Bab 13

Bab 13

Bhikkhu Ashin Jinarakkhita

Guru Para Aktivis Buddhis Awal

Membeberkan lipatan sejarah agama Buddha di Indonesia terasa sulit melepaskan diri dari peran Bhikkhu Ashin Jinarakkita dalam bagian tersendiri. Figur ini begitu penting, dari mulai upaya penyatuan, pengkaderan hingga kemudian membuka peluang bagi pendewasaan umat Buddha. Perselisihan yang terjadi hanyalah sebuah proses untuk menuju pendewasaan dan pematangan yang tidak disadari sebelumnya, bahkan mungkin oleh umat Buddha sendiri.

 

Perkenalan dengan Bhikkhu Ashin

Saya mengenal Bhikkhu Ashin Jinarakkhita, yang bernama kecil The Boan An, sewaktu saya pertama kali masuk Vihara Vimala Dharma di Bandung awal tahun 1962. Saya mengenal bhikkhu ini cukup pandai sebab pernah mengenyam pendidikan di negeri Belanda meski tidak tamat. Ketika diriku masuk pertama kali ke Vihara Vimala Dharma di Bandung, saya berjumpa pertama kali dengan seorang bhikkhu dengan muka yang begitu tenang. Bhikkhu ini kemudian kuketahui bernama Bhikkhu Ashin. Kulihat, wajah Bhikkhu Ashin sangat tenang bersinar. Dalam kesempatan lain, saya juga pernah melihat foto Bhikkhu Ashin ketika berjabat tangan dengan Uskup Gereja Katolik Bandung. Seketika itu pula timbulah rasa bangga pada diri saya untuk mengenal lebih dekat dengan bhikkhu tersebut. Pendeknya, sosoknya terlihat sangat berwibawa dan sangat disegani sebagai seorang rohaniawan. Saya sangat mengagumi bhikkhu ini. Diriku juga mengetahui, beliau juga sebelum mengenal ajaran Buddha, terlebih dahulu mengenal Theosofi dan juga dari Samkauw (Tri Dharma). Selain itu juga sa-ngat tertarik dengan bacaan filsafat.

 

Sebelum memutuskan menjadi bhikkhu, beliau pada tahun 1946 berkesempatan meneruskan pendidikan di Belanda sebagai pelajar pekerja dan kuliah di Fakulteit Wis en Naturkunde pada Universiteit Gronigen. Di sana ia mendalami Ilmu Kimia. Meskipun mengambil ilmu eksakta, kegemarannya pada bidang filsafat tidak terkikis. Karena itu ketika di Belanda, dirinya juga mengikuti kuliah filsafat dan mendalami ilmu kebatinan. Di negeri Belanda ini pula minatnya pada ajaran Buddha semakin kuat, sehingga sebelum menyelesaikan pendidikannya dirinya memutuskan untuk mengabdikan diri sepenuhnya kepada agama Buddha. 

 

Sekembalinya ke Indonesia, ia memutuskan untuk menjadi seorang Anagarika. Semasa menjadi Anagarika ini, ia sudah aktif di perkumpulan Theosofi dan Tridharma. Bersama elemen Buddhis lain, ia turut mencetuskan upacara Trisuci Waisak secara nasional di Candi Borobudur dan pada tanggal 22 Mei 1953, acara tersebut berhasil dilaksanakan.

 

Pada bulan Juli 1953, beliau memutuskan menggariskan hidupnya demi perkembangan kembali agama Buddha. Ia lalu ditahbiskan menjadi seorang sramanera dengan nama Ti Chen di vihara Kong Hoa Sie. Penahbisan tersebut dilakukan menurut tradisi Mahayana di bawah bimbingan Sanghanata Arya Mulia Mahabhiksu (Pen Ching Lau Ho Sang). Atas anjuran gurunya ini, dirinya pergi belajar ke Burma. Di sana, selama beberapa bulan ia menjalani vipassana di Pusat Latihan Meditasi Mahasi Sasana Yeikhta, Rangoon di bawah bimbingan khusus dari U Nyanuttara Sayadaw.

 

Pada tanggal 23 Januari 1954 Sramanera Ti Chen ditahbiskan sekali lagi menjadi seorang samanera menurut tradisi Theravada, dan pada sore harinya ditahbiskan menjadi seorang bhikkhu. Ia dibawah bimbingan spiritual Agga Maha Pandita U Ashin Sobhana Mahathera, atau yang lebih terkenal dengan nama Mahasi Sayadaw. Gurunya ini pula yang memberi nama Jinarakkhita.


