Bab 2

Bab 2

Pribadiku yang Dirasa Unik

Berdarah Madura-Jawa, terlahir dari keluarga priyayi meminjam pengelompokan Clifford Geertz, di mana masyarakat terdiri dari tiga strata, priyayi (umumnya abangan), santri dan kawula. Aku dilahirkan di ambang kejatuhan kejayaan bisnis dan pemerintahan Belanda di Bumi Pertiwi. Situasi seperti itu begitu menyulitkan ayah yang terancam kehilangan pekerjaan sebab keharusan mengikuti Staatswacht dan mengangkat senjata.

 

Dalam situasi serba tidak menentu dengan ancaman serangan Jepang ini adalah saat-saat kelahiranku ke dunia yang diberi nama Herman Satriyo Endro di Surabaya, 1 April 1941. Mengacu pada silsilah keluarga besar saya yang tertulis dalam buku ”Perkawinan Berlian, 60 Tahun Soemantri dan Soesiati” serta tulisan tangan ayah disebutkan, nama Satriyo diberikan di tengah-tengah namanya untuk mengenang ayah ketika bertugas sebagai militer di Staatswacht (semacam Wamil) di saat kelahiran putra keempatnya itu.

 

Seperti biasa dalam keluarga Belanda, nama-nama panggilan selalu lebih pendek daripada nama aslinya. Untuk hal ini, bocah kecil itu memiliki nama panggilan akrabnya yaitu Onny. Nama ini tidak ada arti, kecuali hanya panggilan kesayangan semata. Seluruh keluargaku mengenalnya dengan nama ini. Namun seiring tumbuh dewasa ketika di pendidikan dan memasuki jenjang karier, nama Endro lebih sering disematkan pada panggilan resmi sebagai nama keluarga.

 

Situasi di sekitar kelahiranku memang terbilang masa-masa sulit. Seperti telah digambarkan di Bab 1, saya dilahirkan di ujung karier ayah sebagai pegawai perusahaan milik Belanda. Akan tetapi dilahirkan pada tahun itu berarti juga di saat Belanda dan sekutunya berada dalam tekanan pasukan Jepang. Saya yang masih sangat kecil ini pun dipaksa lari ke pengungsian dengan kakak dan adik. Masa kecilku benar-benar dihabiskan di pengungsian.

 

Mbah Sumodihardjo

Saya tidak pernah mengenal nenek karena sudah wafat sebelum aku lahir. Yang aku anggap nenek adalah bibi dari ibu yang bernama Mbah Sumodiharjo atau sering kita sebut Mbah Sumo saja. Yang mengasuhku sejak lahir sampai aku menjabat manajer di Unilever Indonesia, Surabaya. Karena terjadi penyerangan Belanda ke Surabaya maka Mbah Sumo yang selalu melindungi diriku dari serangan bom. Dipeluk dan digendongnya aku dengan topi panci berlindung di kolong tempat tidur, meja makan ataupun di balik lemari baju guna terhindar dari percikan bom Jepang. Kakak-kakakku diselamatkan oleh ayah dan ibu.

 

Saya sering ditimang-timang Mbah Sumo ini. Di tengah timangan tersebut pernah terlontar dari mulut beliau, kelak si kecil itu menjadi jekso (jaksa). Begitu pula di kala remaja, keengganan saya menggunakan bahasa Jawa Kromo Inggil kepada beliau, dikatakannya seperti perilaku wong budo. Saya baru sadar, belakangan komentar iseng beliau itu menjadi kenyataan.

 

Harapan beliau saya bisa menjadi jaksa, memang bukan menjadi jaksa, tetapi menjadi sarjana hukum menjadi kenyataan dan selain itu aku juga memeluk agama Buddha. Komentar-komentar spontan orang tua seperti ini yang sebetulnya bukan dimaksudkan sungguh-sungguh oleh pengucapnya, namun tidak jarang terwujud benar-benar di kemudian hari.

 

Komentar atau tepatnya keinginan spontan dari Mbah Sumo yang lain kepada saya adalah kalau beliau ingin menghembuskan nafas terakhir di tangan saya dan juga saya yang harus memakamnya. Benar juga pada usia 96 tahun, beliau menghembus nafas terakhir di tangan saya dan keinginan dimakamkan olehku pun terwujud. Saya persis berada di sisinya sambil memegang tangan beliau waktu menghembuskan nafas terakhir teriring paritta suci sendirian didampingi dokter perusahaan di Rumah Sakit Karang Menjangan Surabaya. Di liang lahat, saya juga turut menurunkan jenasahnya guna memenuhi wasiat beliau.

 

Kepercayaan para orang tua adalah kita harus berhati–hati dalam berbicara yang kemungkinan bisa terwujud. Jagalah ucapan kita hanya yang positif saja dan hindarkan yang negatif. 

 

Bertambat di Kota Dingin

Saya terus mengikuti kepindahan keluarga, termasuk ketika kemudian pindah dari Pasuruan ke Jl. Talun Lor No. 22, Malang di tahun 1948 bersama keluarga–keluarga lain yang kembali dari pengungsian. Waktu itu kota ini masih terasa dingin, sesuai dengan sebutannya kota berhawa dingin. Orang yang pernah merasakan dinginnya kawasan ini pada jaman itu, pasti merasakan iklim yang berbeda di era sekarang. Setahun kemudian, saya masuk di sekolah dasar, tepatnya di SD Kauman, Malang dan tamat tahun 1956. Sekarang ini termasuk SD favorit di kota Malang.

