Bab 14
Dalam perjalanan hidup saya, tidak terlepas dari bayang–bayang H.H. Dalai Lama XIV karena dari situlah saya mendapat inspirasi guna mengenal ajaran Buddha. Lama sekali keinginanku guna berjumpa tatap muka dengan Dalai Lama. Sayang saya tidak mempunyai jejaring dengan kelompok agama Buddha
Tibet karena waktu itu tahun 1960-an belum berkembang di Indonesia.
Andaikan waktu itu sudah terbentuk komunitas Buddhisme Tibet, mungkin sekali saya tidak menjadi tokoh Theravada. Bersama sahabat dekatku Mochtar Rashid kami berdua rajin secara otodidak mencari dan mencoba memahami ajaran Buddhisme Tibet, seperti The Song of Milarepa yang sangat terkenal itu.
Sewaktu saya ditanya kenapa saya lebih menyukai istilah Buddhisme Tibet daripada agama Buddha Tantrayana ataupun Vajrayana. Saya menjelaskan bahwa bagi diriku istilah Buddhisme Tibet jauh lebih jelas yang dituju yaitu ajaran Buddha yang berakar dan berkembang di Tibet dan bukan ajaran Tantrayana ataupun Vajrayana yang berkembang di Tiongkok ataupun di Jawa dan Sumatra di jaman sebelum Majapahit runtuh ataupun di negara lain.
Saya sangat mengagumi peran Dalai Lama yang menyantuni sekian juta orang Tibet yang melarikan diri dari tekanan dan penyiksaan Pemerintah RRC. Banyak kisah–kisah yang kubaca dari kesaksian orang-orang yang melarikan diri dan selamat tiba di Nepal atau India. Tidaklah mungkin kalau pemerintah RRC berlaku adil dan bijaksana mengakibatkan jutaan orang lari dari negaranya. Memang selama ini orang–orang Tibet tidak pernah merasa diri mereka sebagai orang China Han. Mereka bangga sebagai orang Tibet dengan budayanya yang dipegang teguh.
Yang saya juga kagumi adalah bagaimana bisa orang atau bhiksu Tibet yang hidup pada masa keterbelakangan materi bisa begitu melesat melebarkan kegiatannya di antara modernitas ke seluruh dunia. Berdialog dengan para scientist dan tokoh-tokoh dunia, baik spiritual maupun politik sehingga beliau memperoleh Nobel Perdamaian tahun 1989. Umat Buddha kedua yang menerima Hadiah Nobel Perdamaian adalah Aung San Su-Kyii dari Myanmar yang selama 16 tahun dikenakan tahanan rumah tanpa diadili. Sungguh ironi hal ini terjadi di negara yang kental agama Buddha Theravadanya dan banyak guru-guru meditasi yang tersohor.
Sewaktu Dalai Lama ditanya apakah anda sedih keluar dari Tibet. Beliau menjawab bahwa telah diramalkan kondisi tersebut, namun hikmahnya adalah ajaran Buddha (versi Tibet) dapat melebar luas ke seluruh jagad sampai di negara yang belum pernah mengenal agama Buddha seperti di Eslandia, Eropa Utara, yang sekarang sudah memiliki vihara Buddhis Tibet.
Selama dalam pengasingan di India selama 50 tahun Dalai Lama terus keliling dunia menyuarakan perdamaian dengan landasan kebersamaan di antara para penganut agama.
Saya sangat bergembira sewaktu mendengar bahwa Dalai lama akan mengunjungi Jakarta berkat dukungan Aggi Tjetje, tokoh Tridharma. Kunjungan tersebut terlaksana tahun 1982. Aggi Tjetje selaku Ketua Bidang Keuangan Organisasi Buddhis Dunia merangkap Wakil Presiden Organisasi Pemuda Buddhis Dunia mendampingi Dalai Lama yang melakukan kunjungan kehormatan kepada Wakil Presiden Adam Malik di kediaman Jl. Diponegoro. Semula Menteri Agama Alamsjah Ratuperwiranegara menolak memberikan rekomendasi persetujuan bagi audiensi tersebut, namun Aggi Tjetje yang dimintai bantuan oleh Panitia Penyambutan Dalai Lama, langsung menghadap Wakil Presiden dan melaporkan masalahnya, dengan hasil Dalai Lama diundang secara pribadi ke rumah pribadi Wakil Presiden Adam Malik, bukan di Istana Wakil Presiden.
