Bab 18
Setelah bekerja di Unilever, banyak perubahan kurasakan. Dalam hal gaji misalnya, saya mendapatkan gaji dua kali lipat dari sebelumnya. Waktu itu gaji yang kuterima pada 1970 cukup besar Rp.15 ribu rupiah, masih ditambah paket berbagai produk Unilever yang tidak habis dipakai sebulan, seperti Blue Band margarine, sabun mandi, sabun deterjen, Pepsodent. Tahun pertama itu kujalani sebagai management trainee. Enam bulan di Jakarta, enam bulan berikutnya dijalani di Surabaya.
Di kota suporter bonek dan banyak Maduranya itu, saya ditempatkan di PT. Colibri, anak perusahaan Unilever di bawah supervisi Slamet Adibroto yang menjabat sebagai Personnel Manager. Beliau sangat berpengalaman di bidangnya terutama pada waktu banyak tekanan, berupa demo, hampir tiap minggu dari serikat buruh berhaluan komunis, Serbuni (Serikat Buruh Unilever) sebelum 1965.
Selama tiga bulan pertama, saya dan teman-teman digembleng di Lembaga Pendidikan & Pembinaan Manajemen (LPPM) dibawah Prof. Dr. Kadarman, seorang pastor Jesuit. LPPM ini lembaga pertama dan bergengsi dalam mendidik calon-calon manager serta para manajer yang perlu dikembangkan pengetahuan dan keterampilannnya, sebagai pengabdiannya pada bangsa dan negara Indonesia. Waktu itu sangatlah kurang jumlah manager dan supervisor yang handal dan berkualitas dalam mengelola perusahaan. Inilah kali pertama saya bersentuhan dengan LPPM, lembaga yang belakangan menempatkan diriku sebagai pengurus yayasan selama lebih dari 25 tahun.
Di akhir masa management trainee merupakan saat-saat kritis, jika tidak lagi berlanjut, maka saya akan kehilangan pekerjaan dan menganggur lagi. Saya tidak sanggup membayangkan jika menganggur kembali dan harga diri karena ayah dan keluarga besar sangat bangga saya bisa bekerja di perusahaan yang bergengsi sejak jaman Belanda. Sempat juga kusiapkan skenario supaya tidak meneguk malu jika diriku tereliminasi. Di hari terakhir kontrak satu tahun, dari 24 orang management trainees, diambillah 12 orang yang dinyatakan diterima sebagai manajer. Beruntung saya masuk menjadi salah seorang dari mereka, sedangkan yang lain harus mengundurkan diri.
Pengangkatan saya setelah merampungkan masa management trainee kurasakan dikarenakan kemampuanku, juga tidak kalah penting adalah mendapat dukungan dari Yamani Hassan, Factory Manager Colibri serta Maghribi yang menjabat sebagai Vice Chairman dan sekaligus Commercial Director. Tidak kalah pentingya juga dukungan dari Slamet Adibroto yang juga ternyata masih ada hubungan persaudaraan dengan keluargaku. Saya pun menjadi perekat antara Adibroto dengan ayah yang sudah lama tidak terjalin.
Ternyata kedua orang ini sudah mengenal lama, saling mengetahui rahasia pribadi masing-masing. Adibroto juga banyak memberi resep kepada saya bagaimana menghadapi persoalan tenaga kerja dan serikat buruh. Pengalaman Adibroto sangat pahit ketika menghadapi masa-masa sulit akibat pemogokan dan kekerasan karyawan di sekitar tahun 1965 diceritakan semua kepadaku sehingga saya tidak perlu mengalami situasi buruk tersebut.
Hikmah yang kudapat adalah bahwa rejeki akan muncul bilamana kita memiliki reputasi dan persahabatan dengan banyak orang dan banyak pihak pada semua tingkatan.
Menerabas Tantangan Pegawai Baru
Slamet Adibroto memberi perhatian besar pada diriku. Tiga kompetensi utama untuk berkembang benar-benar diajarkan dan diawasi pelaksanaannya yaitu pengetahuan, keterampilan manajerial dan teknikal kepersonaliaan dan perilaku yang pantas ditauladani oleh banyak orang. Slamet juga mengawasi dan mencatat pergaulan saya di dalam pesta yang diadakan oleh perusahaan, termasuk dalam perilaku tata pergaulan sekecil apapun, seperti membawa gelas minum, cara berdiri dan berbicara.
Biasanya pada esoknya hasil catatan itu disampaikan ke saya, dan tidak lupa pula Adibroto memberi masukan agar relasi saya ditambah. Kebiasaan berkumpul di tempat pesta hanya dengan orang-orang yang telah dikenal sebelumnya lebih baik dihindari dan semestinya menambah banyak kenalan melalui orang-orang yang baru kutemui dalam acara seperti itu. Begitu sering diselenggarakannya pesta, ujungnya memaksa saya untuk menghafal beberapa lagu Belanda. Bahkan saya ikut dalam les dansa setiap Rabu malam di rumah kepala pabrik, Yamani Hasan (kelak ia menjadi chairman pertama di Unilever yang orang Indonesia sejak didirikannya tahun 1933 sedangkan Sri Urip yang memberi kata sambutan dalam Memoar ini adalah chairwoman pertama di Unilever), untuk mendukung penampilan dansaku di pesta-pesta para direksi itu. Lagu-lagu pergaulan berbahasa Belanda sudah saya kuasai juga untuk menyemarakkan pesta Direksi.
Masuknya saya menyertai Henk yang telah masuk sebelumnya ke Unilever, membuat kebanggaan tersendiri bagi ayah. Ayah ini kukenal memang sangat mengagumi Belanda. Unilever adalah perusahaan Belanda yang terpandang sejak jaman Belanda, khususnya di Jawa Timur.
Sesudah dua tahun saya menjabat Assistant Personnel Manager di Angke maka tiba-tiba saja Slamet Adibroto dipromosikan ke pabrik Angke yang lebih besar di Jakarta. Jabatan Adibroto itu kemudian diserahkan kepada saya. Seketika itu juga saya menghadapi kesulitan yang menghadang. Kubayangkan bagaikan diceburkan ke lautan lepas tanpa cukup pengalaman dan peralatan penyelamatan diri. Slamet adalah pejabat senior dan menjadi orang kedua di pabrik, setelah Kepala Pabrik (General Works Manager), Harsono Edi Soleh. Saya akan menghadapi banyak rintangan sebagai pejabat muda yang tipis pengalaman baik di bidang manajemen maupun persoalan tenaga kerja. Apalagi sebelumnya saya baru menyelesaikan masa sebagai management trainee berhadapan dengan lingkungan para manager dan supervisor yang usia dan pengalaman kerja yang jauh lebih lama.