 

Selanjutnya kami pindah ke Jl. Kawi untuk beberapa tahun dan kemudian pindah
ke Jl. Guntur 12 yang lebih elit. Dahulu kawasan ini hanya boleh dihuni oleh orang Belanda saja. Saya melanjutkan sekolah di SMP Katolik St. Joseph, Jl. Oro-Oro Dowo tidak jauh dari rumah sehingga cukup jalan kaki saja. Para frater Jesuit Belanda yang mengasuh sangat perhatian padaku, di antaranya yaitu Frater Vianney, Kepala Sekolah yang mempunyai hobi memelihara berbagai macam ular. Seorang frater Belanda yang lain sangat memberi kepercayaan padaku guna mengelola buku-buku perpustakaan, sehingga diperbolehkan meminjam dan membawa pulang beberapa buku bacaan.

 

Lebih penting lagi daku mendapat pelajaran agama Katolik yang diberikan sendiri oleh Uskup Malang yang berkebangsaan Belanda, Mgr. Albers. Hal ini sekarang mustahil terjadi seorang uskup langsung mengajar agama kepada anak SMP. Kesanku yang sulit dikelupas adalah bahwa para frater dan pastor Belanda tersebut memiliki kasih sayang yang cukup melekat di hati, tanpa membedakan suku, ras dan agama anak didiknya yang juga beragama Islam dari berbagai suku bangsa. Tidak ada sebetik niat mereka untuk mengkatolikkan anak didiknya. Semakin kuatlah kesan itu bahwa kemudian ternyata semua adik dan kakak saya bersekolah di sekolah Katolik, namun juga tidak ada yang beragama Katolik.

 

Rumahku di Jalan Guntur tepatnya berada di belakang Gereja Katedral Malang, sehingga setiap akhir misa minggu pagi, ayah telah siap menghadang para frater untuk diajak mampir ke rumah guna dijamu dengan minuman anggur (wine) dan cerutu import merek Willem II. Mereka berbincang-bincang dalam bahasa Belanda dengan asyiknya. Sering kali mereka menyampaikan secara seloroh pada ayah tentang perilaku kami di sekolah. Kontan saja, begitu para frater itu pulang, kenalah kami dengan kemarahan atau pujian.

 

Pada waktu di SMP ini saya belajar menari (joged) gaya Jogja bertempat di kediaman dokter Surodjo di Jl. Sukun, yang memiliki beberapa gadis cantik, di bawah asuhan Krido Bekso Wiromo, dalam pengayoman Keraton Yogyakarta. Seringkali pentas di pendopo Kabupaten Malang dan pernah juga berpentas di Kota Jember. Sayang kedua orangtuaku sangat jarang menghadiri pentasku karena mereka kurang menyukai gaya Jogja yang dikatakannya dalam menari meloncat-loncat seperti kuda. Sangat berbeda jika dibandingkan dengan gaya Surakarta yang halus dan indah menawan. Di situlah letak perbedaannya. Bahwa Jogja harus berbeda dengan Solo (waton bedo) meski sama-sama Jawa, beda dalam tarian, bentuk wayang kulit serta keris. Dalam pentas aku selalu mendapat peran tari halusan seperti Arjuna, Abimanyu serta peran begawan atau pendeta. Aku satu–satunya anak yang menyukai wayang, baik wayang orang maupun wayang kulit beserta falsafah yang melatar belakanginya.

 

Setelah lulus SMP, kulanjutkan ke SMA I yang lokasinya berada di pusat kota yaitu Alun-Alun Bunder, Malang jurusan C (Sosial) bersama-sama Henk, kakakku. Karena sama tingkat namun beda kelas, maka guna menghemat biaya sekolah, saya masih ingat benar, kami hanya memiliki satu macam buku saja, sehingga setiap kali satu pelajaran selesai, maka kami harus lari ke kelas lain guna menyerahkan buku pelajaran tersebut ke Henk dan demikian sebaliknya. Pada waktu menginjak kelas 2, terjadilah sedikit perubahan yaitu SMA I dipecah dua, satu bagian tetap di Alun-Alun Bunder dan satu lagi dipindahkan ke Kota Lama, dengan nama SMA IV, dengan mengambil tempat di bekas sekolah Cina yang disita pemerintah karena sekolah Cina semuanya harus ditutup. Saya masuk ke SMA IV sedangkan Henk tetap di SMA I.