Banyak tokoh Buddhis menemui beliau di Hotel Borobudur dan diselenggarakan dialog terbatas. Sewaktu Dalai Lama berhadapan dengan Bhikkhu Ashin Jinarakkhitta dengan jubah Theravada dan berjenggot segeralah beliau bereaksi seraya mengelus jenggot Bhikkhu Ashin seraya menyapa: “What for is this” artinya, untuk apa ini. Hal ini mengagetkan dan membuat kaget banyak orang termasuk saya sendiri. Di dunia ini tidak ada bhikkhu Theravada yang memelihara jenggot namun hal itu biasa di tradisi Mahayana. Tradisi Tibet para bhiksu juga tidak berjenggot.
Pada kesempatan tersebut Bhiksu Dutavira banyak menanyakan tentang konsep bodhicitta (konsep welas-asih yang mendahulukan kebahagiaan orang lain, konsep altruisme), sedangkan saya dengan gerak kekaguman pada sang mahaguru menanyakan dengan polosnya: ”Orang mengatakan bahwa His Holiness adalah manifestasi atau inkarnasi dari Bodhisattva Avalokitesvara, yang memiliki kasih sayang tidak terbatas. Apakah hal itu benar?” Dengan sederhananya beliau menjawab: ”Saya seorang bhiksu biasa, seorang bhiksu sederhana yang berusaha menolong banyak orang dengan rasa kasih sesuai dengan ajaran Buddha”.
Bagi saya hal itu cukup melegakan hatiku. Dalai Lama juga menanyakan pada hadirin apakah mereka kenal Atisha? Semua bengong dan menjawab “no”. Beliau menjelaskan bahwa Bhiksu Atisha Dipankara berasal dari Benggala dan pernah belajar Dharma di Sriwijaya selama dua belas tahun lamanya. Dari sana beliau menyebarkan Dharma ke Tibet. Kita sampaikan bahwa tidak ada literatur kuno di Indonesia yang menjelaskan hal itu. Peninggalan Sriwijaya sangatlah minim dan tidak ada lontar atau keropak yang masih tersisa. Sungguh sayang kata beliau.
Pada keesokan siangnya dilaksanakan pertemuan umum dengan umat Buddha di gedung bundar Graha Purna Bhakti Yudha (Gedung Veteran) di kawasan Semanggi. Di sana saya menunggu kedatangan beliau di pintu belakang panggung. Setiba beliau di sana kontan saya bersujud menyentuh dan menyembah kaki beliau dengan takzimnya. Tidak lupa saya meminta dua tanda tangan beliau untuk dibubuhkan pada buku biografi Dalai Lama. Inilah kesempatan yang sangat melegakan hatiku sejak 20 tahun lamanya.
Selama di Jakarta beliau diterima secara pribadi oleh Wakil Presiden Adam Malik di kediaman pribadinya. Beliau sangat bersyukur bisa mengunjungi Candi Agung Borobudur yang juga merupakan monumen agama Buddha Vajrayana dengan mandalanya.
Kunjungan Dalai Lama ini menggusarkan pemerintah RRC. Di mana pun Dalai Lama mengunjungi suatu negara maka RRC bereaksi keras dan menekan negara tersebut dengan berbagai ancaman tindakan sehingga banyak negara berkembang memenuhi tuntutan mereka. Hanya negara-negara besar dan kuat tidak memerdulikannya. Bahkan Dalai Lama menjadi warganegara terhormat Kanada. Beliau mengunjungi Indonesia dua kali namun yang terakhir langsung ke Bali.
Saya berkeinginan mengunjungi beliau di Dharmsala, India tempat pengasingan beliau dan saya katakan pada Rio Helmi berulangkali, namun hal itu belum menjadi kenyataan.
Sewaktu Gus Dur menjadi presiden ada keinginan Dalai Lama mengunjungi Indonesia kembali karena menurut beliau, Indonesia akan berjaya dan makmur kembali dan bebas dari malapetaka bilamana Candi Borobudur disucikan kembali, dengan tradisi Vajrayana, sesudah tenggelam secara spiritual selama 12 abad lamanya. Dampak dari penyucian spiritual ini tidak hanya pada Indonesia namun getarannya akan mendunia.
Hal ini disambut oleh beberapa tokoh Buddhis yang mengagumi beliau termasuk Bhikkhu Sri Pannyavaro. Keinginan ini kita sampaikan pada Gus Dur pribadi di istana dan beliau menyetujuinya demi Indonesia. Saya menanyakan pada Gus Dur di istana tentang bagaimana dengan reaksi RRC yang akan berang dan menekan Indonesia. Gus Dur menjawab: “Itu urusan saya yang akan menyelesaikan”. Wah Bhikkhu Sri Pannyavaro dan saya girang benar mendengar penegasan itu.
