Bab 9

Bab 9

Organisasi Buddhis Mencari Bentuk

Era Soeharto

Situasi sosial politik saat itu ”mewajibkan” setiap orang harus beragama, untuk tidak dikatakan komunis, kiri, atau atheis. Dampak dari kondisi tersebut berbondong-bondong ribuan orang Jawa Abangan dan kaum kebatinan Jawa, diberbagai desa di pulau Jawa, dengan sukarela kembali memeluk agama leluhur “agomo Buddho”. Hal ini terutama kaum kebatinan yang berhimpun dalam organisasi dengan embel-embel Buddha, seperti Jawi Wisnu. Mereka ditekan oleh kaum mayoritas untuk memilih agama.


Pimpinan Perbudi di Jawa menjadi kewalahan membuddhiskan mereka, mengajari cara sembahyang dan memberi tuntunan pemahaman ajaran Buddha, dengan tenaga rohaniwan yang sangat minim jumlahnya. Belum lagi tekanan kaum mayoritas yang tidak rela mereka memeluk agama Buddha. Sebagian besar dari mereka juga warga pendukung Soekarno, yang disebut Soekarnois, yang dituduh kiri. Belum yang benar benar kiri memilih beragama Buddha. Bisa dibayangkan begitu rumit pekerjaan pimpinan umat Buddha waktu itu.

 

Di satu pihak melindungi warga Tionghoa di kota yang dituduh anggota Baperki dan organisasi komunis lainnya, sedangkan di desa melindungi mereka dari berbagai tekanan fisik dan psikis serta spiritual.


Pada tahun 1970, empat organisasi Buddhis di Semarang menggabungkan diri. Persaudaraan Upasaka Upasika Indonesia (PUUI), Perhimpunan Buddhis Indonesia (Perbudi), Gerakan Pemuda Buddhis Indonesia (GPBI) dan Gerakan Wanita Buddhis Indonesia melebur menjadi ke dalam satu wadah yang disebut Perbudhi. Seperti telah ditebak, alasan peleburan itu adalah agar tidak terjadi perselisihan atau persengketaan dalam pembagian peran pembinaan umat Buddha, karena memang sebelumnya sering terjadi perebutan pengaruh antara PUUI dan Perbudhi. Tentulah yang paling dihindari bakal munculnya konflik yang ditakutkan mengganggu stabilitas keamanan dan politik.


Kejadian penting kelahiran bhikkhu baru adalah diselenggarakannya penahbisan bhikkhu Indonesia yang dilakukan di puncak Candi Borobudur yang dilakukan oleh kepala Ordo Theravada Dhammayutikaya, Somdech Phra Sasana Sobhana (kini Sangharaja Thailand), dari Bangkok pada tanggal 8 Mei 1970 yang bertepatan dengan Hari Waisak. Mereka adalah Bhikkhu Aggajinamitto—seorang Ambon asli, Bhikkhu Uggadhammo, Bhikkhu Sirivijayo, Bhikkhu Jinadhammo, dan Bhikkhu Saccamano.


Peristiwa agung ini mengulang penahbisan pertama mazhab Theravada di bumi Indonesia bertempat di Sima Internasional, Watugong, Semarang, yang menahbiskan Bhikkhu Jinaputta, Samanera Jinagiri (Bhikkhu Girirakkhitto) dan Samanera Jinapiya (Bhikkhu Titthakethuko) pada jelang Waisak Mei 1959. Para penahbis adalah beberapa bhikkhu dari ordo bhikkhu Theravada dari beberapa negara.

 

Kibarkan Panji Theravada

Sesudah G-30-S/1965, beberapa dari kaum muda ini, termasuk saya dan Mochtar Rashid, tanpa didampingi Pandita Karbono karena dia adalah pegawai negeri, menjadi wakil umat Buddha di forum lintas agama di Kota Bandung, duduk sejajar dengan tokoh dari agama Islam, Katolik dan Kristen. Waktu itu kami berdua sangat minim pengetahuan agama Buddha serta miskin kepemimpinan. Hanya berbekal nekat dan percaya diri, kita maju melindungi umat Buddha.

 

Kami sebagai anak didik Karbono di Bandung yang berjuang mengembangkan agama Buddha saat itu dalam perkembangan kemudian diketahui sekaligus berperan besar menjejakkan dan memekarkan Theravada di Indonesia. Pergerakan kelompok ini untuk selanjutnya tidak dapat dihindarkan, berpengaruh besar dalam upaya pendisiplinan dan penguatan identitas agama Buddha.

 

Selama sepuluh tahun sesudah G30-S/PKI di samping kita kewalahan menyantuni berbondongnya umat Buddha dari desa-desa, kami juga ada rasa kekhawatiran bilamana ada pertanyaan dari komunitas lain tentang Tuhan umat Buddha. Memiliki ataukah tidak memiliki dan di mana posisi sentral Buddha Gotama sebagai pendiri agama Buddha karena banyak buku terbitan kita sendiri dari Surabaya maupun dari luar negeri yang jelas menulis: “Tidak ada Tuhan dalam ajaran Buddha” (There is no God in Buddhism). Demikian juga tulisan maupun ceramah-ceramah Naradha Mahathera. Dalam semua kebaktian Buddhis tidak pernah ada puji-pujian pada Tuhan maupun bermacam permohonan pada Tuhan layaknya agama lain.

 

Diskusi-diskusi internal aktif dilakukan untuk mencari ”nama” bagi Tuhan umat Buddha yang bila sewaktu-waktu ditanyakan maka kita sudah ada jawaban.

 

Perserta diskusi tersebut adalah Bhikkhu Ashin, Bhikkhu Girirakkhitto, Karbono, Mochtar Rashid dan saya sendiri. Kadangkala dikonsultasikan dengan kelompok Jakarta seperti Widyadharma yang paham agama Buddha serta Sumantri MS dan Suradji dari DPP Perbudi.

 

Nama-nama yang dipilih adalah Dharma, Nirwana atau Nibbana, Asankhata Dhamma, Sang Hyang Adi Buddha. Kita mencari referensi dari Tripitaka Pali namun tidak ada yang mengena yang mudah dipahami non-Buddhis.

 

Dari kami mengusulkan Asankhata Dhamma, Yang Mutlak atau ambil secara nasional Tuhan Yang Maha Esa saja. Bhikkhu Ashin mengusulkan nama Sang Hyang Adi Buddha meski diambil dari naskah Sansekerta.

 

Dasar kaum Theravada mengakui Yang Mutlak karena benar-benar termaktub dalam kitab suci Tripitaka Pali:

 

”Ketahuilah para bhikkhu bahwa ADA sesuatu yang tidak dilahirkan, yang tidak menjelma, yang tidak tercipta, YANG MUTLAK.


