Bab 16
Pada bulan Oktober 1975, saya mendapat kesempatan menghadiri seminar internasional, Buddhist Leaders and Scholars, di Sri Lanka. Ikut serta waktu itu Suparto HS, Ketua Magabudhi dan Mochtar Rasyid. Kesempatan itu kugunakan untuk berziarah ke tempat-tempat suci Buddhis di negara tersebut.
Setelah seminar itu selesai, kemudian saya berziarah ke Anuradhapura, Kandy, Polenaruwa dan tempat-tempat suci lainnya. Anuradhapura adalah kota suci kuno di Sri Lanka yang merupakan kota terbesar pada jamannya. Di kota ini ada sebuah pohon Bodhi yang merupakan hasil cangkokan dari pohon yang asli di India. Cangkokan pohon Bodhi ini dibawa oleh Puteri Sanghamitta dan Mahathera Mahinda, putera dari Raja Ashoka Wardhana. Sekarang pohon Bodhi ini dikelilingi pagar berlapis emas.
Kandy adalah ibukota Sri Lanka pada jaman sebelum perang. Di bekas istana Kandy, yang sekarang dipakai untuk vihara, tersimpan sebuah (relik–sisa jasmani) berupa gigi Sang Buddha. Saririka ini disimpan di dalam stupa berlapis emas dan dikalungi untaian emas permata dan batu-batuan mulia lainnya, disimpan dalam ruangan berlapis kaca tahan peluru. Kaca tahan peluru ini disumbangkan oleh umat Buddha Jepang. Setahun sekali replika stupa tersebut diarak keliling kota dalam suatu upacara yang besar dan megah. Yang mendapat kehormatan membawa replika ini adalah gajah-gajah besar yang diiringi oleh puluhan gajah lainnya. Dalam upacara ini pembesar-pembesar kota Kandy dengan pakaian kebesaran tradisionalnya mengawal parade gajah yang telah diberi pakaian indah dengan kalung-kalung gemerlapan.
Selama mengunjungi tempat-tempat suci di Sri Lanka ini, timbul cita-citaku untuk suatu waktu dapat mengunjungi tempat-tempat suci Buddhis di India, tempat asal, tumbuh dan berkembangnya agama Buddha. Selain itu keinginan itu juga didasarkan pada ajaran Sang Buddha, yaitu adanya empat tempat suci yang seharusnya dikunjungi oleh seorang pengikut Buddha (yang mampu) seperti yang tercantum dalam Mahaparinibbana Sutta, yang menguraikan pesan-pesan Beliau sesaat sebelum wafat. Beliau berpesan:
”……ada empat tempat yang harus dikunjungi, yaitu tempat di mana Sang Tathagata dilahirkan, tempat di mana Sang Tathagata mencapai penerangan sempurna, tempat di mana Sang Tathagata memutar roda Dhamma untuk pertama kalinya, dan tempat di mana Sang Tathagata mencapai Parinibbana. Oleh seorang saleh keempat tempat ini harus dikunjungi serta dirawat dengan perasaan penuh kehormatan. Ananda, para bhikkhu yang saleh, laki-laki dan wanita awam, akan merenungkan: Di sinilah Sang Tathagata dilahirkan, di sinilah Sang Tathagata memutar roda Dhamma yang pertama, dan di sinilah Sang Tathagata mencapai Parinibbana. Dan barang siapa, Ananda, yang mempunyai perlindungan, keyakinan yang kuat terhadap perjalanan ziarah itu, kalau ia meninggal dan jasmaninya hancur, maka ia akan tumimbal lahir di suatu alam yang penuh dengan kebahagiaan agung.”
Ke Buddha Gaya
Mungkin karena karma baik yang kuperoleh, di tahun 1979 diriku berkesempatan pergi mengunjungi tempat-tempat suci di India seperti tersebut di atas. Pada bulan Januari 1979, saya mendapatkan tugas dari Unilever untuk pelatihan manajemen di London (kantor pusat) dan Liverpool (pabrik). Sengaja saya mengajukan perencanaan tambahan utuk mengunjungi pabrik lain di Mumbai (Bombay) dan Kalkuta (Kolkata) untuk bisa mampir ke Varanasi dan Bodhgaya.
