Bab 19
Setelah hampir 20 tahun, tepatnya kurang satu tahun, menghabiskan waktu bersama Unilever, di tengah banyak temanku yang meninggalkan Unilever dan berkarier di perusahaan lain, saya ingin membuktikan bahwa diriku masih ”layak jual”. Untuk dipromosikan menjadi Direktur Personalia di Unilever sangatlah jauh, sebab direktur yang menjabat belum ada tanda-tanda akan diganti.
Di saat hampir bersamaan, seorang sahabat mengatakan terbuka lowongan direktur di Indofood Group untuk menggantikan seorang pejabat lama bergelar MBA yang telah mengajukan permohonan berhenti. Manajemen Indofood sedang mencari penggantinya. Benarlah adanya. Di saat yang telah ditentukan, bertemulah saya dengan Managing Director Indofood, Hendy Rusli namanya. Wawancara pun terjadi dan ternyata Indofood sangat cocok dan menantang. Hendy merasa yakin akan kemampuanku untuk mewujudkan cita-citanya membawa Indofood seperti Unilever yang berkelas dunia. Kecocokan itu juga sampai pada soal honor. Tinggallah saya memberi syarat, jika saya mendapat uang pesangon dari Unilever, saya bersedia bekerja untuk Indofood. Masa kerja 19 tahun tentulah terbayang betapa besar pesangon yang akan didapatkan dari Unilever. Kalau ini terbukti maka sentilan Hatta, Direktur Personalia Unilever tidak terbukti, yaitu katanya:”Ingin menjadi direktur saja nggak ada, bagaimana bisa terwujud?. Kala itu aku ditanya apa berkeinginan menjadi direktur. Jawabku memang tidak mau karena alasan tertentu.
Permohonan pensiun sangat dini di usia 48 tahun dikabulkan dengan pemberian uang pesangon yang cukup besar. Sebagian uang pesangon tersebut saya donasikan berupa tanah di belakang Vihara Mendut sampai batas sungai.
Mulailah saya bekerja di Indofood. Direksi Indofood waktu itu, dua orang muslim, sementara empat orang berlatar Buddhis termasuk Hendy. Dalam fase selanjutnya, saya sangat terkesan dengan gaya kepemimpinan Hendy. Ini terkait dengan pandangan Buddhis yang diterapkan beliau yang dimulai dengan pikiran benar, pandangan benar, ucapan yang benar, perbuatan yang benar dan mata pencaharian yang benar.
Permintaan Ketua Umum SPSI
Bulan-bulan pertama di Indofood di suatu pertemuan tripartit antara pemerintah-pengusaha dan serikat buruh tingkat nasional, Imam Soedarwo, Ketua Umum Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) menghampiri saya seraya mengatakan: “Pak Endro, saya titip agar di Indofood bisa didirikan SPSI”. Wah kaget juga diriku atas permintaan tersebut karena adalah suatu larangan manajemen mendirikan serikat pekerja karena bisa dianggap serikat pekerja kuning, organisasi boneka belaka.
Saya balas: ”Tidak bisa pak hal itu melanggar Konvensi ILO”. Imam mengatakan bahwa manajemen Indofood sangat menentang kelahiran serikat pekerja layaknya perusahaan nasional yang lain milik swasta. Selanjutnya Imam berkata: ”Saya tahu watak Pak Endro dan saya yakin hal itu bisa terwujud”. Saya hanya terhenyak diam tidak menyahut lagi.
Sangatlah wajar bahwa banyak perusahaan nasional, khususnya milik orang Tionghoa, sangat enggan menerima serikat buruh karena hanya ngrecokin saja dan merongrong manajemen.
Langkahku yang pertama membenahi manajemen SDM adalah agar perusahaan taat asas mematuhi peraturan perundangan ketenagakerjaan. Hasilnya karyawan sangat kagum dan puas karena “penghasilan” mereka relatif naik. Selanjutnya saya lakukan pendidikan perburuhan dikalangan manajer dan dilanjutkan di tingkat supervisor tentang hak dan kewajiban perusahaan dan karyawan serta bagaimana teknik mengelola sumberdaya manusia secara efektif dan efisien. Suasana lingkungan kerja di perusahaan menjadi berubah dan kondusif.