Duhai para bhikkhu, apabila tidak ada yang tidak dilahirkan, yang tidak menjelma, yang tidak diciptakan, YANG MUTLAK, maka tidak akan mungkin kita dapat bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu.


Tetapi para bhikkhu, karena ADA yang tidak dilahirkan, yang tidak menjelma, yang tidak tercipta, YANG MUTLAK, maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu”.

(Kitab Udana)

Dalam uraiannya mengenai prinsip Ketuhanan, Soekarno, dalam pidato lahirnya Pancasila 1 Juni 1945, menegaskan:

 

”Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan. Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al-Masih, yang Islam menurut petunjuk Nabi Muhammad S.A.W, orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya.


Tetapi marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya Negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yaitu dengan tiada ’egoisme-agama’. Dan hendaknya Negara Indonesia satu negara yang ber-Tuhan!”

 

Soekarno sangatlah berwawasan luas jauh kedepan melampaui jamannya secara bijaksana yang memahami dengan benar tentang ketuhanan dalam ajaran Buddha.

 

Sebenarnya Menteri Agama Prof. Dr. A. Mukti Ali, yang ahli dalam ilmu perbandingan agama, pada tanggal 7 Oktober 1970 di SESKAU, Lembang (dibukukan oleh Yayasan Nida, Yogyakarta) mengatakan:

 

”Soal Buddhisme adalah berbeda sedikit. Pada umumnya para sarjana agama beranggapan bahwa Buddhisme itu merupakan agama yang tak ber-Tuhan. Buddha mengajarkan tentang peningkatan kerohanian manusia yang dapat dicapai dengan memahami dan mengikuti hukum-hukum moral yang menurut Dia adalah kasih sayang dan penekanan keinginan-keinginan yang sifatnya pribadi dan jasmani. Ia menolak ajaran Trimurti Hindu, tetapi ia tidak menolak dan tidak mengajarkan ke-Esa-an Tuhan. Tetapi ajaran tentang Nirwana, sekalipun digambarkan dalam ungkapan-ungkapan yang negatif, sebagai suatu keadaan di mana semua sakit dan batasan-batasan hidup dan semua ketakutan dan kesusahan hilang, adalah merupakan kea-daan yang positif daripada Ketuhanan.”

 

Hal ini dapat digambarkan oleh pengalaman-pengalaman ahli-ahli mistik besar dalam pelbagai agama dalam sementara waktu.


Jiwa manusia dapat mencapai kesatuan dengan Yang Maha Suci, sekalipun kesatuan itu tidak dapat digambarkan oleh otak manusia, karena kesatuan dan perpisahan adalah istilah-istilah yang dari dunia, terbatas oleh ruang dan waktu. Kita barangkali saja dapat menyatakan,

“bahwa Buddha adalah seorang monotheis dalam arti mistis”

Akhirnya dengan berbagai pertimbangan disetujui istilah Sang Hyang Adi Buddha meski tidak ada dalam Tripitaka Pali, dengan syarat dalam kebaktian tidak dijadikan obyek sesembahan/pujaan dan permohonan seperti agama lain. Hal ini disepakati namun dalam perjalanan waktu hal ini diingkari dan mencuat menjadi masalah nasional yang ditimbulkan oleh komunitas Buddhis sendiri dan bukan oleh orang luar.


Kelanjutan dari hal di atas merembet ke masalah pembabaran dan penerapan ajaran yang dirasa campur-aduk yang sejak awal telah dirasakan antara lain di vihara diijinkan ceramah kebatinan Jepang Ogamisama di mana dikatakan nabinya adalah seorang wanita dan masih hidup. Kita geleng-geleng kepala, kalau hal ini masuk di Indonesia akan menghadapi masalah besar dengan kelompok mayoritas yang meyakini tidak ada wanita menjadi nabi dalam sejarah agama mereka.

 

Perselisihan menjadi memuncak tatkala Maha Pandita Karbono dari Bandung dan Maha Pandita Widyadharma dari Jakarta dipecat PUUI (Persaudaraan Upasaka-Upasika Indonesia) dengan fitnahan urusan kedekatan dengan umat wanita yang tidak pernah terbukti. Syukur Aggi Tjetje dari Tridharma membantu merehabilitasi kedua beliau melalui keputusan Direktur Jenderal Hindu & Buddha.

 

Situasi yang tidak kondusif ini memunculkan tekad mengibarkan bendera Theravada di mana kedua beliau memproklamirkan Majelis Pandita Buddha-Dhamma Indonesia (Mapanbudhi) di Bandung, pada tanggal 3 Oktober 1976. Pendiri-pendiri lain yang ikut merumuskan adalah Mochtar Rasyid dan Hudoyo Hupudio, yang berada di Bandung, Ratna Surya Widya dari Jakarta serta saya dan Djamal Bakir yang kala itu berada di Jawa Timur. Kata Mapanbudhi diartikan bahwa ”Budhi-nya sudah mapan atau mantap” dan jauh dari goyah untuk memegang teguh Tripitaka Pali sebagai ajaran tertua dalam agama Buddha. Bukan kukatakan ajaran termurni karena takut menyinggung tradisi yang lain.

 

Tujuan organisasi tersebut adalah dengan teguh memegang kemurnian Dharma-Vinaya seperti tertulis dalam Kitab Suci Tripitaka Pali. Kami bertekad tidak hendak mencampur Dharma dan Vinaya tersebut dengan paham apapun juga baik dari internal Buddhis maupun non-Buddhis. Para anggotanya pun tidak
diperkenankan dalam khotbah kebaktian membabarkan ajaran di luar Tripitaka Pali demi menghormati ajaran lain yang tidak kita kuasai. Namun bila diselenggarakan di luar kebaktian (puja) hal itu masih diperkenankan sepanjang sebagai studi perbandingan agama, dengan cara menunjukkan referensi yang diperlukan.

 

Kata ”kemurnian” di belakang hari menjadi polemik di antara majelis-majelis agama Buddha yang lain karena seakan ajaran majelis yang lain tidak murni. Sedangkan yang kami maksud adalah berbeda seperti saya jelaskan di atas.


Masalah Ketuhanan umat Buddha menjadi runyam tatkala pemerintah, Ditjen Hindu dan Buddha turut campur urusan ajaran, dengan dikeluarkannya surat pengumuman tentang ”Tuhan Yang Maha Esa dari agama Buddha di Indonesia adalah Sang Hyang Adi Buddha” oleh Drs. Oka Diputhera selaku Kasubdit Pendidikan & Penerangan Agama Buddha pada tanggal 1 Juli 1974 di Candi Pawon dan bukan di Jakarta. Hal ini membuat tokoh Theravada menentang keras dan memprotes langsung ke Direktur Jenderal Bimas Hindu & Buddha, Gde Puja, M.A.