 

Saya berkelakar, ”Kita tidak bisa lagi tukar-tukaran buku pelajaran, hahaha…”

Keluarga Islam Jawa

Tradisi keagamaan dalam keluarga tidaklah terlalu ketat, seperti layaknya keluarga priyayi. Kondisi demikian ini membentuk ruang kebebasan lebih luas dalam keluarga, tidak terkecuali soal keyakinan agama. Tradisi keyakinan dalam keluarga begitu moderat. Karena itu, sejak daku mengenal agama, dirasakan semacam perasaan penolakan terhadap ritual keagamaan yang dirasakan belum sesuai rasionalitasnya. Kebetulan ayah seorang priyayi yang sekaligus penganut Kebatinan Jawa atau Kejawen (Javanese Religion). Ayah sering pergi menyepi ke Gunung Kawi atau pergi ke pantai Laut Selatan. Sewaktu Tetet, adikku sakit keras dan badannya kurus kering nyaris lumpuh meski sudah berobat ke dokter terbaik di Malang, ayah pergi menyepi ke Gunung Kawi. Konon, ayah mendapat wangsit agar mengobati Tetet dengan air kelapa hijau. Benar juga, sepulang dari Gunung Kawi itu, air kelapa diminumkan ke Tetet secara regular dan sembuhlah adikku tersebut.

 

Sewaktu sekolah di SMA IV, daku mendapati persoalan ritual keagamaan yang bagiku membingungkan. Persoalan itu di lontarkan kepada guru agama Islamku. Aku bertanya kepada beliau: “Kalau sudah berwudhu, mau salat kemudian tiba-tiba kentut, dikatakan harus wudhu lagi. Mengapa harus wudhu lagi, bukannya cebok saja. Bukankah yang kotor berada di daerah anus, bukan di wajah dan sebagainya.”

 

Mendapati pertanyaan mendadak itu, kontan saja guruku marah. Tampak sekali guru agama itu tidak suka mendapat pertanyaan seperti itu. Padahal sebetulnya saya hanya bermain-main dengan logika saja. Aku merasa tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan dari beliau atas pertanyaan yang berangkat dari nalar tersebut. Melihat kemarahan tersebut, sejak saat itu enggan mengikuti pelajaran agama Islam di sekolah. Kebetulan pelajaran agama bukan pelajaran wajib di sekolah kala itu. Kejadian itu dirasakan sangat berbeda dengan para frater yang mendampingi di kala SMP yang penuh kasih sayang dan perhatian.

 

Sewaktu usia muda ini, saya juga mulai tertarik dengan dunia filsafat Jawa. Kucari beberapa literatur tentang filsafat Jawa antara lain yang kutemukan Serat Tripama. Serat Tripama adalah karya Jawa klasik berbentuk puisi tembang Dhandanggulo yang kesohor ditulis oleh KGPAA Mangkunegoro IV sebagai petuah kepada para pangeran, kesatria dan prajurit agar meniru perilaku dari:

  1. Patih Suwanda dari Maespati yang besar jasanya dalam kepandaian, kekayaan dan kemauan yang teguh dipegang sesuai dengan trahnya sebagai manusia utama.
  2. Raden Kumbakarna dari Alengka yang berprinsip ”Right or wrong is my country” yang selalu membela kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi sehingga gugur di medan laga secara terhormat.
  3. Adipati Karna dari Awangga yang membalas budi rajanya yang telah memberi derajat, pangkat dan kenikmatan duniawi, sehingga ia gugur sebagai pahlawan utama.

Juga saya terkesan dengan Serat Wedhatama yang ditulis oleh Sri Susuhunan Paku Buwono IV tahun (1768-1920). Di serat itulah kita diajari bagaimana menghadapi kerasnya kehidupan. Setiap manusia ini diberi kodrat hidup di dunia ini sebagai seorang kesatria. Yang dimaksud Kesatria adalah seseorang yang harus berani menghadapi hidup meskipun berat ataupun ringan, walaupun dijaman keemasan atau jaman resesi ekonomi. Kita semua sebagai kesatria wajib untuk menjalani kodrat hidup yang sudah digariskan Yang Maha Kuasa atau Hukum Karma hingga akhir cerita kehidupan.

 

Dalam menghadapi hidup diperlukan ketulusan. Ya, memang hidup ini penuh dengan masalah. Tetapi seberat apapun masalah itu, kita perlu ketulusan untuk menghadapinya. Ketulusan itulah yang diajarkan pada kita lewat Serat Wulangreh.

 

Juga piwulang dari KGPAA Mangkunegoro IV (1811) dalam Serat Wedhatama adalah:

”Ngelmu iku kalakone kanthi laku. Lekase lawan kas, tegese kas nyatosani, setyo budoyo pangekese dur angkoro”

artinya Ilmu spiritual itu terwujud dalam perilaku, dimulai dengan kemauan; kemauan membawa sentosa; budi setia penghancur nafsu angkara.

 

Saya juga masih mengingat ujaran-ujaran Ki Ageng Suryomentaram (1892-1962). Filsuf Jawa ini adalah putra Sri Sultan Hamengku Buwono VII. Kisah hidupnya hampir mirip seperti Buddha Gotama. Sebagai pangeran, ia tidak nyaman dengan kehidupan istana. Akhirnya ia meninggalkan kehidupan istana dan memilih hidup sebagai pedagang, penggali sumur, hingga petani dan tinggal di Desa Bringin, dekat Salatiga. Kehidupannya penuh dengan pengembaraan untuk merenungkan seluk-beluk jiwa manusia, lalu mengajarkan kepada orang-orang kecil. Ki Ageng Suryomentaram meninggalkan warisan yang sangat berharga yaitu Kawruh Pangawikan Pribadi atau yang sekarang lebih dikenal dengan sebutan Kawruh Jiwa, sebuah ajaran untuk melepaskan segala atribut keangkuhan, mendekatkan pada kesederhanaan dan kerendahatian. Ilmu yang diajarkan itu adalah ”Kawruh Bejo” (Ilmu Bahagia).

