Bab 11
Kelahiran Walubi
Di saat bersamaan, polemik di dalam dan di antara para tokoh agama Buddha di Tanah Air juga tidak bisa dipandang sebelah mata. Sebagian tokoh umat Buddha saat itu kurang merasa nyaman melihat manuver Bhikkhu Ashin Jinarakkhita, bhikkhu yang sangat dihormati, tetapi demikian akomodatif terhadap perbedaan sekte yang jelas-jelas berbeda disiplin ajarannya. Ketidak setujuan kalangan eksponen yang belakangan berada di balik tembok Theravada yang terdiri dari kalangan warga non-Tionghoa dengan tokohnya Bhikkhu Girirakhito dan saya sendiri, Mochtar Rashid, dan lain-lain, lantas mengibarkan gagasan bahwa Buddha tidaklah sama dengan agama Tionghoa. Selain ketidak setujuan dengan manuver Bhikkhu Ashin dan kelompoknya, pangkal soalnya yang lain adalah karena saat itu berhadapan dengan tuntutan politik, di bawah tekanan kekuasaaan Orde Baru yang anti kebudayaan Tionghoa dengan mendesakkan politik asimilasinya. Keluarlah statement dari tokoh Buddhis pribumi antara lain Bhikhhu Girirakkhito Mahathera bahwa agama Buddha bukanlah agama Tionghoa. Selanjutnya, upacara keagamaan pun diselenggarakan dengan menguatkan unsur budaya lokal Indonesia, sekalipun bukan bermaksud melokalkan regulasi universal dari Theravada yang sudah ada. Tujuannya adalah agar mendapatkan dukungan dan simpati dari pemerintah. Upacara Trisuci Waisak di Candi Borobudur pun digelar dengan nuansa Jawa dengan didahului gelar tari puja yang dibawakan umat Buddha desa Brebah, Jogja. Mantra Sanskerta digunakan sebagai pengganti pembacaan mantra–mantra Tionghoa.
Pada suatu hari di tahun 1976 dipanggilah beberapa tokoh Buddhis non-bhikkhu dari berbagai mazhab ke rumah Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (Wakabakin) Mayor Jenderal Roedjito di kawasan Permata Hijau, Jakarta.
Dalam pertemuan itu Roedjito bertanya tentang bagaimana sebaiknya melindungi agama Buddha dari unsur–unsur luar yang bisa mengganggu stabilitas nasional. Pemerintah kurang paham tentang agama Buddha di belahan dunia sehingga memerlukan banyak informasi, katanya. Suatu hari akan datang berbagai sekte baik dari dalam maupun luar negeri yang menggunakan label Buddha. Untuk menentukan mana yang ajaran Buddha dan mana yang bukan agama Buddha perlulah dipikirkan. Roedjito terangnya meminta, ”Tolong umat Buddha itu memformulasi mana agama Buddha dan mana yang bukan agama Buddha!”
Rombongan beradu pandang dalam situasi kebingungan mendengar permintaan tersebut. Saya kemudian membuka suara mengawali jawaban yang diminta Wakabakin. ”Pak, di ranah Internasional sudah ada kesepakatan, yang disebut agama Buddha itu kalau memiliki ciri-ciri tertentu. Kalau ciri-ciri itu tidak ada, boleh dikatakan bukan agama Buddha”.
Setelah menjelaskan apa saja yang menjadi kesepakatan dalam ranah Internasional tersebut, Roedjito kontan meminta agar jawaban-jawaban tersebut ditulis menjadi suatu lembaran tersendiri menyangkut kriteria apa saja yang disebut agama Buddha. Saya menuliskan di kertas yang disodorkan Roedjito tentang kriteria (prinsip dasar) agama Buddha seperti yang saya ingat. Oka mengusulkan tambahan tentang percaya pada Tuhan Yang maha Esa dan percaya pada Boddhisatva.