Masih kuingat diwaktu sebagai trainee saya diberitahu proses produksi kosmetika, seperti shampoo dan pepsodent oleh seorang supervisor. Dikarenakan saya selalu menyahut “oooo” dengan sedikit mengangguk-angguk maka dia mengecohkan saya dengan informasi yang salah dan saya masih percaya saja. Esoknya si supervisor melaporkan kepada Slamet bahwa trainee ini “blo-on alias bodoh” dan kenapa diterima oleh Unilever yang terkenal ketat penyaringannya. Kontan Slamet menjawab:”Maklum dik, ia trainee personalia dan lulusan fakultas hukum”. Selama ini yang dimaksud trainee selalu para insinyur dan saya satu-satunya yang bukan.
Hari pertama masuk pabrik sebagai manajer personalia, saya pakai untuk “inspeksi” tanpa didam pingi siapapun juga. Sewaktu masuk gudang material produksi, saya ditolak masuk oleh supervisor karena “pemborong” tidak diijinkan melihat-lihat di dalamnya. Saya menaati dengan sopan. Siang harinya manajer gudang menemui saya di kantor dan minta maaf karena anak buahnya mengira saya orang Tionghoa kayak pemborong. Kita semua tertawa dan beberapa hari kemudian saya temui supervisor sambil kutepuk-tepuk bahunya guna menghilangkan rasa bersalahnya.
Karena saya menggantikan Slamet maka dengan sendirinya saya juga mendapat ruang kantor bersebelahan langsung dengan Kepala Pabrik, Harsono Edi Soleh. Figur ini sangat senior dan begitu mantap, pandai, mandiri, bahkan cenderung over confidence dan perfeksionis. Terlebih lagi, waktu itu Harsono ini dalam situasi tidak ada keserasian dengan para manajernya yang telah berpengalaman puluhan tahun. Adalah bagian personalia saja yang dipimpin seorang yang baru saja lulus management trainee.
Menyikapi problem perusahaan seperti itu, tugas yang diberikan Technical Director yang orang Belanda kepada saya waktu itu adalah memperbaiki kondisi hubungan kerja manajemen antara Harsono dengan para manajer bawahannya.
Tugas ini kurasakan beban terberat pertama dalam hidupku. Hal yang muncul dalam benakku pertama-tama adalah bagaimana saya bisa memberi arahan kepada para manajer lainnya yang usianya lebih senior dan kadangkala meminta mereka agar bersedia bertemu di ruang kerjaku sebagai simbol pengakuan dan penghargaan. Untuk mengantisipasi hal itu, cara turun ke bawah (turba) pun kutempuh. Kudatangi masing-masing manajer dan menanyakan apakah ada sesuatu yang dapat dibantu. Sikap ini sejalan dengan sikap sewaktu di Amex menghadapi nasabah selalu bersikap hormat seraya menyapa, ”What can I do for you”. Sebuah sikap memuaskan pelanggan, kepada siapa saja yang kuhadapi. Bukan sikap sebaliknya, ”What can you do for me”.
”Menundukkan” Atasan dan Bawahan
Pada beberapa kali kedatanganku ke ruangan para manajer lainnya, saya baru menjelaskan kepada para manajer itu untuk menyelesaikan masalah yang menghambat dengan cara mengundangnya datang ke ruangan mereka. Biasanya undangan ke ruangannya itu sebelum atau setelah makan siang. Itulah cara saya agar para manajer lainnya itu mau menghadap kepadaku.
Menundukkan Harsono, kepala pabrik, adalah tugas berat kemudian. Seringkali di ruangannya, Harsono mengangkat kakinya dan ditempatkan di atas meja. Setelah orang lain duduk, barulah kakinya diturunkan. Saya memutar otak untuk menundukkan atasanku itu. Saya ikuti gaya mengangkat kaki di atas meja juga. Hal itu pun ternyata diketahui Harsono dan lama-lama ia enggan masuk sebelum saya menurunkan kakiku.
Kebiasaan Harsono yang cukup mengganggu lainnya adalah membuka setiap surat yang masuk. Padahal surat-surat itu ditujukan kepada kepala-kepala bagian lainnya. Begitu pula surat yang keluar, harus diperiksa dulu oleh dirinya. Parahnya lagi kalau memeriksa, hampir semuanya dicorat-coret. Kalau kalimat sudah benar, yang dicoret adalah kata per kata, misalnya subjek, obyek, predikat, dan sebagainya. Intinya menunjukkan bahwa masih ada kesalahan dalam surat itu. Anak buah selalu salah dan bos selalu benar, barangkali begitu kata orang.
Sikap yang perfeksionis dan otoriter ini memusingkan top management, sehingga meminta saya menengahinya. Cara pendekatan manajemen belumlah cukup untuk menundukkan Harsono. Terpaksa kugunakanlah cara mistik dari seorang guru spiritual beragama Islam. Saya diberi selembar kertas dengan Huruf Alif dan diminta di letakkan di kamar Harsono biar ia sedikit tunduk. Untuk menempatkan kertas itu, terpaksa saya mencari jalan agar tidak diketahui sekretaris. Tibalah saatnya pada waktu Harsono ke Jakarta dan sekretaris absen, maka kertas tersebut kuselipkan di buku tua berbahasa Belanda peninggalan kepala pabrik terdahulu. Ternyata hasilnya cespleng. Manjur sekali.
Kerjasama dengan Harsono selanjutnya baik sekali sampai ia dipindahkan ke Jakarta. Demikian juga dengan semua kepala bagian. Hal yang dikenang karyawan waktu itu adalah saya memrakarsai berdirinya Koperasi Karyawan pertama di Unilever untuk meningkatkan kesejahteraan karyawan yang sudah sejahtera karena bekerja di perusahaan asing. Penghargaan dari Presiden Soeharto diterima oleh pengganti saya karena prestasi koperasi yang amat baik. Sampai sekarang koperasi tersebut berjalan amat baik.
Bagaimana saya ngerjain Harsono yang lain adalah rancangan surat keluar diperiksa dan dicorat-coret oleh Harsono dan diberikan sekretarisnya untuk diteruskan pada saya. Saya meminta sekretarisku, gadis Ambon, untuk mengetiknya, namun ia tidak bisa membaca tulisan Harsono. Ia datang pada saya dan menanyakannnya. ”Meneer, gimana ini bacanya?” Meneer artinya tuan dalam bahasa Belanda. Saya bilang dengan ringannya, tanyakan saja pada Harsono. Sekretaris yang asli Maluku itu ngeloyor dan bertanya kepada Harsono. Apa jadinya? Harsono marah besar pada saya dan bilang, ”Memangnya saya sekretarismu?!” Sejak saat itu Harsono tidak mau lagi memeriksa surat-surat keluar saya.