 

Ajaran beliau cukup dalam tentang diri dan jiwa serta tanpa ”Aku” yang mirip ajaran Buddha tentang anatta (tanpa diri).


Seringkali kita mengalami konflik dengan pasangan, teman sekerja ataupun teman sejawat. Seringkali konflik itu mencerminkan konflik yang ada dalam diri kita sendiri. Pada saat seseorang sedang konflik dengan dirinya sendiri dia akan mudah menjadi marah, merasa terkuras energinya dan kehilangan kedamaian.

”Adalah sulit untuk berdamai dengan orang lain, pada saat kita sendiri tidak mampu berdamai dengan dirinya sendiri. Bila kita bersedia menyembuhkan konflik dalam diri kita sendiri, konflik dengan pasangan kita pun akan disembuhkan.”

Beliau menjelaskan tentang ciri kehidupan yang selalu owah-gingsir (serba berubah-bergeser) antara senang atau puas dan susah atau tidak puas silih berganti tiada putus.

”Jadi teranglah bahwa keinginan itu jika tercapai tidak menyebabkan bahagia, dan jika tidak tercapai menyebabkan duka. Kenyataannya ialah senang dan susah itu tidak berlangsung terus–menerus. Sepanjang hidup manusia sejak kanak-kanak sampai tua, belum pernah mengalami senang selama tiga hari tanpa susah, atau susah selama tiga hari tanpa senang. Pengalaman semacam itu tidak akan terjadi dan tidak mungkin dialami.”

Beliau juga menekankan bahwa susah-senang adalah didasarkan atas keinginan; dan keinginan itu selalu mulur mungkret.

 

Demikian pula dengan rasa susah pun tidak tetap, karena susah itu disebabkan karena tidak tercapainya keinginan yang berwujud tidak enak, menyesal, kecewa, tersinggung, marah, malu, sakit, terganggu dan sebagainya. Padahal keinginan itu bila tidak tercapai pasti mungkret (menyusut), dalam arti bahwa apa yang diinginkannya itu berkurang atau menyusut, baik dalam jumlah maupun mutunya, sehingga dapat tercapai, maka timbullah rasa senang. Jadi rasa susah itu tidak tetap.


Bila keinginan yang mungkret itu juga masih tidak terpenuhi maka ia akan mungkret terus sampai dalam tingkat yang bisa digapai.


Beliau berkata:

”Maka sifat keinginan itu sebentar mulur, sebentar mungkret, sebentar mulur, sebentar mungkret. Hal inilah yang menyebabkan mengapa rasa hidup manusia sejak muda hingga tua, pasti bersifat sebentar senang sebentar susah, sebentar senang, sebentar susah”.

Beliau juga menekankan perilaku utama orang Jawa yaitu Mawas Diri (instrospeksi) dengan tingkatan–tingkatan:

  1. Mulat Sarira, lebih dari mawas diri, di mana manusia menemukan identitas yang terdalam sebagai pribadi,
  2. Nanding Sarira, di mana seseorang membandingkan dirinya dengan orang lain dan mendapatkan dirinya lebih unggul (dalam perilaku terpuji),
  3. Ngukur Sarira, di mana seseorang mengukur orang lain dengan dirinya sendiri sebagai tolok ukur,
  4. Tepa Sarira, di mana seseorang mau dan mampu merasakan perasaan orang lain,
  5. Mawas diri, di mana seseorang mencoba memahami keadaan dirinya sejujur–jujurnya.

 

Guru spiritual Jawa keempat yang memengaruhi diri muda saya adalah piwulang R.M. Sosrokartono (1877-1952), adik kandung R.A. Kartini yang pernah belajar di negeri Belanda. Nasihat spiritual yang sangat populer di masyarakat Jawa yang diingat sampai kini yang bisa dijadikan pegangan hidup untuk meraih bahagia adalah sebagai berikut :

”Sugih tanpa banda, Digdaya tanpa aji,
Nglurug tanpa bala, Menang tanpo ngasorake,
Trimah miwah pasrah, suwung pamrih, tebih ajrih
Langgeng tan ono susah, tan ono bungah,
Anteng manteng, sugeng jeneng,
Durung menang yen durung wani kalah,
Durung tunggul yen durung wani asor,
Durung gede yen durung wani cilik”

Artinya:

Kaya tanpa harta. Sakti tanpa ajimat.
Menyerbu tanpa pasukan. Menang tanpa merendahkan,
Menerima dengan pasrah. Sepi dari rasa pamrih,
Jauh dari rasa takut. Selamanya tiada perasaan susah,
Tiada perasaan gembira. Tenang dalam menghadapi sesuatu.
Belum menang bila belum berani menghadapi kalah,
Belum unggul bila belum belum berani rendah,
Belum menjadi besar bila belum berani menjadi kecil.

