Bab 12

Bab 12

Pluralisme & Multikulturalisme Umat Buddha

“Kamu janganlah berbantah-bantahan dengan penganut kitab suci (yang lain) melainkan dengan sesuatu (cara) yang lebih baik (misalnya: sopan, tenggang rasa), terkecuali terhadap orang-orang yang zalim dari mereka. Dan katakanlah, “kami beriman dengan ajaran (kitab suci) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada kamu. Tuhanku dan Tuhanmu adalah Satu, dan kita (semua) pasrah (muslimun) kepada-Nya”.

(QS al Ankabut/29:46)

Pluralisme ataukah Multikulturalisme?

Akhir-akhir ini banyak pakar di dalam kampus maupun di luar kampus mempersoalkan perbedaan makna dan implikasi teoritis dari dua konsep berbeda menyangkut persoalan keragaman agama; pluralisme ataukah multikulturalisme. Sebagian menggugat penggunaan istilah pluralism, sementara yang lain juga mempersoalkan konsep multikulturalisme.

 

Mengapa kedua istilah tersebut diperdebatkan? Ada baiknya jika menelusuri sepintas mengenai kedua istilah tersebut. Mengenai multikulturalisme, Melanie Phillips penulis kenamaan dari Inggris dalam Londonistan (2010), menyebutkan bahwa multikulturalisme bukanlah sekadar memberikan penghormatan (respect) dan toleran terhadap kebudayaan dan keyakinan lain. Jika hanya menunjukkan penghormatan dan toleran, itu bukanlah multikulturalisme. Apa yang diinginkan multikulturalisme adalah nilai-nilai yang dimiliki minoritas haruslah setara statusnya dengan nilai-nilai yang dimiliki mayoritas. Adalah berbahaya jika mengangkat nilai-nilai mayoritas di atas minoritas karena hal ini akan menjadi pukulan bertubi-tubi bagi minoritas dan malah salah-salah akan menghancurkan kebudayaan mayoritas itu sendiri.

 

Multikulturalisme berangan-angan, setiap nilai-nilai minoritas berstatus setara dengan nilai-nilai mayoritas. Para intelektual menempatkan multikulturalisme akan memungkinkan bagi bangkitnya nilai-nilai masyarakat imigran, bersepadan dengan nilai masyarakat pribumi (host society). Namun perlu disadari, dalam praktiknya kadang hal ini sulit dipraktikkan. Multikulturalisme tidaklah berkehendak mengangkat semua nilai-nilai masyarakat, ia hanya menurunkan pada standar lebih rendah ketimbang sebelumnya.


Lalu bagaimana dengan pluralisme? Pluralisme menciptakan sebuah masyarakat yang mana paling baik adalah terbukanya integrasi dan pengembangan nilai-nilai dasar. Menurut Philips, pluralisme terbuka bagi berbagai keragaman kelompok, namun berbeda dengan multikulturalisme, pluralisme tidak mendesakkan satu kesamaan atau kesetaraan status kepada yang lain. Ibarat kata, pluralisme membiarkan ribuan  bunga untuk berkembang, namun masih tetap di dalam satu payung yang satu, yaitu identitas nasional yang menyatukan semua orang dan mengikatkan diri di dalamnya. Karena itu pluralisme sangat berbeda dengan multikulturalisme. Yang satu berbasis pada kekuatan dan nilai-nilai positif, sementara yang lainnya berupaya menenangkan setiap orang dengan mendudukkan pada pendekatan kesamaan makna di titik paling rendah.

 

Menyangkut pluralisme agama, istilah ini sering dipadankan dengan toleransi keagamaan, meskipun kedua konsep tersebut cukup berbeda sebenarnya. Toleransi keagamaan mengandung pengertian bahwa setiap orang melekat pada dirinya bangunan keimanan yang dipercayainya, tanpa penilaian (judgment) atau persetujuan terhadap beberapa standar kebudayaan dan masyarakatnya. Seperti tercantum secara implisit pada konstitusi Amerika Serikat, maupun Indonesia, yang memberi jaminan pada kebebasan beragama. Di lain pihak, pluralisme keagamaan mengandung unsur toleran, dan lebih luasnya menekankan adanya kebenaran dan nilai keagamaan yang eksis pada banyak doktrin berbeda, akan tetapi bukan hanya milik individual semata.