Lain cerita lagi bahwa Harsono enggan berhadapan dengan pejabat Pemda ataupun pejabat militer karena pasti akan meminta sumbangan. Karena itu selalu saya yang mewakilinya. Buntut-buntutnya saya selalu dimarahi apabila mengambil keputusan di rapat yang tidak bisa saya elak, karena dalam surat selalu tertulis: “Tidak dapat diwakilkan”. Bagaimana mengajar bos seperti ini? Timbul cara di benak saya. Suatu hari ada panggilan lagi dari Pemda, kuberikan pada Harsono pada hari yang mepet dan segera saya mengambil cuti. Terpaksa Harsono sendiri yang hadir dan tidak bisa mengelak. Sepulang cuti saya dipanggil dan diberitahu bahwa lain kali saya saja yang hadir dan apa yang diputuskan saya tidak pernah dianulir. Menyikapi peristiwa dengan bosku itu saya sampai pada kesimpulan, ”How to manage your (difficult) Boss is important for our success”. Banyak jalannya namun harus trial & error dan jangan putus asa”. Hal ini sudah dibuktikan saya sendiri.
Sebelum saya dipindahkan ke Jakarta, Direktur Personalia, Roehadi, bekas bawahan Slamet Adibroto, menanyakan kiranya siapa yang bisa menggantikannya dari kandidat dari dalam. Saya menjawab: “Mochtar Aryono, tokoh Serikat Buruh yang lama berpengalaman di pabrik. Saya menjelaskan alasannya dan alasan tersebut dapat diterima direksi. Roehadi meminta saya untuk menyampaikannya kepada Mochtar.”
Sangatlah kaget Mochtar mendengar ia kuusulkan menggantikan. Ia juga bertanya kenapa? Selama ini Mochtar merasa selalu menantang dan menyukarkan saya pada berbagai tuntutan buruh dan kenapa sekarang diusulkan menggantikanku. Saya menjawab, ”Benar Anda selama ini membuat tantangan (bukan kesukaran). Namun Anda menyampaikan dengan berbagai alasan yang logis dan kadangkala manusiawi. Anda juga bisa mencarikan alternatif solusi terbaik yang bisa dicapai bersama untuk kesejahteraan bersama, kesejahteraan karyawan dan perusahaan. Karena itu saya menghargai Anda.” Mochtar Aryono selanjutnya menggantikan saya sebagai Manager Personalia Unilever Surabaya.
Fokus Mengelola SDM
Selama di Unilever, saya menjumpai kasus penyusunan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) dengan serikat buruh yang memakan waktu panjang, delapan bulan lamanya. Panjangnya waktu penyusunan perjanjian itu karena adanya penyalahgunaan hak berunding. Mereka bebas tidak bekerja, mendapat ekstra tunjangan berunding, posisi mereka sederajat dengan pimpinan perusahaan dan menuntut itu tidak memerlukan modal. Dikabulkan untung, bila ditolak manajemen tidak akan rugi.
Apalagi pimpinan Departemen Tenaga Kerja yang lebih mendukung tuntutan buruh, lebih menyulitkan kami. Penyelesaian masalah perburuhan Depnaker sering mengambil jalan mudahnya yaitu berapa besar tuntutan buruh maka akan dikabulkan Depnaker sebesar 50%, sehingga buruh selalu menuntut sejumlah yang tinggi tanpa melihat pasaran tenaga kerja dan kelayakan hidup mereka.
Bisa terjadi karyawan yang kurang berprestasi mencari kompensasi diri dengan cara aktif di organisasi buruh karena bisa “disegani” manajemen. Untuk mengatasi hal ini kami merubah strategi dengan cara melakukan pendekatan dan jejaring dengan pimpinan serikat buruh tingkat nasional agar bisa menekan perilaku buruk mereka dan membimbing pada peran yang selayaknya secara terhormat dari mereka. Jejaring hal serupa kami lakukan dengan pimpinan teras Depnaker.
Baru sesudah penggantian Menteri Tenaga Kerja dengan Soedomo, mantan Panglima Kopkamtib, kami bertindak melakukan pembersihan dari anasir-anasir buruh yang tidak koperatif.
Pada fase awal saya masuk Unilever, dalam menangani para ‘trouble makers’ ini manajemen mengambil langkah menaikkan jabatan mereka menjadi asisten manajer di bidang-bidang yang kurang penting sambil menunggu hari pensiun mereka agar tidak lagi vokal. Pada umumnya mereka masih fasih berbahasa Belanda dan sering untuk menjatuhkan mental saya mereka menggunakan bahasa Belanda. Mereka menjadi hormat karena saya juga masih mengenal bahasa tersebut meski tidak fasih karena ayah ibuku sering berbahasa tersebut di rumah.
Saya menyarankan agar kebijakan tersebut tidak lagi diteruskan karena tidak mendidik melainkan menambah ‘trouble makers’ yang membuat lingkungan kerja menjadi tidak sehat. Hal itu disetujui manajemen dan saya mulai memasang jerat bagi mereka yang tidak merubah perilaku.
Salah satu pimpinan serikat buruh terjerat karena berusaha memeras pengusaha katering, sehingga saya suruh memilih antara mengajukan permohonan berhenti atau saya PHK. Bila mengajukan berhenti atas kemauan sendiri akan saya beri pengampunan dengan memberi uang selamat tinggal yang akan saya usulkan pada Direksi.
Semula dia tidak percaya karena takut bila surat telah diajukan ternyata saya ingkar janji. Saya bilang kepadanya:” Selama kau kenal saya apakah pernah saya ingkar janji? Apakah pernah saya mengambil hak buruh? Bagiku memegang kepercayaan (trust) adalah suatu hal yang sangat berharga bagi hidupku”.
Nilai seorang manusia tergantung dari trust yang dimilikinya. Barang siapa suka ingkar janji maka dia memiliki cacat moral, menjadi manusia yang tidak berharga di mata masyarakat, meski ia orang kaya raya ataupun terpandang.
Pernah terjadi seorang tokoh buruh di pabrik Angke, seorang berdarah Ambon, yang pamit menjelang pensiun mengatakan kepada saya:” Wah bapak ternyata orang kuat ya”. Kujawab: “Apanya yang kuat? Kuat makan ya”, sahutku.
Dia menjelaskan bahwa sering teman-teman buruh ngerjain saya dengan cara guna-guna dari orang pintar di kulon (Banten). Ternyata semua terpental tidak mengena. Kubilang bahwa saya tidak memiliki penangkis apapun baik mantra ataupun jimat. Sambil saya perlihatkan dadaku. Hanya kebaikan, kebajikan dan kepercayaan yang melindungiku, sahutku. Saya usahakan selalu bersikap adil dan bijaksana tanpa merugikan kepentingan kedua pihak, perusahaan dan buruh.