Pendidikan perburuhan selanjutnya kulakukan di tingkat perwakilan karyawan guna meningkatkan kesadaran kerja dan partisipasi pekerja agar mensyukuri pekerjaan, dengan penatar dari Departemen Tenaga kerja, Perusahaan dan DPP Serikat Pekerja.
Pada suatu pelatihan maka karyawan bertanya apakah boleh mereka mendirikan serikat pekerja seperti saran “orang DPP SPSI”? Mereka bilang takut mendirikan karena takut dipecat. Kalau ada SPSI apakah saya bisa memberi jaminan mereka tidak dipecat?
Saya jawab dengan tenang: ”Ibarat orang mengendarai mobil, apakah ada jaminan tidak ditangkap polisi? Sepanjang dia mengendarai mobil dengan benar dan menaati rambu-rambu lalu lintas, pasti tidak ditangkap polisi”. Demikian juga dengan organisasi buruh, selama mereka mengelola organisasi secara bertanggung jawab dan tidak melanggar rambu-rambu peraturan perundangan tenaga kerja serta peraturan perusahaan, maka tidak ada alasan perusahaan memecatnya, lugasku pada mereka.
Di pihak manajemen sendiri langkah saya agak menakutkan sehingga mereka menanyakan bila ada serikat pekerja apa ada jaminan mereka tidak ngrecokin manajemen. Dua tali gantungan berada di leherku minta jaminan.
Syukurlah adanya SPSI di Indofood selama saya di sana memang dirasakan manfaatnya memberi kontribusi nyata bagi ketenangan kerja yang dinamis bagi pertumbuhan usaha. Tidak pernah ada unjuk rasa ataupun pemogokan. Managed by Mind and Heart and not by Power.
Terkesan Gaya Kepemimpinan Hendy Rusli
Dalam sebuah kesempatan, Hendy menyampaikan kepada saya visinya mengenai visi perusahaan dan visi HRD di Indofood. Visi perusahaan dalam benak Hendy ingin menjadikan Indofood sebagai perusahaan terkemuka dalam bidang makanan di Asia Tenggara untuk kesejahteraan nusa dan bangsa. Visi ini dalam pandangan saya sesuai pandangan Buddhis, terutama dengan visi pandangan benar. Karena itu untuk mendukung terwujudnya produk bermutu, maka perlu disertai oleh proses yang bermutu , dan yang dikerjakan oleh orang, produk dan proses yang bermutu.
Selain itu visi lainnya secara internal, Hendy menginginkan Indofood menjadi food university terkemuka di Indonesia. Harapannya universitas ini nantinya menjadi rujukan bagi semua pihak dalam hal produk makanan di Indonesia. Bolehlah menyamai Unilever yang menjadi terkemuka karena produk toileteris-nya, maupun seperti British American Tobacco (BAT) karena rokok putih-nya. Secara kebetulan, saya pernah bekerja di ketiga tempat tersebut. BAT kelak menjadi tempat kerja selanjutnya setelah keluar dari Indofood. Dengan begitu, lulusan dari Indofood akan dianggap jempolan, seperti halnya lulusan dari Unilever maupun BAT. Di sinilah Hendy menekankan pentingnya penciptaan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Setelah itu Hendy mengkreasi sebuah rumusan nilai–nilai yang oleh perusahaan disingkat dalam istilah ”CONSISTENT”. Di situ disebutkan, CONS sebagai Consumer Satisfaction, I sebagai Innovation,
ST sebagai Staff , EN sebagi Excellence dan T terbaca sebagai Teamwork.
Inti uraiannya adalah sebagai berikut: Kalau suatu perusahaan ingin maju dan berkesinambungan maka seluruh potensi pemangku kepentingan (stakeholder) harus mengenal, menghayati dan mengamalkan Budaya Perusahaan. Sebenarnya budaya perusahaan CONSISTENT ini juga berlaku bagi semua perusahaan.
Makanya Hendy ingin menjadikan Indofood sebagai perusahaan produksi makanan dan minuman terbesar di Indonesia yang sejajar atau melebihi Unilever. Tidaklah heran karena Hendy adalah lulusan sekolah bisnis di Inggris.
