Pada abad ke-8 Masehi, seorang guru Buddhis asal India – Bodhisena – melakukan perjalanan dari Madurai (India) menuju Jepang Kekaisaran, Ia mendapati sebuah negara yang berada di ambang kehancuran. Jepang hampir mengalami kebangkrutan, menderita akibat kekeringan, serta masih berusaha pulih dari epidemi cacar yang konon telah menewaskan jutaan orang. Belum lagi, pemberontakan berkecamuk di pedalaman neger itu.
736 M Sesampainya di pelabuhan Osaka pada tahun 736 M, Bodhisena segera diperkenalkan kepada dua tokoh berpengaruh: Gyoki (seorang biksu Jepang) dan Kaisar Shömu, yang bahkan datang dari ibu kota Nara khusus untuk menyambut kedatangan biksu India tersebut. Pada awal abad pertengahan di Jepang, biksu India yang menguasai Sansekerta memiliki status tinggi dan legitimasi unik, baik secara akademis maupun spiritual.
Kaisar Shömu – yang dikenal sebagai penganut setia agama Buddha – mempercayakan kepada Bodhisena tugas monumental yang diyakininya akan menyelamatkan Jepang: menyucikan rupang Buddha Agung di Kuil Tödai-ji di Nara melalui upacara “pembukaan mata” (eye-opening ceremony). Tindakan tersebut dimaksudkan untuk “membersihkan” dosa-dosa negara.
Bodhisena melaksanakan upacara pembukaan mata patung Buddha Agung. Namun, yang menyelamatkan Jepang adalah hubungannya dengan Gyoki. Di masa itu, karena agama Buddha masih dianggap asing dan ditolak oleh elit tradisional, upaya Kaisar Shömu untuk menggantikan elit Shinto dengan pendeta Buddha hampir memicu perang saudara.
Gyoki tidak hanya berfokus pada penggabungan Shintoisme dan Buddhisme, tetapi juga memperjuangkan keadilan sosial. Pada masa itu, petani adalah mayoritas dan tulang punggung ekonomi Jepang. Gyoki mendukung hak petani untuk menciptakan keseimbangan sosial dan ekonomi, yang mengancam kekuasaan elit tradisional serta mencerminkan visi reformisnya.
Bodhisena menjadi sekutu berharga, dengan legitimasi India yang mengukuhkan Gyoki sebagai inkarnasi Manjusri. Pengakuan ini memberikan status perlindungan yang diperlukan bagi Gyoki untuk menyinergikan Shintoisme dan Buddhisme, sehingga akhirnya mengakhiri pergolakan politik yang melanda negeri tersebut.
Warisan Bodhisena masih hidup hingga hari ini di Nara, masyarakat setempat menghormatinya dengan menikmati kari pada hari ulang tahunnya-sebuah bukti nyata atas pertukaran budaya dan pentingnya kemampuan beradaptasi.
Leave a Reply