Pada tanggal 4 Maret, saya tiba Mumbai, untuk melihat pabrik Unilever terbesar di Asia. Dari Bombay, saya melanjutkan perjalanan ke Kolkata, dan tinggal di kota ini selama dua hari. Pada tanggal 8 Maret, dengan pesawat Air India, saya meninggalkan Kolkata menuju Varanasi (dulu Benares) dengan penerbangan jam 12.45 waktu setempat. Di depan tempat duduk saya, dalam pesawat, terdapat seorang penumpang laki-laki India yang sangat gemuk. Sebelum tinggal landas, pramugari meminta kepada para penumpang untuk mengikat sabuk pengamannya masing-masing.
”Safety belt ini terlalu sempit untuk dipakai!” kata penumpang gemuk di depan itu. Sang pramugari hanya tersenyum saja. Mendengar apa yang dikatakan penumpang tersebut, terlintas di benakku, mengapa dia tidak mengatakan, ”maaf perut saya ini besar sekali, sehingga safety belt ini tidak cukup”. Namun justru mengapa dia menyalahkan safety belt yang dianggapnya terlalu kecil. Kalau demikian benarlah apa yang dikatakan oleh Sang Buddha bahwa manusia mempunyai ego (selfish) yang terlalu besar. Manusia tidak ingin dirinya disalahkan, tetapi cenderung selalu menyalahkan orang lain (di luar dirinya). Ini menunjukkan kebenaran dari ajaran Sang Buddha tentang egoisme yang besar dalam diri setiap manusia yang menyebabkan kita menderita.
Pesawat mendarat di Bandara Vanarasi jam 15.00 waktu setempat. Dengan bus airport, para penumpang diantar ke kota Varanasi, dan tiba di kota itu jam 16.30. Kota ini sangat tua, kotornya bukan alang kepalang. Jauh lebih kotor dari Bombay maupun Kalkuta. Saya belum pernah melihat kota yang sekotor dan setua ini. Jalanan sangat sempit, berdebu dan kering. Malam itu juga saya ingin secepatnya sampai di Buddha Gaya. Menurut seorang petugas di airport tadi, hanya ada satu jalan ke Buddha Gaya yaitu dengan kereta api. Tidak ada bus, dan taksi. Semula bayanganku Buddha Gaya itu dekat sekali dengan kota Varanasi. Ternyata masih berjarak kira-kira 217 km.
Dengan tergesa-gesa, saya lari ke stasiun Kereta Api Varanasi yang besar sekali. Saya membeli karcis ke Kota Gaya dengan harga Rs. 12,25. Tiba di stasiun Gaya jam 20.40 waktu setempat, setelah berhenti pada 11 stasiun lainnya. Ternyata setengah dari penumpang kereta api ini berhenti di sini. Di stasiun Gaya, bersama beberapa orang Jepang yang kukenal di kereta api, lalu kami makan sekadarnya. Kemudian kami mencarter bemo ke Buddha Gaya yang jaraknya 6 km. Kelima pemuda Jepang ini adalah mahasiswa, dan mereka telah menjelajahi Tibet, Kashmir, Thailand dan sekarang India. Di Buddha Gaya kami menginap di hotel kecil apa adanya.
Pagi-pagi sekali ketika teman-teman dari Jepang ini masih tidur, saya pindah ke vihara Thailand yang letaknya tidak jauh dari tempat penginapan. Ternyata di Buddha Gaya ini banyak sekali vihara-vihara yang dibangun oleh umat Buddha dari banyak negara sesuai dengan kebudayaan masing-masing. Misalnya vihara Thai, vihara Jepang, vihara Burma, vihara Tibet, dan vihara Tiongkok. Di vihara Thai saya bertemu dengan kepala vihara. Setelah itu diriku meminta diri untuk pergi berziarah ke Buddha Gaya.
