Bab 17
Seperti dicatatkan di bagian terdahulu, sekalipun saya hampir saja dikeluarkan dari kampus gara-gara terlalu aktif dalam gejolak perpolitikan mahasiswa, akhirnya dinyatakan lulus dari Universitas Padjadjaran pada tahun 1967. Menjelang wisuda, Karbono, guru spiritualku memberikan nasihat berikut, ”Ndro, kini kau pada waktu wisudha bergelar Sarjana Hukum. Namun ketika keluar dari kampus status kamu adalah pengangguran. Janganlah terlalu bergembira. Hendaknya tetap rendah hati”.
Benar juga kata guru spiritualku itu. Setahun lamanya saya sebagai pengangguran selepas menggambil gelar kesarjanaan. Saya terus berusaha memasukkan lamaran di berbagai lowongan pekerjaan.
Pengelanaan Seorang Fresh Graduate
Sembari mengisi waktu di saat penantian itu, saya kembali ke Malang berkumpul bersama orangtua. Hari-hari itu tidak terlewatkan diisi dengan aktif bergiat dalam organisasi umat Buddha di Malang bersama Djamal Bakir (Bhikkhu Khantidharo) yang kemudian turut menyeret membangun masyarakat Buddhis di daerah-daerah pinggiran Malang dan sekitarnya.
Demi mendapatkan pekerjaan, lalu oleh ibu saya disarankan untuk pergi ke Denpasar, Bali. Di sana tinggal beberapa famili ibu, dan ditambah lagi Gubernur Bali, Sukarmen, yang juga masih terbilang famili. Pergilah saya ke Denpasar, menggunakan jalan darat. Begitu tinggal di Bali, saya sangat terkesan dengan kultur Bali yang masih sangat alami. Saat itu belum ada listrik, malam begitu gelap dan masih sering terdengar gamelan ditabuh di mana-mana dan keindahan panorama alam lainnya. Selama di Bali sering kali saya bersepeda ke Desa Mengwi menemui Bhikkhu Jinapiya (Tithakethuko) untuk belajar memahami Pustaka Sang Hyang Kamahayanikan yang masih berbau Hindu.
Di Bali, saya mengajukan lamaran menjadi pegawai Pemda Bali, dengan jaminan status famili gubernur, selain itu juga melamar menjadi dosen di Universitas Udayana. Ternyata setelah ditunggu cukup lama dan sekalipun famili dari gubernur, hasilnya nihil. Mengetahui hal itu, segera saya kembali lagi ke Malang sambil dengan berat hati meninggalkan panorama Pulau Dewata yang elok itu.
Meskipun dalam situasi seperti itu, aktivitas dalam pengembangan agama Buddha tidak berhenti. Tidak lama kemudian, setelah gagal dari Bali, saya balik ke Jakarta bertemu dengan Bhikkhu Ashin Jinarakhitta dan diajaklah oleh beliau ke Banjarmasin, Balikpapan dan Samarinda. Saya mengenang pengalaman waktu itu. Tugas utama saya adalah mendampingi beliau mengunjungi umat. Selama kunjungan tersebut, peran Bhikkhu hanya memberikan sila saja sedangkan untuk pembabaran Dharma, saya yang melakukan. Yah, nambah pengalaman mematangkan diri meski dengan bekal pengetahuan yang terbatas.
Ada kisah menarik sewaktu berada di Samarinda waktu itu. Umat hendak merenovasi vihara kecil di Jl. Mulawarman (sekarang sekolah Budhi). Di depan vihara tumbuh pohon beringin besar dan dipercaya ada penunggunya dan tidak satu orangpun berani menebangnya. Bhikkhu dilarang oleh vinaya menebang pohon. Jadilah diri saya yang menebang dan yang menanggung resikonya. Dengan keyakinan yang teguh pada Buddha dan sesudah membacakan paritta kebahagiaan pada semua mahluk, maka saya mulai menebangnya. Setelah itu, umat lain beramai-ramai mengikutinya.
Pada bulan November 2009, empat dasawarsa kemudian, kebetulan saya bertemu seorang umat yang juga ingat peristiwa itu. Ia menjelaskan bahwa ibunya ikut membantu menebang dan hasilnya ia kesurupan ringan sesudah pulang. Terpaksalah keluarganya membawa sesaji ke bekas tebangan beringin seraya mohon ”ampun”.
