Bab 15

Bab 15

Berjumpa Gus Dur

Dalam situasi euforia setelah keruntuhan pemerintahan rezim Orde Baru, organisasi-organisasi massa yang sebelumnya tertindas dan menjadi sapi perah antek-antek rezim, kemudian bergeliat menghirup udara bebas seperti bebasnya tubuh dari pasungan. Rasa ngilu dan kesumpegan akibat ditekan seolah hanya teriakan pelampiasan yang mampu menyembuhkannya. Tidak lama berselang, banyak pihak mengatakan situasi politik, keamanan, hukum dan sosial keagamaan nyaris di ujung tanduk. Situasi juga tidak lebih baik dari era Soeharto. Era desentralisasi malah menyuburkan perilaku buruk para pejabat daerah. Buya Syafii Maarif, mantan Ketua Umum Muhammadiyah, menggambarkan dalam sebuah artikelnya, Indonesia sudah di tepi jurang, mengingat keakutan penyakit korupsinya yang susah dibasmi.

 

Ketika presiden RI dijabat Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang berlatar belakang pengetahuan keagamaan yang sangat kaya, Presiden sangat tidak menyetujui konsep kepemimpinan keagamaan yang bukan dipimpin oleh tokoh agama. Menurut Gus Dur seharusnya lembaga agama dipimpin oleh ulama, malah syukur kalau ulama sepuh. Saat itu kebetulan Walubi dipimpin dan diketuai oleh seorang wanita pengusaha yang sepak terjangnya yang kurang terpuji di dunia bisnis maupun agama sangat diketahui Gus Dur. Demikian pengakuan beliau kepada kami yang berkunjung ke istana.

 

Penjelasan ini mengukuhkan para bhikkhu dari sekte Theravada, Mahayana dan Buddhayana yang menghadap Gus Dur di istana untuk segera berbuat sesuatu. Komentar singkat Gus Dur kepada para pimpinan umat Buddha yang menghadap itu mengungkap hukum universal dalam Bahasa Jawa,

”becik kethithik, olo kethoro” — yang baik akan nampak dan yang buruk juga akan terlihat

sambil tidak lupa menyebut slogannya yang sangat terkenal, ”Begitu aja koq repot!”

 

Bahkan Gus Dur mengatakan dengan sangat yakin, bahwa sepanjang dirinya masih menjadi Presiden tidak akan bersedia bertemu dengan Ketua Umum Walubi, Hartati Murdaya. Komentarnya kepada tokoh-tokoh umat Buddha yang menghadap waktu itu, “Sangat banyak yang saya dengar. Kenapa umat Buddha masih mempertahankan dia”, ucapnya.

 

Gus Dur yang telah lama berkecimpung dalam isu pluralisme, sangat dekat dengan Bhikkhu Pannyavaro. Setiap kali menjumpai umat Buddha selalu bertanya tentang Pannyavaro. Presiden ini juga sangat suka humor. Salah satunya demikian, “Orang yang berani masuk istana dengan bertelanjang kaki tanpa sepatu hanyalah bhikkhu”, katanya. Bhante Vin Vijano pernah ke istana dengan bertelanjang kaki.

 

Saya tidak mungkin melupakan kenangan bersama presiden keempat itu. Saya bahkan pernah mendampingi Gus Dur yang sedang rebahan di tempat tidur di istana sambil berbincang-bincang banyak hal. Saya bertanya kepada Gus Dur mengenai banyaknya mantan preman yang menjadi ulama. Dengan entengnya Gus Dur menjawab, ”Ya lebih baik preman jadi ulama, daripada ulama jadi preman. Petantang-petenteng bawa senjata tajam, merusak dan membakar harta orang lain”. Sejenak saya terkesima. Benar juga seloroh beliau.

Tidak lama berlalu, diselenggarakanlah Pasamuan Agung Magabudhi keenam di Malang pada bulan Oktober 2000 yang memilih dr. Surya Widya menjadi Ketua Umum Magabudhi menggantikan saya yang telah dua setengah kali menjabat. Kebetulan menjelang Pasamuan Agung itu, saya mendapat gangguan jantung di Yogjakarta, sehingga perlu sejenak istirahat di ruang gawat darurat. Saya mempunyai niat luhur untuk mengangkat nama besar Magabudhi dengan mengajukan usul agar penutupan acara Pasamuan Agung dilakukan di Istana Negara di hadapan Presiden Abdurahman Wahid.

 

Kondisi negara dalam keadaan gonjang-ganjing yang akan menjatuhkan Gus Dur dari kursi kepresidenannya. Usul ini ditentang beberapa orang yang takut Magabudhi terseret ke dalam arus perpolitikan yang kotor, takut akibatnya negatif pada organisasi. Namun saya dengan keras mengatakan bahwa kali ini kesempatan terbaik yang jangan sampai dilewatkan. Sukar mencari presiden lain yang menghargai Magabudhi.

 

Akhirnya usul disepakati oleh PP Magabudhi dan prosesnya pun dijalankan. Setelah persiapan dianggap cukup, maka pada tanggal 6 November 2000, beberapa bhikkhu STI, para pendukung Theravada serta semua anggota Pengurus Pusat, Daerah dan Cabang serta orang-orang yang berjasa dalam Magabudhi seperti Pandita Suratin dari Semarang dapat hadir di istana negara. Saya sampaikan laporan hasil Kongres VI Magabudhi pada Presiden dan sekaligus menyerahkan ke tangan beliau.