Di bawah kepemimpinan M. Hatta, Direktur Personalia, yang mantan perwira tinggi Angkatan Laut, dibuatkan fasilitas perumahan bagi karyawan supervisor di Meruya–Jakarta dan juga di Surabaya. Dengan berkembangnya pengembang perumahan maka diubah menjadi pemberian fasilitas untuk membeli rumah secara mencicil. Hanya sedikit perusahaan yang benar-benar memikirkan kesejahteraan karyawan selaras dengan tumbuhnya kesejahteraan perusahaan. Sedangkan saya sendiri sudah mendapatkan fasilitas membeli sebuah rumah cicilan selama 10 tahun dengan luas tanah 800 m2 di kompleks Unilever, Patukangan Selatan, Jakarta pada tahun 1973 bersama 60 orang manajer lain.
Selama 19 tahun saya mengelola SDM di Unilever Jakarta dan Surabaya, di pabrik maupun di Kantor Pusat, dengan jabatan terakhir sebagai Industrial Relations Manager. Semula sewaktu masa awal saya di Unilever, saya ragu atas kemampuanku membina SDM karena dalam sejarah di Unilever banyak dukanya daripada sukanya, dari kisah Slamet Adibroto, Maghribi dan Ruhadi terutama pada jaman jaya-jayanya PKI yang ganas dan agresif. Stress berat bagi seorang Personal Manager adalah hal yang jamak terjadi. Bahkan ada yang diacam oleh karyawan hendak dibunuh.
Dalam membina SDM, pekerjaan yang tidak mengenakkan hati adalah pada waktu memberi peringatan dan memecat karyawan karena melanggar berbagai peraturan perusahaan. Pernah saya hampir menangis waktu mengambil keputusan memecat seorang ibu yang mempunyai masa kerja 18 tahun, ketahuan mencuri empat batang sabun mandi. Menurut peraturan maka ia harus di PHK. Hal itu nampaknya tidak manusiawi. Namun Unilever telah menyantuni karyawan dengan amat sangat baik, termasuk dalam hal gaji dan jaminan sosial tidak ada yang menandingi. Karena itu karyawan dituntut untuk jujur dan sungguh-sungguh jujur.
Demikian juga dikala harus memecat teman sejawat, seorang manajer, karena ketahuan meminta komisi dari kontraktor dan ada yang korupsi uang koperasi karyawan. Unilever menerapkan dengan sungguh-sungguh Praktik Pengelolaan Usaha yang Sehat (Good Corporate Governance). Unilever taat hukum dan taat asas, demikian juga harapannya pada semua karyawan.
Pecat memecat karyawan sebetulnya bertentangan dengan nuraniku. Hampir saja aku meminta berhenti karena pertentangan batin dengan keyakinanku pada Hukum Karma. Saya takut tidak bisa berbuat adil. Namun pelan-pelan, kesadaranku akhirnya muncul dan menganggap diriku sebagai seorang dokter yang harus merawat masyarakat dengan melakukan upaya pencegahan dengan meningkatkan kesadaran karyawan agar juga taat hukum dan taat asas. Kulakukan konseling terlebih dahulu bila tidak harus memecat. Bila harus dipecat maka saya berusaha agar karyawan tersebut secara sadar mengakui kesalahannya terlebih dahulu serta mengetahui konsekwensi yang harus ditanggungnya.
Dalam proses itu saya sangat hati-hati menjaga ucapan agar tidak membuat orang tersebut marah, sakit hati dan dendam. Semangat kasih sayang kucoba terapkan. Kalau pun harus memecat, aku usahakan jangan ada rasa dendam, marah ataupun benci. Ditumbuhkannya kesadaran, ”Siapa menanam ia akan menuai. Menanam pohon maja akan menuai buah maja yang rasanya sangat pahit. Siapa menabur angin akan menuai badai”
Pernah sewaktu saya baru di pindahkan dari Surabaya ke Pabrik di jalan Angke, Jakarta, saya didekati seorang karyawan bernama Waspodo. Dia datang sambil mengucapkan terima kasih karena dulu saya pernah memberi peringatan tertulis terakhir kepadanya. Saya heran dan menanyakan kenapa dia berterima kasih. Ia bilang bahwa karena peringatan dan nasihat saya yang menyentuh, sehingga ia memperbaiki diri dan kini telah berpangkat supervisor.
Kisah lain saya memecat seorang anggota Satpam, anak buah sendiri, karena ketahuan tidur pulas dikala sedang jaga. Kontan darahnya dicek di poliklinik pabrik dan dimintakan analisa lebih lanjut di laboratorium RSUP. Ketahuan ia minum obat sejenis narkoba. Kontan saja ia diproses pemecatannya. Setahun sesudah itu dia datang ke pabrik ingin menemui saya. Satpam dan staf personalia mencegahnya takut ia membalas dendam. Namun saya melarangnya dan mempersilahkan masuk dan memperlakukannya seperti tamu yang lain. Saya menanyakan maksud kedatangannya. Ia menerangkan bahwa selama ini ia gagal mencari pekerjaan karena masih marah dan dendam pada diriku.
Ayahnya, seorang Batak mantan aktivis buruh di Unilever, menyarankan agar ia minta maaf padaku agar rejekinya terbuka. Saya menyahut bahwa saya tidak memiliki rasa dendam padanya sama sekali. Kuberi dia wejangan guna meningkatkan semangat hidup. Yah tentu yang saya berikan tidak lain adalah bagian dari wejangan Buddha. Pada akhir pembicaraan saya ajak dia berdoa bersama agar dia dibukakan pintu masa depannya yang lebih baik.
Dua minggu kemudian ia datang lagi menghadap saya untuk memberitahukan bahwa ia diterima bekerja di Surabaya, namun ia tidak punya ongkos. Dengan senang hati saya merogoh kocekku sendiri dan memberikan kepadanya dengan iringan doa semoga ia maju dan berbahagia.
Kisah lain adalah anak buahku, seorang asisten manager. Ia kurang berprestasi namun dirinya merasa pintar. Sudah berkali-kali saya membimbing dan menasihatinya, namun ia tetap membandel. Sesudah dua tahun prestasinya tidak juga membaik, maka saya diminta manajemen untuk memberhentikannya dengan pesangon. Proses sangat alot dan berat mengingat sifatnya yang keras dan suka berdebat. Pada akhirnya dia menyerah juga bersedia berhenti dari perusahaan.