Namun sayang hal itu tidak terlaksana karena Gus Dur keburu jatuh dari kursi kepresidenan dan diganti oleh Megawati Soekarno Putri yang kurang akrab dengan Ajaran Buddha.
Selama dalam pengasingan selama 50 tahun, terbukti Dalai Lama tidak pernah mengobarkan kebencian dan kemarahan pada RRC, meski mereka menuduh yang bukan–bukan pada beliau. Sikap dan perilaku Dalai Lama ini bertolak belakang dengan sikap banyak tokoh spiritual non-Buddhis dalam situasi yang sama yang tinggal di pengasingan. Hanya love, compassion, forgiveness, tolerance dan non-violance yang selalu dikumandangkan kemana saja beliau pergi. Beliau tidak pernah menganjurkan kekerasan dalam menempuh cita-citanya meraih otonomi luas bagi Tibet dari kekuasaan RRC, baik dalam bidang agama, budaya dan ekologi (lingkungan hidup).
Wawancara khusus wartawan Kompas Dahono Fitrianto dengan Dalai Lama di Dharmsala 8 April 2011 menulis sebagai berikut:
“Bangsa Tibet memasuki era baru setelah pemimpin mereka Dalai Lama memutuskan mengakhiri sistim politik yang sudah berjalan di negeri tersebut selama 369 tahun. Dalai Lama tak lagi menjadi pemimpin politik bagi bangsa Tibet.”
“Keputusan saya sudah final. Ini semua demi masa depan institusi Dalai Lama dan demi kepentingan rakyat Tibet untuk jangka panjang” tutur Dalai Lama kepada wartawan Kompas Dahono Fitrianto, dalam wawancara khusus di kediamannya di Dharmsala, India Jum’at (8/4/2011).
Pemindahan kekuasaan secara resmi akan dilakukan pada Sidang Umum Rakyat Tibet yang digelar di Dharmsala, 28 Mei 2011.
Dalai Lama menjelaskan pada awal pembentukannya abad ke-15, institusi Dalai Lama memang tidak ditujukan untuk menjadi pemimpin politik. Institusi Dalai Lama menjadi pemimpin spiritual Tibet, pemimpin tertinggi serta pemersatu empat aliran Agama Buddha yang tumbuh di Tibet dan satu agama tradisonal masyarakat Tibet yakni Agama Bon.
“Empat Dalai Lama yang pertama murni menjadi pemimpin agama. Tidak memiliki kekuasaan politik. Baru pada era Dalai Lama ke-5, institusi itu menjadi kepala pemerintahan. Jadi sejak itu Dalai Lama menjadi pemimpin politik dan spiritual”. Tutur Dalai Lama ke 14 dengan nama Tenzin Gyatso ini.
Kepemimpinan Dalai Lama pun berlangsung turun temurun menggunakan sistem reinkarnasi, yang menjadi salah satu kepercayaan dalam Agama Buddha. Sistem tersebut menurut Dalai Lama, secara umum telah memberikan pemerintahan yang stabil dan dicintai rakyat Tibet selama hampir empat abad.
Dalai Lama bahkan masih dianggap sebagai pemimpin de facto bagi sekitar 6 juta rakyat Tibet saat ini meski wilayah Tibet sendiri sejak 1951 sudah berada dibawah kekuasaan Republik Rakyat China. Secara resmi peran dan kekuasaan politik Dalai Lama hanya terbatas memimpin pemerintahan Tibet dalam pengasingan atau Central Tibetan Administration (CTA) yang berpusat di Dharmsala. Namun sistem dwifungsi kepemimpinan tersebut dianggap sudah tak memadai lagi pada abad ke-21 ini. “Sekarang abad ke-21, era pemerintahan raja dan pemuka agama sudah lewat. Jadi dalam kesempatan ini, saat 99 persen rakyat Tibet masih percaya dan menghormati saya, saya dengan gembira dan secara sukarela menyerahkan seluruh kekuasaan politik kepada pemimpin terpilih.” Tutur pemimpin karismatis yang sudah berusia 75 tahun ini.
Demokrasi Terencana
Meski disampaikan dalam konteks politik Tibet, pernyataan Dalai Lama itu menjadi sangat relevan dengan apa yang sedang terjadi di Timur Tengah dan Afrika Utara. Pergolakan rakyat yang terjadi di wilayah tersebut membuktikan era kekuasaan raja dan segala jenis penguasa absolut memang sudah berakhir.