Sewaktu di Samarinda kala itu, saya diberi minum air sungai Mahakam asli yang diambil dari sungai dan disaring di saringan batu. Tetesan air tersebut diminumkan ke saya dengan harapan akan kembali ke Samarinda. Hal ini benar terjadi, karena 20 tahun kemudian (1987) saya beranjangsana ke Samarinda dan tahun 2006-2010 menetap sementara di Samarinda sebagai konsultan manajemen.
Bersama Bhikkhu Ashin, perjalanan ke tiga tempat di Kalimantan itu selain untuk kegiatan agama, dalam benak saya juga muncul angan-angan, barangkali juga membuka peluang diriku untuk bekerja di sana. Setelah melewatkan beberapa minggu di perantauan, harapan untuk mendapatkan pekerjaan juga belum kesampaian. Nasib masih gelap gulita dan belum ada tanda-tanda terang.
Kuijin, Sang Dewa Penolong
Pulanglah daku kembali ke Malang. Maklumlah pulang ke rumah orangtua disertai dengan pikiran gundah. Harapan untuk mendapatkan pekerjaan belum terwujud. Usaha-usaha juga telah dilakukan, namun masih nihil. Pada waktu itu sesungguhnya ada tawaran untuk menjadi hakim oleh Tanoyo S.H., Kepala Pengadilan Negeri Malang. Namun saya belum dapat menerimanya karena takut setelah menjadi hakim bila karena suatu sebab mengambil keputusan yang tidak benar atau tidak adil, maka karma buruk pasti harus kuterima. Barang siapa menanam maka akan menuai (sopo nandur mesti ngunduh–ngunduh wohing pakerti). Kusampaikan bahwa saya ingin jadi jaksa saja, guna memenuhi keinginan nenek saya, Mbah Sumo. Akan tetapi pekerjaan itu tidak juga kunjung didapatkan.
Kucoba mengunjungi Kelenteng Malang, di mana di sebelahnya terdapat gedung peribadatan Buddha. Di kelenteng tersebut saya menghormat Dewi Kwan Im, sambil melihat ramalan ciamsi dengan menggunakan alat yang dibuat dari potongan bambu kecil yang telah disayat sedemikian halus. Bambu-bambu kecil itu diberi angka dan disatukan ke dalam wadah dari bambu besar (bumbung, Jawa). Dengan cara dikocok-kocok, maka jatuhlah salah satu potongan bambu itu dan nomor yang ada di potongan bambu itu lalu disesuaikan dengan kertas ramalan yang telah disediakan. Kertas ramalan yang kubaca waktu itu intinya bertuliskan, ”Jangan takut. Nanti akan datang Kuijin (dewa penolong) namun jauhnya masih 100 lie”. Waduh berapa lama ya 100 lie tersebut? Ternyata ramalan tersebut benar terwujud adanya. Kelak ramalan itu menjadi kenyataan di mana tanpa diduga sebelumnya saya ditolong oleh famili jauhku Ibu Issudibyo, yang suaminya menjabat Kepala Bea & Cukai Tanjung Priok.
Melihat saya masih menganggur maka anak paman saya bernama Prayitno di Surabaya menawariku bekerja di perusahaannya di bidang agen minyak Pertamina. Dulunya ia bekas pejabat di perusahaan minyak milik Amerika Serikat, Stanvac. Di tempat itu saya diminta belajar kerja saja sambil menunggu kerja yang lebih baik sesuai dengan keahlianku. Di Surabaya saya juga sering jumpa Singgih, adik kandung Prayitno, dan sempat berkenalan dengan mertuanya yang bernama Eyang Suryodiningrat, atau sering disebut Yangki. Dalam sebuah pertemuan dengan Yangki, ditanyalah saya mengenai status pekerjaanku. Kujawab belum bekerja. Mendengar jawaban itu, Yangki mengarahkanku supaya bekerja di Jakarta saja. Perkiraanku Yangki mempunyai jalur untuk membawaku bekerja di Jakarta. Setelah peristiwa itu, saya kembali ”bekerja” di rumah Prayitno sambil menunggu apa yang dimaksud Yangki tersebut.