Sepuluh tahun kemudian, di suatu pesta saya bertemu dengan asisten tersebut. Saya langsung menyapa dengan ramah. Langsung saja saya ditarik dan digelandang ke pojok ruangan dan dia berkata, ”Terima kasih mas, dahulu sudah memecat saya”. Saya bilang, ”Ah, itu sudah berlangsung lama, lupakanlah!”. Ia menyahut lagi, ”Tidak mas. Saya berkata sungguh-sungguh. Sesudah Anda pecat saya menyadari bahwa sifat saya keras, merasa benar dan sukar diperintah orang lain. Karena itu saya kemudian sekolah lagi menjadi notaris. Kini saya bekerja mandiri dan sangat berhasil kembali”.
Wah, saya merasa plong sekali dan mensyukuri bahwa apa yang kuperbuat adalah benar adanya. Dalam kondisi apapun janganlah sampai kita menyakiti hati orang Sakitnya kata-kata lebih menyakitkan dari sembilu, demikian kata pepatah. Akan diingat seumur hidup, dan itu bukan doa yang baik bagi kita.
Dalam mengelola Sumber Daya Manusia (SDM) peran saya di Unilever maka berbagai peran yang silih berganti kujalankan, yaitu antara lain:
”Ketegangan” dengan Serikat Buruh
Kadangkala saya harus tertawa sendiri karena bila ingat bagaimana saya bertindak seperti penari topeng yang selalu berganti-ganti peran (topeng) dalam suatu episode. Namun itulah sistem dalam sebuah perusahaan besar yang memilihkan peran-peran, sebagaimana dunia ini, dalam panggung sandiwara antara aktor yang beragam karakter.
Pernah salah seorang ketua serikat buruh dengan suara keras mengatakan, ”Bapak sangat pintar berkhotbah melalui TV, dengan mengatakan kasih-sayang, kasih-sayang, namun perilaku bapak sangat bertentangan karena sering melakukan PHK”, teriaknya. Wuah, kontan saya menyahut karena berang, ”Hai, Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Penyayang saja juga punya neraka untuk mereka yang melanggar perintah-Nya”. Sahutku. Kontan ketua serikat buruh itu terkesiap diam.
Dalam suatu peristiwa lain, ketua serikat buruh itu juga berdebat dengan saya dalam suatu perundingan pembuatan Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Ia berkata, ”Pak Endro tidak Pancasilais dengan suka memecat orang”, katanya. Saya berang lagi dan menyahut, ”Kalau Pancasila semacam itu yang kau maksud, maka nggak patheken (suatu kata makian bahasa Jawa Timuran yang artinya nggak saya butuhkan)”. Celakanya, rekaman ini kemudian dipenggal tidak utuh lagi oleh oknum serikat buruh dan diserahkan ke Kopkamtib (Komando Militer untuk Keamanan dan Ketertiban) dan menyatakan bahwa saya anti Pancasila. Tuduhan ini sama beratnya dengan delik pembunuhan di waktu itu dan bisa masuk penjara. Untungnya Direktur Personalia Unilever, M. Hatta, ex. Laksma (Angkatan Laut), yang memiliki jejaring yang luas terutama dengan Soedomo, Ketua Kopkamtib turun tangan untuk menyelesaikan masalah tersebut, sehingga tidak diperpanjang. Nah, dari sini kita mulai gerakan untuk membersihkan ke dalam guna menentramkan dan mengokohkan Hubungan Industrial di perusahaan dengan dukungan Depnaker serta pimpinan nasional serikat buruh.
Meski saya selamat, hikmah yang bisa kuambil dari peristiwa tersebut adalah menjaga ucapan adalah sangat perlu, meskipun dalam kondisi marah. Namun hal ini tidak semudah yang dinasihatkan bila berhadapan dengan pimpinan serikat buruh yang suka menggelitik emosi agar kehilangan kontrol, sehingga pihak manajemen dapat segera ditaklukkan.
Penilaian vokalnya serikat buruh yang dilihat dan kurasakan juga diamini Hidayat, kawan dekatku di UGM tahun 1960 dan masuk ke Unilever tahun 1974. Begitu masuk Unilever, Hidayat berkantor di Kantor Pusat, sementara waktu itu saya sudah menjadi manager HRD di pabrik Unilever yang terletak di Angke, Jakarta Barat.
Kala itu, pihak perusahaan tidak jarang berembug bersama mengatur siasat untuk menghadapi serikat buruh. Hidayat, pengganti saya di Surabaya dan juga kelak di Jakarta. Menyaksikan dalam tahun-tahun 1970-an, serikat buruh di Unilever begitu keras dan pongah. Para pengurus serikat sangat vokal dalam menuntut hak-hak buruh. Situasi ini membutuhkan kecerdikan dan kepanjangan akal. Banyak cara terpaksa harus ditempuh untuk mengimbangi atau bahkan menundukkan serikat buruh. Hidayat mengakui diriku itu banyak akal untuk menyusun strategi berhadapan dengan serikat buruh dan mengetahui detail permasalahan tentang serikat buruh.
Di Unilever sendiri kala itu banyak kelompok serikat buruh yang eksis, antara lain Serikat Buruh Marhaenis (KBM), yang berafiliasi ke PNI, Serikat Buruh Muslimin Seluruh Indonesia (Sarbumusi) yang berafiliasi ke NU, Ikatan Karyawan Brawijaya (IKB), dan lain-lain. Dilema bagian HRD saat itu, begitu menyepakati dengan salah satu serikat buruh, ternyata serikat buruh yang lain tidak bersepakat. Berkali-kali peristiwa ini terjadi. Perjanjian Kerja Bersama dengan serikat buruh pun sering memakan waktu panjang dan berlarut-larut beberapa bulan.
Sampai pada suatu saat atas kerja keras bersama, dibentuklah sebuah konsorsium serikat buruh yang mengumpulkan perwakilan dari masing-masing serikat buruh. Badan ini belum berwujud seperti apa yang belakangan dikenal dengan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), di samping memang ada perbedaan penyusunannya. Konsorsium ini dibentuk di kalangan internal serikat buruh di Unilever sendiri, baik di Jakarta maupun di Surabaya. Fungsi konsorsium ini adalah koordinasi antar elemen serikat buruh dalam berkomunikasi dengan perusahaan. Setelah forum ini terbentuk, tugas HRD lebih ringan sebab tidak perlu berhadapan dengan masing-masing serikat buruh. Pertemuan dengan serikat buruh dilakukan minimal satu kali dalam sebulan yang dikenal dengan rapat bipartit. Sebisa mungkin ada persoalan diselesaikan di dalam dan tidak dibawa keluar.