 

Beberapa pakar theologi berpendapat bahwa kekuatan Yang Maha Kuasa, Yang Mutlak seperti Tuhan, membuahkan semua agama yang ada untuk berbicara kepada manusia dengan cara yang paling sesuai dengan kondisi manusia. Dalam situasi ini, sekalipun tradisi dan kebiasaan beragam, namun mereka berasal dari sumber yang sama. Dalam argumen theologis seperti ini, pluralisme agama memandang bahwa jika semua agama berasal dari sumber yang sama, maka kemudian dampaknya semua memiliki kesamaan kebenaran. Argumen ini menekankan kesamaan antara agama, baik figur maupun doktrinnya.

 

Di sini berikutnya layak dipertanyakan. Jika semua agama memiliki kesamaan kebenaran dan nilai, maka hal ini menimbulkan problem bagi agama-agama yang menempatkan pendakwahan sebagai ide utama. Pada beberapa agama, dengan berpatokan pada teks-teks yang ada, menganggap bahwa jalan mereka adalah satu-satunya jalan kehidupan yang paling benar. Titik pemahaman seperti ini membuahkan klaim siapa yang tidak masuk ke dalam agama tersebut akan mendapat hukuman setelah alam dunia, atau dijauhi dan disingkirkan selama hidup di dunia. Doktrin semacam ini sulit dipangkas, dan kalangan pluralis mencoba menggantinya dengan doktrin toleran.

 

Pluralisme juga dimaknai sebagai upaya untuk membentuk keseluruhan komunitas spiritual di tengah keragaman denominasi dan keyakinan. Hal ini sering digunakan pimpinan umat Kristen misalnya, untuk mempromosikan kesatuan di antara perbedaan doktrin dalam kekristenan. Ini karena banyak agama memiliki banyak kesamaan tujuan atau keyakinan, sehingga mereka seharusnya dapat bekerja sama.

 

Para punggawa pluralisme agama sering berargumen bahwa mereka membangun doktrin spiritual yang sifatnya personal di tengah keragaman tradisi agama. Para pluralis mengambil dan memilih keyakinan yang sesuai dengan mereka, tanpa masuk pada satu sekte keagamaan tertentu, dan juga tanpa memandang sumbernya. Karena itu kritiknya, seringkali para pluralis dipandang mempraktikkan relativisme, yang menekankan bahwa semua penjelasan keagamaan seharusnya sama. Dalam realitasnya, para pluralis kadang mendatangi beragam pelayanan spiritual yang berbeda, atau mereka hanya memilih spiritualitas individual saja.

 

Karena itulah, konsep pluralisme agama itu rumit, terutama jika dipandang dari segi logika. Kenyataannya, banyak agama sama sekali bertentangan satu sama lain pada titik tertentu, dan ini membuat kalangan pluralis berhenti pada argumen mereka semata. Tujuan dari definisi pluralisme agama adalah untuk menyatukan manusia sekalipun berbeda latar belakang agama dan sistem keyakinan.


Pandangan inilah yang banyak digugat oleh sebagian akademisi, karena penyatuan semua manusia dipandang sebagai utopia belaka. Demikian kritik terbesar pada pluralisme. Di lain sisi, multikulturalisme juga dikritik karena terlalu berkutat pada hak-hak kelompok, menempatkan hak-hak individual dalam kelompok itu menjadi terabaikan. Akibatnya, banyak praktik dalam kelompok itu yang memarjinalkan anggota individu dalam kelompok tersebut.

 

Hinayana vs Theravada vs Mahayana

Sering saya menemui banyak teman yang pernah belajar di Sekolah Menengah Atas bagian Budaya (SMA-A) maupun mereka yang membaca beberapa literatur yang bukan ditulis umat Buddha tentang dua aliran besar dalam agama Buddha yaitu Hinayana dan Mahayana. Begitu tahu saya beragama Buddha Theravada mereka menjadi bingung, apa Theravada masuk Hinayana atau Mahayana. Bila sang penanya kurang ingin tahu, maka untuk mudahnya saya jawab “Hinayana”, meski hal ini tidak benar sama sekali. Dengan cara demikian dialog dapat diakhiri. Namun bila mereka bertanya lebih lanjut, apa beda Mahayana dan Hinayana dan Theravada, maka perlu penjelasan yang lebih panjang, seperti tersebut dalam Lampiran Bab ini.

 

Theravada bukan Hinayana dan bukan pula merupakan cabang dari aliran Hinayana. Ia merupakan pewaris Ajaran Tertua dari Buddha Gotama yang tertulis dalam Kitab Suci Tripitaka berbahasa Pali yang tersusun pada Sidang Agung Sangha (Konsili) pertama beberapa waktu sesudah Buddha wafat. Inilah Konsili pertama yang berlangsung di dunia.

 

Saya tidak berani menyebut aliran / mazhab Theravada adalah Ajaran Termurni karena nggak enak menyinggung umat Buddha lain.