Dengan memerhatikan perkembangan dunia di mana persaingan semakin mengglobal, nampaknya Hendy ingin agar Indofood menjadi perusahaan yang etikal (Ethical Company) yaitu yang memiliki fondasi berdasarkan Nilai (values), Etika (etics) dan prinsip (principles) yang bersumber pada norma standar yang diakui secara institusional dan profesional. Cara membandingkannya adalah dengan benchmarking dengan perusahaan nasional dan internasional di bidang makanan yang dipilih. Tujuannya adalah menjadikan perusahaan dari Ghost Corporate Governance (GCG) menjadi Good Corporate Governance (GCG) yang pada akhirnya berpuncak pada Good Corporate Citizen (GCC). Kelak menuju puncak yang lebih tinggi lagi dengan melakukan transformasi dari Ethical Company menjadi Spiritual Company yang sekarang sedang menjadi kecenderungan dunia. Bisnis bukan sesuatu usaha yang kotor dan tidak beretika yang semata-mata mencari untung sebesarnya dengan biaya sekecil-kecilnya untuk kepentingan sang pemilik semata.
Hal inilah yang menantang saya serta sangat menghormati Hendy. Hal di atas dapat kubaca meski tidak pernah dijelaskan secara eksplisit oleh Hendy.
Terang-terangan Hendy mengatakan ingin meningkatkan kualitas sumber daya manusia, dan meminta saya untuk membantunya. Kualitas manusia itu di sini dirumuskan dalam tiga ukuran yaitu secara teknikal, manajerial dan etikal. Ketiganya dapat diukur sebagai tingginya kualitas human capital di Indofood. Saya menyambut permintaan itu sebagai tantangan yang harus bisa dipenuhinya.
Langkah konkrit dari visi tersebut terealisasi dengan pembangunan Indofood Training Center yang terletak di Cibodas, Bogor yang diresmikan oleh Menteri Tenaga Kerja, Cosmas Batubara. Usaha lainnya adalah merekrut seorang ekspatriat Amerika bernama Dick Babcock sebagai Senior Training Manager di bawah saya guna mengelola pusat latihan yang akan menghasilkan manusia–manusia unggul. Dijabarkannya budaya perusahaan tersebut pada tataran falsafah serta secara teknikal operasional untuk diterapkan disemua tingkat jabatan.
Lucunya gaji dan jaminan sosial ekspatriat ini lebih tinggi dari saya, sang Direktur yang menjadi atasannya. Maklumlah ekspatriat makan daging import dan minum anggur sedangkan sang atasannya makan makanan Indonesia berupa tempe dan lodeh. Tingkat gaji dan jaminan sosial Amerika memang jauh lebih tinggi dari Indonesia. Hal ini haruslah dimengerti bilamana ada gejolak kecemburuan di sejumlah perusahaan yang menempatkan ekspatriat, akibat kesenjangan sosial ekspat dan lokal.
Dengan meninggalnya Dick di Singapura maka direkrutlah Professor Doktor Santoso Hamidjoyo, yang belakangan menjadi pimpinan di Universitas Surabaya (UBAYA) Surabaya. Kedua orang itulah yang membantu saya dalam upaya mewujudkan cita-cita Indofood di bawah Hendy Rusli.
Setelah terumuskan dengan benar, terkait dengan keunggulan kualitas perusahaan dengan kombinasi ketiga nilai tersebut, tuntutan pertama yang harus dipenuhi adalah taat asas, yaitu taat dengan setiap peraturan dan perundangan yang ada. Begitu idealnya visi itu. Karena itu saya juga disibukkan dengan mengaudit aturan HRD di Indofood untuk disesuaikan dengan peraturan tentang ketenagakerjaan. Jangan ada karyawan yang dirugikan hak-haknya sesuai aturan perundangan, seperti kata Dalai Lama dalam pembuka memoar ini.
Gaya manajemen Hendy Rusli ini sampai sekarang tidak pernah dilupakan banyak orang, terutama para mantan anak buahnya sewaktu bersama-sama di Indofood. Tidak lebih, mantan orang nomor satu di Indofood itu mendudukkan posisinya sebagai deserved visionary, mengajak orang berdialog tentang rencana-rencana perusahaan ke depan. Mengajak bukan dengan cara memerintah. Sesuatu yang amat dirasakan membekas pada para mantan stafnya, termasuk diri saya. Di dalam gaya kepemimpinan ini, partisipasi setiap elemen organisasi perusahaan diajak untuk bersama berpikir dan bersepakat untuk meraih suatu visi dan target tertentu. Perintah itu lebih bersifat ajakan, sehingga nyaris tidak dirasakan sebagai sebuah perintah. Kesadaran para anggota organisasi perusahaan yang dijadikan sasaran, untuk seterusnya maju bersama-sama.