Sebagai tindak lanjutnya, diadakanlah sebuah seminar tentang agama Buddha guna mengukuhkan kesepakatan bersama tersebut. Sayang saya tidak dapat ikut serta dalam seminar tersebut karena sedang tugas ke London. Setelah adanya kriteria itu, lantas segera diselenggarakan kongres umat Buddha seluruh Indonesia.
Mengapa pihak Bakin dan Departemen Agama begitu getol meminta diformulasikan kriteria agama Buddha tersebut? Hal ini sejalan dengan diberlakukannya Undang–Undang No. 1 tahun 1965 tentang ”Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama”. Untuk mengetahui suatu kelompok agama yang sekarang ada atau yang mau masuk ke Indonesia yang mengajarkan ”yang lain” dari kriteria yang telah disepakati, maka akan terkena peraturan ini dan bisa dibawa ke Pengadilan atau dilarang oleh pihak Kejaksaan Agung. Diterapkannya UU ini mendapat dukungan berbagai organisasi Islam. Namun pihak komunitas agama lain kurang mendukung karena mereka mengharapkan negara membatasi diri dalam campur tangan masalah agama.
Salah satu kelompok agama yang di tahun 1970-an tersandung dengan pasal ini, antara lain Saksi Yehovah yang berinduk dalam tradisi kekristenan. Kontan sekte ini lantas dilarang keberadaannya, baik oleh organisasi umat Kristen maupun oleh aparat negara. Demikian juga dengan ajaran Ahmadiyah terkena fatwa MUI pertama pada tahun 1980.
Kongres Umat Buddha I
Dalam Kongres Umat Buddha I yang dihadiri Presiden Soeharto di Balai Sidang, dihadiri banyak peserta dan undangan, menggunakan Gedung Amal Bhakti Departemen Agama sebagai sidang-sidang komisi, dan di sini saya berperan besar dalam menyusun kode etik, menjaga kerukunan dan lain-lain. Hasil kongres ini juga antara lain membidani lahirnya Perwalian Umat Buddha Indonesia (Walubi). Selain itu, sebuah buku bersejarah, ”Pedoman Pembabaran dan Pengamalan Agama Buddha Mazhab Theravada di Indonesia”, terbit pertama kali pada Desember 1979 yang diterbitkan oleh Yayasan Dhammadipa Arama, Jakarta. Terbitnya buku pedoman tersebut dikukuhkan melalui SK Pengurus Pusat Majelis Pandita Buddha Dhamma Indonesia (Mapanbudhi) Nomor 01/XII/1978 yang ditandatangani oleh Herman S. Endro, SH, sebagai Sekjen, serta Suparto HS sebagai Ketua Umum.
Tidak lama berselang, saya menuliskan di tengah kesibukanku sebagai professional di Unilever dan hasil tulisannya itu kemudian masuk menjadi Piagam Walubi mengenai agama Buddha. Hasil perumusan saya itu kemudian disahkan menjadi Ketetapan Kongres Umat Buddha Indonesia bernomor IV/Kongres/1979 dan diperkuat Keputusan Kongres I Walubi bernomor XII/Walubi/I/1986. Dalam surat keputusan itu disebutkan, bahwa kriteria agama Buddha adalah sebagai berikut:
Kesepakatan itu disusun bersamaan baik oleh pihak Theravada dan Mahayana. Di balik munculnya kesepakatan itu, sebetulnya diiringi situasi perjalinan antar sekte yang kurang begitu hangat dan saling curiga ingin menjatuhkan satu sama lain. Kesepakatan itu jelas-jelas untuk menyudutkan kelompok-kelompok baru yang dianggap membawa perubahan yang mengarah pada neo Buddhisme. Mereka semua seperti bersepakat untuk bersama-sama menghadapi Nichiren Shoshu Indonesia (NSI) yang gerakannya begitu masif kala itu. Ketiga sekte tersebut dibuat gerah oleh doktrin yang digemakan NSI, sebab NSI meyakini mempunyai guru sendiri, Nichiren Daishonin, yang sudah dianggap sebagai Buddha jaman kini (current Buddha) yang menggantikan posisi Buddha Gotama. Ajaran Sang Buddha sudah diatur sendiri oleh NSI dengan periodisasi per seribu tahun. Setelah 2500 tahun gurunya sudah beralih dari Buddha Gotama kepada figur lain. Periodisasi itu mendapatkan keberatan karena dianggap hanya terjadi di Jepang, bukan di Indonesia.