Suatu hari di hari libur datanglah sebuah mobil ke rumahku di Malang. Mobil berhenti persis di depan rumah. Seorang ibu keluar dari mobil itu. Dengan baju hitam-hitam gaya Madura, saya bergegas ingin tahu siapa ibu tersebut. Saya pun menyambutnya. Ibu itu langsung bertanya kepada saya, apakah betul ini rumahnya Sumantri Endro? Kujawab betul dan langsung Ibu tersebut bertanya lagi apakah bisa ketemu dengan anaknya yang bernama Onny. Saya jawab ya saya sendiri. Tamu itu mengenalkan diri sebagai mbakyu Issudibyo, anak tertua Eyang Suryodiningrat. Mbakyu Iss ini bersuamikan orang Ponorogo. Setelah bertemu dengan ayah, Yu Iss mengatakan bahwa saya akan dicarikan kerja di Jakarta. Nah, saya sedikit bergumam, barangkali inilah buah dari ramalan ciamsi itu. Kedatangan Mbakyu Issudibyo seperti dibawa kuijin (dewa penolong) yang telah datang kepadaku.
Tidak lama berselang, pergilahlah saya ke Jakarta, hanya dengan bekal pakaian dan peralatan lain yang terbungkus dalam tas ransel tentara. Dengan kereta api saya ke Jakarta dan kemudian langsung menuju ke alamat rumah keluarga Issudibyo yang terletak di Jalan Tanah Abang II. Karena belum bekerja, di sana saya menetap saja, makan, tidur dan menemani putra-putri beliau baik dikala belajar maupun bermain.
Berkali-kali ditanyakan Yu Iss menyinggung ke suaminya tentang sudah adakah pekerjaan untukku, jawabannya selalu belum ada. Situasi demikian ini aku lalui selama enam bulan.
Karena lama tidak bekerja, oleh Mbakyu Issudibyo, saya disuruh ikut les Bahasa Inggris kepada Ibu Hurustiati Soebandrio, istri mantan Menteri Luar Negeri Soebandrio. Pak Soebandrio sendiri masih berada dalam tahanan waktu itu dan belum diadili rezim Soeharto karena dituduh terlibat G30-S. Biaya les Bahasa Inggris itu ditanggung Mbakyu Issudibyo. Tanpa kuketahui, ternyata ibu Soebandrio ini memiliki seorang adik bernama Hudoyo Hupudio, seorang dokter yang kelak menjadi salah seorang pendiri Magabudhi (Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia).
Meniti Karier di Perusahaan Asing
Dengan berbekal Bahasa Inggris yang cukup, dengan bantuan Mas Issudibyo, saya disuruh melamar pekerjaan di beberapa bank asing. Mula-mula saya melamar di American Express Banking Corporation (Amex Bank), kemudian Bank of America dan Citibank. Setelah menunggu sementara waktu, lamaran di ketiga perusahaan asing tersebut diterima untuk seterusnya menuju tahap wawancara. Di Citibank diterima menjadi cashier/teller. Di Amex diterima sebagai staf Remittance (foreign exchange). Sayangnya, informasi dan pemanggilan wawancara itu diterima lebih dulu dari Amex Bank ketimbang dua perusahaan lainnya.
Setelah diterima, dengan kemantapan tekad, kuputuskanlah mengambil kerja di Amex Bank. Belakangan baru kusadari, ternyata pilihan bekerja di bank tersebut kurang tepat, sebab Citibank dan Bank of America adalah perusahaan yang jauh lebih besar. Dirasakan pula, bekerja di bagian Forex (foreign exchange) itu tidak cocok, sebab penuh prediksi dan tidak beda jauh dari aroma pertaruhan. Saya harus dituntut bermain dan membaca prediksi jatuh bangunnya harga dollar dan mata uang asing lainnya. Namun begitu, bekerja dalam situasi seperti itu mampu kulalui selama tiga tahun lamanya.
Meniti Karier di Unilever
Di tahun 1970, kakakku, Henk, sudah diterima bekerja di Unilever sebagai marketing trainee. Kepadaku Henk memberitahukan bahwa di bulan-bulan berikutnya akan dibuka lagi lowongan tenaga kerja sebagai management trainee di perusahaan multinasional itu. Henk menyarankan diriku untuk bersiap-siap melamar di bagian personalia saja, sesuai dengan latar belakang pendidikanku.