Masuk kompleks Buddha Gaya, dengan membayar donasi/sumbangan yang besarnya suka rela, dan dana untuk pembangunan sebesar Rs. 0.50,-. Maksud dari donasi ini adalah untuk pemugaran, dan mencegah agar tidak banyak orang masuk hanya untuk melihat-lihat saja. Di sini ada pemandu yang mengantarkan berkeliling dan menceritakan arti bangunan-bangunan itu. Diriku ditunjukkan di mana dulu Sang Buddha mencapai Penerangan Sempurna (Nibbana), yaitu di tempat yang disebut Vajrasana atau Tahta Intan; pohon Bodhi Suci; Tempat sang Buddha berjalan tujuh kali mondar-mandir setelah mencapai Nibbana; kemudian di tempat Beliau mengadakan perenungan kembali sehingga menemukan Hukum Sebab-Akibat yang Saling Bergantungan (paticcasamuppada). Kompleks bangunannya cukup besar, bersih, rapi, indah dan dihiasi bermacam-macam bunga yang sedang mekar seperti flamboyan, bougenville, dan lain-lain. Keadaan ini sangat jauh berbeda dengan lingkungan di luarnya yang kering, gersang berdebu, dan tidak berpohon.
Ketika itu kira-kira jam 11 siang. Saat itu seorang bhikkhu Theravada India dan beberapa umat Buddha India yang meletakkan makanan di atas Tahta Intan tadi, tempat di mana Sang Buddha mencapai Nibbana. Kemudian mereka membaca paritta. Setelah selesai, makanan itu diambil kembali. Peristiwa ini mengingatkan akan adat suku Jawa yang disebut caos, yang artinya mempersembahkan makanan. Di Keraton Yogya dan Solo, sampai sekarang masih berlaku adat, pada waktu jam makan tiba (ada atau tidak ada raja), makanan itu harus dipersembahkan di atas meja makan Raja. Kira-kira waktu makan sudah usai, makanan tersebut diambil lagi dan dimakan oleh warga Keraton. Mereka percaya bahwa makanan tersebut mengandung kekuatan magis. Ternyata adat mereka sama dengan adat kita.
Setelah mereka selesai caos, giliran diriku membaca paritta suci di hadapan Vajrasana. Detik itu perasaan goncang penuh haru sehingga air mataku mengambang, namun tidak sampai jatuh. Dengan rasa kegiuran ini, kurasakan suatu kebahagiaan yang tiada tara. Diriku telah memetik buah karma baik dengan dapat mengunjungi tempat ini, tanpa mengeluarkan biaya yang sangat besar karena semua biaya ditanggung kantor. Sejenak daku melakukan perenungan, melihat ke pohon Bodhi, Vajrasana, tempat Sang Buddha duduk. Sungguh terharu sekali. Kepada pemandu, diriku minta sebungkah tanah persis di tempat Sang Buddha duduk, untuk kubawa pulang ke Tanah Air.
Kulihat banyak sekali daun Bodhi kering yang berjatuhan di sekelilingnya. Dengan rasa syukur dan gembira, kukumpulkan daun-daun itu, sebagai kenang-kenangan luhur dari tanah suci.
Ketika itu timbul rasa heran, mengapa Vajrasana diapit atau terletak di antara pohon Bodhi dan candi yang tinggi. Ternyata candi yang didirikan Raja Ashoka itu dimaksudkan agar bila orang memasuki candi, maka seakan-akan kita menghadap Sang Buddha di mana Tahta Intan terletak di belakang candi namun di depan pohon Bodhi.
Diriku kemudian memasuki dharmasala candi setelah terlebih dahulu memberi dana.
Di sini sekali lagi saya membaca paritta-paritta suci. Kulihat ada bhikkhu Theravada sedang melakukan meditasi. Memang sangat terasa kesucian tempat ini. Di luar candi banyak bhikkhu Tibet (Lama) yang bermeditasi. Dari sini diriku naik lagi ke tingkat dua dari candi, di mana disimpan Tripitaka, baik yang dalam Bahasa Pali maupun dalam Bahasa Tibet. Kita bisa melihatnya dan mengambil beberapa fotonya. Dari pemandu, saya mendapat keterangan bahwa pohon Bodhi ini telah berusia 190 tahun dan merupakan cucunya dari yang asli, yang ditebang oleh permaisuri Maharaja Ashoka Wardhana. Permaisuri ini tidak senang dengan upaya Raja Ashoka dalam memajukan ajaran Buddha.