Kesepakatan itu disusun bersamaan baik oleh pihak Theravada dan Mahayana. Di balik munculnya kesepakatan itu, sebetulnya diiringi situasi perjalinan antar sekte yang kurang begitu hangat dan saling curiga ingin menjatuhkan satu sama lain. Kesepakatan itu jelas-jelas untuk menyudutkan kelompok-kelompok baru yang dianggap membawa perubahan yang mengarah pada neo Buddhisme. Mereka semua seperti bersepakat untuk bersama-sama menghadapi Nichiren Shoshu Indonesia (NSI) yang gerakannya begitu masif kala itu. Ketiga sekte tersebut dibuat gerah oleh doktrin yang digemakan NSI, sebab NSI meyakini mempunyai guru sendiri, Nichiren Daishonin, yang sudah dianggap sebagai Buddha jaman kini (current Buddha) yang menggantikan posisi Buddha Gotama. Ajaran Sang Buddha sudah diatur sendiri oleh NSI dengan periodisasi per seribu tahun. Setelah 2500 tahun gurunya sudah beralih dari Buddha Gotama kepada figur lain. Periodisasi itu mendapatkan keberatan karena dianggap hanya terjadi di Jepang, bukan di Indonesia.
Akhirnya, segenap usulan dari berbagai sekte tersebut ditampung dalam Ketetapan Kongres Umat Buddha No I/Kongres/1979 dan diperkuat Keputusan Kongres I Walubi bernomor X/Walubi/I/1986 yang berjudul, “Ajaran Agama Buddha Dengan Kepribadian Nasional Indonesia”. Disebutkanlah bahwa untuk mendukung terwujudnya kerukunan, kekompakan dan persatuan umat Buddha Indonesia, maka diputuskan untuk menegaskan Agama Buddha dengan Kepribadian Nasional. Poin penting dari keputusan tersebut adalah pengakuan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dengan sebutan atau nama apapun. Dengan sebutan atau nama apapun juga itu merupakan naskah yang terdapat dalam Bhagavat Gita. Bisa dimaklumi jika dalam sebutannya, sekte satu dan lainnya berbeda. Ada yang menyebut Adi Buddha, Tathagata, dan lain-lain, bagi kalangan Theravada tidak menjadi persoalan.
Pendapat saya itu kemudian disahuti oleh Oka Diputhera yang di saat pertemuan dengan Wakabakin Jenderal Roedjito sebelumnya juga hadir. Dukungan juga mengalir datang dari tokoh Buddhayana bernama Dicky Sumani, yang berasal dari Jawa Timur. Dalam penyusunan dokumen tersebut, setelah ditampungnya tuntunan dari sekte Buddhayana, datang pula tuntutan dari sekte Mahayana, yaitu adanya pengakuan akan Boddhisatva. Tuntutan itu pun ditampung oleh eksponen Theravada, sebab sebetulnya dalam Theravada juga mengenal Boddhisatva. Hanya saja, dalam Theravada tidak pernah sampai melebarkan kepada Boddhisatva yang lain. Boddhisatva dalam Theravada adalah Pangeran Siddharta yang kelak menjadi Buddha Gotama.