Pengumuman pengunduran diri Dalai Lama dari panggung politik Tibet disampaikan pada peringatan 52 tahun Hari Kebangkitan Nasional Tibet, 10 Maret lalu. Proses ini pun menandai puncak demokratisasi politik Tibet yang sudah dirancang sejak 1960-an.
Tibet bahkan sudah menerapkan eksperimen demokrasi selama 10 tahun sejak menggelar pemilu pertama untuk memilih kulon tripa atau ketua kabinet pada 2001. “Sejak itu posisi saya sebenarnya sudah semi pensiun. Sekarang 10 tahun sudah berlalu dan (proses) demokrasi kami harus dituntaskan”, ujar Dalai Lama. Meski demikian, tetap saja keputusan tersebut mengejutkan rakyat Tibet, yang merasa belum siap ditinggalkan pemimpinnya.
“Keputusan ini sangat sulit dicerna rakyat Tibet karena kami sudah (terlanjur) terkondisi untuk bergantung kepada para Dalai Lama,” Ungkap Samdhong Rinpoche, Kalon Tripa CFA yang sudah terpilih dua kali sejak 2001.
Dawa Taering (25), seorang aktivis di Tibet yang baru saja meloloskan diri ke Dharmsala, mengaku sangat khawatir saat mendengar pengumuman pengunduran diri Dalai Lama tersebut. Namun setelah mendengar penjelasan langsung Dalai Lama dalam ceramah publik pada 19 Maret, Taering mengaku bisa memahami keputusan itu. “Yang Mulia meyakinkan kami bahwa akan ada kepemimpinan yang lebih kapabel setelah ini” ungkapnya.
Prestise Internasional
Transisi demokrasi di Tibet ini, lanjut Dalai Lama, akan mengangkat prestise bangsa Tibet di dunia internasional. Saat di negara-negara lain perjuangan menuju demokrasi sering diawali dengan kekacauan atau bahkan pertumpahan darah, transisi demokrasi di Tibet berjalan dengan damai dalam sebuah kerangka pemikiran yang sudah dirancang jauh-jauh hari. Selain itu pengunduran diri Dalai Lama dari urusan politik akan membuktikan kepada dunia bahwa tuduhan China selama ini salah. Pemerintah China selalu berusaha menunjukkan bahwa masalah di Tibet sudah selesai dan satu-satunya masalah dari Tibet adalah ambisi pribadi Dalai Lama.
“Para pemimpin komunis garis keras di China selalu menganggap tak ada masalah lagi di Tibet. Satu-satunya masalah adalah saya, Dalai Lama.” Ungkap pemenang Hadiah Nobel Perdamaian 1989 ini.
Dengan mundur sepenuhnya dari panggung politik, Dalai Lama menunjukkan bahwa ia tak punya kepentingan pribadi dalam perjuangan hak-hak rakyat Tibet selama ini.
Dalai Lama juga menegaskan, pengunduran dirinya dari panggung politik ini tak akan membuat perannya dalam mempromosikan nilai-nilai kemanusiaan dan keharmonisan kehidupan beragama di dunia akan ikut surut. “Tidak. Saya justru akan punya waktu lebih banyak untuk melakukan semua itu. Dua hal sudah menjadi komitmen saya kepada dunia, yakni mempromosikan nilai-nilai kemanusiaan demi kebahagiaan dunia serta mempromosikan harmoni kehidupan beragama”, tutur Dalai Lama.
Belum puas wawancara khusus dengan Dalai lama tersebut, wartawan Kompas Dalhono Fitrianto secara panjang lebar sekali lagi menurunkan artikel yang sangat baik tentang Dalai Lama dengan judul ”Pemimpin Sejati dan Pencarian Harmoni”, di mana saya disarankan mengutip bagian terakhir wawancara dengan pertanyaan dan jawaban yang sangat relevan dengan kondisi sekarang dan nilai-nilai (Buddhis) yang perlu mendapat perhatian sepenuhnya, sebagai berikut:
Pertanyaan wartawan: “Saat ini semakin banyak tindak kekerasan yang mengatas-namakan agama. Apa yang terjadi?”
