Bab 10

Bab 10

Agama Buddha Berunsur Budaya Indonesia

Sejak awal pertumbuhan Theravada di Tanah Air awal tahun 1970-an, muncullah seperti sebuah kesepakatan tidak tertulis di antara eksponen Buddhis Theravada untuk keluar dari kelenteng. Leo Suryadinata (2005) menuliskan dalam situasi saat itu adanya desakan dari pemerintah untuk mengubah kelenteng menjadi vihara demi kepentingan politik asimilasi yang dicanangkan Orde Baru di tahun 1970-an. Secara bersamaan, semangat memisahkan diri dari kelenteng juga menguat di kalangan Theravada. Dengan begitu berarti tertanam motivasi yang kuat untuk menghindar dari pengaruh kultur persembahyangan Tionghoa. Tertancap suatu prinsip di benak para aktivis Theravada, bahwa selama mendompleng kepada kelenteng, selama itu pula Theravada tidak akan pernah maju. Saya pun berada di balik ide pemisahan diri dari kelenteng itu. Kemandirian menjadi prinsip dalam keberagamaan dirinya, melainkan diterapkannya di bidang kehidupannya sehari-hari. Menjadi mandiri bukan berarti berjalan sekehendak hati, tidak menimbang kanan dan kiri. Mandiri di sini dalam arti tidak suka merepotkan orang lain, ataupun kelompok lain.

 

Namun sejauh ini perlu dilihat juga bahwa dalam perkembangan agama Buddha, sekte-sekte lain yang tetap ”mondok” di kelenteng mempunyai dasar pemikiran karena tempat itu masih terdapat ciri-ciri Buddha-nya. Apalagi, ketika Bhikkhu Narada datang pada dekade 1930-1960-an, tempat yang dikunjungi adalah kelenteng. Hal berbeda dilihat oleh eksponen Theravada, pada saat itu umat di kelenteng jarang membahas pengetahuan mengenai ajaran Buddha. Mereka hanya menjalankan ritual tung-tung-cep, atau hormat dan setelah selesai biasanya kemudian pulang.

Berpisah Dari Kelenteng

Saya memandang persoalan ini sebagai sebuah tantangan yang harus dipecahkan. Di sini terlihat sebenarnya terdapat komunitas pengikut Buddha yang belum tersentuh Dharma. Pada saat Theravada masuk ke dalam tradisi tersebut menyadari dan mengetahui sepenuhnya akan hal itu, namun tidak hendak menggoncangkan tradisi yang sudah ada. Malah aktivis Theravada berinisiatif membentuk khotbah Dharma secara teratur dan sekolah minggu yang diselenggarakan di kelenteng-kelenteng. Aktivis Theravada ingin melengkapi aroma semerbak dupa dengan mengisi pikiran-pikiran yang mencerahkan. Tujuannya hanya satu untuk mengisi batin mereka para pemuja, sehingga mereka tidak berhenti kepada pemujaan saja. Waktu itu mereka tidak menyebut dirinya Theravada namun hanya Buddhis, yang membabarkan Dharma bersumber Tripitaka Pali.

 

Disadari benar bahwa semakin menempel di kelenteng, maka semakin susah untuk berkembang. Salah-salah malah terasakan kenyamanan yang memudarkan kesadaran akan kesejatian diri. Selalu dibuai oleh kenikmatan akibat hanya menikmati fasilitas yang telah tersedia. Karena itu sekitar tahun 1970-an muncullah tekad dan terus membesar untuk memisahkan diri dari kelenteng. Sebetulnya di balik tekad itu terkandung maksud agar Theravada memiliki identitas dan kebebasan tersendiri. Bisa benar, bisa juga tidak, dalam pendefinisian identitas tersebut sulit pulalah dihindarkan perkara penilaian dari pihak lain sebagai ”pemurnian”, untuk menyatakan tidak sama dengan sekte lainnya, tepatnya sekte yang telah dikenal sebelumnya.