Ke Neranjara
Dari Buddha Gaya, saya ingin melihat Sungai Neranjana yang dalam kisah hidup Sang Buddha disebut sebagai yang sangat sejuk, indah, banyak pepohonan, di mana Sang Buddha pernah mandi sebelum pergi ke Buddha Gaya untuk bermeditasi dan mencapai Nibbana.
Akan tetapi apa yang kulihat sekarang ini, jauh berbeda dengan apa yang terjadi 2.500 tahun yang lalu. Saya benar-benar tidak menyangka bahwa sungai yang dulu begitu indah, kini kering tidak ada air setetespun juga. Sejauh mata memandang, dari sungai yang lebarnya 300 meter ini hanya penuh dengan pasir panas. Daku mencoba berjalan menyeberangi sungai yang kering itu untuk melihat sendiri tempat di mana dulu Sang Buddha mandi. Tempat tersebut kini ditandai dengan stupa.
Saya kemudian berjalan mengunjungi bekas rumah Sujata, yang pernah memberikan makanan bubur kepada Gotama selepas beliau menyiksa diri tanpa hasil. Bekas rumah Sujata itu kini tinggal pondasi-pondasi saja, berupa batu bata merah yang di sekitarnya banyak tumbuh pohon lontar. Perjalanan dilanjutkan ke suatu Candi Syiwa yang letaknya tidak jauh. Di dalam Candi Syiwa ini terdapat tempat suci Buddhis yaitu tempat di mana dulu Sang Buddha duduk dan menerima makanan dari Sujata.
Tempat ini kini ditandai dengan sepotong tapak kaki yang terbuat dari batu. Pada jaman Raja Ashoka dulu tidak ada patung Buddha, jadi hanya berupa lambang-lambang saja seperti cakra, tapak kaki dan sebagainya yang menjadi objek pemujaan.
Setelah melihat tempat tersebut, daku jadi ingin tahu situasi/ keadaan di sungai Anoma, tempat Sang Buddha melepaskan semua atribut kebesarannya. Sungai yang dulu bernama Anoma itu kini bernama Plagu, keadaannya sama dengan Neranjara yang penuh dengan pasir tanpa air sama sekali. Saya menjadi termangu dan terheran-heran tiada habisnya melihat India sekarang ini sesudah 2.500 tahun wafatnya Sang Buddha.
Kemudian saya kembali ke Gaya, pergi ke stasiun untuk membeli karcis. Sebenarnya diriku telah berjanji pada seorang bhikkhu kepala candi Buddha Gaya untuk ikut meditasi bersama-sama di illumination hall pada waktu magrib. Tetapi sayang, daku terlambat tiba, karena tidak mendapatkan kendaraan dari Gaya. Waktu tiba di Buddha Gaya, hari sudah magrib. Dalam desa yang begitu hening, tidak ada kendaraan, terdengarlah dari pengeras suara para bhikkhu Theravada membacakan paritta. Sangat syahdu sekali. Keharuan menyelinap dalam hati sanubariku. Pembacaan paritta-paritta lewat pengeras suara ini tidak mengganggu, karena rumah-rumah penduduk agak jauh.
Pada malam itu, daku bermalam di vihara Thai dan ditemani oleh dua orang mahasiswa, yaitu seorang dari Thai dan seorang dari Laos. Saya tertarik akan kisah hidup mahasiswa dari Laos yang sudah lama tinggal di India bernama Khambay Thongvilay.
Selesai makan, kira-kira jam 10 malam, saya mengajak Khambay ke Buddha Gaya untuk bersama-sama meditasi. Sayang, Buddha Gaya sudah tutup. Akhirnya kami bermeditasi di luar pagar saja dan menghadap ke pohon Bodhi. Lama kami meditasi di luar ini dalam suasana yang dingin, syahdu dan angin yang bertiup semilir dan berdebu. Sepi sekali dan gelap. Namun hati kami terang bercahaya. Saya akui bahwa diriku belum pernah menemukan kesyahduan semacam ini, walaupun beberapa kali ke Borobudur. Jauh di hadapan kami, pelita-pelita di altar berkelap-kelip ditiup angin setelah selesai meditasi.