Untuk mewujudkan visi besar itu, bahkan direkrut pula konsultan dari Arthur deLittle. Di-hire pula konsultan asing yang kompeten di bidang service excellence, mengajak para karyawan untuk menyadari pekerjaan yang digelutinya agar berkualitas. Untuk siapa sebetulnya pekerjaan yang berkualitas itu, tidak lain adalah untuk proses berikutnya; masa depan perusahaan. Inilah keyakinan yang terurai dalam nilai-nilai ajaran Buddha, bahwa melakukan sesuatu itu untuk kebahagiaan semakin banyak orang. Sebagai hasil akhirnya, pelakunya sendiri pun juga akan mendapatkan buahnya. Hendy Rusli menerapkan ajaran Buddha dalam praktik. Pembawaannya sangat kalem dan manis, disertai pikiran-pikirannya yang terasa logic and humanist.
Merangkap PR Imbas Isu Biskuit Beracun
Dalam suatu masa di awal tahun 1990-an, saya ditanya Hendy di ruang kerjanya mengenai fungsi public relations. Agaknya Hendy mengetahui potensi saya untuk memegang PR. Hal ini tidak lepas dari peristiwa penting beberapa waktu sebelumnya. Berhembuslah isu menghebohkan yang melanda dunia industri makanan ringan, termasuk Indofood; isu biskuit beracun dari produk perusahaan lain. Dampaknya pun luar biasa, penjualan produk makanan ringan sempat turun drastis. Makanan ringan Indofood juga termasuk terkena pukulan hebat atas isu yang berhembus kencang itu. Kebetulan saat kejadian itu, hanya ada dua orang direktur yang berada di kantor. Saya sebagai direktur HRD, didatangi oleh direktur makanan ringan, bernama Buoy Ngadimun. Ia bertanya, solusi apa yang tepat untuk mengatasi guncangan masalah ini.
Kebetulan saya memiliki jalur ke Pangkopkamtib, Mayor Jenderal Soedomo dan sangat mengenal asisten pribadi Laksamana Angkatan Laut ini. Saya berencana mengajak beliau menghadap Soedomo agar bersedia datang ke pabrik Indofood karena beliau juga datang ke pabrik perusahaan lain. Lantas saya menelpon kenalanku, asisten pribadi Pak Domo, yang bernama Franky berdarah Ambon. Kujelaskan duduk persoalannya dan berharap agar Pak Domo bersedia datang ke pabrik. Waktu itu siang sudah agak bergeser menjelang sore, sekitar jam tiga. Lewat telpon itu, Franky meminta supaya saya membawa surat permohonan saat itu juga ke kantornya Pak Domo di Jalan Merdeka Barat. Sesampai di kantor menteri itu, sontak didapati jawaban bahwa Pak Domo akan datang besok siang jam 11.00 WIB.
Agak gelagapan mendengar cepatnya respon Pak Domo saat itu. Pihak saya dibuat sedikit kelabakan untuk mempersiapkan penyambutan kedatangan menteri tersebut. Benarlah sesuai jadwal yang ditentukan esok harinya, Pak Domo dan rombongan datang. Pak Domo dengan enaknya mengambil makanan ringan Chikki dan memakannya. Para wartawan pun bergegas mengambil gambar peristiwa tersebut. Besoknya, koran-koran memuat gambar dan berita kunjungan Pak Domo ke Indofood. Tanpa diketahui saya, Buoy ternyata diam-diam juga mengambil gambar Pak Domo yang sedang makan makanan ringan tersebut. Esoknya, gambar itu diiklankan pula atas nama Indofood ke beberapa media massa cetak dalam bentuk ucapan terima kasih. Saya cukup kaget juga dengan langkah beliau itu karena tidak meminta ijin terlebih dahulu kepada Pak Domo. Saya khawatir jika Pak Domo tidak berkenan akan marah dan merasa diperalat perusahaan. Kontan saya pun juga tergopoh menelpon Franky untuk meminta maaf atas kejadian itu.