Saya menuruti saja sarannya untuk melamar kerja di Unilever seperti yang diinformasikan. Beberapa tahapan tes kuikuti. Sampailah pada tes terakhir, yaitu wawancara. Dalam tes wawancara itu, aku berhadapan langsung dengan jajaran Board of Director Unilever Indonesia, termasuk dua direktur Indonesia, Hajibowo, direktur hubungan luar dan wakil presiden direktur, Maghribi Reksohadiprodjo. Hajibowo adalah seorang ningrat Solo dan bekas perwira Angkatan Laut Belanda yang telah bersumpah setia kepada Ratu Wilhelmina. Begitu Republik berdiri, ia tetap mempertahankan sumpahnya itu dan keluar dari Angkatan Laut Belanda, lalu memilih bergabung dengan Unilever. Adapun Maghribi ternyata banyak mengenal famili saya. Kepada Maghribi, saya pun menyampaikan salam dari keluarga besarku.
Sebetulnya bersamaan waktu wawancara akhir itu saya hendak pergi ke Palembang, mengiringi Bhikkhu Ashin Jinarakkhita untuk urusan keagamaan. Dalam tes wawancara dengan Board of Director Unilever Indonesia itu, saya menceritakan rencana tersebut. Hajibowo bertanya kepadaku, apakah bersedia menunda keberangkatan ke Palembang karena kemungkinan satu atau dua hari ke depan akan ada pengumuman penerimaan karyawan. Kujawab bahwa saya tidak bisa menunda lagi perjalanan ke Palembang, sebab sudah jauh hari direncanakan dan semua persiapan sudah dilakukan. Lanjut saya, jika ada pengumuman maka saya mempersilakan untuk mengirimkan surat ke rumah saja. Didesak lagi mengapa saya tidak mau menunggu. Saya menjawab dengan ringan bahwa saya sukar merubah jadwal cuti di perusahaan karena ketatnya peraturan disamping perjalanan yang sudah terjadwal dengan baik. Tukar menukar argumen terjadi dalam wawancara itu.
Sewaktu wawancara tahap kedua itu juga disinggung tentang kedalaman pengetahuanku mengenai Hukum Perburuhan yang tidak saya kuasai. Jawaban hanya berdasarkan logika dan bukan berdasarkan hukum. Pewawancara adalah General Personal Manager, Soetanandika merasa kecewa dan sedikit membentak saya, ”Sarjana hukum macam apa tidak mengerti hukum perburuhan”. Kujawab dengan sopan bahwa, ”Tidak semua sarjana hukum mengerti semua hukum”. Saya tidak pernah mengambil mata kuliah Hukum Perburuhan yang menurut saya agak “amburadul tumpang-tindih” Kujawab kemudian: “Saya minta waktu sebulan untuk memelajari hukum perburuhan, setelah itu nanti bisa di tes ulang.
Sebetulnya memang saya sewaktu kuliah kurang merasa sreg dengan salah satu disiplin hukum ini. Menurutku hukum perburuhan itu disiplin hukum yang berantakan. Isinya compang-camping, dan tambal sulam peraturan demi peraturan. Revisi dari peraturan jaman Belanda, jaman proklamasi/revolusi, jaman RIS, jaman demokrasi liberal dan jaman demokrasi terpimpin. Berbeda dengan hukum perdata atau pidana yang isinya sudah jelas sedangkan hukum perburuhan banyak sekali mencabut sebagian pasal dan menggantinya dengan pasal yang lain. Selesai wawancara itu hati saya diliputi ketidakpastian. Apalagi suasana wawancara yang penuh adu argumen, bukan dialog yang relatif normal untuk sebuah wawancara.
Beberapa hari kemudian memang tidak juga ada panggilan dan sesuai rencana yang telah disusun, saya pun pergi ke Palembang untuk kegiatan keagamaan bersama Bhikkhu Ashin Jinarakkhita. Beberapa hari di Palembang sembari pikiran ini masih bertanya-tanya, akankah wawancara kemarin memuaskan pihak Unilever. Di sela-sela kegiatan keagamaan itu, sesekali pikiranku menerawang ke Jakarta. Setibanya kembali di rumah, kutanyakanlah apakah ada surat dari Unilever. Ternyata jawabannya tidak ada. Aku mulai mencoba menerima kenyataan kegagalan diterima di Unilever.