Kami tetap duduk dan aku bicara-bicara dengan Khambay tentang Ajaran Buddha. Kemudian pada larut malam, kami melakukan pradaksina (tawaf) tiga kali di luar pagar, dan kembali ke vihara untuk tidur. Jam 6 pagi, saya mohon diri dari Kepala vihara dan dengan mencarter bajaj Rs. 15,- kami berdua pergi ke kota Gaya.
Ke Isipatana
Dari Gaya kami membeli dua karcis kereta api ke Varanasi, yang berangkat jam 7.45 pagi. Kereta api tiba di Varanasi jam 16.00. jadi jarak 217 km ditempuh dalam waktu 10 jam. Diriku sudah kehilangan kesabaran. Betapa agung Sang Buddha yang dapat melihat dengan mata dharma (dhamma cakkhu) sejauh 217 km tempat kelima petapa berdiam. Beliau berjalan menemui kelima petapa itu di dalam hutan belukar selama satu minggu. Sungguh Agung Sang Buddha.
Dari hotel kami mencarter riksaw Rs. 20,- untuk pulang pergi Varanasi-Isipatana (Sarnath). Tiba di Sarnath jam 16.50. dua kilometer ke jurusan Isipatana, ada sebuah stupa besar dengan dinding terkelupas, tetapi masih terihat bentuknya yang bulat. Stupa ini didirikan oleh Raja Ashoka untuk memperingati Sang Buddha bertemu dengan lima petapa, di mana ketika melihat Sang Buddha, kelima petapa itu berkata, ”janganlah disambut petapa Gotama itu karena telah murtad! Janganlah disediakan tempat duduk, dan jangan dihormati!”
Kalau kita membaca dalam Tripitaka, seakan-akan Sang Buddha bertemu dengan lima petapa di Isipatana, kemudian berkhotbah. Sebenarnya tidaklah demikian, karena jaraknya kurang lebih 20 KM. Dhammacakka Pavatana Sutta itu dikhotbahkan selama tujuh hari tujuh malam! Sedangkan kalau kita membacanya, paling lama hanya akan memakan waktu setengah jam. Ini pun orang sudah tidak sabar. Dari stupa yang tua itu, di atasnya ada bangunan diagonal yang didirikan oleh seorang raja Benares yang beragama Islam untuk memperingati kedatangan ayahandanya di stupa ini. Jadi bangunan yang di atas itu tidak asli. Sedangkan bangunan paling bawah adalah bangunan asli. Banyak bangunan di Isipatana, Varanasi maupun di Buddha Gaya pernah dihancurkan oleh orang-orang Muslim ketika menyerbu India.
Daku melihat-lihat bekas reruntuhan Vihara Isipatana. Banyak kijang berkeliaran di taman Isipatana tersebut. Kemudian diriku melihat tempat Sang Buddha dulu untuk pertama kalinya memberikan khotbah yang kemudian kita kenal dengan Dhammacakka Pavatana. Di tempat Beliau berkhotbah ini sekarang didirikan stupa yang disebut Dhamekh Stupa (Dhammacakka Stupa). Setelah diriku melakukan pradaksina tiga kali, berbarengan dengan para Lama dari Tibet, saya dan Khambay, duduk bersimpuh menghadap Stupa Agung.
”Mari kita mulai berparitta!” ajakku kepada Khambay. Kami berdua kemudian membaca paritta dengan begitu khusuk. Setelah itu kami bermeditasi dengan sangat tenang. Kekhusukan dan ketenangan di sini benar-benar mencekam dengan kuat dalam diriku lebih dari yang kudapatkan di Buddha Gaya. Setelah meditasi cukup lama, aku bergumam bahwa aku datang ke tempat ini adalah untuk mewakili almarhum Pak Karbono, almarhum Pak Sadono dan sahabat lain yang sekarang aktif di pergerakan Buddhis secara sadar dan ikhlas, untuk menghormat kepada Sang Buddha. Semoga mereka dan dirikupun mendapatkan kekuatan dan kebahagiaan. Saya berdoa dan melakukan tekad untuk tetap mencoba melaksanakan dan membabarkan Dharma secara maksimal. Kemudian aku sujud di hadapan Stupa Agung nan suci ini, membungkuk dan menyentuhkan dahi ke tanah dengan rasa hormat.