Militansi anggota terhadap serikat buruh begitu eksis, mereka berupaya memperjuangkan anggotanya. Bentuk perjuangan itu seringkali mereka lakukan dengan bentuk perlawanan terhadap konsep-konsep yang diajukan perusahaan. Bukan juga sebuah keanehan, pengurus serikat buruh ini menuntut hak-hak eksklusif yang berbeda dengan buruh lainnya yang bukan menjadi pengurus serikat. Misalnya mereka menuntut dibebaskan dari pekerjaan sehari-hari. Alasannya adalah mengurus organisasi. Situasi ini malah kurang dihargai para anggotanya sendiri. Beberapa pengurus serikat buruh itu malah hanya bekerja, di luar aktif hanya di serikat buruh, setengah dari masa kerja dalam satu tahun. Karena itu mereka banyak melakukan tindakan indisipliner. Di mata perusahaan, performa pengurus serikat ini tidaklah bagus.
Tuntutan masing-masing serikat buruh pun berbeda. Ada yang menuntut pemberian uang makan di saat kerja lembur, ada juga tuntutan ”uang kaget”, karena waktu perpindahan shift-nya terpotong oleh shift setelahnya, dan masih banyak lagi. Pada intinya, sekecil apapun bila dipandang serikat bisa diangkat menjadi sebuah isu, belakangan menjadi masalah di Unilever. Hidayat kadang melihat hal ini tidak selalu seperti itu di perusahaan lain. Saking berlarut-larutnya itu, kadang masalahnya harus diselesaikan melalui Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D). Nama sekarang adalah Peradilan Hubungan Industrial. Lembaga ini berkantor di Disnaker dan terdiri dari perwakilan pemerintah, perusahaan dan serikat buruh. Jika merasa tidak puas, ancaman mogok para buruh juga bukan main-main. Ekspresi kekesalan buruh sering dilampiaskan juga dengan cara mogok kerja, sebuah ekspresi buruh yang sangat lazim di era tahun 1960-an yang digencarkan oleh serikat buruh yang condong berhaluan kiri. Sisa-sisa ingatan itu masih membekas di kepala para anggota serikat buruh satu dekade kemudian dan masih mereka praktikkan.
Tuntutan kenaikan gaji menjadi tuntutan yang rutin. Mereka menjadi sangat demanding, selalu menuntut kenaikan gaji di tahun berikutnya. Kenaikan yang dituntut sampai menyentuh angka 30%. Perusahaanpun harus merogoh kocek dalam-dalam untuk memenuhi tuntutan serikat ini. Namun juga tuntutan itu pada level tertentu menguntungkan anggota, jika tuntutan itu dipenuhi. Standar penggajian dari pemerintah belum ada waktu itu. Upah Minimum Regional (UMR) baru dikenalkan pemerintah di tahun 1990-an. Unilever sendiri sebetulnya sudah mematok standar penggajian yang tinggi jika di banding perusahaan kompetitor yang lain. Waktu itu sudah dikenal tunjangan perumahan, cuti dan sebagainya, sesuatu yang masih langka di perusahaan lain.
Tidak jarang pula negosiasi Perjanjian Kerja Bersama (PKB) dengan serikat buruh berlangsung lama. Dalam satu penyusunan perjanjian, pernah memakan waktu hampir satu tahun. Serikat buruh begitu gigih, tetapi juga perusahaan tentu saja tidak mau begitu saja menuruti permintaan mereka. Mereka juga memainkan lobi dengan berbagai lembaga buruh di atasnya, seperti pada Federasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (FSBSI) yang waktu itu baru berdiri. Padahal, ternyata banyak di antara pengurus serikat ini adalah para buruh yang prestasi kerjanya tidak bagus, lalu seperti dilampiaskan dalam aktivitas serikat buruh.
Kalangan serikat ini dalam perkembangan kemudian demikian solid hingga ke pengurus pusat. Ketua Umum FSPSI waktu itu dijabat Agus Sudono. Figur ini cukup vokal, termasuk kepada kebijakan pemerintah. Entah apakah karena kevokalannya itu, lalu Soedomo sebagai Pangkopkamtib menggantinya dengan Imam Soedjarwo yang lebih kooperatif. Agus Sudono saat itu terus ditekan pemerintah, lalu kemunculan Imam Soedjarwo sengaja diarahkan untuk melawan Agus Sudono. Akhirnya kepemimpinan FSPSI pun bergeser kepada Imam Soedjarwo.
Tidak lama waktu berikutnya, masuklah ke Unilever seorang perwira tinggi di Angkatan Laut bernama Laksma Muhammad Hatta, orang dekat Soedomo, sebagai direktur HRD. Masuknya figur ini berpengaruh besar pada serikat buruh. Serikat-serikat buruh mulai gelisah. Banyak tokohnya yang diberhentikan, terutama yang dianggap indisipliner. Prosedur pemecatan pun dibuat bertahap, dari mulai surat peringatan, skorsing, hingga kemudian pemutusan hubungan kerja (PHK) yang disertai pesangon secukupnya.
Dalam kondisi seperti ini, figur saya cukup keras dalam berurusan dengan serikat buruh yang vokal, tetapi sering indisipliner. Seringkali juga karena terlalu kuat, mengundang reaksi keras dari kalangan serikat buruh. Menjadi sasaran tembak dari serikat buruh. Teror, surat kaleng, fitnahan asusila pernah dialamatkan kepada saya.
Namun Ali Hanafiah, asisten saya, melihat, siapapun dalam posisi berhadapan dengan serikat buruh seperti itu memang harus keras. Kolega saya di Unilever pun paham itu hanyalah manuver serikat buruh saja. Mereka tetap mendukung langkah saya untuk mengamankan kepentingan perusahaan. Ali sendiri mengatakan bahwa dia merasa beruntung memiliki pengalaman keras dan sulit dalam menghadapi tuntutan serikat buruh yang begitu liar kala itu.
Dalam menghadapi fitnah dan gosip, saya tidak pernah goyah karena saya berpegang pada pengalaman Buddha sendiri yang tidak luput dari finah. Buddha berkata:
”Berbuat baik dicela orang, berbuat buruk lebih dicela. Tidak berbuat apa-apa juga dicela orang. Itulah Hukum Tua.”
Dalam sebuah wawancara yang dilakukan Zaenal pada Ali Hanafiah tentang kesan diriku adalah sebagai berikut: “Sosok Endro ketika di Unilever paling ditakuti kalangan serikat buruh. Hal ini seperti dikatakan Ali yang pernah beberapa tahun bekerja dalam lingkungan kepemimpinan diriku. Alumnus Fakultas Hukum UI ini mengaku banyak belajar pengetahuan tentang HRD dari Endro yang lebih senior. Dia bukanlah sekadar sosok atasan, tetapi dianggap juga senang memberikan contoh dan arahan dalam mengatasi persoalan SDM. Tipe kepemimpinan Endro dianggapnya cukup demokratis, dan tidak terlalu suka menonjolkan diri.
