanan ayah dan membaca paritta dalam hati dan demikian pula Harry, adikkku, memegang tangan kirinya sambil komat-kamit membaca doa Islam. Semua hening sunyi dengan hanya terdengar suara ngorok ayah. Tiba-tiba saya melihat dua kali gelembung udara keluar dari selang ke hidung dan nafas ayah mulai melemah. Saya menutup kelopak mata ayah dengan tangan kiri seraya membaca paritta yang mengingatkan bahwa segala sesuatu tidak ada yang kekal dan pasti kita semua akan mengalami kematian juga (Anicca Vata Sankhara), dengan nada yang sedikit keras. Beberapa saat kemudian Harry segera memanggil dokter untuk datang. Suster datang dan melakukan pengecekan dan salah seorang suster memanggil dokter. Sekali lagi diperiksa dan dokter melepaskan stetoskopnya dan berkata, ”Sudah wafat”.

 

Suster merapikan selimut ayah dan menutup wajah beliau. Saya mendatangi dokter dan suster-suster sambil mengucapkan terima kasih atas segalanya, serta diikuti Harry. Inna lillahi Wainna Ilaihi Rajiun and May He Be Rest in Peace. Beliau wafat pada tanggal 23 Juli 1995. pukul 19.00 WIB sesudah menikmati ulang tahun pernikahan yang ke-60, merayakan ulang tahunnya yang ke-86 dan ulang tahun ibu yang ke-78. Selanjutnya keesokan harinya jenazah diterbangkan ke Surabaya dan dimakamkan di Pemakaman Agung Sentono Boto Putih, Pegirikan, Surabaya.

 

Hari Ulang Tahun Ibu Tercinta

Keluarga sangat bersyukur bahwa pada tanggal 13 Juli 2011 atas berkah Tuhan Yang Maha Esa ibu dapat merayakan ulang tahun ke-94. Suatu usia relatif panjang bagi orang Indonesia. Kondisi fisik dan mental beliau masih sangat bagus. Tiap hari masih membaca harian KOMPAS, berdandan dan melihat TV. Telinganya sangat tajam dan sering ingin dengar pembicaraan orang lain, apalagi bila seseorang berbicara agak berbisik-bisik seakan ia merasa lagi dirasani.

 

Beliau sangat tidak ingin dirayakan ulang tahunnya karena baginya usia tambah hari tambah pendek. Hanya anak-anak dan cucu ingin merayakannya sebagai tanda hormat dan kasih. Kali ini hanya upacara sederhana diselenggarakan dengan pembacaan doa oleh ibu-ibu majelis taklim setempat serta kehadiran para bhikkhu guna menerima dana makanan dari keluarga serta mohon dibacakan paritta-paritta keselamatan
dan kebahagiaan.

 

Beliau selalu mengatakan ingin berusia sampai 100 tahun seperti usia Ibusuri Elizabeth II dari Kerajaan Inggris. Maklumlah beliau pernah tinggal beberapa bulan di London.


Pada saat beliau merayakan ulang tahunnya yang ke-94 pada 2011, beliau mempunyai anak 11 orang yang semuanya masih hidup, cucu 31 orang, cicit 37 orang (satu meninggal dunia) dan canggah 2 orang. Total keturunannya sebanyak 81 orang.


Jasa-jasa beliau sangatlah besar dan tidak dapat dibalas dengan apapun kecuali doa. Semoga Yang Maha Kasih memberkati dan membimbing beliau dalam kehidupan yang lebih baik.

 

Tujuh belas tahun sesudah wafatnya papi, ibu hidup dengan tegar mengayomi anak–cucu–cicit. Sesudah saya menjadi bhikkhu pada tahun 2011 kesehatan ibu menurun karena usia dan bolak balik masuk rumah sakit. Kami sempat merayakan ulang tahun beliau ke-95 tahun pada bulan Juli 2015 dalam suasana sedih melihat fisik beliau yang lemah lunglai serta sangat kurus.


Pada tanggal 5 Agustus kondisi beliau nampak akan berakhir dan saya yang berada di Malang sudah mengikhlaskan beliau melanjutkan kehidupannya yang baru. Rupanya malam itu beliau masih menunggu kehadiran saya, sedangkan 10 saudara kandung lain sudah berkumpul di pembaringan ICU.


Pagi hari saya terbang ke Jakarta menengok beliau yang dalam kondisi koma. Paritta dan dialog spiritual saya laksanakan. Pada kala senja telah menjelang, seluruh anak cucu serta kerabat dan handai taulan telah hadir depan ruang ICU, RS. Persahabatan, Jakarta. Sejenak kemudian tanpa terduga hadir Bhikkhu Dhammasubho Mahathera dan Bhikkhu Cittaguto Thera. Segeralah kita bergegas masuk dan di depan beliau kami bertiga membacakan paritta (doa buddhis) guna melancarkan perjalanan beliau dengan tenang.

 

Sesudah paritta usai dilantunkan maka pada hari Senin tanggal 6 Agustus 2012 pukul 18.50 WIB di hadapan kita semua, beliau wafat dengan senyum. Semua putra-putri beliau ikut menyaksikan kepergiannya. Hanya doa dan isak tangis yang bisa terdengar.


Jenasah dibawa ke rumah Mas Henk, di mana ibu tinggal, guna dilakukan upacara shalat jenasah secara Islam serta umat Buddha memanjatkan Avamanggala paritta, upacara duka.


Keesokan harinya pada pukul tujuh pagi jenasah dibawa ke bandara guna diterbangkan ke Surabaya untuk dimakamkan sebelah ayah terkasih pada pukul dua siang di pemakaman keluarga Botoputih.

 

Sampai jumpa ayah bunda pada kehidupan lain…

Sumber: Jayamedho, Bhikkhu. Menapak Pasti: Kisah Spiritual Anak Madura. Edisi Revisi. Jakarta: Penerbit CENAS, 2015, Bab 1 “Ayah Bundaku Tercinta”, hlm. 4–26.

TRANSLATE