Pada tanggal 17 Januari 1955, Bhikkhu Ashin Jinarakkhita pulang kembali ke Indonesia. Kepulangannya ini menandai putra pertama Indonesia yang menjadi bhikkhu Theravada sejak keruntuhan Kerajaan Majapahit lima abad silam. Tentulah sebuah pencapaian Dharma yang begitu besar. Setelah hampir musnah
dari Bumi Pertiwi, seorang bhikkhu kelahiran Indonesia kembali ditahbiskan.


Kehadirannya juga disambut sukacita masyarakat Buddhis kala itu, sebab mereka seperti menemukan kembali kebanggaannya sebagai penganut Buddhis karena ajaran Buddha dibabarkan secara ilmiah dan sistimatik. Jika sebelumnya hanya mengetahui dan melihat kemegahan Sang Buddha melalui patung-patung dan pembacaan mantra-mantra yang jauh dari arti, kini sosok pencetus kembali cita-cita Buddha Gotama hadir di tengah-tengah mereka. Berduyun orang mendatanginya dan seiring semakin banyak umat Buddha, dan semakin banyak murid yang ditahbiskan menjadi upasaka, Bhikkhu Ashin kemudian mendirikan Persaudaraan Upasaka-Upasika Indonesia (PUUI) pada tahun 1957 dan Perbudi pada tahun 1958, kemudian Sangha Suci Indonesia pada tahun 1963. Organisasi ini kemudian diubah namanya menjadi Maha Sangha Indonesia.  

 

Saya termasuk anak muda dengan sukacita menyambut kedatangan bhikkhu tersebut. Saya juga mulai getol belajar Dharma di Vihara Vimala Dharma. Bukan sebuah kesengajaan jika sekalipun di situ saya berharap dengan mudah bisa belajar kepada Bhikkhu Ashin, namun diriku lebih banyak mendapat pemahaman dari orang lain, yaitu seorang maha pandita bernama Khemanyana Karbono. Adapun keterangan dari kalangan bhikkhu didapatkannya dari Bhikkhu Jinapiya, serta dari Bhikkhu Girirakkhito, keduanya putra Bali, yang kebetulan juga berada di vihara tersebut. Bhikkhu Ashin sendiri sangat sedikit dalam memberi pembabaran termasuk kepada saya.

 

Bhikkhu Jinapiya dan Bhikkhu Giri dikenal pula sangat suka bermeditasi. Di luar kedua bhikkhu tersebut, Bhikkhu Giri memiliki kemampuan ceramah yang sangat bagus. Di antara ketiga bhikkhu ini, Bhikkhu Ashin paling jarang memberikan khotbah, namun sebagai figur, sosoknya sangat dihormati dan dikagumi. 

 

Dekat dengan Bhikkhu Ashin

Di sisi lain, saya termasuk anak muda yang paling didorong oleh Bhikkhu Ashin untuk terus berkembang. Seringkali saya dimintanya memberi khotbah kepada umat Buddha sekalipun di situ ada Bhikkhu Ashin menyertai. Saya begitu kagum pada bhikkhu ini, sehingga ajakan untuk mengiringinya dalam membabarkan Dharma adalah sebuah penghormatan bagiku. Dalam setiap acara di sebuah tempat, beliau hanya memberikan ritual (sila)-nya, setelah itu saya membabarkan Dharma. Beberapa tempat pernah kujelajahi dalam kegiatan itu, antara lain ke Cipanas, Cianjur, Sukabumi dan tempat lain.


Selalu saja saya diajak untuk mendampingi beliau. karena itulah, secara langsung di sini terlihat, saya sangat jarang mendapatkan Dharma dari Bhikkhu Ashin. Bhikkhu Ashin malahan terus mendorong saya untuk belajar langsung dari buku. Setelah membaca buku, jika ada pertanyaan kemudian saya lebih memilih datang ke Karbono untuk berdiskusi. Pendek kata, beliau di mata saya sangat sedikit memberi penjelasan secara mendetail dan secara langsung kepada diriku.