Pada hari Senin berikutnya, saya berangkat kerja ke kantor Amex Bank seperti biasanya. Beberapa kawan bertanya mengenai hasil wawancara di Unilever. Saya memberitahu tidak ada surat jawaban dari Unilever yang artinya proses mengarah pada kenyataan yang tidak diinginkan. Tiba-tiba saja seorang Buddhis teman sekerjaku bernama Raharja, orang Tionghoa Tangerang memberikan saran agar saya mencoba saja langsung menanyakan lewat telpon ke kantor Unilever tentang hasil wawancara.
Sebetulnya saya pesimis atas manfaat saran temanku itu. Namun akhirnya kucoba juga menelepon kantor Unilever. Ternyata si penerima telpon, seorang Training Manager yang mengabarkan bahwa sekarang para calon karyawan lain sedang menjalani tes kesehatan, dan malah bertanya mengapa saya tidak datang. Di akhir telpon itu saya diminta besok datang untuk segera menjalani tes kesehatan yang berarti saya masuk final. Seperti tersambar geledek, saya mendengar jawaban penerima telpon itu. Seolah saya tidak percaya, bahwa saya bakal bekerja di Unilever, suatu perusahaan yang jauh lebih besar. Kabar itu segera kusampaikan kepada rekan kerjaku. Seperti umumnya, beberapa kawanpun merasa gembira dan memberikan dukungannya.
Esok harinya saya mengambil cuti untuk mengikuti tes kesehatan di Unilever. Setelah itu saya bertemu dengan Raharja, orang yang mendorong saya untuk tidak segan mengontak pihak Unilever. Saya tidak mungkin melupakan jasa baiknya, sebab Raharja-lah juga yang selanjutnya membuatkan surat pengunduran diri dari Amex dalam format Bahasa Inggris. Saya mengakui kelebihan bahasa Inggris Raharja, sebab dia itu dulu alumnus sekolah China yang berbahasa Inggris. Selain Raharja, ada juga nama Sumandari dan teman-teman lainnya yang begitu baik kurasakan ketika bekerja di Amex dan mendukung bergabung dengan Unilever. Sumandari belakangan diangkat menjadi Direktur Utama Bank Umum Nasional (BUN).
Selama di Amex pergaulanku dengan sesama karyawan yang seusia cukup hangat dan agak nakal. Bila saya nggak punya uang, maka sering saya berdiri di belakang tempat duduk cewek yang cantik dan kupeluk dia. Dalam gurauan saya bilang: “Mau cium atau kasih uang”. Kalau sudah begini teman sekantor bersorak sorai. Kadang uang, kadang ciuman yang kudapat.
Yang lebih konyol lagi diadakan taruhan di antara cewek-cewek, siapa yang berani buka resleting pantalonku. Yah, yang pasti aku kalah, karena takut ketahuan celana dalamku. Yah pengalaman anak muda jaman itu. Sekarang hal itu bisa terkena sanksi pemecatan dengan alasan pelecehan seksual. Selama bekerja di Amex Bank suasana kerja teman seumur semua sangat menyenangkan. Gelak tawa selalu terdengar, saling tukar makanan siang kerap dilakukan. Pada akhir minggu kita bersorak ria: “TGTF” (Thanks God Today is Friday) siap entah berpesta dansa malam minggu atau keluar kota ke gunung atau berlayar ke pulau pulau Seribu di Teluk Jakarta. Gaji sebulan habis untuk itu-itu saja. Maklumlah saya tidak bayar kos bulanan ataupun makan tiap hari karena saya ikut nebeng hidup keluarga Issudibyo, pejabat Bea-Cukai Tanjung Priok. Pesta Tahun Baru tinggal pilih saja mau di hotel mana yang disukai karena tiket sudah tersedia bebas bayar. Suatu masa remaja yang indah yang tidak kembali lagi.
Sumber: Jayamedho, Bhikkhu. Menapak Pasti: Kisah Spiritual Anak Madura. Edisi Revisi. Jakarta: Penerbit CENAS, 2015, Bab 17 “Awal Karier Bisnis”, hlm. 232–240.