 

Dirjen membalas pada 9 Agustus 1974 yang isinya:

  1. Pemerintah tidak mencampuri urusan doktrin ajaran agama Buddha.
  2. Soal doktrin adalah soal umat agama yang bersangkutan yang seperti saudara telah konsultasikan dengan kami dan sependapat tentang di acara.
  3. Kalau saudara memelajari saran-saran kami, yang kami berikan pada Sangha Agung Indonesia, kiranya saudara telah dapat mengambil kesimpulan bahwa kami berusaha tidak mencampuri masalah intern agama Buddha kecuali bimbingan yang harus kami berikan dalam batas-batas yang dimungkinkan oleh UU.
  4. Adanya pengumuman yang dikeluarkan oleh Ka. Sub Dirjen. Pendidikan dan Penerangan agama Buddha adalah kekeliruan administrasi dan karena itu harus dianggap tidak ada.

Pertentangan pribadi dengan Bhikkhu Ashin serta para tokoh Theravada dibelokkan kelompok pendukungnya mengarah menjadi pertentangan doktrin, di mana yang tidak mengakui Sang Hyang Adi Buddha adalah atheis sehingga masuk ke dalam tulisan di majalah Tempo. Karenanya saya dan Rashid dipanggil Dirjen untuk memberikan klarifikasi tentang hal ini serta dengan nada bahwa kalau benar atheis maka dapat dibubarkan.

 

Waktu itu Karbono sudah wafat, sehingga kami berdua menyiapkan naskah surat jawaban bahwa Theravada ber-Tuhan sesuai dengan kitab suci dan mengakui adanya Tuhan dengan nama Tuhan Yang Maha Esa, Yang Mutlak. Naskah surat sebelumnya sudah dibaca dan disetujui Sangha Theravada Indonesia. Surat secara resmi dilayangkan oleh Mapanbudhi yang ditandatangani oleh Suparto HS, Ketua Umum dan saya selaku Sekretaris Jenderal.


Sebelumnya kami minta bicara enam mata dengan Dirjen sebagai seorang terpelajar karena beliau lulusan sekolah agama di Benares. Beliau membenarkan argumentasi kami, namun sewaktu saya tanyakan pada beliau, mengapa tidak membela kami? Beliau hanya menjawab: ”Khan saya seorang Dirjen”. Kami memahami makna tersembunyi di dalamnya.

 

Kami berdua juga audiensi beberapa kali dengan Menteri Sosial Sadjarwo, yang orang Kejawen, tentang masalah yang kita hadapi. Beliau sangat mendukung kami dengan mengatakan:

”Pegang teguh ajaran seperti dalam kitab suci, namun pembabarannya disesuaikan dengan kondisi dan cara berpikir Indonesia. Cara membabarkan seperti di Thailand atau Sri Lanka belum tentu sesuai dengan kondisi di Indonesia.”

Kami menyetujui sepenuhnya nasihat beliau.

 

Mapanbudhi secara internal menjadi pendamping (dayaka) dan pendukung organisasi Sangha Theravada Indonesia dan memiliki hubungan moral religius yang kuat meski sesuai dengan Undang-Undang tentang Organisasi Kemasyarakatan, secara hukum kedua organisasi itu memiliki kemandirian dan berkedudukan sederajat.

 

Waktu itu kita tidak menggunakan kata Theravada karena umat awam masih trauma dengan istilah tersebut dan takut dituduh atheis, seperti tuduhan pihak pesaing.

 

Sebagai taktik maka Sangha yang akan dibentuk kemudian menggunakan istilah Theravada karena jumlah bhikkhunya terbatas dan mereka memahami permasalahannya.


Dua puluh hari kemudian, tepatnya 23 Oktober1976 Sangha Theravada Indonesia (STI) yang didirikan di Vihara Tanah Putih, Semarang, atas desakan para tokoh Buddhis Jawa Tengah dan Yogyakarta, antara lain KS Suratin, Phoa Bing Swan, ibu Soepangat Prawirokoesoemo dan lain-lain. Pada awalnya Sangha terdiri dari lima orang bhikkhu saja sebagai pendiri, yaitu Bhikkhu Aggabalo (Cornelis Wowor), Bhikkhu Sudhammo, Bhikkhu Khemasarano, Bhikkhu Khemiyo dan Bhikkhu Nyanavuttho. Para bhikkhu lain seperti Bhikkhu Girirakkhito belum menjadi anggota karena masih terikat dengan kesepakatan dengan Dirjen.

 

Ibarat rel kereta api, gerbongnya lebih dulu ada, baru disusul lokomotifnya. Di sini dapat diartikan, jika saja majelisnya belum terbentuk, belum tentu sanghanya terbentuk, sebab keberadaan Sangha karena didukung umat. Cabang-cabang Mapanbudhi pun lantas serentak berdiri di daerah-daerah, walaupun belum secara resmi didirikan. Namun tidak lama berselang diadakanlah kongres, dan kepengurusan di daerah pun dikukuhkan.

 

Dalam perkembangan kemudian, nama Buddha-Dhamma yang terdapat dalam Mapanbudhi dianggap tidaklah memadai dan haruslah sejelas mungkin. Nama itu dianggap terlalu lokal. Hal yang sama juga menimpa para penganut Buddha Jawi Wisnu yang tersebar di Jawa Timur, yang karena menganggap agama asli, kemudian ditumpas karena tidak disukai pemerintah. Muncul desakan dari pemerintah kala itu, jika tidak segera dilakukan pembenaran sesuai dengan standar internasional, ditakutkan akan ada pihak lain yang menggunakan nama Theravada yang telah berstandar internasional. Disarankan supaya kelompok yang telah terhimpun dalam Mapanbudhi, tidak kecolongan dan segera mengumumkan pemakaian nama Theravada secara jelas dan tegas. Menyikapi kemungkinan ini, segeralah para pengurus Mapanbudhi mengambil sikap.


Tidak berapa lama kemudian, pada tahun 1995 diubahlah namanya menjadi Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia (Magabudhi) sebagai ganti dari Mapanbudhi. Penggantian nama tersebut adalah saran dari Drs. Budi Setiawan, Direktur Urusan Agama Buddha agar terjadi penyeragaman serta memperjelas identitas.