 

Secara kebetulan, langkah Theravada menyempal dari kelenteng mendapat dukungan tidak langsung dari pemerintah rezim Soeharto di kala itu. Pemerintah saat itu dengan politik asimilasinya ingin memberangus kultur China yang dituduhkan masih nyaman berselimut di dinding-dinding kelenteng. Dikatakan salah satu pejabat negara kala itu, jika agama Buddha masih menempel di kelenteng, maka agama Buddha itu adalah agama Tionghoa. Artinya terpampang jelas wajah permusuhan dari pemerintah Orde Baru terhadap budaya Tionghoa. Malah, setiap perayaan di kelenteng harus mempunyai ijin khusus dalam pengertian terkait dengan larangan ritual dan budaya Tionghoa.

 

Dampak politik asimiliasi dari Orde Baru juga merambah sekte Mahayana. Akibatnya Mahayana kemudian melahirkan doa-doa dalam Bahasa Sanskerta yang berakar dari Bahasa Tionghoa. Saya sangat tahu, di luar kelenteng, mereka tidak menggunakan Bahasa Tionghoa, sebab otomatis akan berhadapan dengan negara. Karena itu, dimunculkanlah mantra-mantra seperti Tai Pe Cu dalam Bahasa Sanskerta. Namun di dalam kelenteng, Bahasa Tionghoa masih bebas digunakan dan dituturkan. Belakangan saya baru menyadari, mantra-mantra dalam Bahasa Tionghoa ternyata memiliki titik persambungan dengan agama Buddha Tibet. Bahasa Tibet adalah bahasa yang berakar pada Bahasa Sanskerta. Sejauh pengetahuan saya, penggunaan Bahasa Sanskerta adalah sebuah langkah taktis untuk menghadapi sikap negara yang represif.

 

Agama Buddha Berunsur Budaya Indonesia

Pertikaian di kalangan elit Buddha juga menyentuh pada pengangkatan tokoh-tokoh besar bahkan cenderung mitologi yang dipercaya pernah ada di Indonesia sebagai seorang Bodhisatva—calon Buddha. Terdapat aliran dalam agama Buddha yang berkeyakinan kesucian para tokoh-tokoh tersebut. Pengangkatan tokoh-tokoh purba seperti Eyang Suryakencana adalah di luar orang-orang suci agama Buddha. Bagi Theravada, sangat jauh jika dikatakan agama Buddha Indonesia, sebab menampilkan tokoh-tokoh purba tersebut sangat sulit menemukan sumber literaturnya.

 

Pengadopsian istilah lokal ”Rahayu” yang dipakai kaum Kejawen, seperti kata ”Amien” dalam agama Islam dan Nasrani, sebagai ganti kata ”Sadhu” dalam tradisi Buddhis Theravada kurang menunjukkan identitas dirinya dan dirasakan mengada-ada. Kebetulan waktu itu ada aktris film tersohor yang juga bernama Rahayu Effendi.

 

Theravada secara terpisah berprinsip agama Buddha dengan berkebudayaan Indonesia. Hal ini dapat diartikan, agama Buddha dengan meng-Indonesia-kan unsur agama Buddha-nya bukanlah jalan yang harus ditempuh untuk menampilkan kebudayaan khas Indonesia. Rujukan pada kitab suci haruslah diutamakan, untuk kemudian dicarikan konteks Indonesianya. Melihat ini, saya sangat terkesan dengan usaha Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam rangka melakukan proyek pribumisasi Islam. Islam yang dimaksudkan adalah bukan Islam yang melulu berkultur Arab, namun juga bukan berarti hendak meninggalkan Islam yang dalam sejarahnya memang diturunkan dalam budaya Arab. Proses-proses akulturasi ataupun vernakularisasi, mengaitkan dengan budaya setempat adalah langkah tepat untuk menampilkan budaya Indonesia dalam agama Buddha. Dengan demikian, bukanlah dimaksudkan dengan mentah-mentah menampilkan budaya lokal, tanpa memerhatikan ujaran teks keagamaan asalnya.