Foto Pak Domo terlanjur menghiasi beberapa media massa dan setahu saya kontan menggelitik wartawan untuk bertanya kepada Pak Domo. Wartawan membaca peristiwa itu sebagai mengkomersialkan Pak Domo. Namun tanpa dinyana, jawaban Pak Domo pada wartawan bukannya marah, malah mengatakan itulah yang benar, demi menyelamatkan industri nasional. Mengetahui hal itu, rasa was-was saya pun menjadi hilang, plong rasanya.
Gara-gara peristiwa itu, sesudah Hendy pulang dari Eropa menanyakan kepada saya tentang fungsi-fungsi PR yang belum dimiliki Indofood. Kepuasan atas jawaban saya selanjutnya Hendy memberi jabatan rangkap sebagai PR selain sebagai Direktur HRD. Saya pun selanjutnya merekrut beberapa orang profesional yang kukenal dengan baik. Jabatan rangkap itu kusandang selama dua tahun. Namun dalam perkembangan terakhirnya, PR malah banyak mendukung program-program marketing. Karena itu atas usul saya sebaiknya fungsi PR tidak tepat disandang oleh HRD. Kemudian tidak lama berselang diadakanlah rapat direksi dan diputuskan PR dijabat oleh direktur terpisah yang dijabat seorang expat dari Philipina.
Saya sangat terkesan pula dengan cara Hendy selanjutnya dalam menginformasikan hal itu kepada diriku. Dalam sebuah kesempatan, ditepuk-tepuklah pundakku sambil dikatakan agar sebaiknya PR dipisah menjadi direktur tersendiri. Saya pun membalas spontan dengan nada bercanda, ”Boleh saja pak tanggung jawab saya berkurang, asalkan gaji saya tidak berkurang”. Namun kali ini tepukan Handy lebih keras sambil tertawa tergelak. Inilah di antara kepandaian Hendy dengan tangan dinginnya yang kulihat, menggiring anak buah dengan tidak segan-segan turun ke bawah.
Jalan ”Spiritual Company”
Pendelegasian otoritas sangat dirasakan sehingga setiap bidang berjalan bersama dengan inovasi yang berkembang di setiap bidang. Di samping itu dalam setahun sekali, Hendy berkeliling ke semua pabrik di berbagai kota. Hal itu juga kutiru, setiap enam bulan sekali, saya turun ke setiap pabrik Indofood yang tergolong besar. Saya mengajak bicara para manajemen, serikat perkerja dan juga perwakilan karyawan mengenai isu-isu human resources terkini di area kerjanya. Pertemuan itu selalu kuupayakan diakhiri dengan rekomendasi dan penyusunan Rencana Kerja HRD. Di sinilah saya menekankan pentingnya human approach, menghargai pimpinan cabang, pimpinan serikat pekerja maupun perwakilan karyawan. Selain itu untuk mendengar permasalahan setiap bagian, yang sangat mungkin berbeda satu sama lain.
Itulah jalan Boddhisatwa yang kujalankan dalam mengarungi karierku. Saya menjalankan prinsip management by going around, berkeliling kantor atau pabrik dengan menyapa karyawan yang kujumpai. Perilaku itu membawaku menemui para karyawan yang antri di poliklinik ataupun di kantin sewaktu makan siang. Dialog pun terjadi untuk mengungkap masalah yang dihadapi para karyawan dan sejauh mungkin memberikan petunjuk. Jika tidak ada solusi, cukup diberikan pengertian mereka supaya mereka
lebih mengerti.
Langkah lain dengan pemikiran di atas adalah dalam sekali selama enam bulan, semua personnel manager pabrik diundang ke Jakarta untuk mengkaji ulang program-program tingkat pabrik dan divisi
di bidang sumber daya manusia. Karyawan di sini kita anggap memberi nilai tambah (added value), bukan sebagai biaya atau beban. Semua karyawan tentu mempunyai cita-cita dan cita-cita itulah yang disalurkan melalui perusahaan. Dalam pertemuan antar pejabat personalia, pada hari pertama biasanya didatangkan pakar dari berbagai disiplin ilmu dan profesi seperti ekonom, politisi, pakar perburuhan dan sebagainya. Tujuannya tidak lain adalah untuk menyikapi dinamika permasalahan di dunia perburuhan dan bisnis di masa yang akan datang. Hari kedua membicarakan strategi dalam pengelolaan HRD baik dari aspek internal maupun eksternal di lingkungan Indofood dan diteruskan hari ketiganya berupa pemecahan masalah ketenagakerjaan di masing-masing pabrik.