Terpengaruh Budaya Selatan

Bhikkhu Ashin Jinarakkhita sebagai bhikkhu pertama dari Indonesia dipandang memiliki kharisma tersendiri. Terutama atas inisiatifnya dalam mendirikan dan memimpin Sangha Suci Indonesia yang kemudian diubah menjadi Maha Sangha Indonesia pada tahun 1963. Dianggap sebagai bhikkhu pembaharu dan mencoba mengembalikan kejayaan ajaran Buddha di Indonesia. Sayangnya, tidak banyak murid menyertainya dalam rencana besar nan mulia itu. Dirasakan minimnya SDM yang ada. Lantas dikirimlah beberapa pemuda untuk belajar agama Buddha. Setidaknya terdapat dua pandita yang kemudian kelak menjadi Bhikkhu Girirakkhito dan Bhikkhu Jinaratana serta ditemani beberapa pandita lain belajar ke luar negeri. Periode pengiriman ini sampai kepada generasi Mochtar Rashid. Kebanyakan dari mereka belajar di Thailand.

 

Di tahun 1969, atas nama Maha Sangha Indonesia, Bhikkhu Ashin Jinarakkhita pergi ke Thailand meminta bantuan dari Sangha Thailand, untuk mengirimkan dharmaduta. Permintaan tersebut dipenuhi dan disetujui akan diberikan bantuan teknis, bantuan pendidikan dan lain-lain. Hal ini dilakukan agar jangan kelompok Buddhis Indonesia, Semarang mendahului meminta dharmaduta karena mereka tidak memiliki Sangha.


Pada saat bersamaan Chau Kun Phra Dhepvoravethi dari Wat Paknam, Thonburi, Bangkok, Thailand, datang berkunjung ke Indonesia dan menghibahkan kitab suci Tipitaka Pali dan beberapa patung Buddha. Patung-patung itu diberikan kepada beberapa vihara di kota-kota besar.

 

Untuk merealisasikan proyek dharmaduta pertama, dikirimlah 4 orang bhikkhu dari Thailand ke Indonesia. Mereka adalah Phra Kru Pallad Viriyacariya (Bhikkhu Suvirayan), Phra Kru Pallad Attacariya Nukich (Bhikkhu Win), Phra Kru Maha Prataen Khemadasi dan Phra Kru Maha Sujib Khemacaro. Mereka mendarat di Bandara Kemayoran, 25 Juli 1969. Saya termasuk salah seorang penjemput rombongan bhikkhu dari Thailand tersebut. Kehadiran keempat bhikkhu asal Thailand itu sebenarnya mencerminkan dua tarekat (ordo) Theravada di Thailand, Mahanikaya dan Dhammayutikaya. Masing-masing 2 (dua) bhikkhu dari Mahanikaya dan 2 bhikkhu dari Dharmayutikaya. Bhikkhu Win Vidhurdhammabhorn sendiri yang lantas bertahan lama sampai wafatnya tahun 2006 di Jakarta adalah berasal dari kelompok Dhammayutikaya.

 

Setelah masa dharmaduta sebagaimana direncanakan telah selesai, seharusnya para bhikkhu dari Thailand itu kembali ke Thailand. Namun Bhikkhu Win memilih bertahan untuk melakukan misi di Indonesia. Bhikkhu ini malah rajin mencari orang-orang yang dianggap sesuai untuk direkrut menjadi bhikkhu. Ia berkeliling ke berbagai daerah di Indonesia. Beberapa orang kemudian dikirim ke Thailand dalam beberapa gelombang. Dalam upaya perekrutan tersebut, Bhikkhu Win tidak memberi iming-iming, tetapi mengetuk kesadaran nurani umat Buddha. Namun dalam perkembangan lebih lanjut, tidak tersadari sebelumnya bahwa kondisi sosial-politik Indonesia dan Thailand sangat berbeda. Mencari calon bhikkhu di Indonesia sangat sulit, karena peran yang diemban jauh lebih luas disamping kehidupan mereka yang penuh perjuangan.


Bekal moral yang diberikan oleh Somdet Nyanasamwara—penasihat spiritual raja Thailand, sangat terasa dan membekas di kalangan para elit Theravada di Indonesia. Delegasi Theravada Indonesia ini mendapat petuah berharga ketika menghadap beliau dengan pesan, bahwa agama Buddha (Theravada) akan besar di Indonesia jika mampu memenuhi beberapa syarat.

  1. Haruslah setia kepada kitab suci Tripitaka berbahasa Pali.
  2. Berakar dalam budaya anak negeri. Artinya, tidak sembarang mengakar kepada kebudayaan lain seperti Thailand, Sri Lanka, Kamboja atau Myanmar.
  3. Mempunyai tempat permanent uposatha atau ordonation hall, yang bersifat tetap dan bukan temporer sifatnya. Tempat ini merupakan tempat penahbisan. Kebetulan waktu itu umat Theravada masih mendompleng di kelenteng-kelenteng dan belum memiliki vihara sendiri. Namun dalam perkembangannya, untuk syarat ketiga yang lebih bersifat fisik ini telah terpenuhi dengan berdirinya Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya, Sunter, Jakarta Utara dan Vihara Dhammadipa Arama di Batu, Malang.
  4. Adanya bhikkhu yang ditahbiskan di Indonesia, dan ditahbiskan di uposatha hall di Indonesia dan penahbisnya adalah bhikkhu Indonesia. Realisasi syarat keempat ini tiga putera bangsa ditahbiskan sebagai bhikkhu-bhikkhu pertama dengan penahbis bhikkhu Indonesia, Sukhemo Mahathera. Ketiga bhikkhu tersebut adalah Bhikkhu Gandhako yang telah almarhum, Bhikkhu Jagaro yang bertugas di Vihara Nusa Dhamma, Cilacap dan Bhikkhu Khantidharo di Vihara Dhammadipa Arama, Batu, Malang.

 

Dalam situasi awal kebangkitan Theravada itu, saya mudah menjalin kedekatan dengan kalangan Nichiren Shoshu Indonesia (NSI). Ketua NSI, Seno Soenoto juga kukenal dengan baik. Saya bahkan sering datang ke vihara NSI di kawasan Megamendung, Bogor dan menginap disana. Kala itu, Seno Soenoto meramalkan akan perkembangan yang baik dari Theravada di waktu-waktu mendatang. Seno meramal disertai beberapa alasan, meski dikala itu Theravada baru saja dilahirkan:

  1. Theravada setia kepada kitabnya, mereka memercayai bahwa kitab suci Buddhis tertua adalah kitab suci Tripitaka Pali. Ada pula orang mengatakan Theravada adalah agama Buddha paling murni, karena tidak ada lagi kitab suci Buddhis yang lebih tua. 
  2. Theravada telah mempunyai jaringan internasional yang cukup kuat, seperti keberadaan umat yang sama di Thailand, Sri Lanka, Burma dan sebagainya. Di negara tersebut, agama Buddha sangat kuat, bahkan mampu memengaruhi kepemimpinan negara.
  3. Orang Theravada susah dibeli, dalam arti diberi uang yang lalu diharapkan mau membelot bergabung dengan sekte lain. Namun hal itu bukan berarti menutup fakta adanya beberapa orang yang karena terpaksa melakukan hal itu. Bagi yang tidak mau dibeli, dasar keyakinan kepada Theravada betul-betul karena divosi yang kuat.