 

Upaya tersebut, pelan-pelan mulai berjalan di Vihara Dhammadipa Arama. Para mahasiswa yang studi di Sekolah Tinggi Agama Buddha (STAB) Kertarajasa yang dikelola oleh Yayasan Dhammadipa Arama menekankan pada budaya Jawa. Beberapa jenis kekayaan budaya Jawa seperti bahasa dan gamelan Jawa diajarkan di perguruan tinggi tersebut. Hal ini menurut saya adalah upaya untuk mengaitkan ajaran Buddha dengan budaya Indonesia. Melalui kesenian wayang sebetulnya, masyarakat dapat belajar banyak mengenai filsafat hidup dan spiritualitas yang dibutuhkan untuk pegangan selama hidup.

 

Dalam benak, saya sangat berharap Theravada mengarah pada penguatan kultur Indonesia yang berakar dalam budaya–budaya lokal Indonesia, dengan menyesuaikan ajaran Sang Buddha dengan kultur masyarakat Indonesia dengan keragaman kekayaan etniknya. Dengan demikian, seperti petuah Raja Thailand, dengan mengikatkan pada kekayaan budaya setempat, diharapkan agama Buddha semakin tertanam kuat dalam masyarakatnya.

 

Namun harus diakui yang menjadi dilema umat Theravada di perkotaan yang umumnya Tionghoa tampak terlihat kurang berakar budaya di tempat mereka hidup, kecuali di Bali dan Jawa kiranya. Menjadi isu sekarang ini bagimana memasukkan budaya Tionghoa dan ritual Mahayana yang masih dianut sebagian besar komunitas Buddhis Tionghoa. Contohnya sebelumnya tidak dikenal kisah upacara Ulambana dalam tradisi Mahayana yang kemudian dikenal dengan upacara Pattidana di Theravada—pelimpahan jasa kepada leluhur, namun tetap diselenggarakan pada bulan April sesudah sembahyang kubur (cengbeng) dan pada bulan 7 penanggalan Imlek seperti halnya Ulambana (cioko). Upacara Cap Go Meh pada purnama pertama Imlek juga dirayakan oleh umat Buddha Theravada sebagai Maghapuja dengan makna yang jauh berbeda, yaitu memeringati pembabaran Dharma oleh Sang Buddha kepada 1250 orang arahat (mereka yang telah mencapai kesucian tertinggi). 

 

Kekayaan kultur Tionghoa seperti ini justru semakin memeriahkan keragaman yang melekat dalam tubuh anak bangsa. Kultur Tionghoa ini perlu dirajut dengan kultur lain di Indonesia untuk saling memperkuat bangunan sosial sebagai bangsa, guna menjadi modal berharga bagi pembangunan bangsa dan kesejahteraan rakyat di era mendatang.

 

Idealnya Theravada berkultur Tionghoa, atau Theravada berkultur Jawa, ataupun berkultur Bali, Lombok ataupun Dayak dapat dipandang sebagai hak kultural setiap etnik untuk mengekspresikan kekhasan kebudayaan yang melekat pada mereka. Ekspresi-ekspresi tersebut sangat mungkin muncul beragam dan dengan ekspresi keagamaannya.

 

Saya pernah mendorong dan memprakarsai Festival Tembang Bodrosanti, suatu kakawin gubahan berbahasa Jawa Baru (agar umat lebih paham isinya) tentang pelaksanaan beragama Buddha yang hidup di Lasem pada jaman kuno. Hal ini ingin saya hidupkan lagi di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Tembang ini dilagukan dengan menggunakan alat musik tembang sejenis yang dipakai umat Islam dan bisa juga dengan gamelan. Sukarnya anak muda sekarang lebih menyukai irama dangdut daripada budaya adi luhung yang dimilikinya.

Sumber: Jayamedho, Bhikkhu. Menapak Pasti: Kisah Spiritual Anak Madura. Edisi Revisi. Jakarta: Penerbit CENAS, 2015, Bab 10 “Agama Buddha Berunsur Budaya Indonesia”, hlm. 150–154.

TRANSLATE