Setahun sekali saya dengan didampingi Personnel Manager Divisi mengunjungi pabrik-pabrik di suatu divisi untuk melakukan inspeksi dan dialog dengan para manajer, perwakilan karyawan dan serikat pekerja guna mendapatkan masukan dan komitmen semua pihak. Walhasil selama saya di Indofood tidak pernah terjadi unjuk rasa ataupun pemogokan. Namun sesudah saya lengser kondisi menjadi berubah.
Selain itu juga diadakan pelatihan secara berjenjang di bidang human resource (istilah terbaru sekarang adalah human capital) dengan penekanan pada aspek teknikal, manajerial dan etika. Penekanan
ketiga aspek tersebut juga ditanamkan dalam pelatihan lain seperti Supervisory Development Program (SDP), Management Development Program (MDP) jenjang 1 dan 2. Perjenjangan ini mengikuti model Sesko dalam pendidikan militer.
Spiritual Company adalah perusahaan yang memiliki budaya perusahaan yang dijiwai oleh nilai-nilai luhur yang menjadi komitmen bersama manajemen dan karyawannya sampai lapisan bawah dan merupakan pengembangan lebih lanjut dari Ethical Company yang sekarang ada.
Untuk kepentingan perluasan produksi, Indofood juga membuka cabang perusahaan di beberapa negara, seperti di Hongkong, Jeddah (Arab Saudi), Nigeria, dan Tiongkok. Saya sangat berkepentingan untuk merekrut orang dari negara-negara itu untuk dipekerjakan di cabang Indofood. Wajarlah apabila saya banyak disibukkan dengan memelajari aturan ketenagakerjaan setiap negara yang berbeda satu sama lain. Atas perluasan perusahaan ini, saya pun sering mengadakan perjalanan ke negara-negara itu. Setiap tiga bulan sekali saya berkunjung ke Tiongkok melakukan inspeksi ke Hongkong, Beijing, Shanghai dan Fujian –kampung halaman Oom Liem Swie Liong (Sudono Salim).
Penghargaan dan Kepuasan Karyawan
Tanpa dirasakan, selama sembilan tahun bekerja di Indofood bersama kepemimpinan Hendy Rusli, saya merasakan setiap karyawan hidup dengan tenang, penghargaan terhadap orang, pendalaman terhadap visi dan langkah setiap bidang masing-masing berjalan sangat ideal. Hendy juga sangat menaruh kepercayaan pada bidang-bidang di bawahnya. Karyawan merasa dibimbing dan dididik dengan tangan dinginnya. Untuk itu pula Hendy tidak segan-segan mengirimkan staf ke luar negeri untuk memelajari perkembangan mengenai kualitas produksi yang terkait dengan produk Indofood.
Saya sebagai Direktur HRD menanamkan juga rasa kepemilikan karyawan (melu handarbeni) terhadap perusahaan. Perusahaan bukanlah milik pemegang sahamnya saja, namun juga seluruh karyawan. Dalam sebuah peristiwa unjuk rasa para buruh di Medan yang melumpuhkan kota Medan di pertengahan tahun 1990-an, di antara buruh yang tidak mogok bekerja adalah para buruh Indofood. Padahal, unit mie instant milik Indofood cukup besar di kota itu. Mereka sebagian besar mengaku karena merasa memiliki perusahaan tempatnya bekerja. Kondisi ini tentu sangat ideal bagi saya untuk mewujudkan hubungan industrial yang kondusif. Bahwa serikat buruh sangat mewakili kepentingan perusahaan secara luas.
Begitu pula dalam memimpin divisi HRD, saya sendiri berupaya keras menghindari kekecewaan para karyawan. Saya upayakan supaya karyawan tidak melakukan unjuk rasa, apalagi mogok kerja. Setiap persoalan terkait dengan hak dan tuntutan karyawan selalu kita bicarakan dengan hati dingin dan segera dicarikan pemecahannya. Selain itu, saya juga menanamkan rasa saling percaya di antara para karyawan. Modal kepercayaan begitu penting, dan saya sangat menekankan sikap saling percaya terhadap masing-masing level karyawan. Usaha itu adalah untuk mengikuti prinsip manajeman HRD guna menjunjung tinggi asas keadilan bagi semua pihak.