 

Dengan bersandar beberapa alasan tersebut di atas, Seno menganggap Theravada sebagai penghalang paling besar bagi tumbuhnya NSI. Demikian ini belakangan memang benar terbukti. Kita mengeluarkan dokumen Buku Putih berisi alasan-alasan serta bukti-bukti kutipan literatur mereka yang menyeleweng dari Konsensus Bersama. Karena kita dekat Seno maka kita tahu segalanya.


Penentangan sekte-sekte lain terhadap NSI menyebabkan NSI mental dari Walubi. Theravada ditengarai salah satu penentang keras keberadaan NSI dalam Walubi.

 

Komposisi Umat Theravada

Sebagai paham keagamaan dalam agama Buddha yang baru tumbuh kembali di Bumi Pertiwi, wajarlah belum banyak capaian yang menyuguhkan sesuatu yang luar biasa. Pohon yang lama tinggallah akar dan tunas baru belum sepenuhnya tumbuh menghijau. Namun secara umum dilihat dari komposisi penganutnya, sekitar 70% umat Theravada di Indonesia adalah pribumi, sedangkan sisanya merupakan keturunan Tionghoa. Menarik di sini, masyarakat Jawa malah menjadi basis pembinaan bagi Theravada. Mereka kebanyakan tinggal di pelosok desa. Mereka mengisi 70% populasi dari kalangan non-Tionghoa tersebut. 

 

Seiring perkembangan waktu, agama Buddha Theravada telah mengembang dan berbiak di beberapa kawasan. Salah satu gambaran besarnya populasi umat Buddha di suatu wilayah dapat dipetik dari komposisi umat Buddha di Kecamatan Kaloran, Temanggung. Di kecamatan ini, menurut penuturan Henry Basuki, tokoh umat Buddha Theravada Jawa Tengah, 60 persen jumlah penduduknya beragama Buddha.


Kegiatan Magabudhi sangat dinamis, sesuatu yang berbeda dengan di kota besar yang terkadang justru malah angin-anginan. Menurut data Magabudhi pusat, jumlah keanggotaan Magabudhi sekitar 600 orang pandita, sejumlah 70% adalah pribumi. Mereka ini menjadi pembina untuk rata-rata 50 KK di tempatnya masing-masing.


Cukup rumit mencari penjelasan mengapa orang keturunan memeluk agama Buddha Theravada. Umumnya mereka para pemuja dewa dan sangat berorientasi ritual yang turun temurun. Namun sekadar asumsi, mereka tertarik ke Theravada kebanyakan karena mencari ajaran, bukan sekadar pemujaan. Setelah memeluk Theravada, banyak di antaranya mereka malah menjadi begitu fanatik. Kalangan muda lebih banyak intim mengenal secara mendalam. Hal yang sama dapat dilihat pula pada fenomena anak muda  Buddhis di tahun 1970-an. Situasi ini merubah orientasi orang tentang agama Buddha yang dulu hanya dikenal pergi ke kelenteng (Toapekong), sekarang beralih pergi ke vihara.


Masyarakat Theravada tidak luput dari keberadaan polemik lama antar sesama penganut Buddha, termasuk menyisir di kalangan anak mudanya. Namun bagi saya, menjadi langkah mundur jika anak-anak muda sudah terkotak-kotakkan berdasarkan sekte. Sebetulnya dulu tidak lepas dari perannya sendiri juga. Semula sebetulnya saya hanya menghendaki, bahwa kalangan bhikkhu dan pandita haruslah sektarial, sebab mereka yang menjaga vinaya. Barulah umat yang dianjurkan untuk non-sektarial. Ia menyebut hal ini sebagai kecelakaan sejarah.

 

Kejadian itu bermula ketika tengah dilangsungkannya konferensi World Fellowship of Buddhist (WFB) dan WFB Youth di Seoul, Korea tahun 1990. Delegasi Buddhis Indonesia juga datang yang diwakili antara lain oleh saya dan Rashid. Timbul di benak Rashid demi melihat konferensi WFB Youth tersebut dan melihat tidak ada pemuda Theravada dari Indonesia, ia ingin agar kelak delegasi anak muda Buddhis dari Indonesia juga bisa turut serta. Demi alasan taktis, segeralah diputuskan untuk mendaftarkan sayap pemuda Theravada Indonesia dalam konferensi saat itu juga. Sebab jika tidak, persyaratan pendaftaran ke WFB Youth baru akan disahkan tahun depan. Kalau tidak didaftarkan sekarang, maka akan terdaftar tahun depan.


Sebagai tindak lanjut, selesai konferensi itu lantas didirikanlah PBI (Pemuda Buddha Dhamma Indonesia) di Jakarta pada tanggal 19 Februari 1990, yang bertepatan dengan hari raya Maghapuja, dengan Ketua Umum pertama Handa Kartawijaya. Nama ini selaras dengan nama Majelis Pandita Buddha Dhamma Indonesia (Mapanbudhi). Nama Theravada belum dipakai karena masih banyak orang takut dengan nama Theravada tersebut karena pernah dicap ”atheis” oleh pihak pesaing.


Kemudian atas permintaan dari Meliana Chandra, Ketua Umum PBI, yang hendak mengganti nama pada Kongres mereka di Mendut tanggal 19 Desember 1995, oleh saya sebagai salah satu inisiator waktu di Seoul, saya usulkan nama Pemuda Theravada Indonesia (PATRIA). Kebetulan dalam Bahasa Latin, Patria artinya adalah cinta tanah air. Jadi sesungguhnya organisasi Patria adalah kelanjutan dari PBI, seperti halnya Magabudhi adalah kelanjutan dari Mapanbudhi. Organisasi wanita Theravada (Wandani) juga didirikan pada tanggal dan tempat yang sama.


Sebelum kemunculan Patria itu sebetulnya telah muncul Gemabudhi (Generasi Muda Buddhis Indonesia) yang non-sektarian. Artinya, pemuda dari berbagai sekte bertemu. Langkah ini ditempuh, agar sekalipun di dalam luar biasa fragmentatifnya, kalau keluar kaum muda Buddhis tetap menjadi satu. Dengan berkembangnya Patria, mau tidak mau harus diakui pada tingkat anak muda pun telah terjadi perbedaaan. 