 

Pada tahun 1950, World Fellowship of Buddhists (WFB) dalam World Council di Colombo (WBSC) telah menyepakati bersama bahwa istilah Hinayana harus disingkirkan dari penamaan terhadap aliran lain.

 

Theravada hidup dan berkembang. Hinayana menjadi milik masa lampau dan telah lama padam, perdebatan mati hendaknya dikubur dalam-dalam dan telah lama dilupakan. Janganlah lagi dipergunakan istilah Hinayana untuk paham lain yang bukan Mahayana. Kaum Theravada hendaknya juga tidak perlu tersinggung bila masih ada orang lain yang menggunakan kata tersebut seakan menunjuk dirinya. Sikap demikian akan membuat orang lain tersebut makin menjadi-jadi menggunakan istilah Hinayana di berbagai kesempatan.

 

Theravada yang berkembang di Asia Selatan dan Tenggara tersebut hanya SATU, sama kitab sucinya, ajarannya serta cara peribadatannya, namun ada sedikit perbedaan di sana-sini tentang penerapan vinaya (peraturan para bhikkhu) dari satu ordo (nikaya) dengan ordo lain. Perbedaan yang lain adalah manifestasi beragama dalam kehidupan sehari-hari seperti bentuk patung Buddha, bangunan dan ornament vihara serta kehidupan viharawan yang sering diberi warna budaya nasional setempat. SATU namun BERBEDA. SERUPA namun TIDAK SAMA.


Sejak saya mengenal agama Buddha pada tahun 1963-1966, Bhikkhu Ashin mengenalkan banyak tradisi Mahayana dan saya juga memelajari ajaran yang ada serta tradisi cara beribadah dengan menggunakan beberapa peralatan ibadah seperti tambur, denting dan kentheng. Peribadatan menggunakan bahasa Tionghoa kuno (bukan Mandarin). Sesudah memahami beberapa persamaan dan perbedaan yang ada maka saya menetapkan diri memilih ajaran Theravada sebagai pegangan hidupku. Aliran Mahayana berkembang biak dalam banyak sub-aliran yang mempunyai ciri yang berbeda-beda namun kesemuanya yang berkembang di Jepang, Korea dan Tibet sangat banyak mendapat pengaruh Mahayana Tiongkok namun sudah menjelma menjadi agama yang berciri budaya nasional setempat.

 

Sebenarnya toleransi di antara penganut Theravada dan Mahayana, di Indonesia maupun di belahan dunia lain, sangatlah baik di mana umat keduanya dapat beribadah dalam dua mazhab sekaligus. Konsep toleransi sebenarnya ada dua yaitu: toleransi negatif dan toleransi positif. Yang dimaksud toleran si negatif (negative interpretation of tolerance) yang menyatakan bahwa toleransi itu hanya mensyaratkan cukup dengan membiarkan dan tidak menyakiti orang / kelompok lain. Yang kedua, toleransi positif (positive interpretation of tolerance) menyatakan bahwa toleransi itu membutuhkan lebih dari sekedar ini. Ia membutuhkan adanya bantuan dan dukungan terhadap keberadaan orang / kelompok lain, Hanya saja, interpretasi positif ini hanya boleh terjadi dalam situasi di mana objek dari toleransi itu tidak tercela secara moral dan merupakan sesuatu yang tak dapat dihapuskan, seperti dalam kasus toleransi rasial.

 

Pada waktu Perwalian Umat Buddha Indonesia (Walubi) terbentuk telah saya lakukan upaya mendapatkan TITIK TEMU antar sekte atau mazhab yang kemudian dikukuhkan dalam Kongres sebagai Yang Satu (Eka / The One) dengan penghormatan pada keanekaragaman (Bhinneka / The Many) yang ada di antara kita. Oleh karena itu pada waktu itu saya usulkan agar semua sekte anggota Walubi menerbitkan secara transparan ajaran dan tradisi mereka dan pada suatu waktu yang baik disosialisasikan di antara pimpinan komunitas Buddhis guna menurunkan kadar kecurigaan dan superioritas. Perdebatan dan pengujian keabsahan ajaran haruslah dijauhkan. Namun sayang usul saya tersebut mendapat reaksi berupa kecurigaan bahwa Theravada merasa dirinya paling murni dan ingin melakukan penelitian dan penghakiman pada sub aliran non-Theravada yang lain.

 

Dialog secara terbuka, tanpa maksud memaksakan (imposing) sudah sejak lama dan sampai sekarang masih berlangsung di antara komunitas Buddhis internasional serta tidak terjadi pencampuradukan ajaran dan vinaya.