Arah Baru; HRD Profit Center
Kenangan lain saya bersama Hendy Rusli adalah berubahnya departemen HRD, dari cost center menjadi profit center. Hendy memulai dengan gagasannya untuk menuju perubahan itu. Menyambut gagasan demikian, saya lalu memilah bidang yang berbiaya besar untuk melayani divisi dalam perusahaan, misalnya untuk kegiatan pelatihan. Di luar itu, gebrakan baru dikenalkan dengan membuka permintaan dari unit yang nantinya dibebankan biaya (charging) pada permintaan-permintaan khusus seperti upaya peningkatan produktivitas ataupun pelatihan-pelatihan khusus. Hendy setuju dengan langkah ini. Langkah kedua ini berfungsi seperti internal consultant.
Seperti yang diharapkan, bidang internal consultant pun berjalan pelan namun pasti guna mendatangkan profit bagi HRD yang berarti meringan biaya Kantor Pusat. Di luar dugaan, gebrakan ini pulalah yang mendidik saya beberapa tahun kemudian sepeninggal dari Indofood untuk menjadi konsultan HRD independen. Pengalaman inilah yang membawa saya tetap bertahan sebagai profesional manajemen sesudah pensiun.
Kemesraan-kemesraan dengan rekan sekerja di atas hanyalah sementara sifatnya, seperti semua yang ada di dunia ini. Tibalah Hendy harus lengser dan diganti pejabat baru. Pada hari terakhir Hendy bekerja di Indofood, saya bertanya dari mana sumbernya Hendy mendapatkan konsep-konsep terbaru tentang ke-HRD-an. Hendy hanya tersenyum saja, dan tidak mau menjawab pertanyaan saya tersebut. Baru-baru ini, di akhir Februari 2010, Hendy Rusli dan rekan kerja saya di Indofood yang lain berkumpul dan mengingat kenangan bersama mereka di Indofood dan membentuk himpunan alumni.
Ramalan
Sewaktu saya mengambil cuti ke Bangkok, sahabatku yang orang Indonesia yang puluhan tahun bermukim di situ, mengajak ke peramal berkebangsaan Myanmar. Sang peramal menggunakan perangkat lunak yang cukup canggih. Ramalannya adalah bahwa saya akan memiliki mobil baru. Hal ini kubenarkan karena saya baru pindah ke Indofood dan mendapatkan mobil baru. Peramal membantahnya dengan mengatakan: “No, it’s a brand new car” katanya. Saya membantahnya lagi dengan mengatakan bahwa mobilnya masih termasuk baru dan tidak mungkin diganti. Terbukti tiga bulan kemudian mobilku diganti dengan merek Volvo keluaran terbaru. Mobilku, Volvo, selalu model lebih baru dari yang dipakai Menteri. Namun ayahku tidak bangga sama sekali karena aku bekerja di perusahaan nasional.
Ramalannya yang lain adalah bahwa saya akan banyak melakukan perjalan ke luar negeri ke belahan utara. Sekali lagi saya mengatakan “It’s impossible” karena Indofood tidak mempunyai bisnis di sana. Kalau di Los Angeles memang ada. Terbukti beberapa bulan kemudian Indofood membuka beberapa kantor cabang di Hongkong dan dilanjutkan membuka pabrik-pabrik mie instant di Tiongkok. Setiap tiga bulan saya berkunjung ke sana. Percaya–tidak percaya. Yang namanya ramalan lebih banyak tidak tepatnya daripada benarnya, namun orang masih saja suka ke tukang ramal.
Pengejaran Visi HRD Berakhir
Beberapa perusahaan yang tergabung dalam Indofood Group pada akhirnya dilebur menjadi satu menjadi PT Indofood Sukses Makmur Tbk, disingkat ISM, yang menjadi perusahaan terbuka di pasar modal. Semua pemegang saham utama menjabat sebagai Direktur dan otomatis jabatan kami semua diubah menjadi Corporate Division Head. Nama jabatan boleh ganti namun gaji dan jaminan sosial tetap sama.
