Bab 26
Awalnya di Surabaya
Sewaktu saya menjabat Personnel Manager Unilever Indonesia di Surabaya dalam usia muda dan pengalaman cetek maka untuk mempercepat kematangan professional, saya mulai membuka jejaring dengan beberapa perusahaan ternama di tingkat Jawa Timur yang sudah dimulai oleh pendahuluku Slamet Adibroto. Jejaring ini sangat penting guna menambah pengetahuan dan saling memberikan dukungan pengokohan Hubungan Industrial. Saya tidak mempunyai pengalaman sama sekali bagaimana mengelola hubungan antara manajemen dan organisasi serikat buruh di tingkat pabrik di mana tokoh-tokoh serikat buruh sudah sangat berpengalaman sewaktu jaya-jayanya komunisme tahun 1963-1965. Gerakan buruh saat itu sangat garang dan militan. Ternyata karena pengalaman berorganisasi sewaktu mahasiswa, saya memiliki daya kepemimpinan yang cukup dihormati oleh sembilan Personnel Manager di Jawa Timur. Bahkan bilamana Kanwil Departemen Tenaga Kerja Jatim akan mengeluarkan kebijakan maka forum (organisasi non-formal) ini diundang guna memberikan masukan agar nantinya mudah disosialisasikan dengan sedikit penentangan. Hubungan demikian erat dan saling pengertian di antara anggotanya dengan Depnaker terjalin erat. Keeratan ini kemudian diperluas dengan melibatkan banyak tokoh organisasi buruh lainnya yang sehati. Dengan cara ini maka pekerjaan yang saya emban dalam menghadapi serikat buruh pabrik Unilever dapat dilaksanakan dengan relatif lancar.
Sikap yang kuambil adalah mendengar aspirasi karyawan dan juga mendengar kebutuhan manajemen. Seni memadukan ini dalam suatu negosiasi yang terhormat menjadikan karakter dan perilaku saya sebagai orang yang kompromistis dimata sahabat-sahabatku yang Buddhis. Buat saya sikap kompromi adalah baik karena saling membutuhkan dan bukan saling menghancurkan adalah suatu keniscayaan yang indah untuk kesejahteraan bersama. Titik-titik temu yang saling mengalah dan saling memberi (take & give) adalah suatu seni yang mengasyikkan bagiku, ibarat orang main kartu bridge. Seni negosiasi di ranah hubungan industrial sangat berbeda dengan negosiasi bisnis biasa. Dalam negosiasi dengan serikat pekerja mereka memiliki hak mogok yang dilindung Undang-Undang Dasar dan kita tidak mungkin tidak mau berunding dengan mereka. Dalam negosiasi bisnis biasa kalau kita tidak suka dengan suatu supplier maka kita bisa memilih supplier lain sebagai penggantinya.
Saya selalu mengupayakan memakai seni Menang Tanpo Ngasorake, Menang Tanpa Merendahkan lawan, Menang secara Terhormat bagi semua pihak. Inilah kunci suksesku di badang hubungan industrial, hubungan antara pengusaha–serikat pekerja di tingkat perusahaan, serta dengan pemerintah di tingkat nasional.
Pengabdian tingkat Nasional
Sesudah saya dipindahkan kembali ke Jakarta di perusahaan yang sama dalam pematangan diri sebagai orang yang senang berorganisasi, maka saya mewakili Unilever di organisasi PUSPI (Permusyawaratan Usaha Sosial Ekonomi Pengusaha) yang kelak berubah nama menjadi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo). Waktu itu belum ada organisasi KADIN (Kamar Dagang & Industri Nasional) yang mewakili kepentingan pengusaha. Saya banyak belajar dari para senior para direktur personalia berbagai perusahaan internasional dan nasional berskala besar di Jakarta. Di sinilah saya ditempa selama 26 tahun dari jenjang kepengurusan di tingkat regional DKI sampai ke tingkat nasional.
Kedudukan tertinggi yang kujabat adalah Wakil Ketua DPP Apindo di mana saya sering mewakili organisasi di tingkat regional Asean dan di tingkat internasional dalam beberapa kali sidang ILO (International Labour Organization) di Geneva, Swiss. Sekali lagi banyak jalan-jalan dibayari orang lain.
Saya juga sangat bangga dapat menyumbangkan pikiran dalam penyusunan Undang-Undang Ketenagakerjaan No 13/2003 bersama-sama Allan Bolton, Direktur ILO Jakarta yang juga mantan Hakim Agung Australia. Allan banyak memberikan informasi terkini tentang praktik pengelolaan tenaga kerja yang dapat dituangkan dalam peraturan perundangan, namun akhirnya yang menentukan adalah DPR.
Asosiasi Hubungan Industrial Indonesia (AHII)
Guna mengembangkan ilmu khusus hubungan industrial di Indonesia, maka beberapa dedengkot ini, baik dari pemerintah, serikat pekerja maupun pengusaha dan akademisi, merasa perlu membentuk suatu organisasi yang kita beri nama Asosiasi Hubungan Industrial Indonesia, disingkat AHII, di mana inisiator utama disamping diri saya juga Suwarto, mantan Dirjen Depnaker, Imam Sudarwo dan Bomer Pasaribu, mantan Ketua-ketua Umum SPSI, Gin Sugianto, mantan Direktur HRD BAT. Tentu saja dedengkot hubungan industrial lainnya kita angkat sebagai sesepuh seperti Jendral Pol (Purn) Awaludin dan Dr. Cosmas Batubara yang para mantan Menteri Tenaga Kerja. Organisasi ini juga menjadi anggota asosiasi hubungan industrial tingkat dunia.
Sekarang AHII sudah kita estafetkan kepada generasi muda yang dipimpin Dr Sutanto Suwarno. Saya bangga bisa jumpa Allan Bolton lagi di The Asian Industrial Relations Conference di Denpasar tahun 2009.
Sumber: Jayamedho, Bhikkhu. Menapak Pasti: Kisah Spiritual Anak Madura. Edisi Revisi. Jakarta: Penerbit CENAS, 2015, Bab 26 “Perkokoh Hubungan Industrial”, hlm. 325–328.