Tidak berhenti di situ, kedekatan saya dengan beliau terjadi pada waktu saya lulus di tahun 1967, bhikkhu yang sangat kuhormati itu menawari saya untuk pergi ke Kalimantan untuk membabarkan Dharma. Seperti direncanakan semula, terbanglah rombongan dari Jakarta ke Banjarmasin. Sesampai di sana, seperti halnya kebiasaan di Jawa, begitu juga dilakukan di Banjarmasin dan di kota-kota lain selama kunjungan ke Kalimantan tersebut. Beliau memimpin ritual, sementara saya yang membabarkan Dharma. Selepas dari Banjarmasin, kemudian perjalanan diteruskan ke Balikpapan dan ke Samarinda.

 

Namun sesuatu yang tidak seharusnya terjadi, tetaplah terjadi. Sesuai dengan hukum perubahan yang melekat kuat dalam ajaran Buddha. Secara kebetulan, setelah kedekatan itu demikian terbangun, secara liar berseliweran kontroversi mengenai diri beliau dan itu pun sampai ke telingaku. Fitnah itu bermacam-macam, namun sama sekali tidak dipercayai olehku pada awalnya. Rasa hormatku tetap tidak luntur sekalipun terdengar olehku selentingan suara negatif seputar guru yang kuhormati tersebut.

Pada waktu saya baru mengenal agama Buddha serta mengagumi beliau, udara komunitas Buddhis sudah tidak nyaman sampai waktu yang cukup lama karena:

  1. Pada tahun 1962 terjadi perselisihan paham antara beliau dengan Bhikkhu Jinaputta, Jakarta dan Samanera Jinananda serta tokoh-tokoh Jawa Tengah antara lain Mangunkawatja dan Drs. Soeharto, Jogja.

  2. Pada tahun 1963 sekali lagi terjadi perselisihan paham antara beliau dengan tokoh-tokoh Gabungan Tri Dharma Indonesia (GTI / Sam Kauw Hwee), antara lain Drs. Khoe Soe Kiam.
  3. Pada tahun 1964 terjadi lagi perselisihan dengan tokoh-tokoh Semarang dan Surabaya, antara lain dengan Pannasiri Go Eng Djan (Surabaya).
  4. Pada tahun 1965 Bhikkhu Jinapiya (sekarang Tithakethuko) meninggalkan beliau dan menyepi di desa Mengwi, Bali dan tidak mau kembali ke pulau Jawa.
  5. Dampaknya adalah 10 organisasi Buddhis mengeluarkan ”Pernyataan Bersama” tanggal 20 Juni 1965 yang tidak mengakui beliau sebagai seorang bhikkhu lagi. Yang diakui hanyalah Bhikkhu Jinaputta dan Jinapiya saja.
  6. Kondisi itulah yang menyebabkan kami, generasi muda Buddhis yang berhimpun dalam GPBI mengeluarkan ”Dekrit Asadha” pada Juli 1965 yang menyatakan dirinya netral dari kemelut perselisihan organisasi Sangha dan organisasi umat awam.
  7. Pada tahun1971 bentrokan paham terjadi antara beliau dengan Bhikkhu Girirakkhito, Bhikkhu Sudhinyana (dr. Hudoyo), Maha Pandita Karbono (Bandung) dan Maha Pandita Widyadharma (Jakarta).
  8. Dalam Maha Samaya Maha Sangha Indonesia November 1971 disepakati bahwa pimpinan Sangha adalah kolegial, yaitu Bhikkhu Ashin, Bhikkhu Jinapiya dan Bhikkhu Girirakkhito. Namun dengan cara konspirasi antara para bhikkhu pengikut beliau maka Bhikkhu Jinapiya dan Girirakkhito dipecat sebagai anggota pimpinan kolegial.
  9. Tak pelak maka pada tanggal 12 Januari 1972 diproklamirkan berdirinya Sangha Indonesia yang terlepas dari Maha Sangha Indonesia oleh Bhikkhu Girirakkhito dan Bhikkhu Subhato (Mochtar Rashid), yang beranggotakan hanya Bhikkhu-Bhikkhu Theravada semua. Mereka itu adalah Bhikkhu Jinapiya, Girirakkhito, Jinaratana (Pandit Kaharudin) dan Subhato. Berita kelahiran Sangha Indonesia ini juga disampaikan kepada World Fellowship of Buddhist (WFB) di Bangkok. Lebih dari 10 organisasi Buddhis di seluruh Indonesia memberikan dukungan penuh pada Sangha Indonesia tersebut. Mereka semua menolak konsep ”penguasa tunggal” dalam mengasuh umat Buddha serta menafsirkan Kitab Suci Tripitaka. Sampai akhir 1973 di Indonesia terdapat 9 bhikkhu, 3 samanera dan 5 atthasilani (biarawati) dari komunitas Theravada.
  10. Dirjen Hindu & Buddha akhirnya turun tangan untuk menyatukan kedua Sangha tersebut menjadi Sangha Agung Indonesia (Sagin) pada tanggal 14 Januari 1974.
  11. Sekelompok bhikkhu baru diluar Sangha Agung Indonesia mendirikan Sangha Theravada Indonesia (STI) pada 23 Oktober 1976.
  12. Tahun 1978, bhikshu anggota sangha yang berorientasi ke Mahayana, memisahkan diri dari Sagin, dan mendirikan Sangha Mahayana Indonesia.

