Bab 15
“Gus Dur bukan sekadar Presiden. Ia adalah jembatan antara agama, budaya, dan kemanusiaan.”
Era pascareformasi adalah masa penuh euforia sekaligus kegamangan. Organisasi-organisasi keagamaan yang sebelumnya dibungkam, kini bebas menyuarakan aspirasi. Namun kebebasan itu juga melahirkan kekacauan politik dan sosial. Di tengah gejolak itu, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tampil sebagai Presiden dengan pemahaman keagamaan yang mendalam dan sikap pluralistik yang tak tergoyahkan.
Sebagai Bhikkhu, saya merasakan sendiri perhatian tulus Gus Dur terhadap umat Buddha. Dalam pertemuan kami di istana, beliau menyayangkan jika lembaga agama dipimpin oleh orang-orang yang tidak memiliki integritas spiritual. Kritiknya terhadap pimpinan WALUBI kala itu bukanlah serangan pribadi, melainkan panggilan moral demi menjaga martabat umat.
“Becik ketitik, olo ketoro – yang baik akan tampak, yang buruk akan terungkap.” — Gus Dur
Gus Dur dikenal dekat dengan Bhikkhu Pannyavaro, dan selalu menyambut kehadiran para bhikkhu dengan hangat. Salah satu candaannya yang membekas: “Orang yang berani masuk Istana tanpa sepatu hanya para bhikkhu.” Bahkan, saya sendiri pernah berbincang santai dengannya di kamar tidur Istana.
Ketika saya bertanya tentang fenomena mantan preman menjadi ulama, ia menjawab, “Lebih baik preman jadi ulama daripada ulama jadi preman.” Jawaban sederhana, tapi penuh makna sosial dan spiritual.
Salah satu momen paling membanggakan adalah ketika saya mengusulkan agar penutupan Pasamuan Agung VI Magabudhi dilaksanakan di Istana Negara dan dihadiri langsung oleh Presiden Gus Dur. Meskipun ada yang takut hal itu memicu kontroversi politik, saya yakin: Inilah saatnya! Tak mudah mendapatkan Presiden yang memahami Dharma sedalam Gus Dur.
Akhirnya, pada 6 November 2000, para Bhikkhu, pengurus Magabudhi dari pusat hingga cabang, dan para tokoh umat hadir di Istana. Saya sendiri membacakan laporan hasil kongres kepada Presiden. Kami semua bahkan tidak dikenakan biaya apapun oleh Paspampres, sebagai bentuk penghormatan dari Istana kepada tamu yang dianggap layak.
Momen itu tak akan pernah terlupa. Sebuah tonggak sejarah—bukan sekadar karena kami menginjak Istana, tetapi karena umat Buddha diakui secara bermartabat oleh kepala negara yang mengerti.
Gus Dur memahami bahwa ajaran Buddha sangat humanis dan pluralis. Ia melihat bahwa ajaran tersebut sejalan dengan kultur Indonesia yang menghargai keberagaman. Ia menekankan bahwa agama yang tumbuh di Indonesia seharusnya berakar dalam kultur lokal, bukan sekadar mengindonesiakan agama luar.
Saya sangat tersentuh oleh pemikirannya itu. Itulah mengapa gamelan Jawa mengalun di Vihara Dhammadipa Arama, Malang. Dharma berpadu dengan budaya lokal tanpa kehilangan makna universalnya.
Pada malam menjelang Perayaan Waisak Nasional 2000 di Balai Sidang Jakarta (JCC), saya kembali bertemu Gus Dur di Istana. Ia berdiskusi hangat dengan tokoh-tokoh lintas agama yang diundang oleh Bhikkhu Pannyavaro. Saat diberi sinyalemen bahwa situasi Jakarta mungkin rusuh dan Presiden disarankan tidak hadir di Waisak, Gus Dur menjawab:
“Saya kan bukan batu.”
Kalimat sederhana yang menyiratkan: beliau tak bisa digoyahkan oleh tekanan dan ancaman.
Sumber: Jayamedho, Bhikkhu. Menapak Pasti: Kisah Spiritual Anak Madura. Edisi Revisi. Jakarta: Penerbit CENAS, 2015, Bab 15 “Berjumpa Gus Dur”, hlm. 209–214.