Setelah bersujud tiga kali, saya pamit mohon diri, menghadap stupa, sungkem dan mencium stupa. Di sini perasaanku tergoncang dan tidak kuat lagi menahan diri, terharu yang amat sangat seperti kita akan berpisah dengan orang yang sangat kita sayangi yang tidak akan bertemu lagi. Aku menangis tersedu-sedu. Air mata mengalir dengan deras.
Kejadian seperti ini belum pernah kualami. Di sini aku membenarkan sabda Sang Buddha; berpisah dengan orang yang dicintai atau disayang itu adalah dukkha. Namun dukkha yang diriku alami ini adalah dukkha yang bercampur oleh kebahagiaan, bercampur dengan kekhidmatan, dan bercampur dengan rasa terima kasih, karena pada waktu meditasi itu seakan-akan aku melihat (dalam imajinasiku) Sang Buddha sedang berkhotbah di hadapan lima orang bhikkhu. Inilah yang mendorong diriku menangis haru. Imajinasi timbul, seakan-akan aku turut hadir dalam peristiwa Agung itu. Seperti anak kecil, tangisanku menjadi-jadi, lebih-lebih sewaktu meninggalkan taman Isipatana yang asri dalam suasana kegelapan malam.
”Seorang Buddhis yang berbakti, setiap berada di Isipatana pasti menangis. Akan mengalami hal yang sama bila orang berada di Kusinara. Namun jarang orang bisa menangis mengunjungi Buddha Gaya!” kata Khambay menghibur. Jadi rupanya di sini ada hal yang aneh.
Di dalam komplek Isipatana ini sekarang berdiri sebuah vihara dengan corak lama. Di dalamnya ada sebuah patung Anagarika Dharmapala. Beliau adalah seorang Sri Lanka yang berjuang untuk membangkitkan Agama Buddha sebagai agama besar dan bukan sebagai agama abu. Dia berjuang bersama-sama Kolonel Olcott, sehingga tercipta bendera Buddhis Internasional yang kita kenal sekarang. Ia berjuang untuk mengembalikan tempat-tempat suci Buddhis di India ke tangan umat Buddhis sedunia. Jasanya sangat besar. Ia tidak mau jadi bhikkhu, tetapi usaha sucinya melebihi para bhikkhu. Dialah yang mendirikan Mahabodhi Society yang sekarang mengelola tempat-tempat suci Buddhis di India.
Dengan sedu-sedan di atas riksaw, kami kembali ke Varanasi. Di tengah jalan, kami dicegat oleh kira-kira delapan orang laki-laki. Salah seorang di antara mereka mukanya dicoreng-coreng, membawa tongkat dan tanpa baju. Bulu romaku seketika berdiri. Kita disuruh berhenti. Khambay dan penarik riksaw kemudian berdebat dengan mereka dengan menggunakan bahasa Hindi. Aku hanya menyaksikan dengan bengong.
Aku melihat gelagat lain yang tidak baik dari raut muka mereka yang berdebat. Kelihatannya mereka mau berkelahi. Seketika aku berteriak sambil mengangkat tangan: ”Ahimsa! Ahimsa!” ketika itu saya masih dalam keadaan terharu dan sedan. Orang-orang itu mundur. Setelah mereka mundur, aku berkata, ”Silakan jalan terus”. Kami kemudian pergi dan melanjutkan perjalanan lagi. Aku bertanya kepada Khambay, ”Apa yang terjadi Kham?”
”Mereka mau merampas tas anda yang merah itu!” jawab Khambay. Tas merah saya itu memang berisi uang USD 1.000 (USD 1 =Rp. 600,-).
”Kenapa Anda mengatakan Ahimsa, Ahimsa?” tanya Khambay lagi.
”Tidak tahu!” Jawabku.
”Apakah kau tahu apa artinya Ahimsa?” tanya Khambay lagi.