 

Keanekaragaman dalam agama Buddha menjadi sesuatu kekuatan manakala mereka mampu hidup berdampingan, saling menghormati secara menyenangkan. Dari perspektif keanekaragaman, situasi ini dapat diwujudkan jika masing-masing aliran/sub-aliran mengakui prinsip umum sebagai landasan bersama dalam menanggapi situasi keanekaragaman.

Toleransi Terhadap Agama & Kepercayaan Lain

Pandangan dasar bahwa Allah Yang Maha Esa telah menetapkan idiom, cara, metode, dan jalan untuk masing-masing kelompok manusia sehingga antara sesama manusia tidak dibenarkan terjadi saling menyalahkan dan memaksakan kehendak satu atas lainnya guna mengikuti idiom, cara, metode dan jalannya sendiri, melainkan manusia hendaknya berangkat dari posisi masing-masing, lalu berlomba-lomba meraih kebaikan yang banyak.

 

Umat Buddha terhadap agama-agama lain bersikap “toleransi kritikal” terkait dengan sikap misionarisnya, yang bukan dengan cara-cara menarik-narik umat lain menjadi buddhis, melainkan secara bersama menciptakan perdamaian, kesejahteraan dan kebahagiaan selaras dengan ajaran.

 

Ajaran Buddha telah terbukti menyebar luas di seantero dunia, sejak dahulu sampai sekarang, tanpa adanya paksaan, penyiksaan serta pertumpahan darah. Arnold Toynbee memberi penghormatan pada “toleransi Buddhis” sebagai prototipe perilaku religius yang sangat penting untuk perdamaian di dunia pluralistik saat ini. Buddha tidak mengajarkan penyembahan dan ketergantungan pada Tuhan Personal maupun Dewa-Dewa, dengan sifat-sifat dan perilaku seperti manusia sebagai jalan pembebasan dari perputaran roda kehidupan.

 

Sifat-sifat toleransi, kasih sayang serta kebijaksanaan tercermin dari sabda Buddha dalam Digha Nikaya (I.3):

“Bilamana seseorang berbicara buruk tentang diri-Ku, ajaran-Ku serta pasamuan-Ku (Sangha), hendaknya kau jangan berkeinginan buruk, marah atau sakit hati kepadanya; kalau kau bersikap demikian, hal itu hanyalah akan mencelakakan dirimu saja. Sebaliknya bilamana seseorang berbicara memuji-muji tentang diri-Ku, ajaran-Ku serta pasamuan-Ku (Sangha), hendaknya kau jangan terlalu bangga dan bergembira; kalau kau bersikap demikian, hal itu hanyalah akan mengganggu pada pembentukan keputusan yang realistis di mana mutu pujian itu apakah sesuai dengan kenyataan adanya.”

Raja Ashoka, yang Buddhis, dari India mengingatkan rakyatnya:

”Janganlah menghina ajaran atau agama lain karena hal itu berarti akan menggali lubang kubur bagi agamamu sendiri; di samping mencelakakan orang lain. Hormatilah ajaran dan agama orang lain untuk kesejahteraan bersama.”

LAMPIRAN:

Samaggi-Phala Online, Thursday, August 14th, 2008 at 2:41 pm

HINAYANA, SEBUAH MITOS KUNO

Beberapa di antara kita mungkin sering mendengar bahkan mungkin ada yang menggunakan istilah Hinayana. Ada yang berpendapat bahwa Hinayana adalah salah satu aliran/sekte dari Buddhisme yang berarti Kendaraan Kecil. Dan ada yang berpendapat bahwa aliran Hinayana adalah aliran Theravada. Dan ada juga yang berpendapat bahwa Hinayana berarti kendaraan berkapasitas kurang? Benarkah demikian? Mari kita ulas.

 

Kerancuan

Kita semua pasti sependapat bahwa pada masa kehidupan Sang Buddha tidak ada sekte atau aliran dalam Buddhisme. Apa yang diajarkan Sang Buddha pada saat itu hanyalah disebut Dhamma dan Vinaya. Oleh karena itu tidak mungkin aliran yang bernama Hinayana itu ada pada masa itu. Tetapi di antara abad ke-1 SM sampai abad ke-1 M istilah Mahayana dan Hinayana muncul dalam Saddharma Pundarika Sutra Atau Sutra Teratai. Istilah ini terdapat pada bab 3 dari Sutra Teratai. Ini menjadi hal yang menarik. Jika pada masa kehidupan Sang Buddha tidak ada sekte atau aliran dalam Buddhisme, mengapa terdapat istilah Mahayana dan Hinayana dalam Sutra Teratai yang dikatakan dibabarkan sendiri oleh Sang Buddha? Mengacu pada aliran manakah Hinayana ini? Theravada-kah?