Secara lengkap, Ketetapan Kongres Umat Buddha No I/Kongres/1979 dan diperkuat Keputusan Kongres I Walubi bernomor X/Walubi/I/1986 yang berjudul, Ajaran Agama Buddha Dengan Kepribadian Nasional Indonesia menyebutkan:
Setelah terbitnya kriteria dan agama Buddha kepribadian nasional di atas, jelaslah definisi agama dalam ajaran Buddha, yakni mengakui Tuhan, mempunyai Nabi, diakui kitab sucinya, Tripitaka baik dalam Bahasa Sanskerta ataupun Bahasa Pali dan disertai doktrin-doktrinnya. Namun dalam penggunaan istilah Tuhan dalam agama Buddha tersebut memantik kontroversi. Hal yang cukup mengecewakan menurutku, penggunaan istilah Sang Hyang Adi Buddha dalam skala terbatas itu kemudian ternyata diketahui dipraktikkan secara meluas. Kesepakatan yang telah dicapai sebelumnya belakangan diingkari oleh para petinggi umat Buddha, hingga timbul penolakan dari Karbono dan Widyadharma di Jakarta. Karena itu timbullah perpecahan selanjutnya.
Di lain pihak, Nichiren Shosu Indonesia (NSI) waktu itu sebagai pihak yang secara tidak langsung terancam oleh kriteria tersebut, belum berani membuka suara. Mereka masih diam saja, karena menyadari mereka menjadi ancaman bagi sekte lain. Waktu itu NSI sedang berkembang pesat. Saya belakangan baru mendengar, bahwa justru dokumen hasil tulisan tangan itu tersimpan di kantor NSI di Jalan Minangkabau, Jakarta Pusat. Rupanya dokumen waktu itu terbawa oleh Seno Soenoto, yang kebetulan sebagai Sekjen Perwalian Umat Buddha (Walubi).
Dialektika Yang Belum Berakhir
Dalam fase selanjutnya, saya tidak menyangka jika hasil peras keringat dalam mendisiplinkan agama Buddha itu akan mendapat gempuran dari sekelompok orang yang keberatan dengan bunyi dalam regulasi itu. Saya dibuat kaget demi mengetahui antara lain, bahwa doktrin yang aslinya tertulis tangan tersebut hendak dihapuskan Hartati Murdaya yang menjabat sebagai Ketua Umum Walubi. Saya menyikapinya dengan penentangan yang tidak kalah keras. Sewaktu Kongres Perwalian Umat Buddha (Walubi) yang kedua, doktrin itu akan dihapuskan karena dianggap menghalangi masuknya sekte-sekte lainnya yang mungkin tidak jelas identitasnya.
Hartati mengganggap biarlah semua organisasi yang mengaku Buddhis ditampung di Walubi walaupun tidak memenuhi persyaratan kriteria selama namanya masih menggunakan label Buddha. Hal ini kami tolak dengan argumentasi demikian. Ibaratnya sebuah toko emas hanya akan menjual emas atau perhiasan emas minimul 10 karat. Kalau kurang dari itu, apalagi hanya emas sepuhan, tidak akan dijual di toko emas namun bisa dijual di toko perhiasan belaka.
Mengiringi kejadian saat itu secara kebetulan, saya mengetahui terdapat pula permintaan Bakin untuk meneliti kebenaran sekte-sekte dalam agama Buddha yang telah ada, dan permintaan itu diarahkan kepada Theravada. Permintaan itu sebetulnya tidak dipenuhi, dalam arti dijalankan. Namun, kabar tersebut terlanjur berhembus kencang. Dampaknya, Theravada kemudian makin gencar dimusuhi karena dianggap usil memeriksa kebenaran setiap sekte apakah benar memenuhi kriteria tersebut. Saya berujar, ”Padahal, sejujurnya hanya menjalankan mandat dari negara supaya agama Buddha tetap berada dalam
koridor yang sebenarnya”.
Terkait permintaan tersebut, Theravada malah sebetulnya banyak menutupi sekte-sekte, sebab kalau diperiksa pasti ada sekte akan terkena. Pertanyaan pertamanya selalu saja, dalam tataran mana Gotama berada. Selain itu dalam setiap sesi pembelajaran Dharma yang menampilkan agama Buddha secara publik, pada waktu itu hanya Theravada yang terlihat antusias. Sekte lain malah seperti muncul keengganan untuk membuka doktrinnya. Wajarlah jika Pedoman Pembabaran dan Pengamalan Agama Buddha Mazhab Theravada waktu itu paling sering dilihat Bakin. Imbasnya malah Bakin meminta setiap sekte juga memilikinya seperti yang dimiliki Theravada. Sekte-sekte itu pada akhirnya tidak pernah menerbitkannya.