 

Cukup lama saya dan Rashid tidak menghendaki adanya organisasi sektarial pemuda Buddhis. Kita berdua lebih ingin adanya organisasi tunggal pemuda Buddhis. Untuk kepentingan eksternal dalam bidang kepemudaan mereka bersatu dalam satu nama, satu bendera. Untuk kepentingan internal vihara dari berbagai jenis mazhab maka mereka berkedudukan sebagai cabang. Dengan demikian akan terwujud semangat Bhinneka Tunggal Ika. Rashid mencoba memasukkan ide ini di bayi Gemabudhi namun karena satu dan lain hal ide ini tidak terwujud.

 

Terpaksalah dengan dorongan keras dari Rashid diproklamasikan organisasi Pemuda Theravada di Konggres WFB Seoul dan resmi dikukuhkan di Kongres WFB Youth Bangkok. Setelah kemunculan Patria, tidak lama disusul kemunculan Wanita Theravada Indonesia atau disingkat WANDANI (1995). Organisasi ini menjadi wadah kalangan perempuan dari sekte ini. Dalam suatu gurauan dengan pimpinan Wandani, saya pernah mengatakan, ”Kalau Pemuda Theravada di-singkat Patria, maka seharusnya Wanita Theravada juga disingkat Waria, dong!”. Wah, langsung para wanita serentak teriak kencang menolaknya sambil tergelak
gelak.


Keempat organisasi berbasis Theravada tersebut yaitu Sangha Theravada Indonesia (STI), Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia (Magabudhi), Pemuda Theravada Indonesia (Patria) dan Wanita Theravada Indonesia (Wandani) bersinergi dalam KBTI (Keluarga Buddhis Theravada Indonesia).

Organisasi Mahasiswa Buddhis

Di awal tahun 1970-an, di Jakarta waktu itu berdirilah organisasi mahasiswa Buddhis yang mana tergembleng beberapa tokoh muda seperti Surya Ratna Widya, Dharma Kumara Widya, Arya Chandra dan Krishnananda Wijayamukti. Waktu itu belum ada KMB (Keluarga Mahasiswa Buddhis) di banyak universitas, sehingga mereka menyatu padu dalam KMBJ (Keluarga Mahasiswa Buddhis Jakarta).


Generasi berikutnya dipimpin oleh Daniel Johan, anak muda mahasiswa Tarumanagara yang kukenal sejak masih duduk di bangku SMP Buddhis Triratna di daerah Glodok, Jakarta, sampai melanjutnya kuliah tanpa terputus. Sewaktu mereka mengundang saya untuk memberikan wacana hari depan kaum muda Buddhis, saya menyarankan bahwa wadah KMBJ (kelak berubah menjadi Hikmah Budhi) bukan meniru kondisi di vihara yang diisi kebaktian dan ceramah monolog, melainkan disesuaikan dengan kondisi mahasiswa yang rasional dan yang memiliki emosi yang bergejolak serba ingin tahu.

 

Selayaknya KMBJ mengubah diri menjadi organisasi yang bisa mengkaitkan Dharma dengan kekinian dalam bentuk diskusi dan pengkajian. Kaitkan Dharma dengan apa yang aktual terjadi di masyarakat, seperti terkait dengan hukum, ekonomi, sosial, humanisme, pluralisme dan politik yang bergejolak. Hal ini disambut mereka dengan antusias sehingga kebaktian cara Theravada mereka tinggalkan dan diganti dengan dialog-dialog. Bukankah Sang Buddha selalu bersikap dialogis dan bukan monologis dalam menghadapi orang lain dalam berbagai kesempatan? 

 

Hal ini berdampak beberapa pentolan Theravada merasa tidak senang denganku karena merasa kehilangan salah satu kaki, sehingga hubungan Hikmah Budhi dengan tokoh–tokoh Theravada menjadi dingin dan kurang mendapat dukungan. Apalagi Hikmah Budhi lebih banyak menyoroti masalah politik sehingga hubungan makin menjauh. Saya tetap mendukung dan memotivasi Hikmah Budhi. Dorongan demikian kuat itu dirasakan Daniel Johan yang kini menjadi Wakil Bendahara DPP PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) serta staf ahli Menteri Daerah Tertinggal.

 

Daniel menulis kesan tentang diriku sebagai berikut:

 

”Satu keutamaan yang sangat kuat dimiliki Romo Endro adalah jiwa mudanya. Bahkan hingga saat ini pun ekspresi semangat mudanya tidak luntur. Tidak seimbang antara umur dengan penampilan dan fisik, semangatnya yang terus muda. Keutamaan lainnya adalah komitmen beliau terhadap perkembangan Dharma dan pengkaderan generasi muda. Saya adalah salah satu anak-asuh beliau. Dan sekarang saya memanggil beliau sebagai “Ayah”. Selain sebagai guru Dharma di awal-awal saya mengenal Dharma, beliau menjadi orangtua kedua saya setelah papa mama kandung.”

 

Pertama mengenal saya saat Daniel masih bercelana pendek biru SMP. Tidak terasa telah berjalan 23 tahun lamanya. Sebagai orang yang selalu berusaha mencari kader-kader penerus Dharma yang baik, bagi Daniel sosok diriku dianggap sangat berdedikasi. Ia amat merasa dibimbing dan mendapat banyak masukan untuk melangkah memasuki kehidupan secara lebih berarti. Kuajak berdiskusi Dharma, mengelilingi vihara, kuperkenalkan dengan para bhikkhu senior.

 

Selanjutnya Daniel menuliskan kesan-kesan tentang diriku sebagi berikut:

 

”Saat lulus SMA dan mulai memasuki dunia kampus, gelora jiwa muda saya seringkali dianggap menimbulkan persoalan oleh para generasi yang lebih tua. Perubahan di mana-mana memang selalu diusung kaum muda, dan seringkali membuat panik generasi yang lebih tua. Romo Endro-lah salah satu dari generasi tua yang langka yang bisa memahami semangat kaum muda itu.

Beliau bukan hanya memaklumi, tapi justru memberi motivasi dan semangat untuk terus bergerak. Selama pergerakan tersebut dilandasi oleh kecintaan terhadap Dharma dan perubahan yang lebih baik, jangan takut dan teruslah berjuang. Bahkan beliau menjelaskan untuk tidak takut bereksperimen, meski salah. Selama niatnya baik, kesalahan merupakan sumber kematangan berharga untuk bekal dikemudian hari”.