 

Sangatlah mengherankan, dan pasti ada sebab musabab, bahwa murid-murid utama Bhikkhu Ashin di Surabaya, Semarang, Jogja, Jakarta dan Bandung banyak yang meninggalkan beliau dalam berita yang kurang mengenakkan telinga dan membentuk organisasi terpisah.

Menukar Vinaya, Menuai Konflik

Saya waktu itu masih benar-benar baru belajar Dharma pada Bhikkhu Ashin. Selain bhikkhu pertama yang ditahbiskan dan dianggap senior, kharisma yang dimiliknya juga begitu tergambar jelas. Melihat caranya mengembangkan ajaran Buddha di Indonesia, saya menilainya sebagai upaya yang sangat luhur. Namun diketahui juga niatan itu malah membuat umat awam mulai kebingungan.

 

Setelah kepulangannya dari Burma (kini Myanmar), saya melihat pada diri beliau bahwa banyak tradisi yang ingin dirangkulnya. Kebetulan beliau juga sebagai Ketua Umum Sam Kaw di Indonesia. Untuk kepentingan merangkul semua kalangan umat Buddha itu, tentulah berarti mengkompromikan banyak hal. Di situ ada aturan yang harus dikurangi dan ada pula yang harus ditambah. Diketahui pula bahwa beliau ini membentuk Ajaran Buddha dengan karakter Indonesia dengan cara merangkul paham kebatinan. Ucapan Sadhu diganti dengan Rahayu dari kelompok penghayat kepercayaan. Sayangnya upayanya merangkul berbagai kelompok ini bertentangan dengan kenyataan adanya perbedaan disiplin (vinaya) dalam masing-masing Sangha. Kaum awam Buddhis, terutama aktivis muda sebetulnya perlahan mulai menguasai ajaran–ajaran Buddha dari hasil mereka banyak membaca literatur Ajaran Buddha. Sesuatu yang di luar dugaan sebelumnya tidak kuasa dihindari. Atas pemahaman kalangan awam yang mulai tumbuh, mulailah timbul kecurigaan pada guru mereka. Mereka mulai memerhatikan apa yang dipraktikkan gurunya. Menurut tuntutan sebagian kalangan awam waktu itu, sebagai bhikkhu Theravada, Bhikkhu Ashin Jinarakkhita seharusnya mempraktikkan tradisi bhikkhu Theravada dan tidak mempraktikkan tradisi lain, walaupun dalam pencariannya ke dalam agama Buddha juga sempat membawanya menjadi murid dari bhiksu Mahayana.


Langkah akomodatif yang dimaksudkan, belakangan malah menuai kritik. Upaya penyatuan setiap perbedaan penafsiran yang melahirkan berbagai sekte dalam agama Buddha dinilai malah sebagai sebuah tindakan penyimpangan oleh sebagian kalangan. Apa yang dibaca sebagai penyimpangan itu manakala paling menyolok melihat dari jubah yang dikenakan beliau yang terkadang memakai jubah Mahayana.


Dirasakan bahwa hal itu berarti bukan ingin memurnikan Theravada, malah sebaliknya. Atau juga bisa dibaca adanya keinginan untuk mencampur-adukkan menjadi satu. Bukan hanya Theravada dan Mahayana, Tantrayana dan kebatinan-pun hendak digabungkan. Dalam perkembangannya juga terdengar, bhikkhu yang sangat kuhormati ini memberikan fasilitas pelaksanaan ritual Sai Baba aliran kebatinan berasal dari India untuk penyembuhan penyakitnya. Saya mendengar langsung juga, banyak murid dan kawan-kawan yang dikenalnya dalam perjuangan mengembangkan agama Buddha di tahun 1960-an juga malah mengikuti, termasuk membaca bhajan (bacaan spiritual Sai Baba) di vihara.