 

Betapa puas dan lega, semua peserta bisa berfoto bersama di atas panggung istana. Hal ini belum pernah terjadi dalam sejarah di istana. Lebih mengherankan lagi, ketika Kusno Saputro, ketua panitia acara penutupan itu, pada waktu mengurus pembayaran di Paspampres mendapat jawaban bahwa Magabudhi tidak perlu membayar sesenpun karena dianggap tamu kehormatan Presiden. Melihat kenyataan ini seolah saya dan rekan-rekan sesama pengurus Magabudhi baik pusat maupun daerah, serasa mimpi dibuai angin pegunungan yang menghembus segar. Bertandang ke Istana Negara adalah bayangan yang tidak pernah menyala nan berkilat-kilat di benak para pengurus Magabudhi. Apalagi dilihat secara kuantitas, anggota Magabudhi tidaklah signifikan untuk sampai menginjakkan tapak kaki di Istana Negara yang terkenal begitu seram di era Orde Baru.

 

Akan tetapi, semua ini terjadi berkat hubungan baik Magabudhi yang kita jalin dengan Menteri Sekretaris Negara, Djohan Effendi, mantan Dirjen Litbang Departemen Agama yang sangat serius mendam-pingi Magabudhi dalam berhadapan dengan Walubi. Djohan Effendi dikenal publik sebagai pemikir pembaharu Islam yang pikiran-pikirannya bernas dalam menggempur aneka ortodoksi dalam pemahaman keagamaan. Paham keagamaan yang non-dogmatis membawanya melangkah ke dunia perlintasan antar agama sejak awal tahun 1970-an semasa dipercaya oleh Mukti Ali, hingga ia berkarier di Litbang Departeman Agama. Latar belakangnya yang demikianlah memungkinkan diriku dan Bhante Pannavaro untuk dekat dengan Gus Dur yang memiliki kesamaan isu.

Di Istana Negara itu, saya membacakan laporan hasil Pasamuan Agung Magabudhi VI yang baru saja usai dilaksanakan di Malang, kehadapan Presiden dan kemudian menyerahkannya kepada beliau. Sebenarnya Presiden Abdurrahman Wahid tidak mempunyai waktu banyak untuk menerima peserta Pasamuan Agung Magabudhi, karena baru saja datang dari Yogyakarta menjelang magrib, dan sesudah itu harus mengikuti jadwal ke pertemuan lain.

 

Gus Dur sangat memahami ajaran Buddha yang humanistik dan pluralistik. Dirinya mengaku terkesan membaca uraian mengenai agama Buddha dari literatur berbahasa Inggris dan menemukan titik-titik kesamaan konsep dengan agama-agama lain. Unsur humanisme-nya sangat ditekankan dalam ajaran Buddha untuk mewujudkan sebuah kehidupan duniawi yang penuh dengan harmoni. Karena itu agama Buddha juga sangat sesuai untuk tumbuh di Indonesia dengan kultur masyarakatnya yang humanis. Ditekankannya pula unsur kelokalan dan ke-Indonesiaan lebih utama dalam melihat keberadaan agama-agama yang tumbuh di Indonesia.

 

Penjelasan-penjelasan Gus Dur demikian ini kumaknai sebagai gagasan untuk menguatkan ajaran Buddha dengan kultur Indonesia. Agama Buddha yang memerhatikan kultur Indonesia, bukan semena-mena meng-Indonesiakan agama Buddha. Kita terus berupaya mencari titik temu nilai-nilai ajaran Buddha yang bersesuaian dengan kultur lokal Indonesia. Karena itu kita begitu kagum ketika ternyata gamelan dan gending Jawa mengalun di Vihara Dhammadipa Arama, Malang. Barangkali hal ini adalah salah satu pengejawantahan dari mengangkat kultur lokal dengan isi ajaran universal Agama Buddha.

 

Kenangan lain terjadi di malam menjelang Perayaan Waisak Nasional di Balai Sidang Jakarta (JCC) yang diselenggarakan Konferensi Agung Sangha Indonesia (KASI) tahun 2000, saya bertemu Gus Dur di Istana Merdeka dengan tokoh-tokoh lintas agama teman-teman lama beliau yang diundang Bhikkhu Pannyavaro untuk menghadiri perayaan Waisak tersebut. Dalam percakapan yang penuh keakraban tersebut saya sempat menanyakan tentang TAP MPR tentang pelarangan komunisme yang diusulkan Gus Dur dicabut. Kaum politisi serta militer sangat menentang keinginan Gus Dur tersebut karena ”musuh bersama” akan hilang. Gus Dur menjelaskan pada kita bahwasanya ideologi tidak bisa dilarang, namun bila menjadi suatu gerakan yang membahayakan negara, itu yang harus dilarang.

 

Kenangan lain adalah bahwa bhante Pannyavaro menyampaikan kepada Gus Dur tentang sinyalemen yang diterimanya bahwa besok sore pada saat Gus Dur berangkat dari istana menuju ke Perayaan Waisak Nasional di Jakarta akan dinformasikan bahwa situasi Jakarta rusuh sehingga tidak memungkinkan Presiden meninggalkan istana. Tujuannya sudah jelas agar Waisak Nasional yang diselenggarakan KASI itu gagal dihadiri Presiden. Mendengar sinyalemen itu dengan enteng Gus Dur menjawab: ”Saya kan bukan batu”.

Sumber: Jayamedho, Bhikkhu. Menapak Pasti: Kisah Spiritual Anak Madura. Edisi Revisi. Jakarta: Penerbit CENAS, 2015, Bab 15 “Berjumpa Gus Dur”, hlm. 209–214.

TRANSLATE