Selepas mengadakan rangkaian event besar seperti Vesak Festival dan The African Kids Show, para pengurus YBA pada hari Sabtu (10/8) dan Minggu (11/8) melakukan refreshing ke Taman Nasional Gunung Bromo dengan berburu Milky Way di point Bukit Perahu yang sedang nampak-nampaknya di Bulan Agustus ini serta Anjangsana ke Vihara Paramita Ngadas, vihara peninggalan leluhur dari zaman Kerajaan Majapahit.
Bromo merupakan kawasan wisata yang sangat terkenal. Gunung aktif setinggi 2.392 meter bernuansa sakral yang dikelilingi oleh hamparan “pasir berbisik” ini tentunya memiliki daya tarik tersendiri bagi banyak wisatawan domestik maupun mancanegara.
Tetapi membahas Gunung Bromo tidaklah lengkap tanpa mengenal penduduk asli yang hidup di sekitarnya, yakni Suku Tengger. Berbeda dengan penduduk di Jawa Timur kebanyakan, Suku Tengger memiliki kepercayaan, bahasa, serta kebudayaan yang cukup unik. Tradisi yang berkembang di kalangan Suku Tengger memang berkaitan erat dengan Gunung Bromo.
Istilah “Tengger” berasal dari kalimat Tenggering Budi Luhur yang artinya budi pekerti yang luhur, menggambarkan watak Suku Tengger yang seyogianya. Pandangan yang populer menyebut bahwa nama “Tengger” merupakan kata gabungan dari nama Roro Anteng dan Joko Seger, nama leluhur Suku Tengger, yang berasal dari Majapahit.
Yang jelas, para leluhur Suku Tengger diakui sebagai pelarian dari Kerajaan Majapahit yang runtuh pasca diserang Demak. Mereka mengungsi dan terisolasi di Pegunungan Tengger, tidak tersentuh oleh peradaban luar selama bertahun-tahun.
Jika mayoritas warga Tengger yang berada di Lumajang, Pasuruan, dan Probolinggo merupakan umat beragama Hindu, justru di Desa Ngadas mayoritasnya adalah Buddhis. Vihara Paramita di Ngadas adalah tempat berkumpulnya umat Buddha setempat untuk melakukan berbagai aktivitas keagamaan.
Kami juga diterima oleh Bapak Mistono selaku Kepala Vihara Paramita Ngadas beserta ayahnda dari Bapak Mistono. Beliau mengungkapkan keberadaan umat Buddha dapat dilacak sejak awal mula didirikannya Desa Ngadas pada tahun 1774 oleh sekelompok leluhur yang beragama Buddha.
Yang unik, umat Buddha di Ngadas sehari-hari melaksanakan puja bakti dua kali, pagi dan petang, menjelang mentari terbit dan sesudah tenggelam, sesuai dalam tradisi leluhur. Bisa dilakukan di vihara, atau di rumah masing-masing. Untuk urutan atau prosedur dalam pujabhakti, di pagi hari diawali dengan membakar dupa, lalu memberi hormat kepada para Buddha dan Bodhisattwa, disambung menghormat juga kepada Sang Hyang Ismaya.
Tiap hari Rabu, dilakukan pujabhakti rutin di Vihara Paramita. Namun, ada hari khusus, yakni Rabu legi, yang mana selain diadakan kebaktian rutin, ada juga acara sungkem atau sedekah bumi, yang menggunakan sarana sesaji sekul liwet, sesaji nasi tanak ditambah telur ayam kampung. Ini adalah bentuk rasa syukur kepada Gusti Sang Hyang Wenanging Jagat, Hyang Ibu Bumi yang telah memberi kehidupan.
Saat ini, Vihara Paramita tengah akan melakukan renovasi Dharmasala akan diperbarui tanpa merubah corak khas sepeninggalan para leluhur. Semoga umat Buddha Ngadas tetap bisa berkembang dan menyebarkan semangat Buddha Dharma di kawasan Bromo.
diolah dari oleh berbagai sumber
Leave a Reply