Terlihatlah semakin campur aduk ajaran Buddha, sampai-sampai dimuat di Majalah Tempo dalam sebuah edisinya di tahun 1974, bahwa agama Buddha semacam rekayasa. Bisa diatur, bisa digabungkan. Semakinlah membuat ketidaknyamanan di kalangan umat Buddha sendiri. Sebagai reaksi tulisan di Tempo tersebut, beberapa perwakilan umat Buddha kemudian mendatangi kantor Majalah Tempo yang saat itu terletak di kawasan Senen (sekarang dekat Mal Atrium).

 

Pernah ada kunjungan anggota DPR ke vihara beliau di Cipanas yang menemukan berbagai atribut non-Buddhis, melainkan kepercayaan lokal. Mereka bertanya pada kami di suatu waktu apakah hal itu bagian agama Buddha. Sukar juga kami menjawabnya. Asal diketahui saja banyak kalangan muslim yang kurang menyukai adanya praktik sinkretisme agama.


Sinkretisme bagi sebagian kalangan muslim dinilai mencampur-adukkan agama dengan mitos dan takhayul (disebut bid’ah) yang sangat bertentangan dengan monoteisme (Tauhid). Hal ini sangat tidak disukai oleh kalangan umat agama Abrahamic yang puritan, sebab mereka menghendaki agama dimurnikan semurni-murninya dari bias kebudayaan lokal setempat. Segala macam kekayaan budaya setempat dituduh mitos dan takhayul, seperti mengunjungi kuburan, selamatan dengan perhitungan hari tertentu, penggunaan bahasa-bahasa lokal dan segalanya tidak begitu disenangi kalangan puritan. Di sinilah mengapa penemuan versi baru dalam agama Buddha kurang mendapatkan tempat di sebagian kalangan umat Buddha.

 

Berbeda Jalan dengan Sang Guru

Saya terus penasaran dengan kabar burung yang tidak sedap yang kudengar. Saya ingin sekali membuktikan sendiri kebenaran kabar burung itu dengan berbagai cara. Ternyata memang ada benarnya bahwa beliau belum sepenuhnya menaati ketentuan dalam Vinaya (peraturan kebhikkhuan) yang secara rinci diatur dalam Kitab Suci Tripitaka Pali. Sang Buddha memang membenarkan bahwa aturan yang kecil-kecil boleh diubah, namun tidak pernah secara eksplisit dinyatakan bahwa mana yang kecil dan mana yang besar.

 

Sekitar tahun 1963-1964, seingatku beliau sangat keras menentang konsep Tuhan yang personal. Ia menentang konsep Omnipresent dari Tuhan seperti penggambaran agama-agama semitik, Tuhan yang hadir di mana-mana. Saya belakangan kemudian kaget, ketika di tahun 1970-an beliau justru menjadi pembela ”Tuhan” dalam agama Buddha. Mengajarkan umat Buddha untuk berTuhan, dari sebelumnya mengajarkan yang non-theistik. Perlu dipertanyakan, dari mana Sang Buddha Gotama mengajarkan doktrin Adi Buddha, dan mengapa diajarkan. Bukan sekadar kritik, banyak kemudian para bhikkhu meninggalkannya. Melihat kenyataan seperti itu, saya semakin menjadi kehilangan kepercayaan kepada beliau untuk kedua kalinya.

 

Kejadian yang membuat saya keheranan untuk ketiga kalinya adalah, saya sering mendengar rumor bahwa beliau kadang memakai jubah Mahayana dan memakai topi mahkota / prabha Mahayana. Suatu hari, saya mengunjungi beliau. Selain telah lama tidak berjumpa, saya juga ingin membuktikan sendiri selentingan yang sering kudengar mengenakan jubah yang dikenakan guruku itu. Sampailah saya di vihara Cipanas. Benar juga saat itu ditemui beliau sedang memakai jubah yang ramai diisukan, yaitu memakai jubah Mahayana. Setelah bercakap-cakap layaknya guru dan murid, lantas kutanyakan, mengapa seorang bhikkhu Theravada memakai jubah Mahayana. Dijawab beliau dengan enteng, ”Ini kan cuma baju! Bedanya apa baju Mahayana sama baju Theravada?” Kontan saya jawab, ”Beda. Jubah itu bukan sekadar baju, tetapi menyangkut identitas dan disiplin.”