Jawaban Dalai Lama: “Betul. Berdasarkan sejarah konflik antar agama, isu utamanya sebenarnya bukan soal agama, tetapi kekuasaan, dan kadang-kadang juga uang. Memang ada juga konflik terjadi karena perbedaan sudut pandang dan kepercayaan. Itu semua disebabkan adanya pemikiran bahwa hanya ada satu kebenaran tunggal milik satu agama saja.
Suka atau tidak suka, sudah ada banyak agama sejak jaman dulu, sejak ribuan tahun. Itulah realitanya, kita lihat lebih dekat, semua agama utama, meski terinspirasi filosofi yang berbeda-beda, semua membawa pesan yang sama tentang cinta, rasa welas asih, rasa memaafkan, toleransi, disiplin diri, menahan diri, dan melayani orang lain, membahagiakan orang lain. Semua agama mengajarkan hal yang sama itu. Islam sangat menekankan hal itu, dan juga Kristen, Hindu, Buddha dan seterusnya. Dan (persamaan) itu lebih penting daripada perbedaan-perbedaan.
Kita harus bekerja bersama. Praktik-praktik individual, yang beranggapan bahwa ada satu kebenaran dan satu agama, sangat tidak relevan. Dalam masyarakat sekarang ini, yang relevan adalah menerima ada banyak agama dan ada banyak (wajah) kebenaran. Seperti Indonesia, pada dasarnya negara Muslim, tetapi tetap hidup agama Kristen, Hindu dan Buddha. Sebenarnya selama ini seluruh dunia sudah menjadi seperti satu komunitas besar umat manusia, yang menerima multikulturalitas, multi agama dan multi ras. Jadi kita harus hidup bersama. Lebih baik hidup dalam keharmonisan dan saling menghormati satu sama lain.”
Sebagai penutup uraian kekaguman saya pada Dalai Lama adalah sebuah kutipan dialog antara seorang teolog dari Brasilia, Leonardo Boff, salah seorang dari sekian renovator Theologi Pembebasan dari Agama Katolik dalam suatu diskusi tentang agama dan kebebasan. Leonardo bertanya kepada Dalai Lama: “Yang Mulia, apakah Agama Terbaik itu? Dalai Lama menghela napas dan tersenyum seraya melirik Leonardo dan menjawab:
“Agama yang terbaik adalah yang bisa membawa anda lebih dekat dengan Tuhan”.
Berangkat dari kekaguman dari jawaban bijak tersebut ia melanjutkan pertanyaan sebagai berikut: “Apa yang bisa membuat saya baik”.
Dalai Lama menjawab dengan lugas: “Apapun yang bisa membuat anda lebih welas asih, lebih bijak, lebih tak melekat, lebih kasih, lebih manusiawi, lebih bertanggung jawab, lebih etikal. Agama yang bisa melakukan itu bagi anda adalah Agama Terbaik. Saya tidak tertarik, sahabatku, tentang agama anda ataupun jika anda religius atau pun tidak. Yang sangat penting bagi saya adalah perilaku anda di hadapan para sahabat, di pekerjaan, komunitas dan di depan dunia”
“Ingatlah, semesta adalah suatu gaung dari tindakan dan pikiran kita”.
“Hukum aksi dan reaksi bukanlah milik kaum fisikawan semata. Ia juga terdapat dalam hubungan antar manusia”.
“Jikalau kita bertindak baik, maka kita memetik buah yang baik pula, namun jikalau kita bertindak buruk, maka kita memetik buah yang buruk pula”.
“Apa yang para sesepuh kita pernah mengatakan pada kita adalah Kebenaran Murni (Pure Truth), anda selalu akan memperoleh apa yang anda inginkan untuk orang lain. Menjadi bahagia bukanlah nasib semata. Itu adalah suatu Pilihan kita”
Pada akhirnya beliau berkata:
“Peliharalah PIKIRAN Anda,
karena akan membuahkan UCAPAN
Peliharalah Ucapan Anda,
karena akan membuahkan TINDAKAN
Peliharalah Tindakan Anda,
karena akan membuahkan KEBIASAAN
Peliharalah Kebiasaan Anda,
karena akan membuahkan KARAKTER
Peliharalah Karakter Anda,
karena akan membuahkan NASIB
Dan Nasib Anda akan menjadi HIDUP Anda”
dan
“TIADA AGAMA YANG LEBIH TINGGI
DARI KEBENARAN”
Sumber: Jayamedho, Bhikkhu. Menapak Pasti: Kisah Spiritual Anak Madura. Edisi Revisi. Jakarta: Penerbit CENAS, 2015, Bab 14 “His Holiness Dalai Lama”, hlm. 199–208.