Bakin rupanya belum berhenti mengusik umat Buddha. Dalam suatu pertemuan khusus Walubi di Hotel Horison Ancol, Jakarta Utara, saya sebagai salah satu pengurus DPP Walubi dipanggil oleh orang Bakin yang mendatangi acara tersebut. Saya ditanya, ”Pak Endro. Tri Dharma, itu khan percampuran dari tiga agama yang berbeda. Suatu sinkretisme? Benar atau tidak menurut agama Buddha? Kalau bukan agama Buddha, ya musti dikeluarkan dari Walubi.”
Mendengar pertanyaan itu saya sontak kaget dan bingung bukan main. Pertanyaan pejabat orang kedua pimpinan Bakin itu, sama halnya menarik kokang permusuhan dengan kaum Tri Dharma. Saya berusaha tenang dan menjawab dengan agak panjang,
”Pak, (mengeluarkan Tri Dharma) itu sulit dilakukan. Memang sebagai mantan orang Islam, saya tahu kalau Islam dicampur-campur dengan agama Kristen dan Yahudi pasti tidak boleh. Agama Katolik saja dibedakan dengan Protestan dan tidak dicampur. Saya paham, Pak. Tetapi agama Timur tidak begitu. Agama Timur itu sangat lumer. Agama Buddha kemasukan ajaran Hindu menjadi Buddhisme Tibet. Di dalam-nya terdapat dewa-dewa dan praktik Tantra. Masuk ke China bercampur dengan Konfusianisme. Masuk ke Jepang bercampur dengan Shintoisme. Agama di Timur selalu lentur fleksible bisa menyesuaikan dengan keadaan. Itulah perbedaan antara Abrahmic Religion (Yahudi–Kristen–Islam) dan agama Timur”.
Perwalian Umat Buddha Indonesia (Walubi) didirikan juga sebetulnya dalam situasi ketegangan antar sekte yang tengah memanas yang berusaha berkumpul dalam suatu Kongres Umat Buddha pada tanggal 7-8 Mei 1978 di Yogyakarta. Sebagai pendiri, tercatat tiga sangha (Sangha Theravada Indonesia, Sangha Mahayana Indonesia, dan Sangha Agung Indonesia) dan 7 majelis (Majelis Pandita Buddha Dhamma Indonesia, Majelis Buddha Mahayana Indonesia, Majelis Dharmaduta Kasogatan Indonesia, Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia, Majelis Rokhaniawan Tridharma Seluruh Indonesia, Majelis Buddhayana Indonesia (d/h. MUABI) serta Majelis Agama Buddha Nichiren Shoshu Indonesia). Dipilih sebagai ketua adalah Suparto HS, dari Mapanbudhi, seorang jurnalis yang merupakan adik sepupu Karbono.
Pergolakan internal Walubi seakan tidak pernah putus karena adanya faktor eksistensi dan kemajemukan agama Buddha. Pihak Penguasa lebih condong pemikiran masyarakat Islam yang kurang setuju adanya sinkretisme ataupun penyimpangan ajaran dari sumber aslinya. Seperti halnya Muhammadiyah mencantumkan dalam anggaran dasarnya: Kembali pada Kemurnian Islam.
Benturan dengan anggota Walubi, Nichiren Shoshu Indonesia terjadi pada awal tahun 1990-an, NSI sebagai organisasi sangat kuat keyakinannya dan di seluruh dunia tidak mau bergabung dengan organisasi Buddhis sedunia (World Fellowship of Buddhist), karena merasa dirinya adalah agama Buddha jaman mutakhir, sedangkan ajaran Buddha Gotama dianggap mereka ajaran kuno dan sudah waktunya diganti.
Rashid dan saya sangat dekat dengan Ketua Umum NSI, Seno Soenoto dan mereka sering berdiskusi mendalam tentang hal tersebut tanpa adanya sikap permusuhan.