Cukup lama mutiara–mutiara ajaran spiritual ini meresap dalam lubuk hati saya tanpa dikembangkan lebih lanjut. Butir–butir ini nantinya akan bertemu kelak dalam ajaran Buddha.

 

Masuk Perguruan Tinggi

Selepas SMA tahun 1960 itu dengan bekal ijazah saya sebetulnya diterima di Universitas Airlangga, Surabaya dan Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta. Yang kupilih adalah UGM karena ingin dekat dengan pusat budaya Jawa serta Borobudur guna mengenal lebih jauh dengan agama Buddha. Namun upaya itu
sia-sia karena yang kutemukan hanyalah abu ajaran Buddha di kelenteng Gondomanan, Jogja. Selama setahun, tak kunjung mendapatkan pengetahuan berarti tentang agama Buddha dan Kejawen. Malah yang muncul adalah kenangan saya menjadi rujukan teman kuliahku tentang Islamologi dari Prof. Meester Notosusanto khususnya dalam memecahkan hukum waris Islam. Dari Profesor inilah aku mengenal sangat dalam dengan Hukum Syara’ Islam serta sejarah perkembangan agama Islam. Salah satu yang juga saya kuasai adalah literatur ”Memelihara Kesehatan Menurut Hukum Syara’ Islam”.

 

Pengalaman itu tidak pernah hilang dari benak. Aku juga sangat terkesan dengan Hukum Adat (Jawa) yang diuraikan oleh Prof. Meester Djojodiguno. Banyak istilah-istilah Jawa yang baru kukenal seperti pengawikan untuk pengetahuan, uger-uger untuk norma. Demikian juga dengan mata kuliah Filsafat yang diajarkan oleh Prof. Meester Notonagoro. Saya kini sambil tersenyum mengenang, ”Wah jaman sekarang tidak ada Profesor yang mengajar mahasiswa semester satu dan dua”.

 

Pergaulan selama setahun tersebut sampai kini masih bertaut dalam bentuk paguyuban SUID (singkatan dari Suwidak alias tahun ’60 dalam bahasa Jawa) yang setiap tahun berkumpul, bercengkerama. Mereka berhasil menjadi orang yang berguna di Tanah Air dalam berbagai profesi.


Pada tanggal 15 Juli 2010 lalu teman–teman SUID merayakan persahabatan mereka (Golden Anniversary) dengan berkumpul bersama di Jogja. Suatu kenangan yang indah karena kami saling mendukung dan saling menghargai satu sama lain. Beberapa teman kami kenang karena sudah wafat, namun ada juga yang hadir dengan kondisi fisik yang memprihatinkan karena terkena stroke.

 

M.I. Hidayat sangat mengenal diriku, seorang mantan Letnan Angkatan Laut yang kemudian banting setir menjadi professional yang kelak bersama-sama di Unilever. Ia mengenalku sejak sama-sama kuliah di Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta tahun 1960. Kami diplonco bareng dalam satu regu, begitu juga di-tentir (belajar kelompok) bersama dalam satu regu. Cerita Hidayat, saya dulu di UGM dikenal dengan julukan “Bayi Tuwo”, karena wajahnya yang putih dan pipinya yang kemerah-merahan. Perjumpaan itu memang hanya sebentar, seiring setahun kemudian saya lalu pindah ke Universitas Padjajaran, Bandung. Hidayat merasakan kecocokan berdebat dan bercanda denganku, baik ketika masih sama-sama di UGM, maupun nanti setelah bertemu kembali belasan tahun kemudian di Unilever.

 

Pada liburan akhir semester dua tahun 1961, saya berlibur ke Bandung menemui kakak yang tinggal di Bandung serta Henk yang kuliah di Fak. Ekonomi, Unpad. Olehnya aku diajak keliling kota Bandung, melihat Kampus Unpad dengan mojang Priangan yang aduhai dan berkulit langsat. Rumah kakak yang bersuamikan dosen ITB, Ir. Iskandar Danusugondo bertingkat dua dan listrik menyala terang tidak seperti di Jogja yang kelap-kelip. Aku pun bimbang dan pada waktunya aku harus memilih, kuputuskan melamar di Unpad dan kemudian kembali ke Jogja untuk menyelesaikan ujian akhir tingkat propadeuse (pertama).

Pindah Ke Unpad

Karena itu, hanya setahun saja kulewatkan kuliah di UGM, kemudian tahun berikutnya, 1961, pindah ke Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (Unpad), Bandung yang dengan mudah menerima saya hanya dengan menunjukkan ijazah SMA tanpa memberitahukan bahwa saya sedang kuliah di UGM. Maklum waktu itu suasana kesukuan masih melekat di Unpad.

 

Di Bandung yang mayoritas mahasiswanya orang Sunda malah mereka mempunyai organisasi DAMAS (Daya Mahasiswa Sunda). Buat saya hal ini sungguh aneh, karena selama ini tidak ada organisasi mahasiswa Jawa di mana pun juga. Karena itu teman-teman Jawa secara mengejek menamakan dirinya anggota SAMAD (Syarikat Mahasiswa Jawa). Oleh sebab itu saya selama 5 tahun di Bandung tidak lancar berbahasa Sunda.