 

Pada masa sekarang terjadi kerancuan dalam umat Mahayana ataupun Vajrayana di dalam menggunakan istilah Hinayana dengan tiga cara yang berbeda, yaitu:

  1.  Dalam pemahaman sejarah; aliran Pra-Mahayana di anggap sebagai Hinayana.
  2. Theravada modern dianggap sebagai Hinayana.
  3. Istilah Hinayana digunakan sebagai bagian internal dari ajaran Mahayana

 

Mari kita lihat lebih dekat penggunaan tiga cara ini.

  1.  Beberapa orang menyatakan bahwa kata Hinayana adalah sebagai istilah untuk aliran lebih awal yang penggunaannya hanya digunakan pada masa lalu saja. Ini tidak benar. Hal tersebut dapat ditemukan di beberapa karya referensi modern, dan dalam literatur spesial lainnya, sebagai contoh dapat ditemukan di Buddhist Philosophy In Theory and Practice , H.V. Guenther, yang mengutip sebuah karya Tibet dari abad ke-18 dan 20.
  2. Sebagai contoh kerancuan istilah Hinayana dengan Theravada, terdapat dalam kutipan Bibliografi Jane Hope (Jane Hope pernah belajar kepada Chogyam Trungpa Rinpoche.), Buddha for beginners, dicetak tahun 1995, berikut terjemahan dari versi Norwegia: ”Buddhisme Hinayana. Suatu pengenalan yang baik untuk tradisi Hinayana adalah ‘What the Buddha Taught’, karya Walpola Rahula … Berasal sudut pandang masa sekarang dan ditulis oleh dua orang Barat yang berlatih tradisi Theravada, adalah… Seeking the Heart of Wisdom, oleh Joseph Goldstein & Jack Kornfield …”
  3. Sekarang untuk kerancuan yang kuat, terdapat dalam Buddhisme Tibet. Beberapa orang mengatakan bahwa Hinayana dan Mahayana pada awalnya adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan dua sikap spiritual yang berbeda, dan dikutip dari Bab ke-7 (“Loving Kindness and Compassion”) dari karya Tibet klasik, The Jewel Ornament of Liberation, yang ditulis pada abad ke-10, di mana penulis, Jé Gampopa mengacu Hinayana sebagai “kapasitas sedikit” (“theg pa dman pa”). Paragrafnya terbaca sebagai berikut: “Berhubungan dengan kebaikan diri atas kedamaian semata (1) menandakan suatu sikap kapasitas yang rendah (2) di mana keinginan untuk menghapus penderitaan hanya dipusatkan pada dirinya sendiri. Dengan penghindaran penghargaan terhadap orang lain ini maka hanya ada sedikit pengembangan akan kepedulian terhadap yang lain. […] Ketika Kasih Sayang dan Belas Kasih menjadi satu, begitu banyak rasa keperdulian terhadap kesadaran makhluk-makhluk lain sehingga seseorang tidak bisa hanya membebaskan dirinya sendiri saja. […] Guru Manjushrikirti pernah mengatakan: ‘Pengikut Mahayana seharusnya tidak tanpa memiliki kasih sayang dan belas kasih meskipun sekejap saja’, dan’bukanlah kemarahan dan kebencian tetapi kasih sayang dan belas kasih-lah yang bersedia memberikan kesejahteraan orang lain’.”

 

Catatan kaki pada bagian buku ini adalah sebagai berikut:

  1. Kata zhi.ba dalam bahasa Tibet berarti ”damai” (peace). Pada bagian buku tersebut diterjemahkan sebagai ”kedamaian semata” (mere peace), sejak buku tersebut digunakan oleh Gampopa
    untuk menunjukkan hubungan kedamaian tanpa belas kasih yang merupakan hasil dari pengem
    bangan meditasi konsentrasi semata saja.
  2. Hinayana: ”kapasitas sedikit” sering diterjemahkan sebagai ”kendaraan kecil”. Istilah ini menyiratkan kemampuan untuk membawa beban. Dalam kasus ini beban tersebut adalah diri sendiri sejak seseorang berkomitmen untuk membawa diri sendiri pada pembebasan sendiri, bukan semua orang (dalam hal ini Mahayana, ”kapasitas besar”). Masalah dan kerancuan di sini tentunya bukanlah sebuah analisa yang mengacu secara langsung pada kata hinayana dalam bahasa Pali/Sanskerta, tetapi mengacu pada terjemahan bahasa Tibet ”theg pa dman pa”. Inilah kunci permasalahannya.