NSI sangat dekat dan bisa mengambil hati pemerintah karena sering menampilkan budaya daerah oleh putera-puteri keturunan Tionghoa. Di kala itu Soeharto sangat tidak senang dengan segala budaya Tionghoa. Sedangkan aliran agama Buddha yang lain, kecuali Theravada masih memegang erat segala bentuk budaya dan ritual Tionghoa.
Dari segi ajaran dan penganutnya, pemerintah lebih condong pada Theravada mengingat bahasa dan budayanya bisa merangkul kaum pribumi. Hal ini juga diketahui dan ditiru NSI dalam upaya meraup penganut dari kaum pribumi di Jawa.
Saya menyarankan pada Seno agar isu sensitif ini jangan mencuat di permukaan namun bisa diredam internal saja artinya keyakinan akan Nichiren sebagai The Current Buddha cukup dihayati dan diamalkan di vihara NSI saja. Kelak hal ini ditolak keras oleh NSI dan malahan di Departemen Agama mereka menuntut diperlakukan seperti Protestan yang berbeda dengan Katolik.
Yang paling menjengkelkan kaum Theravada ini adalah sikap NSI yang menyatakan Hari Waisak, hari Tri Suci: Kelahiran, Pencapaian Penerangan Sempurna, dan Wafat Sang Buddha Gotama, sebagai Hari Balas Budi pada bangsa dan negara. Isu ini amat sangat menarik simpati pemerintah karena dianggap nasionalis. Perayaannya hanyalah berisi tari-menari budaya daerah. Pimpinan Theravada memprotes dengan mengatakan bahwa mungkinkah ada Perayaan Natal tanpa Yesus? Mereka merayakan Waisak tanpa menyentuh pribadi dan ajaran Sang Buddha Gotama. Sebagai manifestasi Hari Balas Budi ini maka setiap menjelang Hari Waisak mereka melakukan kerja bakti membersihkan makam pahlawan. Sungguh upaya yang menarik hati pemerintah, sedangkan aliran lain cukup sembahyang saja dan bakti sosial.
Dalam rapat yang dihadiri lintas instansi di Departemen Agama, kontan saya dan Rashid mendebat dan menyamakan NSI seperti Ahmadiyah Qodian yang menyatakan bahwa Imam Mirza Ghulam Achmad sebagai Nabi Penutup sesudah Muhammad, dan bukan sebagai Pembaharu Islam (mujaddid). Para pejabat lintas instansi yang semuanya beragama Islam memahami dengan benar kondisi tersebut dan membenarkan sikap Theravada. Terpojoklah posisi NSI. Sampai hari ini sikap MUI masih kukuh terhadap Ahmadiyah Qodian ini bukan sebagai kelompok Islam.
Untuk itu Theravada menerbitkan buku putih tentang NSI ini yang disusun oleh Rashid dan saya guna memperjelas eksistensi NSI di Indonesia yang secara internasional menolak bergabung dengan Persaudaraan Buddhis Sedunia (World Fellowship of Buddhist).
Kongres Walubi II
Kongres Walubi II yang diselenggarakan di Jakarta juga mengalami kericuhan akibat ketidakselarasan pengaturan organisasi Walubi, sehingga terbit dua versi Anggaran Dasar atau Anggaran Rumah Tangga Walubi hasil kongres. Dampak dari kericuhan ini Ketua Umum DPP Walubi melaporkan adanya ”penipuan” atas dokumen organisasi kepada aparat, yang di jaman Soeharto masih represif. Akibatnya tiga orang akitivis dan pimpinan majelis diinterogasi aparat militer dan adanya siksaan fisik.
Sesudah keluar dari pemeriksaan mereka mengadukan nasibnya kepada Bhikkhu Girirakkhito selaku Ketua Umum DPP Walubi. “Kok sampai hati DPP serta Bhante Giri, selaku bhikkhu, melaporkan umatnya ke aparat sehingga terjadi siksaan fisik.” Dari Bhante Giri saya sendiri mendengar penyesalan beliau yang mendalam, karena beliau terlalu polos, tanpa tahu dampaknya, atas peristiwa tersebut. Tentu yang kejam, adalah ”Para Dalang” DPP di balik peristiwa tersebut.