Ali mengenal betul karakter atasannya ini. Selain berhadapan dengan serikat buruh yang memang harus keras, dalam rapat-rapat departemen SDM, pendapat Endro juga terkadang sulit dibantah. Seolah pendapatnya tidak bisa ditentang. Namun Ali memiliki kiat lain. Di luar rapat, Ali memanfaatkan waktu untuk menyampaikan idenya secara empat mata. Di balik karakter kerasnya, Endro dilihat Ali juga memiliki sifat humanis yang sangat dalam. Karena itu Endro banyak mempunyai teman dan kenalan”.
Dalam perjalanan selanjutnya, pihak perusahaan pun juga tidak tinggal diam. Dilakukanlah lobi-lobi agar serikat buruh dapat diisi oleh pengurus yang pikirannya lebih moderat, yang bisa diajak bicara. Dikumpulkanlah tokoh-tokoh serikat buruh yang berpengaruh. Mereka diajak bicara mengenai masa depan perusahaan dan masa depan karyawan. Akhirnya strategi ini berhasil dan individu-individu vokal dalam serikat buruh pelan-pelan dapat diredam.
Belakangan upaya kelompok serikat buruh dalam menyalurkan aspirasi suara buruh ternyata juga tidak luput dari penyelewengan. Dalam suatu ketika, pihak perusahaan Unilever membuat terobosan dengan membuka kredit sepeda motor bagi para buruh. Ternyata, ada pengurus serikat buruh bermain-main dengan penyalur sepeda motor. Tentu ia mendapat komisi dari usahanya. Mengetahui hal itu, perusahaan tidak main-main dan terpaksa memecat buruh tersebut.
Walau perusahaan tidak dibenarkan turut campur dalam organisasi serikat buruh, namun setelah itu perusahaan mulai memberi pengaruh dalam hal kepengurusan serikat buruh. Selanjutnya perusahaan melakukan penetrasi, yang menjadi pengurus serikat buruh adalah para karyawan yang berprestasi, dan bukan para orator maupun provokator. Upaya ini tergolong berhasil, dan selanjutnya kepengurusan diisi oleh para karyawan yang berprestasi tersebut.
Saya bersyukur bahwa saya dapat menjalin hubungan erat dengan pimpinan serikat buruh di tingkat nasional maupun pejabat tinggi Departemen Tenaga Kerja yang memudahkan mengelola SDM di Unilever. Karena eratnya hubungan silahturahmi dengan mereka, maka dibentuklah himpunan informal dengan nama MEOK singkatan dari ”Makan Enak – Omong Kosong”. Bersama 10 orang top man personalia dari beberapa perusahaan multi nasional dengan pimpinan teras Departemen Tenaga Kerja dan beberapa pimpinan serikat buruh yang sehati, yang secara bergantian menyelenggarakan pertemuan di hotel bintang lima.
Selama pertemuan kami tidak membicarakan masalah kantor namun hanya omong kosong dan melontarkan lelucon-lelucon segar guna merenggangkan otot akibat stress pekerjaan. Dengan cara ini maka persaudaraan menjadi lebih dekat dan nantinya bila ada masalah maka sangat mudah berhubungan dan mencari solusi terbaik untuk semua pihak. Paguyuban ini berupaya professional dan tidak menyalah gunakan posisi kedekatan untuk memuluskan suatu perkara dengan cara-cara yang tidak sehat dan tidak adil.
Selama menjabat, saya tidak pernah melakukan penyogokan karena memang dilarang perusahaan (etika perusahaan). Justru hal yang kulakukan adalah mendukung banyak program dari Depnaker dan serikat buruh yang dirasakan memberi manfaat bersama. Etika perusahaan yang lain adalah bahwa perusahaan tidak boleh melibatkan diri dalam politik praktis, karena berubahnya pemegang tampuk pemerintahan hendaknya bisnis perusahaan bisa tetap jalan terus tanpa terkena imbas perubahan politik pemerintahan. Kebetulan bisnis Unilever tidak berhubungan dengan berbagai proyek pemerintah sehingga tidak ada ketergantungan.
Posisi saya di bidang SDM di Unilever juga tidak luput membawaku dalam jeratan situasi politik nasional. Di kala Orde Baru mengharuskan kemenangan Golkar dan pemilu harus diadakan di kawasan kantor, dalam dua kali pemilu selama era Orde Baru yang kuikuti pelaksanaannya di pabrik, Golkar kalah terus dari PDI karena perusahaan sangat fair dan menghargai hak asasi manusia pilihan karyawan sendiri. Tidak pernah dilakukan penggiringan ke partai tertentu.
Menjelang pemilu ketiga, pihak perusahaan didekati Pemda DKI. Rencananya Gubernur DKI Jakarta akan berkampanye sendiri di pabrik Angke. Kontan manajemen harus bertindak hati-hati. Diterima menjadi salah karena bertentangan dengan Etika Bisnis dan bila ditolak, tahu sendiri akibatnya dari pemerintah yang otoriter pada waktu itu. Dicarilah jalan keluar secara halus.
Cara jitu yang kuusulkan adalah, diundanglah gubernur untuk meresmikan program KB (Keluarga Berencana) di pabrik sebagai KB Perusahaan yang pertama di Indonesia. Di tempat tersebut Menteri BKKBN, Haryono Suyono dan Gubernur DKI Suprapto dapat berpidato tentang keberhasilan Orde Baru seraya meminta dukungan karyawan. Sebelumnya kedua pejabat itu diwanti-wanti agar tidak menyebut secara lugas, ”Dukung Golkar”. Hal ini pun berhasil dan mendapat sambutan baik dari pemerintah. Setelah itu ternyata Golkar menang tipis dari PDI karena perusahaan sengaja mengerahkan karyawan borongan untuk menusuk Golkar atas suruhan pengawas buruh borongan. Cerdik juga ya! Hikmah yang dapat diambil tetaplah teguh dalam pendirian, namun luwes dalam pergaulan. Kreativitas diperlukan agar selamat dalam perjalanan.
Selama sembilan belas tahun berkarya di Unilever, kesempatan menjadi direktur di kala tersebut menyempit karena direktur personalia yang ada, masih 5 tahun lagi menjabat. Namun saya sangat terkesan bekerja di Unilever. Di perusahaan yang berpusat di London itu, terbangun iklim kerja yang memanusiakan manusia. Iklim yang berkembang adalah respect to people, sehingga muaranya pada people center. Dalam benak para direksi, tanpa manusia, Unilever tidak dapat bergerak lebih jauh. Karena kebetulan juga Unilever tidak ada pemiliknya langsung di Indonesia, kecuali orang-orang yang direkrut untuk menjalankan perusahaan global tersebut, ujaran memanusiakan manusia itu terasa bergema. The best persons are the company asset, the poor performers are the liabilities, karyawan yang baik kompetensinya adalah aset perusahaan, sedang karyawan berprestasi rendah adalah beban perusahaan.