”Tahu, yaitu jangan gunakan kekerasan. Saya lihat kalian mau berkelahi. Saya baru berziarah ke tempat suci, sehingga tidak pantas kalau saya mengotori pikiran saya dengan kekerasan. Kalau perlu jiwa raga saya akan saya serahkan. Saya tidak perlu kekerasan. Karena itu tanpa sadar saya berteriak, Ahimsa Ahimsa! Kamu tahu Kham? Kata-kata itu saya peroleh dari Mahatma Gandhi yang menekankan bahwa agama Buddha itu didasarkan atas ajaran Ahimsa”, jawabku.
Kekerasan memang bukan jiwa Agama Buddha, kecuali untuk mempertahankan negara, dan bukan untuk ekspansi ataupun mempertahankan agama.
”Kamu ingat pada waktu Sang Buddha mencapai Nibbana? Beliau digoda oleh Mara. Pada waktu itu Sang Buddha memperlihatkan kekuatannya sebagai Maharajika atau Raja Dewa. Mengeluarkan kekuatan tanpa kekerasan. Betul, tidak?” kataku.
”Ah, sungguh benar kata-kata Anda!” katanya, ”Anda bisa menunjukkan kekuatan Anda. Mereka seperti mara, mukanya dicoreng-coreng”.
”Ya. engkau benar”, sahutku.
”Kalau begitu, kita saat ini pun mendapatkan penerangan, yang tentunya dalam jumlah yang kecil sekali. Digoda Mara, namun masih tetap dapat mempertahankan Dharma!”
”Kham, kamu jangan lupa! Kalau kamu memiliki Dharma dan tersimpan dalam lubuk hatimu, tidak seorang pun yang akan dapat mencurinya. Dharma itu dilambangkan sebagai cakra yang tersimpan dalam diri kita. Tetapi begitu ada marabahaya, cakra itu akan keluar dengan sendirinya, mengenyahkan semua marabahaya dan melindungi penyimpannya. Karena itu, kamu harus dapat menghayati Dharma, simpanlah baik-baik dalam lubuk hatimu. Jangan di dalam buku, jangan di bibir, namun dalam lubuk hati! Ini suatu bukti nyata yang baru kita alami. Inilah buah Dharma yang telah saya rasakan”.
Selama dalam perjalanan 6 km itu, kami berdialog tentang Dharma di tengah jalan yang gelap. Bahkan sampai di vihara tempat kami menginap pun, sampai jauh malam, kami terus berdialog tentang Dharma. Sampai akhirnya dia mengatakan: mulai malam ini anda saya anggap sebagai kakakku! Saya meminta anda selalu menasehati saya, walaupun anda sudah pulang ke Indonesia.” Saya sangat terharu mendengarnya.
Keesokan harinya, saya meninggalkan Varanasi (Benares) menuju Kalkuta dengan pesawat untuk kembali ke Tanah Air. Selama perjalanan pulang dalam pesawat, aku mencoba merenungkan kembali kunjunganku ke tempat-tempat suci Buddhis ini. Perlahan-lahan meresap dan menjalar dalam diriku:
Bertahun-tahun hubunganku dengan Khambay berlangsung sampai ia menikah dua kali dan ditolong istri keduanya yang orang Thai masuk ke Bangkok dengan menggunakan paspor asli tapi palsu. Disana saya jumpa dia dan selanjutnya ia bermukim di Dallas, Amerika Serikat. Dalam perjalananku mengelilingi dunia saya sempat selama lima hari menginap di rumahnya yang cukup bagus di Dallas serta diajak keliling kota melihat tempat Presiden Kennedy di tembak mati ketika berkendaraan mobil. Saya sangat bahagia melihat dia berbahagia dengan istri dan anak perempuannya.
Beberapa kali ke Tanah Suci
Perjalanan pertama (1975) sepulang dari mengikuti pelatihan Unilever di Sri Lanka dan pulangnya mampir ke Tanah Suci Varanasi dan Buddha Gaya seperti diuraikan di atas.