Sahabat-sahabat yang bernasib sial tersebut adalah Tjoetjoe Ali Hartono (Buddhayana), Kittinanda dan Pramana Winardi (Tri Dharma).
Walubi & Walubi
Namun pada tahun 1998, dalam Kongres Walubi III di Jakarta, Walubi beralih wujud menjadi singkatan dari Perwakilan Umat Buddha Indonesia dan bukan lagi Perwalian. Kata Perwalian diganti dengan Perwakilan namun dengan singkatan yang sama, Walubi. Walubi bentukan baru ini berdiri setelah Walubi lama dibubarkan atas dasar kesepakatan yang kurang elok pada tahun 1997. Magabudhi menolak pembubaran tersebut.
Dalam Walubi baru Sangha Theravada Indonesia dan Sangha Mahayana serta Sangha Agung tidak bersedia bergabung di dalamnya, sedangkan Magabudhi bergabung di Walubi. Hal ini kemudian menjadi dilema tersendiri.
Sebelum itu muncullah Konferensi Agung Sangha Indonesia (KASI) yang tidak bernaung di bawah Walubi. Organisasi bhikkhu atau bhikshu–bhikshuni ini didukung oleh Sangha Theravada Indonesia (STI), Sangha Mahayana Indonesia dan Sangha Agung Indonesia (Sagin).
Magabudhi Keluar dari Walubi
Karena Sangha Theravada Indonesia tidak lagi menjadi anggota Walubi maka kedudukan Magabudhi di Walubi menjadi dilema tersendiri antara lain dikarenakan sikap tidak bersahabat Ketua Umum Walubi, Hartati Murdaya, pada STI.
Buddhist Online1 menulis: Setelah setahun lebih hanya bertarik-ulur saja, akhirnya ‘benang’ yang menghubungkan Magabudhi dengan Walubi diputus juga. Melalui suratnya bernomor 432/MT-PP/KSJ/III/2000, Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia itu secara resmi menyatakan keluar dari Walubi sejak tanggal 20 Maret 2000.
Awalnya, pihak Magabudhi yang berkirim surat dahulu ke Ketua Umum DPP Walubi, Siti Hartati Murdaya. Dalam suratnya, mereka menganggap Ketua Umum DPP Walubi itu telah mengobok-obok lahan mereka. Bak seorang petani pemilik lahan, mereka protes keras. “Janganlah memetik panen dari lahan yang sudah ditanami dengan susah payah oleh kami. Masih lebih luas lahan yang belum tergarap”, kata Ketua Umum Magabudhi Herman S. Endro, S.H. dalam surat yang ditandatangani bersama Sekretaris Jenderal Ir. Ariya Chandra.
Menurut pihak Magabudhi, daripada merebut umat asuhan mereka lebih baik kalau Walubi mengkonsentrasikan diri pada usaha “mengembalikan ex umat Buddha yang pindah ke agama lain untuk kembali ke pangkuan agama Buddha.”
Selanjutnya, mereka menyebutkan bahwa setidaknya ada tiga tindakan dari Walubi yang mereka anggap sebagai bentuk intervensi dari Walubi. Yaitu, merekrut dharmaduta dan pandita Magabudhi dengan berbagai insentif, aktif berjam-jam menelepon PD dan PC Magabudhi agar bergabung dengan organisasi Theravada yang dibentuk dan didanainya, dan melontarkan berbagai isu negatif serta memutarbalikkan informasi yang dapat menyesatkan orang banyak yang ditujukan kepada grup Theravada (STI dan Magabudhi) baik di media cetak maupun elektronik.