 

Sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Univeristas Padjadjaran, saya juga ikut dalam kegiatan kemahasiswaan yang bersifat nasionalis non-kesukuan. Di tengah kesibukan kuliah dan belajar agama Buddha, saya masih menyempatkan diri ikut bergabung dengan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) cabang Bandung. Teman seangkatan yang aktif di organisasi mahasiswa nasionalis itu antara lain Guntur Sukarnoputera dan Suryadi (mantan Ketua Umum PDI). Walaupun di tingkat cabang, hal ini tidak menghalangi untuk bergabung dengan elemen mahasiswa lainnya dalam mendukung langkah Bung Karno. Karena itu, saya pun turut berdemonstrasi di depan Kedutaan Inggris di Jakarta terkait dengan dokumen Gilcrist yang menghebohkan saat itu.

 

Untuk mengasah kemampuan dalam belajar, saya juga memanfaatkan waktu luang dengan mengajar mata pelajaran Civic (Kewarganegaraan) di Sekolah Analis ITB, Bandung, antara tahun 1964 hingga tahun 1966. Saya sangat teliti membaca dan memelajari wejangan-wejangan Bung Karno seperti tersebut dalam buku ”Di bawah Bendera Revolusi” jilid I dan jilid II. Di bawah rezim Soeharto, buku ini dilarang dibaca dan yang masih menyimpan harus menyerahkan kepada militer atau ditangkap bila masih membandel menyimpannya. Namun buku tersebut tidak pernah saya serahkan dan masih saya simpan sampai kini.


Saking asyiknya ikut dalam kegiatan di luar kuliah, tanpa disadari ternyata menjadi persoalan bagi diriku. Kuliahku menjadi terlantar dan kemudian terjadi peristiwa besar di Indonesia yaitu G-30S/PKI tahun 1965. Terjadilah kegoncangan politik-sosial-ekonomi dan spiritual. Mereka yang menjadi anggota organisasi berhaluan merah atau dianggap merah akan terkena tindakan represif berupa pembunuhan, penahanan tanpa batas waktu atau pembuangan ke pulau Buru. Jutaan orang menjadi korban karenanya.


Menjelang tahun 1965, PNI (Partai Nasionalis Indonesia) pendukung utama Soekarno pecah menjadi dua: PNI Ali Sastroamidjojo dan PNI Osa–Usep. Kebetulan Usep Ranawidjaja adalah Profesor di Fak. Hukum Unpad yang sangat besar pengaruhnya di samping Prof. DR. Kusumaatmadja yang dipecat Soekarno dari Unpad. Dengan pecahnya PNI, maka GMNI sebagai onderbouw PNI juga pecah dua pula. Sebagai pengikut Soekarno, maka saya sangat percaya bahwa yang benar dan harus diikuti adalah Soekarno dan bukan kelompok yang lain. Sayang ternyata pilihan saya itu salah. 

 

Semua mahasiswa yang berhaluan kiri atau kekirian dilakukan seleksi politik (diadili oleh Dewan Pengadilan Mahasiswa) dengan konsekuensi dipecat atau di skors untuk jangka waktu yang cukup lama. GMNI ASU (Ali–Surachman) dimasukkan ke dalam organisasi kekirian. Saya dituduh ikut kelompok ini oleh kelompok mahasiswa lain, sehingga berkas perkara siap disidangkan untuk dipecat.

 

Mengetahui kondisi genting itu saya mengambil langkah strategis yaitu menyelesaikan kuliah dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Di kala semua mahasiswa berdemonstrasi, saya belajar dan mendaftar ikut ujian. Mumpung yang ikut ujian sedikit, maka saya ikut jalan tol. Pernah di waktu sedang diuji dosen kriminologi, saya didemo karena dianggap tidak solider mengganyang Soekarno, yang dihormati. Dalam waktu 6 (enam) bulan saya sudah menyelesaikan skripsi dan langsung diuji. Hasilnya lulus sarjana pada 18 Maret 1967. Tidak ada satu coretanpun dalam skripsi tersebut. Atas peristiwa itu, saya melihatnya sebagai ”Aneh tapi nyata, tetapi juga sekaligus karma baik”.

 

Saya hampir saja dipecat dari Unpad gara-gara keanggotaanku di GMNI yang dianggap merah. Namun akhirnya rekanku yang bernama Bambang Notodisuryo banyak membantu untuk mencarikan solusi, sehingga diriku tetap dapat meneruskan kuliah hingga rampung. Setiap akan disidang, berkasnya selalu dipindahkan ke bagian bawah. Teman-teman lain dari GMNI Osa-Usep juga siap membelaku bila karma buruk terjadi bila disidangkan. Mereka telah mempersiapkan pernyataan tertulis bahwa saya ada di pihak mereka dan bukan orang merah.

