Villa Dharma Ledug, Trawas, Prigen – 25-27 April 2025. Langit pagi Trawas yang berselimut kabut menjadi saksi awal mula perjalanan batin 45 muda-mudi Buddhis yang mengikuti program Temple Stay Mahayana, sebuah retret tahunan yang digagas oleh Young Buddhist Association Indonesia (YBA). Bukan hanya soal menginap di tempat sunyi, tetapi tentang menyelami kedalaman diri—belajar untuk diam, untuk mendengar, dan untuk sungguh hadir dalam setiap momen.
Hari Pertama: Sunyi yang Mendewasakan
Dengan bimbingan penuh kasih dari Suhu Xian Bing dan Suhu Neng Xiu, para peserta menjalani Asthasila, delapan latihan moralitas sebagai dasar kehidupan spiritual Buddhis. Di hari pertama, suasana Villa Dharma Ledug berubah menjadi ruang pembelajaran batin. Tidak ada kebisingan dunia luar, hanya denting lonceng, deru napas, dan langkah-langkah yang pelan namun pasti menuju kesadaran penuh.
More than a stay — it’s about learning to be still, to listen, and to truly be present. Bagi banyak peserta, ini adalah kali pertama mereka berlatih hidup sederhana, tanpa distraksi, dan sepenuhnya berada di saat ini.
Hari Kedua: Napas, Langkah, dan Keheningan
Hari kedua dibuka dengan dentang lonceng pagi yang bergema di tengah pegunungan. Dalam udara sejuk yang menggigit, para peserta memulai hari dengan meditasi jalan dan puja pagi. Dalam keheningan yang terjaga, setiap napas menjadi jembatan untuk kembali pulang—ke dalam hati masing-masing.
“Peace isn’t found, but remembered—slowly, with each breath, each bow, and each silent step on sacred ground,” menjadi kalimat yang menggambarkan atmosfer hari kedua. Retret ini bukan tentang menemukan kedamaian, tapi mengingat bahwa kedamaian sudah ada dalam diri, tinggal disentuh kembali melalui latihan spiritual yang disiplin.
Hari Ketiga: Jejak Leluhur, Cermin untuk Generasi Kini
Selepas retret di hari ketiga, YBA mengajak peserta melakukan ziarah spiritual dan napak tilas budaya ke situs Patung Reco Lanang di Trawas, Mojokerto—arca Buddha Akshobhya yang berdiri kokoh setinggi lebih dari dua meter dan dipahat dari batu andesit utuh seberat sekitar 60 ton.
Didampingi Dewan Pelindung YBA serta Sami Cheng Ru, kunjungan ini menjadi penutup yang reflektif. Arca kuno dari abad ke-14 ini bukan sekadar artefak sejarah, tetapi juga simbol nyata dari warisan kebijaksanaan dan spiritualitas Buddhis di Nusantara.
Dengan posisi Bhumisparsha Mudra—tangan menyentuh bumi—arca ini melambangkan momen agung saat Siddhartha Gautama memanggil bumi sebagai saksi pencerahan. Bagi para peserta, berdiri di hadapan arca ini adalah ajakan untuk juga memanggil kesadaran dalam diri: bahwa spiritualitas tidak hanya dipelajari, tapi juga diwarisi dan dihidupi.
Temple Stay Mahayana 2025 bukan sekadar program tiga hari, melainkan titik tolak menuju kehidupan yang lebih sadar dan welas asih. Bagi para panitia dan relawan Vesak Festival yang ikut serta, ini adalah langkah awal menyiapkan batin—bukan hanya untuk sebuah acara besar, tetapi juga untuk peran mereka sebagai pembawa nilai Buddhis di tengah dunia yang bising.
Dengan hati yang lebih tenang, napas yang lebih sadar, dan langkah yang lebih ringan, mereka kini membawa pulang sesuatu yang tak kasat mata, namun sungguh berharga: jejak sunyi yang menggemakan kebaikan, dalam diri dan untuk sesama.
Leave a Reply