Kepada Ketua Umum Walubi, pihak Magabudhi mengingatkan agar ia dapat memposisikan dirinya sebagai Ketua Umum yang arif dan bijaksana dalam membina umat Buddha. “Bukan membinasakan. Mohon diingat (juga) bahwa Ny. Siti Hartati Murdaya bukan pengurus organisasi Theravada,” ujar Herman S. Endro, S.H.
Rupanya surat dari Magabudhi itu membuat emosi pihak Walubi meninggi. Dalam surat balasannya, selain menolak tuduhan sebagai tukang serobot lahan orang, Ketua Umum Walubi, Siti Hartati Murdaya malah balik melontarkan sejumlah tuduhan kepada pihak Magabudhi. “Umat Buddha Theravada Indonesia bukan umat Magabudhi juga bukan umat STI. Tetapi adalah umat Theravada yang dapat dilayani oleh semua organisasi Theravada termasuk Magabudhi”, tulisnya dalam surat balasan yang ditujukan kepada PP Magabudhi itu.
Ia menyebut Magabudhi sebagai pihak yang tidak mengenal balas budi dan rasa terima kasih karena, “Telah banyak memojokkan para dharmaduta asing yang sangat berjasa bagi umat Buddha Theravada Indonesia,” ujar Siti Hartati Murdaya. Kemudian, dikatakan olehnya bahwa, “Anda hanya banyak membuat peraturan-peraturan organisasi dan menghambat majunya perkembangan agama Buddha Theravada Indonesia. Anda tidak banyak berbuat nyata bagi kemajuan umat Theravada, melainkan maju di depan setelah semua pekerjaan dikerjakan oleh orang lain.”
Yang agak menggelikan, pada beberapa poin lain dalam surat tersebut ia malah mengungkit keberadaan dirinya sebagai sponsor yang banyak berjasa.
“Sejak tahun 1974, saya telah menjadi sponsor perkembangan umat Buddha Theravada Indonesia di bawah bimbingan seorang dharmaduta Thailand di Indonesia. Tidak sedikit perjuangan dan kontribusi saya pada kemajuan agama Buddha Theravada Indonesia,” papar Ketua Umum Walubi sejak 1998 itu.
Ada sejumlah penyebab yang melatari keluarnya Magabudhi dari Walubi (Perwakilan Umat Buddha Indonesia). Dalam lampirannya, Magabudhi menganggap DPP Walubi telah melanggar prinsip non-intervensi, seperti yang tercantum dalam Anggaran Dasar Walubi—pada vihara-vihara Theravada. Selain itu, menurut Magabudhi, DPP Walubi telah dan tetap melanggar Anggaran Dasar Walubi Pasal 21 dengan menempatkan bhikkhu asing dalam Dewan Sangha Walubi meskipun telah ditolak oleh Magabudhi sesuai haknya sebagai anggota. Hal lain yang tidak kalah pentingnya dalam menguatkan keputusan hengkang itu adalah adanya kebijakan dari Presiden Gus Dur bahwa pemerintah akan melayani semua organisasi keagamaan secara sama.
Di samping itu, sebenarnya hasil Sarasehan Magabudhi se-Jawa, Bali, dan Lampung 11 Maret 2000 telah mendesak PP Magabudhi agar segera memutuskan keanggotaan di Walubi agar tidak membingungkan pengurus dan anggota Magabudhi di daerah-daerah. Terakhir, Rapat PP Magabudhi yang diadakan pada 19 Maret 2000 di Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya, Jakarta secara bulat memutuskan untuk keluar dari keanggotaan Walubi. Surat keputusan yang ditandatangani oleh Ketua Umum Herman S. Endro, S.H. dan Sekretaris Jenderal Ir. Ariya Chandra itu juga memerintahkan agar semua anggota Magabudhi, baik di pusat, daerah, dan cabang, yang memegang jabatan pengurus di Walubi agar melepaskan jabatan mereka itu.
Sumber: Jayamedho, Bhikkhu. Menapak Pasti: Kisah Spiritual Anak Madura. Edisi Revisi. Jakarta: Penerbit CENAS, 2015, Bab 11 “Perwakilan Umat Buddha”, hlm. 155–171.