 

Hikmah yang bisa diambil dari peristiwa ini adalah:

”Biar kita berbeda agama, aliran, paham atau apa saja, janganlah menjadi fanatik. Silahturahmi atau persahabatan yang tulus hendaknya tetap dipelihara dengan siapa saja karena kita semua pada hakekatnya adalah sesama insan yang membutuhkan kehangatan persahabatan dan kebahagiaan bersama”

Hikmah yang lain menurutku adalah, biarlah Soekarno (Proklamator, Presiden seumur hidup, Panglima Tertinggi ABRI, Bapak Revolusi) dianggap segala-galanya oleh masyarakat, namun pada hakekatnya ia orang biasa, bukan orang suci, yang bisa salah dan dapat dijatuhkan.

 

Saya masih ingat secara jelas rekan-rekanku sekelas sewaktu kuliah di Unpad antara lain adalah Prof. DR. Bagir Manan, SH (mantan Ketua Mahkamah Agung), Prof. DR. Mieke Komar, SH (dulu Palaar) serta Prof. DR. Komariah Emong, para Hakim Agung dan Jusuf Anwar, SH (mantan Menteri Keuangan jaman Gus Dur & Dubes RI untuk Jepang). Dibandingkan dengan mereka, saya dapat menyelesaikan kuliah terlebih dahulu ketimbang mereka. 

 

Wisuda sarjana dilewati dengan hambar tanpa toga (karena bukan menjadi adat kebiasaan waktu itu) serta tanpa didampingi anggota keluarga ataupun orangtua. Ayahku hanya bilang bahwa wisuda adalah konsekuensi logis dari selesainya sekolah. Sedangkan sekolah yang sebenarnya dimulai dari mulainya bekerja di suatu posisi.

 

Kekaguman Pada Figur Semar

Karena kecintaanku pada wayang maka ada beberapa tokoh yang sangat kusukai selain Arjuna, yang sakti dan tekun menimba ilmu dan keterampilan serta suka bertapa sebagai upaya peningkatan spiritual, juga tokoh SEMAR yang selalu mendampingi Arjuna dan Pandawa yang selalu berpihak pada Kebenaran. Ia menjadi penasihat spiritual Pandawa dan bila Pandawa tidak mengindahkan maka ia meninggalkan sementara Pandawa sampai ia sadar akan kekeliruannya. Sikap ini benar-benar sikap buddhistis yang tidak memaksakan kehendak. Sikap Semar semacam ini memengaruhi sikap hidup saya yang sering tidak mau kompromi terhadap sesuatu yang dirasa tidak benar. Saya berprinsip di mana pun daku berada akan menjadi agen perubahan yang lebih baik (agent of change).

 

Bila kondisi tidak bisa diubah maka sikap hidup yang kupilih adalah: 

”Tinggal dalam suasana yang tidak kondusif tersebut atau meninggalkannya (stay with such condition or leave it)”.

Sikap terakhir ini yang banyak kutempuh dalam perjalanan hidupku selanjutnya.

 

Berbeda dengan figur Togog, saudara kembar Semar yang selalu mengabdi pada yang batil, Kurawa, meski nasihatnya yang baik tidak pernah digubris. Saya bukan Togog yang puas hanya karena telah diberikan makan.

 

Demikian juga perilaku Sang Buddha yang meninggalkan sekelompok bhikkhu yang dipimpin Devadatta yang menyelewengkan ajaran dan disiplin kebhikkhuan. Sang Buddha juga pernah tinggal di Surga Tusita dan turun ke bumi untuk mencapai kesempurnaan dan mengabdi pada kemanusiaan, persis halnya dengan Semar, dewa yang tinggal di surga dan turun ke bumi untuk mengabdi pada Kebenaran Sejati.

 

Semar merupakan gambaran kesempurnaan yang tinggal dan hidup dalam manusia yang lemah dan cacat. Tokoh Semar mempunyai sifat pribadi yang mendua. Ia adalah dewa bernama Batara Ismaya, yang turun ke bumi sebagai seorang manusia cebol, berkulit hitam, bernama Kiai Semarasanta. Bentuk wayangnya pun dibuat mendua: bagian kepala adalah laki-laki, tetapi payudara dan pantatnya adalah perempuan. Rambutnya dipotong kuncung seperti anak-anak, tetapi sudah memutih seperti orang tua. Bibirnya tersenyum menggambarkan kegembiraan dan kebahagiaan, tetapi matanya selalu basah seperti sedang menangis sedih. Oleh karena serba mistri, tokoh Semar dapat dianggap dewa, dapat pula dianggap manusia. Ya laki-laki, ya perempuan, ya orang tua dan sekaligus kanak-kanak, sedang bersedih tetapi dalam waktu yang sama juga sedang bergembira. Maka tokoh ini diberi nama Semar asal kata “samar”, yang berarti tidak jelas. Dari bentuknya saja, tokoh ini tidak mudah diterka.