 

Saya juga tidak menampik, bahwa dalam Theravada sendiri sebetulnya jubah juga terdapat berbagai macam warna namun tetap dengan potongan dan bentuk yang sama, dan hal itu menunjukkan identitas Theravada tertentu. Hal ini seperti terlihat dengan bhikkhu dari Sri Lanka yang berbeda dengan bhikkhu Dharmayutikaya dan Mahanikaya di Thailand. Namun intinya, selain sekadar penutup badan, baju juga mempunyai makna identitas. Di luar logikaku, mengapa beliau memakai atribut Mahayana.


Kepada beliau, saya menambahkan, ”Baju tentara juga berbeda-beda. Angkatan Darat berwarna hijau, Angkatan Laut berwarna putih. Jubah bhikkhu adalah sama dengan seragam tentara, sebab menyangkut disiplin yang terkait.”


Mendengar jawaban itu, beliau mukanya memerah. Marah bukan main kepadaku. Saya sebetulnya kaget bukan main dan merasa menyesal membuat beliau naik darah. Namun, niatku sebetulnya bukan untuk membuat beliau seperti itu. Saya hanya ingin ketegasan soal konsistensi pelaksanaan vinaya Sangha.

 

Setelah membandingkan dengan agama Buddha di negara lain waktu itu cukup jelas, bahwa di dunia ini memang adanya sektarian, Theravada, Mahayana dan Buddhisme Tibet (Vajrayana/Tantrayana). Perbedaan ketiga mazhab tersebut agak berbeda dengan Katolik dan Protestan serta Pentakosta. Pada ketiga mazhab kehidupan para bhikkhu dan bhiksu relatif rukun dan umat bebas beribadah di ketiga mazhab tersebut. Mereka bebas menganut satu, dua ataupun ketiga ritual mashab. Mereka semua umat Buddha. Pindah dari satu aliran ke aliran lain tidak berarti pindah agama seperti halnya pada kaum Nasrani. Mereka semua mengaku beragama Buddha dan bukan beragama Theravada atau Mahayana.

 

Agak dengan berat hati sebetulnya saya bersikap atas praktik yang telah dilakukan beliau tersebut. Saya dalam posisi bimbang, satu sisi sebagai guru, satu sisi kuanggap telah melakukan praktik penyimpangan vinaya. Ditambah pula, saya sendiri sebenarnya mendapatkan penahbisan sebagai Upasaka dari tangan beliau dengan nama Dharmanaga (Naga Penjaga Dharma) tanggal 10 Juni 1963, dan ditahbiskan di Vihara Nagasena, Pacet, Cipanas yang paginya baru diresmikan.


Rasa hormat kepada beliau itu terus bergemuruh diserang oleh keheranan dengan sikap beliau yang demikian itu. Perasaan yang semula kecil itu terus menggumpal, menjadi semacam penolakan terhadap beliau. Dengan niat bulat, melihat sikap beliau seperti itu yang tidak bisa kuterima, maka pada tahun 1970 pada akhirnya saya menulis surat kepada beliau yang intinya memutuskan hubungan spiritual guru–murid. Dalam bahasa yang eksplisit, saya tidak lagi menganggap beliau sebagai guru spiritualku lagi, namun sebagai Mitra Dharma saja. Hingga pada akhirnya, semua atribut yang pernah kuterima dari beliau berupa jubah upasaka dan cincin emas berbatu permata kukembalikan kepada beliau dengan rasa hormat.


Langkah itu kutempuh untuk menyatakan pemutusan hubungan guru dan murid, kecuali hanya bersahabat (kalyana mitra) dalam Dharma saja. Perbedaan prinsip hendaknya tidak memutuskan persahabatan (silahturahmi). Saya tetap hormat pada beliau.


Sewaktu beliau sakit di vihara Cipanas maupun di rumah sakit, saya dan Rashid juga menengok beliau. Saya juga melawat beliau sewaktu jenasahnya disemayamkan di Vihara Ekayana, Jakarta.


Bhikkhu Ashin Jinarakkhita sebagai pelopor kebangkitan agama Buddha di Indonesia mendapat anugerah Bintang Mahaputera Utama pada tanggal 15 Agustus 2005.

Sumber: Jayamedho, Bhikkhu. Menapak Pasti: Kisah Spiritual Anak Madura. Edisi Revisi. Jakarta: Penerbit CENAS, 2015, Bab 13 “Bhikkhu Ashin Jinarakkhita”, hlm. 188–198.

TRANSLATE