Pengertian Hinayana

Kita mulai dengan pengertian dari kata Hinayana. Kata Hinayana bukanlah berasal dari bahasa Tibet, bukan berasal dari bahasa China, Inggris ataupun Bantu, tetapi berasal dari bahasa Pali dan Sanskerta. Oleh karena itu, satu-satunya pendekatan yang masuk akal untuk menemukan arti dari kata tersebut, adalah mempelajari bagaimana kata hiinayaana digunakan dalam teks Pali dan Sanskerta.


Kata hiinayaana berasal dari 2 kata, yaitu ”hiina” dan ”yana”. Kata ”yana” berarti kendaraan, tidak ada yang berselisih paham mengenai kata ini. Sedangkan beberapa orang mengatakan kata ”hiina” adalah lawan dari kata ”maha”. Padahal bila kita menengok bahasa Sanskerta maupun bahasa Pali, lawan kata dari kata ”maha” yang berarti besar bukanlah ”hiina” tetapi kata ”cuula” yang berarti ”kecil”. Lalu apakah arti kata ”hiina”? Kata ”hiina” sendiri berarti rendah, buruk, amoral. Hal ini dapat dibuktikan dengan kata ”hina” dalam kosakata Indonesia yang sedikit banyak dipengaruhi oleh bahasa Sanskerta.

 

Selain itu, di dalam kitab Pali, di mana setiap Buddhist tentu tahu kotbah pertama Sang Buddha yaitu Dhammacakkappavattana Sutta, sebuah kotbah yang disampaikan kepada lima petapa yang menjadi lima bhikkhu pertama, di dalamnya terdapat kata ”hiina”. Sang Buddha bersabda:

”Dua pinggiran yang ekstrim, O para bhikkhu, yang harus dihindari oleh seseorang bhikkhu (yang meninggalkan keduniawian). Pinggiran ekstrim pertama ialah mengumbar napsu-napsu, kemewahan, hal yang rendah (hiina), kasar, vulgar, tidak mulia, berbahaya…”

Mengingat bahwa sutta memiliki gaya yang sering mengunakan kata-kata yang bersinonim, sehingga saling menguatkan dan menjelaskan satu sama yang lain, maka dalam hal ini dapat dilihat bahwa, kasar, vulgar, tidak mulia, berbahaya adalah sebagai definisi pelengkap dari kata ”hiina”.


Di sini Sang Buddha menunjukkan dengan jelas bahwa jalan yang harus dihindari untuk dilatih merupakan sesuatu yang hiina.

 

Dalam teks Pali dan komentar lainnya, hiina sering digunakan dalam kombinasi kata hiina-majjhima-pa.niita, yaitu : buruk – menengah – baik. Dalam konteks hiina- majjhima-pa.niita (atau kadang hanya hiina – pa.niita ), kata ”hiina” selalu digunakan sebagai suatu istilah untuk kualitas yang dihindari seperti kebencian, keserakahan, dan kegelapan batin. Hal ini jelas bahwa kata ”hiina” berarti ”rendah, yang harus dihindari, tercela”, dan bukannya ”kecil” atau ”kurang”.

 

Sekarang dalam teks Sanskerta. Dalam Lalitavistara kita dapat menemukan versi Dhammacakkapavattana Sutta, di mana kata ”hiina” digunakan tepat seperti kutipan dalam sutta versi Pali. Dalam Mahayanasutralankara karya Asanga, yang mewakili seluruh teks Mahayana, kita menemukan sesuatu yang menarik bagi pertanyaan kita. Asanga mengatakan: ”Ada tiga kelompok manusia: hiina-madhyama-vishishta …(buruk-menengah-terbaik).” Ungkapan ini sesuai dengan teks Pali: hiina-majjhima-pa.niita, dan ini menunjukkan bahwa umat Mahayana yang menggunakan istilah ”hinayana” , melihat ”hiina” sebagai istilah penjelekkan (penghinaan), dengan arti yang sama seperti dalam teks Pali.


Teks yang sangat menarik yaitu edisi dari Catushparishatsutra di mana teks tersebut di tampilkan dalam 4 kolom sejajar: terjemahan Sanskerta, Pali (Mahavagga), Tibet dan Jerman yang berasal dari versi bahasa China. Di ini, kembali, kita menemukan Dhammacakkappavattana Sutta. Kita telah melihat terjemahannya dalam bahasa Sankerta dan Pali. Versi Jerman dari bahasa China mengatakan: “Erstens: Gefallen zu finden an und anzunehmen die niedrigen und üblen Sitten der gewöhnliche Personen …” Sedikit kurang jelas apakah kata “niedrigen” (hina) atau “üblen” (jahat, buruk) berhubungan dengan ”hiina”. Tapi pada akhirnya, jelas bahwa konotasi yang sangat negatif dari kata ”hiina” terdapat pada terjemahan bahasa China.