Pernah dalam ziarah kedua saya bertekad berziarah dengan biaya sepenuhnya dari diri sendiri dengan menggunakan perjalanan (back packer) yang tidak nyaman. Hal itu aku lakukan pada 1979. Di sana aku tetap ditemani oleh Khambay dan mengalami banyak ”cobaan”, seperti akan dibunuh oleh beberapa penumpang didepanku, di atas kereta api malam mendekati kota Lucknow. Perjalanan kedua ke tempat suci Buddhis kulakukan dengan menggunakan bus, kereta api, gerobak ditarik kuda, rickshaw, jeep dan tentunya jalan kaki. Menurut cerita orang tua-tua, bila perjalan ke tanah suci dengan bekal keyakinan semata dan dilakukan dengan susah payah maka ganjarannya akan sangat besar. Itu katanya lho. Empat Tempat Suci yang dikunjunginya adalah Lumbini (Nepal) tempat kelahiran Pangeran Siddharta yang kelak menjadi Buddha, Buddha Gaya (India) di mana petapa Gotama mencapai Penerangan Sempurna, Varanasi (India) di mana Buddha membabarkan Dharma pertama kali pada lima petapa yang menjadi murid pertamanya serta Kusinara (India) tempat wafatnya Buddha Gotama.
Perjalanan ketiga (1982) ke Tempat Suci secara komplit juga dilakukan bersama rombongan umat Buddha Metta Arama di Jakarta, di mana saya sebagai pemandunya. Inilah perjalanan musafir Buddhis pertama dari Indonesia yang disambut banyak pihak di India. Sesudah kunjungan ini saya dan Hans Limanouw pemilik Indotaka Tour & Travel melakukan promosi di tanah air sehingga mulai saat itu secara reguler diberangkatkan para peziarah ke India sampai sekarang. Saya dan Hans sebagai pionir pertama rombongan peziarah ke Tanah Suci Buddha.
Perjalanan ke-empat tahun 1991 kulakukan sewaktu aku mendapat kesempatan pelatihan manajemen di London & Liverpool yang dilakukan oleh Unilever Internasional. Sewaktu pulang ke Jakarta saya mampir kembali ke Varanasi dan Buddha Gaya kembali untuk melakukan ziarah.
Perjalanan kelima kulakukan pada 2006 ketika aku mewakili KASI (Konferensi Agung Sangha Indonesia) berpartisipasi pada Seminar Internasional Dharma Sangiti pada tanggal 23-26 November 2006 di Varanasi. Saya disambut gembira dan diminta berbicara sebagai orang yang pindah agama ke agama Buddha yang jarang terjadi di India. Berita ini beserta foto masuk di surat kabar lokal. Selesai seminar maka panitia menyediakan ekskursi dengan bus ke tempat-tempat suci agama Hindu–Buddha–Jaina di Varanasi dan Buddha Gaya. Umat Hindu di India merasa resah dengan upaya konversi (perpindahan agama) ke agama lain yang dirasakan kurang fair dan mengancam eksistensi mereka.
Dalam Kitab Suci Mahaparinibbana Sutta dikatakan bahwa bilamana seseorang berziarah dengan penuh keyakinan ke-empat tempat suci di mana Buddha dilahirkan, Buddha mencapai Penerangan Sempurna, Buddha membabarkan Dharma-Nya pertama kali serta tempat Buddha wafat maka bilamana ia meninggal dunia maka akan masuk surga.
Beberapa teman Buddhis meragukan kata Buddha ini dengan mengatakan: “Yah enak benar dengan ziarah segera bisa masuk surga. Lha gimana dengan perbuatan–perbuatan buruknya sebelum dan sesudah dari tempat suci yang mungkin besar?”
Dengan entengnya kujawab: “ Yah kalau banyak perbuatan buruknya, bisa saja dia masuk surga hanya cukup sehari dua hari. Sisanya menikmati panasnya neraka atau menjadi hantu kelaparan beratus-ratus tahun lamanya” Mereka hanya tertawa mendengar jawabanku.
Sumber: Jayamedho, Bhikkhu. Menapak Pasti: Kisah Spiritual Anak Madura. Edisi Revisi. Jakarta: Penerbit CENAS, 2015, Bab 16 “Perjalanan ke Tanah Suci”, hlm. 215–228.