 

Melalui diriku sebagai perantara pula Daniel mengenal kancah Buddhis internasional. Sadar bahwa perjuangan terhadap kemanusiaan tidak mungkin bisa dijalankan sendirian, maka dukungan nasional bahkan internasional menjadi sangat penting. Dari sana Daniel mulai mengenal tokoh-tokoh Buddhis kaliber dunia seperti Thich Nhat Hanh, Ajahn Sulak Sivaraksa, dan masih banyak lagi. Sejarah terus bergulir, tanpa pernah menyangka, ternyata perkenalan dengan Ajahn Sulak mengantar Daniel dan kawan-kawan bertemu dengan Gus Dur, dan terus bergulir dengan tokoh-tokoh nasional lainnya.

 

Namun Daniel juga melihat sisi lain atas diriku. ”Kalaupun ada kekurangan dari diri “Ayah” saya ini, mungkin itu bukan hal yang utama. Kadangkala karena semangat mudanya, beliau dalam beberapa hal suka menggunakan kalimat yang mungkin bagi lawan bicaranya dianggap pedas dan menyinggung perasaan. Atau saking darah mudanya terus mengalir, kadang menutup ruang dirinya untuk lebih mampu mendengar. Kekurangan lainnya yang sempat saya rasakan adalah “fanatisme Theravada”-nya yang seringkali berlebihan. Tapi saya melihat kalau waktu juga memberi kearifan untuk beliau, terutama sejak beliau mulai secara serius dan mendalam memelajari ajaran–ajaran HH Dalai Lama. Saya melihat ada perubahan besar di dalam diri beliau. Ada keterbukaan yang lebih luas, dan tentunya kearifan yang lebih dalam. Cara pandang beliau terhadap arus di luar Theravada mulai berbeda. Buat saya, beliau semakin otentik dalam memahami Dharma”.

 

Tiga Cangkang: Theosofi, Tridharma dan Kejawen

Melihat awal perkembangan Theravada, sekalipun banyak dililit polemik dengan sekte atau sangha lain, saya sampai pada kesimpulan bahwa lahan kemunculan ajaran Buddha itu terdiri dari tiga bidang, yaitu Theosofi, Tridharma dan Kejawen. Barulah setelah itu muncul ajaran Buddha dan belakangan memunculkan Mahayana, Theravada, dan sekte lain.

 

Theosofi berperan besar dalam menemukan kembali teks-teks klasik agama Buddha yang berasal dari Bahasa Pali maupun Sanskerta, yang diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa masyarakat Eropa. Teks-teks klasik tersebut disalin dan diterjemahkan, sehingga sampailah ke tangan pengikut theosofi di berbagai tempat, termasuk kalangan pengikut theosofi di Indonesia. Kebanyakan para penggiat agama Buddha di awal-awal pergerakan di Tanah Air tidak mengenyam pendidikan agama Buddha secara khusus, melainkan lebih banyak melahap buku-buku tersebut. Selain itu, mayoritas tokoh Buddhis awal yang bergerak menaikkan bendera Theravada adalah mereka yang sebelumnya aktif di gerakan theosofi. Theosofi sering menggunakan kelenteng dan juga loji tersendiri untuk tempat berkumpul dan mengurai gagasan-gagasan yang bersumber antara lain dari agama Buddha. Selain menggunakan loji dan kelenteng untuk tempat pertemuan, kelompok ini juga pernah menggunakan gereja untuk ajang pertemuan anggota kelompok tersebut. Theosofi ini bisa juga dikatakan kejawen ala orang Belanda, karena ajarannya tidak lain mengambil dari berbagai sumber dan bahkan dari berbagai agama.

 

Beberapa nama yang cukup dikenal antara lain dua orang dari Semarang, Mangunkawatja dan Sariputra Sadono. Gerakan ini menghimpun para pemerhati spiritualitas universal baik dari kalangan Belanda dan bule (istilah yang turut diperkenalkan Indonesianis, Benedict Anderson) umumnya yang kemudian juga menarik minat kalangan elit pribumi dengan tingkat pendidikan yang cukup tinggi. Gerakan ini cukup berkembang sejak akhir abad 19 hingga pertengahan abad 20. Masa edar kelompok theosofi ini melemah seiring dengan gelombang pengusiran orang-orang Belanda dari Indonesia akibat politik nasionalisme ultra kanan yang diterapkan Moh. Yamin. Di pertengahan tahun 1955 itu, eksodus orang-orang Belanda, termasuk para profesor di perguruan-perguruan tinggi yang ada dipaksa meninggalkan Indonesia. Beberapa gelombang tercatat kembali ke Belanda, namun beberapa gelombang lainnya bergeser ke Indonesia Timur saja, yaitu ke tanah Papua. Seiring dengan eksodusnya orang-orang Belanda ini, maka surut pula gerakan theosofi. Namun sejarah selanjutnya mencatat, pesan universal theosofi ini dilanjutkan oleh para eksponen gerakan kebangkitan agama Buddha awal.

 

Begitu pula perlu dicatat, peranan kelenteng yang juga cukup besar, sebelum kemudian Theravada memilih hengkang dari kelenteng. Theravada memutuskan keluar dari kelenteng karena pertama, ingin mandiri dan besar. Kedua, menghindari pertautan agama Buddha dengan kelenteng.

 

Sebetulnya pada masa itu, jauh sebelum dibentuknya Walubi, pernah dibentuk Dewan Wihara Indonesia (DEWI) yang didirikan Direktorat Agama Buddha Departemen Agama (Depag). Maksud pendirian lembaga ini adalah agar semua kelenteng termasuk dalam keanggotaan DEWI. Lembaga ini meniru lembaga keagamaan dari agama lain seperti MUI, KWI, PGI dan sebagainya. Dengan lembaga ini diharapkan, pihak kelenteng bersedia menyumbang demi pengembangan agama Buddha. Sebaliknya, pimpinan DEWI, Perbudi dan sebagainya, akan melindungi kelenteng. Akan tetapi rencana tersebut tidak berjalan, dan akhirnya kelenteng malah menjadi objek pemerasan oknum pejabat tiap kali hendak melaksanakan upacara besar.

 

Kebijakan pemerintah yang anti budaya Tionghoa sejak tahun 1965 sangat terasakan dampaknya. Pelarangan penggunaan aksara Tionghoa, kebudayaan Tionghoa serta penutupan sekolah-sekolah Tionghoa adalah politik diskriminasi rasial terhadap kelompok Tionghoa yang sesungguhnya merupakan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Pelarangan itu juga merembet ke kelenteng. Kebanyakan kelenteng bukanlah kelenteng Buddhis, lebih menekankan pada pemujaan dewa-dewa (toapekong). Tridharma (Sam Kauw Hwee) hanya ada di beberapa tempat, dan umumnya didesain kemudian. Dalam kondisi itulah umat Buddha diberi tempat oleh pihak kelenteng untuk melakukan kebaktian, hal mana yang sulit bagi Konghucu. Sebetulnya, saya keberatan dengan pengistilahan kelenteng dengan kata vihara dalam DEWI tersebut. Hematnya, tempat ibadah itu tetaplah kelenteng karena pada main hall-nya adalah patung dewa dan bukan Buddha atau Boddhisatva. Sebab, jika semua kelenteng dianggap agama Buddha, akan berdampak kurang baik bagi perkembangan agama Buddha sendiri. Sebab lain juga, dalam kenyataannya kelenteng sendiri, yang bukan terkait dengan agama Buddha, kurang membantu perkembangan agama Buddha. 