 

Wajahnya adalah wajah laki-laki. Namun badannya serba bulat, payudara montok, seperti layaknya wanita. Rambut putih dan kerut wajahnya menunjukkan bahwa ia telah berusia lanjut, namun rambutnya dipotong kuncung seperti anak-anak. Bibirnya berkulum senyum, namun mata selalu mengeluarkan air mata (ndrejes). Ia menggunakan kain sarung bermotif kawung, memakai sabuk tampar, seperti layaknya pakaian yang digunakan oleh kebanyakan abdi atau pelayan. Namun bukankah ia adalah Batara Ismaya atau Batara Semar, seorang Dewa anak Sang Hyang Wisesa, Sang Pencipta alam semesta. Dengan penggambaran bentuk yang demikian, dimaksudkan bahwa Semar selain sosok yang sarat mistri, ia juga merupakan simbol kesempurnaan hidup. Di dalam Semar tersimpan karakter wanita, karakter laki-laki, karakter anak-anak, karakter orang dewasa atau orang tua, ekspresi gembira dan ekspresi sedih bercampur menjadi satu. Kesempurnaan tokoh Semar semakin lengkap, ditambah dengan jimat Mustika Manik Astagina pemberian Sang Hyang Wisesa, yang disimpan di kuncungnya. Jimat tersebut mempunyai delapan daya, yaitu: terhindar dari lapar, mengantuk, asmara, sedih, capek, sakit, panas dan dingin. Delapan macam kasiat Mustika Manik Astagina tersebut dimaksudkan untuk menggambarkan bahwa, walaupun Semar hidup di alam kodrat, ia berada di atas kodrat. Ia adalah simbol mistri kehidupan, dan sekaligus kehidupan itu sendiri.

 

Jika dipahami dalam falsafah Jawa bahwa hidup merupakan anugerah dari Sang Maha Hidup, maka Semar merupakan anugerah Sang Maha Hidup yang hidup dalam kehidupan nyata. Tokoh yang diikuti Semar adalah gambaran riil, bahwa sang tokoh tersebut senantiasa menjaga, mencintai dan menghidupi hidup itu sendiri, hidup yang berasal dari Sang Maha Hidup. Jika hidup itu dijaga, dipelihara dan dicintai maka hidup tersebut akan berkembang mencapai puncak dan menyatu kepada Sang Sumber Hidup, Manunggaling Kawula lan Gusti – menyatunya air sungai ke lautan dan terus ke samudera tanpa lagi bisa membedakannya. Pada upaya bersatunya antara Kawula dan Gusti inilah, Semar menjadi penting. Karena berdasarkan makna yang disimbolkan dan terkandung dalam tokoh Semar, maka hanya melalui Semar, bersama Semar dan di dalam Semar, orang akan mampu mengembangkan hidupnya hingga mencapai kesempurnaan dan menyatu dengan Tuhannya, Yang Mutlak. 

 

Gambar Semar dalam kaligrafi huruf Jawa di atas bermakna:

“Bojo sira arsa mardi kamardikan, ajwa samar sumingkiring dur-kamurkan”.

Mardika artinya “merdekanya jiwa dan sukma”, maksudnya dalam keadaan tidak dijajah oleh hawa nafsu dan keduniawian, agar dalam menuju kematian sempurna tak ternodai oleh keburukan (keserakahan, kebencian dan kegelapan batin).

 

Manusia Jawa yang sejati dalam membersihkan jiwa (ora kebanda ing kadonyan, ora samar marang bisane, sirna durka murkamu) artinya: “dalam menguji budi pekerti secara sungguh-sungguh akan dapat mengendalikan dan mengarahkan hawa nafsu menjadi suatu kekuatan menuju kesempurnaan hidup”.

 

Ciri sosok Semar adalah:

  1. Semar berkuncung seperti kanak-kanak, namun juga berwajah sangat tua 
  2. Semar tertawanya selalu diakhiri nada tangisan
  3. Semar berwajah mata menangis namun mulutnya tertawa
  4. Semar berprofil berdiri sekaligus jongkok
  5. Semar tidak pernah menyuruh namun memberikan konsekuensi atas nasihatnya

 

Kebudayaan Jawa telah melahirkan religi dalam wujud kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yaitu adanya wujud tokoh wayang Semar, jauh sebelum masuknya kebudayaan Hindu, Buddha dan Islam di tanah Jawa. Tokoh Semar tidak dikenal di India ataupun pada bangsa-bangsa di Asia Tenggara yang memi
liki budaya Ramayana dan Mahabharata.


Dari tokoh Semar ini akan dapat dikupas, dimengerti dan dihayati sampai di mana wujud religi yang telah dilahirkan oleh kebudayaan Jawa. Saya pernah bermimpi bertemu dengan ”Semar Putih” yang sampai kini tidak diketahui maknanya. Wayang kulit bergambar Semar juga kumiliki, sebilah keris bergambar Semar dengan kain sarungnya berlapis emas diambil secara magis dari dalam tanah di rumah kediamanku, dengan cara merubah dari energi menjadi materi. Juga banyak mangkuk, piring dan vas kecil bergambar Semar kumiliki sebagai koleksi pribadi.

 

Ah, ternyata Semar bisa juga berarti:

“Kesengsem ing sajroning kamar” — jatuh cinta di dalam kamar.

Baik untuk meditasi atau hal yang lain.

Sumber: Jayamedho, Bhikkhu. Menapak Pasti: Kisah Spiritual Anak Madura. Edisi Revisi. Jakarta: Penerbit CENAS, 2015, Bab 2 “Pribadiku yang Dirasa Unik”, hlm. 27–44.

TRANSLATE