Dalam kolom terjemahan bahasa Tibet, kita menemukan kata Tibet “dman-pa” berhubungan dengan kata ”hiina” dalam bahasa Sanskerta, sesuai dengan kutipan Jé Gampopa di atas. Dan di ini kita memiliki penyebab dari kerancuan dan kesalahpahaman kemudian atas istilah Hiinayana. Mari kita lihat kamus bahasa Tibet-Inggris tentang “dman-pa”: Kamus Sarat Chandra Das mengatakan : ” dman-pa: sedikit (low) mengacu pada kuantitas atau kualitas, kecil (little)”. Kamus Jäschke bahkan lebih menjelaskan: “”dman-pa”: 1. sddikit (low), mengacu pada kuantitas, kecil (little). 2. mengacu pada kualitas: acuh tak acuh (indifferent), hina/buruk (inferior) (Ssk :hiina).” Berdasarkan hal itu nampaknya kata hiina dalam bahasa Sanskerta, tanpa diragukan lagi berarti ”kualitas rendah/buruk” yang diterjemahkan dalam bahasa Tibet sebagai ”dman-pa” memiliki dua arti yaitu ”kualitas rendah” dan ”kuantitas sedikit”. Dan petikan dari Jé Gampopa di atas nampaknya mengindikasikan bahwa banyak orang Tibet untuk selanjutnya membaca pada arti yang terakhir dari kedua arti tersebut sebagai ”kapasitas sedikit”, ”kapasitas kecil”, jadi artinya mengalami distorsi dari ”kualitas rendah/buruk” menjadi ”kuantitas sedikit ”.

 

Dengan demikian kita melihat bahwa kerancuan timbul dari fakta bahwa kata ”dman-pa” memiliki dua arti dalam bahasa Tibet. Hinayana – semula berarti ”kendaraan kualitas buruk.” – yang kemudian memiliki arti baru ”kendaraan kapasitas rendah”. Tapi hal ini berasal dari cara yang salah. Tentu adalah sebuah kesalahan menerapkan suatu arti dalam bahasa Tibet yang baru ke dalam bahasa Sanskerta/Pali, dan mengatakan, ”Inilah arti dari Hinayana, karena inilah bagaimana para Guru di Tibet menjelaskannya.” Apa yang para Guru Tibet jelaskan adalah kata ”dman-pa” dalam bahasa Tibet, bukan kata hiina dalam bahasa Sanskerta.

 

Oleh karena itu jelas sudah bahwa seseorang tidak dapat menyatakan bahwa Hinayana memiliki pengertian yang ”lembut” seperti yang diberikan oleh tradisi Tibet melalui kata ”dman-pa”. Hinayana bukanlah bahasa Tibet, tetapi Sanskerta/Pali, dan memiliki arti yang kasar, arti yang bersifat menghina yang tidak dapat dirubah oleh usaha perlunakkan apapun.

 

Hinayana sebuah aliran Buddhisme?

Di mulai pada Sidang Agung Sangha ke-2 di mana Buddhisme terbagi menjadi 2. Di satu sisi kelompok yang ingin perubahan beberapa peraturan minor dalam Vinaya, disisi lain kelompok yang mempertahankan Vinaya apa adanya. Kelompok yang ingin perubahan Vinaya memisahkan diri dan dikenal dengan Mahasanghika yang merupakan cikal bakal Mahayana. Sedangkan yang mempertahankan Vinaya disebut Sthaviravada.

 

Sidang Agung Sangha ke-3 (abad ke-3 SM), Sidang ini hanya diikuti oleh kelompok Sthaviravada. Sidang ini memutuskan untuk tidak mengubah Vinaya, dan Moggaliputta Tissa sebagai pimpinan sidang menyelesaikan buku Kathavatthu yang berisi penyimpangan-penyimpangan dari aliran lain. Saat itu pula Abhidhamma dimasukkan. Setelah itu ajaran-ajaran ini ditulis dan disahkan oleh sidang. Kemudian Y.M. Mahinda (putra Raja Ashoka) membawa Tipitaka ini ke Sri Lanka tanpa ada yang hilang sampai sekarang dan menyebarkan Buddha Dhamma di sana. Di sana ajaran ini dikenal sebagai Theravada.