 

Serangan terhadap kelenteng ini juga pernah dilontarkan Waka Bakin (Wakil Kepala Badan Intelijen Negara) Roedjito. Jenderal ini pernah bertanya tentang penyimpanan harta atau uang kelenteng yang demikian banyak itu. Bakin memang kemudian menyelidiki dana kelenteng. Timbul kecurigaan dana pemasukan kelenteng yang besar itu ditakutkan dipakai untuk gerakan membantu komunisme di Indonesia dengan keterkaitan emosional dengan tanah leluhur. Diketahui pula bahwa pembukuan dalam kelenteng itu tidak transparan. Atas kekhawatiran hal tersebut, pada jaman itu kelenteng benar-benar mendapat tekanan besar dan menjadi objek pemerasan berbagai oknum penguasa, khususnya pada waktu upacara besar ulang tahun (shejit) kelenteng. Menerima pertanyaan dari jenderal tersebut, saya dan rekan-rekannya pun tidak berkutik. Selain tidak mengetahuinya, upaya untuk mempersuasi pihak kelenteng untuk membantu perkembangan agama Buddha pun jauh dari harapan. Padahal sejak dulu terbentuk cita-cita untuk memperbanyak penerbitan buku agama Buddha, mencetak guru-guru, memberikan beasiswa dan sebagainya. Padahal juga, terbukti perlindungan kepada kelenteng telah diberikan kalangan Buddhis dari unsur pribumi. Jika ada masalah pun, mereka lari kepada pimpinan Buddhis yang berasal dari unsur pribumi ini.


Setelah berbagai persuasi terhadap pihak kelenteng tidak juga berhasil, barangkali hal ini sebagai alasan ketiga, muncullah keinginan dari para umat pribumi untuk keluar dari kelenteng. Pilihan keluar dari kelenteng diyakini merupakan pilihan terbaik. Di sisi lain, tidak terhindarkan belakangan disadari bahwa memang terdapat perbedaan mendasar antara vihara dan kelenteng. Suatu bangunan dikatakan kelenteng ataukah vihara, dapat dilihat dari gedung utamanya. Jika terdapat patung Buddha atau Boddhisatva, dipastikan vihara Buddha. Bisa saja ruang-ruang lain di tempatkan arca para dewa Tionghoa.

 

Adapun peran besar unsur kejawen dapat dilihat dari latar belakang orang-orang pribumi yang aktif dalam pergerakan kebangkitan agama Buddha dan membela agama Buddha dari tuduhan-tuduhan infil trasi kiri pasca peristiwa 1965. Mereka yang aktif membentengi agama Buddha, lalu terlibat intensif dalam pergerakan agama Buddha di tahun 1970-an kebanyakan berlatar belakang Kejawen. Dengan kata lain, mereka berorientasi nilai-nilai budaya Jawa yang toleran dan moderat. Banyak Indonesianis melihatnya sebagai pelarian dari Islam ortodoks yang selama waktu itu kurang bisa menerima keberadaan penganut Kejawen ini.Imbasnya tidak mengherankan jika para penganut Kejawen lebih memilih agama di luar Islam.


Setelah tercatat cukup banyak masuk ke Buddha, namun belakangan jumlah penganut Buddha dari generasi mudanya banyak disayangkan sebab cenderung menurun. Kemerosotan orang Jawa dalam komunitas Buddhis di desa-desa tidak lain disebabkan kurangnya pemeliharaan dari pimpinan Buddhis sendiri karena tidak adanya kesiapan dana finansial dan tenaga pembina agama. Ibaratnya orang yang memiliki banyak anak namun tipis kekayaan dan pengetahuan. Sebab lain adalah anak-anak Buddhis banyak yang bersekolah dengan latar belakang Islam. Contohnya, dahulu setiap kali perayaan Waisak di Borobudur selalu dipentaskan tari puja oleh umat Buddha dari desa Brebah, Jogja. Namun sekarang yang tinggal di sana hanyalah kaum sepuh saja. Suatu ketika pernah saya menerima telepon dari umat dari sebuah desa di Jawa Tengah yang menceritakan adanya seorang umat yang meninggal dunia namun tidak boleh dikubur di kuburan desa. Waktu itu kuburan desa tidak pernah disebut kuburan Muslim. Saya menyarankan agar mereka tetap sabar, tidak melakukan pemaksaan atau malah kekerasan. ”Lha bagaimana dengan jenasahnya?”, sahut mereka. Saya menyarankan, ”Gampang saja serahkan kepada Kepala Desa di pendoponya dan tinggal pergi. Terserah Kepala Desa mau diapakan”, demikian saran saya. Betul juga saran tersebut dijalankan. Karuan saja sang Kepala Desa tidak mau ada mayat di rumahnya. Segera diperintahkan agar kuburan untuk umat Buddha diambil dari sebagian tanah kuburan desa dan jenazah umat Buddha itu dikuburkan di situ.


Selain itu, masalah perkawinan antar agama mendorong juga susutnya umat Buddha. Pada waktu itu pernikahan umat Buddha tidak dapat disantuni di desa namun harus di kantor Catatan Sipil yang jaraknya cukup jauh dan cukup mahal. Untuk itu saya sewaktu menjabat sebagai pimpinan Magabudhi yang kerap menerima keluhan seperti ini memberi solusi dengan menyiasati dengan meminta mempelai Buddhis bersedia mengucapkan kalimat syahadat demi pernikahan yang sementara belum ada jalan keluarnya secara legislasi. Sesudah nikah diminta sang mepelai untuk kembali pada agama Buddha dan membina keluarga secara Buddhis. Namun hal ini sekarang tidaklah mungkin dilakukan dikarenakan mengentalnya pemahaman syariat Islam.

Sumber: Jayamedho, Bhikkhu. Menapak Pasti: Kisah Spiritual Anak Madura. Edisi Revisi. Jakarta: Penerbit CENAS, 2015, Bab 9 “Organisasi Buddhis Mencari Bentuk”, hlm. 129–149.

TRANSLATE