Sebab itulah, Unilever sangat mengembangkan pelatihan dan riset. Kuatnya dukungan sistem ini, jika tiba-tiba karyawan keluar dari perusahaan tidak menjadi masalah. Selain itu, Unilever juga tidak pernah khawatir dengan kompetitor yang selalu tumbuh di banyak tempat. Karena kedua hal tersebut diperkuat, perusahaan itu tidak pernah berhenti berinovasi baik pada sisi teknologi dan produknya, karena kultur yang dibangun membuat manusianya tumbuh produktif, kreatif dan inovatif.
Dalam mengemban Hubungan Industrial, prinsip saya adalah berilah hak karyawan, namun jangan mengambil hak perusahaan. Hidup saling mendukung adalah terbaik. Bilamana kita harus menegakkan disiplin termasuk yang paling pahit seperti pemecatan, maka lakukanlah dengan tanpa menyakiti hati orang lain. Pengendalian pikiran, ucapan dan perbuatan membawa saya sampai akhir tugas dalam keadaan selamat dan dihormati, baik oleh pengusaha, serikat buruh maupun pemerintah (pejabat Departemen Tenaga Kerja). Bahasa Jawa-nya, ”Ngono yo ngono, ning ojo ngono” (begitu ya begitu tetapi jangan begitu). Integritas yang saya miliki sangat tinggi dan tidak mau menerima ’angpau’ dari supplier, baik supplier katering maupun medical representative.
Saya tidak berprinsip, ”semono yo semono, ning ojo semono” (segitu ya segitu, tetapi jangan segitu). Buat saya persahabatan jauh lebih bernilai daripada materi.
Tanpa terasa teman-teman seangkatan dulu ketika masuk sudah banyak yang keluar dari Unilever dan lebih berhasil di luar. Saya sendiri masih setia berada di situ. Tiba-tiba saja, ada yang menantang saya, ”Ndro, kenapa kau masih ngendon di Unilever? Hanya ada dua kemungkinan lho alasanmu, yaitu kau nggak berani menantang pekerjaan di luar yang lebih baik atau kau tidak laku di luar”, ujarnya. Panas juga saya mendengarnya.
Merespon tantangan temanku itu, kucobalah mengadu peruntungan di mana ada jabatan Direktur SDM yang lowong. Hal ini untuk mengetahui apakah diriku masih layak jual dan lakunya dengan harga (gaji) berapa? Ternyata di luar masih banyak yang membuka pintu. Kadangkala memang orang senang dengan situasi mapan–enak, sehingga enggan untuk pindah karena resikonya banyak, antara lain penyesuaian diri dengan lingkungan baru dan tantangan yang meninggi. Bagi petualang kerja, hal ini memang mengasyikkan untuk meningkatkan gairah.
Ternyata benar adanya, bahwa saya diminta oleh seorang sahabat untuk bertemu dengan Managing Director Indofood Group, produsen makanan mie instant terbesar di Indonesia, yang membutuhkan seorang Direktur HRD.
Sesudah mengikuti beberapa wawancara maka saya diterima di Indofood. Saya meminta syarat meminta kompensasi masa kerja di Unilever selama 19 tahun bila Unilever tidak memberikannya. Permintaan ini tidak dikabulkan oleh MD maka saya berusaha minta ijin mengundurkan diri dari Unilever dengan alasan pensiun dini yang dipercepat pada usia 48 tahun. Kalau ditolak maka saya tidak jadi berhenti. Permintaan itu kuajukan pada Direktur HRD M. Hatta. Jawaban Hatta adalah: ” Apa keuntungan perusahaan dengan mengabulkan permintaanmu memberi pesangon pensiun dipercepat yang jumlahnya cukup besar”. Saya menjawab dengan santun: “Bila saya berhenti maka ada pergerakan promosi staf dibawahnya secara beruntun di Departemen HRD. Saya jadi penyumbat karier banyak orang pak, karena bapak masih lama pensiunnya.”
Alhasil permohonan itu disetujui Dewan Direksi Unilever untuk mengundurkan diri atas kemauan sendiri pada usia 48 tahun. Tentunya uang pensiun diberikan penuh.
Di mata Hidayat, saya memiliki sifat keras, terutama dalam prinsip. Dikenang olehnya dulu semangat saya untuk urusan prinsip, kalimat yang sering kuluncurkan adalah, ”Ke ujung dunia pun akan kulayani”.
Namun sebaliknya, jika ada orang lain, karyawan misalnya yang membutuhkan bantuan, tandas dia, Endro tidak segan-segan mengulurkan tangan memberi bantuan. Hidayat merasa kehilangan ketika saya keluar dari Unilever. Namun tiga tahun kemudian ia juga meninggalkan Unilever dan berpindah ke Sari Husada.
Satu hal yang saya syukuri adalah budaya belajar di Unilever. Setiap karyawan diberi ruang untuk berkembang. Saya bahkan diikutkan dalam program pelatihan manajemen ke Inggris. Ini menjadi momen penting dalam karier saya. Di sana, saya tak hanya belajar teknik manajemen modern, tapi juga mengenal dunia luar secara lebih luas dan dalam.
Saya juga belajar banyak dari guru-guru nonformal. Salah satunya adalah orang tua saya. Ayah saya, meski tidak bergelar sarjana, adalah guru kehidupan yang sangat bijak. Ia mengajarkan saya pentingnya kesederhanaan, integritas, dan pengabdian. Nilai-nilai itu terbawa hingga saya menjadi Bhikkhu.
Saya sempat berpikir untuk melanjutkan kuliah formal di bidang manajemen. Tapi lama-lama saya menyadari: pendidikan terbaik adalah yang dibentuk dari pengalaman langsung dan kesungguhan belajar sendiri.
Saya mengisi waktu dengan membaca — dari karya Peter Drucker, Stephen Covey, hingga buku-buku filosofi Timur seperti Laozi dan Konghucu. Di sisi lain, saya tetap setia membaca kitab-kitab Buddhis, terutama Dhammapada dan Majjhima Nikaya. Ajaran Sang Buddha memberi perspektif yang membumi dalam menghadapi realitas kerja dan hidup modern.
Sumber: Jayamedho, Bhikkhu. Menapak Pasti: Kisah Spiritual Anak Madura. Edisi Revisi. Jakarta: Penerbit CENAS, 2015, Bab 18 “Matang di Unilever Indonesia”, hlm. 241–269.