 

Setelah Sidang Agung Sangha ke-3, Buddhisme terdiri dari 18 aliran yaitu:

1. Thera-vadino,

2. Vajjiputtaka,

3. Mahigsasaka,

4. Dhammuttarika,

5. Bhaddayanika,

6. Channagarika,

7. Sammitiya,

8. Sabbatthivada,

9. Dhammaguttika,

10. Kassapika,
11. Sankantika,
12. Suttavada,
13. Mahasamghika,
14. Gokulika,
15. Ekabyoharika,
16. Bahulika,
17. Pannatti-vada,
18. Cetiya-vada.

Banyak hal-hal yang terjadi pada masa itu di India Pusat. Di antaranya adanya beberapa kelompok bhikkhu yang menjalankan Buddha Dhamma secara ekstrim dengan hanya mementingkan intelektual semata dan lupa dengan hal yang utama yaitu praktek dan pengamalan. Kemudian kelompok lain yang memegang prinsip pengamalan mulai melakukan kritik dan menerapkan konsep bodhisatta, namun mereka pun menjadi ekstrim sehingga menciptakan figur-figur bodhisatta.

 

Akhirnya antara abad ke-1 SM sampai abad ke-1 M, muncullah Saddharma Pundarika Sutra dengan istilah Hinayana dan Mahayana. Dan sekitar abad ke-2 M, aliran Mahayana menjadi nyata dan utuh setelah Nagajurna mengembangkan filsafat Sunyata dalam teks kecil yaitu Madhyamika-karika. Abad ke-4 M, Asanga dan Vasubandhu menulis banyak karya mengenai Mahayana.

 

Dari sejarah yang telah di sampaikan di atas, tidak ada aliran yang bernama Hinayana pada 18 aliran Buddhsime terdahulu. Lalu siapa yang dimaksud dengan Hinayana dalam Sutra Teratai? Apakah Theravada? Tidak, ketika Mahayana muncul dengan Sutra Teratainya, Theravada yang dulunya bernama Sthaviravada telah ”hijrah” atau ”beremigrasi” ke Sri Lanka dan ketika perdebatan Mahayana-Hinayana terjadi, sukar untuk menghitung aliran mana yang mendominasi di India Pusat. Aliran tua yang sangat berpengaruh saat itu adalah Sarvastivada, jadi mungkin saja aliran ini, tapi sukar dikatakan jika hanya aliran ini saja yang merupakan target satu-satunya dari ejekan ”Hinayana”.

 

Sekarang Sarvastivada dan aliran-aliran Buddhisme lain di India Pusat yang ada pada saat itu sudah lama mati, kecuali Theravada. Tidak bisa dipastikan siapa sebenarnya Hinayana itu. Hinayana itu tidak ada. Hinayana hanyalah sebuah mitos.

 

Istilah Hinayana yang berkonotasi negatif ini hanya bisa dipastikan sebagai suatu kritikan bahkan ejekan untuk aliran terdahulu yang masih ada pada waktu itu yang melakukan hal yang tidak sesuai Dhamma dan Vinaya seperti misalnya hanya mementingkan intelektual semata dan lupa dengan hal yang utama yaitu praktek dan pengamalan. Istilah ”Hinayana” tidak lain juga merupakan bentuk defensive kelompok Maha-yana terhadap kritikan dari aliran lama yang mengkritik umat Mahayana, khususnya mengenai penciptaan sutra-sutra baru dan ”penempaan” sabda-sabda Sang Buddha. Demikianlah mengapa istilah Hinayana mendapat sebutan ”miring” sebagai aliran yang mementingkan pribadi. Dan istilah ”Hinayana” ini terus berlangsung dan dipegang oleh beberapa umat Mahayana dan Vajrayana untuk menamai aliran/sekte di luar Mahayana dan Vajrayana.


Pada tahun 1950, World Fellowship of Buddhists dalam World Council di Colombo telah menyepakati bersama bahwa istilah Hinayana harus disingkirkan dari penamaan terhadap aliran lain. Dan sangat disayangkan jika dewasa ini masih ada yang memegang mitos ini sampai sekarang.

 

Literatur:
• The Myth of Hinayana – Kare A. Lie
• Theravada – Mahayana Buddhism – Ven. Dr. W. Rahula
• Two Main Schools of Buddhism – Ven. K. Sri Dhammananda
• The Sects of the Buddhists , T. W. Rhys Davids, The Journal of the Royal Asiatic Society, 1891
• The Lotus Sutra – Soothill And Kern


Disusun dan Online di: Bhagavant.com

Sumber: Jayamedho, Bhikkhu. Menapak Pasti: Kisah Spiritual Anak Madura. Edisi Revisi. Jakarta: Penerbit CENAS, 2015, Bab 12 “Pluralisme & Multikultur Umat Buddha”, hlm. 172–187.

TRANSLATE