Pernah nggak sih kamu merasa kesal karena chat kamu dibalas lama banget? Atau justru kamu yang sering slow-res dan dicap nggak niat? Di balik kecepatan membalas pesan, ternyata tersembunyi hal yang lebih dalam: seberapa hadir dan pedulinya kita secara emosional. Menariknya, Buddhadharma juga punya sudut pandang tentang hal ini.
Balasan cepat dalam percakapan digital ternyata bukan cuma soal kecepatan jari. Sebuah study menunjukkan bahwa orang yang sigap merespons pesan cenderung lebih peduli dan hadir secara emosional. Respons cepat memberi kesan bahwa seseorang memperhatikan lawan bicaranya, tidak hanya secara teknis, tetapi juga secara batin. Di era digital ini, hadir sepenuhnya bahkan lewat layar tetaplah bagian dari kebijaksanaan dan welas asih.
Salah satu bentuk welas asih adalah kemampuan untuk hadir secara utuh bagi makhluk lain. Meski sekilas terlihat sepele, membalas pesan dengan kesadaran bisa menjadi cermin apakah kita sungguh hidup dengan perhatian penuh (sati), atau sekadar menjalani rutinitas tanpa jiwa.
Tidak semua keterlambatan adalah bentuk pengabaian. Buddhadharma mengajarkan kita untuk tidak tergesa dalam menilai. Ada kalanya orang butuh jeda untuk menenangkan batin, menghadapi penderitaan, atau sekadar menjaga batas pribadi. Dalam hal ini, komunikasi yang penuh kesadaran baik cepat maupun lambat tetap berpijak pada right intention atau niat benar.
Masalah muncul ketika balasan lambat menjadi pola, dan diiringi ketidaksadaran batin. Ini bisa menandakan kurangnya energi batin yang disebut viriya semangat untuk menjaga dan merawat hubungan. Sama seperti meditasi, menjaga relasi juga butuh latihan konsisten dan tekad batin agar tidak jatuh dalam kealpaan.
Seperti meditasi, komunikasi juga butuh kesadaran. Tak harus selalu cepat, tapi jangan sampai abai. Karena di setiap balasan atau diamnya kita tersimpan benih kebijaksanaan, atau justru kelalaian. Dalam Buddhadharma, ini selaras dengan karuna: belas kasih yang hadir lewat tindakan kecil, seperti membalas pesan dengan hangat dan tepat waktu.
Kita tak perlu jadi guru meditasi untuk menunjukkan kepedulian, cukup hadir dengan hat yang terbuka. Mereka yang benar-benar mindful biasanya merespons bukan karena kewajiban, tapi karena mengerti bahwa kehadiran emosional bisa jadi tempt bernaung bagi sesama.
Leave a Reply