Setelah delapan tahun bekerja di Indofood, di bawah era Hendy Rusli, terjadilah penggantian pimpinan. Managing Director yang lama Hendy Rusli digantikan Eva Riyanti Hutapea, yang dahulunya CEO dan Komisaris. Pergantian itu membawa banyak perubahan. Sangat drastis sifatnya. Regulasi pejabat baru banyak menganulir regulasi sebelumnya yang telah berjalan baik. Hendy Rusli telah mewariskan seperangkat aturan di Indofood Sukses Makmur, supaya karyawan patuh pada rule and regulation, meski pimpinan silih berganti seperti kultur di Unilever yang tidak pernah goncang dengan penggantian pimpinan. Aturan yang berjalan era Hendy menjauh dari kepemimpinan yang otoritative management style. Sayangnya, jasa pendahulu ini dirubah drastis oleh penggantinya dengan berbagai dalih, antara lain, aturan yang lama terlalu mengikuti kehendak karyawan.
Penggantian ini tidak saja mengenai diri Hendy saja namun hampir semua Direktur lama secara halus dan setengah halus dilengserkan kecuali dua orang yang masih dipertahankan. Entah apa sebabnya, saya juga merasa diriku tidak disukai atasan baruku itu. Malah, regulasi yang sudah lama berjalan pun banyak dirubah. Ketidaksukaan tersebut akhirnya membuat saya merasa gerah. Dengan segala cara, disudutkanlah anak buah yang tidak disukainya. Tanpa ampun, tuduhan yang dikenakan pada diri saya bermacam-macam, termasuk tuduhan saya melakukan korupsi. Kontan tuduhan itu kubantah dengan keras-keras. Saya meminta bukti sewaktu tuduhan itu dilontarkan kepadaku. Diminta bukti, dia pun kelimpungan dan diam seribu basa.
Saya berbicara dengan nada sabar kepada atasanku tersebut dengan menyampaikan kiasan balik yang menyerupakan diriku dengan Lady Di menantu Ratu Inggris. Sekalipun Lady Di seorang perempuan cantik, smart, populer dan terkenal, namun tetap ingin diceraikan Pangeran Charles karena penerus tahta Inggris itu memiliki kedekatan dengan Camilla Parker. Mudah ditebak, bahwa Eva sebenarnya sudah mempunyai calon sendiri untuk menggantikan diriku. Dia terlihat dongkol sekali mendengar perumpamaan saya tersebut. Pesan di balik perumpamaan itu, apapun dan bagaimanapun prestasi kerja kita, tidak bakal dinilai baik bila diterjang ketidaksenangan personal yang bersifat subjektif. Hal ini bukanlah praktik manajemen yang baik.
Pangkal tuduhan itu sebetulnya, secara kebetulan waktu jaman Hendy saya diberi tugas untuk mengorder medali penghargaan masa kerja karyawan Indofood yang terbuat dari emas 15 gram untuk pengabdian 15 tahun, serta 20 gram untuk pengabdian 20 tahun. Berawal itulah, saya dituduh menerima komisi dari perusahaan pembuat medali. Sampai si pengusaha itu, kebetulan juga seorang Buddhis, keheranan luar biasa. Suatu ketika, datanglah si pengusaha itu kepada saya sambil menangis, karena dia sama sekali tidak memberikan komisi yang seperti yang dituduhkan kepada saya. Untuk kembali menenteramkan hati, saya ingat sabda Sang Buddha:
“Khanti paramang tapo titthika” – kesabaran adalah cara bertapa yang paling unggul
yang pada hakikatnya untuk menunjukkan kesabaran seorang Buddhis.
Untuk mengenakkan suasana dan mengaburkan rasa malu Managing Director itu dan dengan pertimbangan bahwa calon pengganti saya sudah direkrut, pindahan dari Salim Group, maka saya minta mengajukan diri dipensiunkan saja pada tepat di usiaku yang ke 55 pada tanggal 1 April 1996. Permintaanku pensiun penuhpun dipenuhi namun Eva masih meminta diriku ”bantu-bantu” Divisi SDM selama satu tahun. Usai sudah kiprah saya di Indofood, menyusul kepergian kompatriotku Hendy Rusli yang telah meninggalkan Indofood satu tahun sebelumnya.
Peristiwa “fitnah” tanpa saksi tersebut sebenarnya akumulasi berbagai tuduhan pada diriku yang berkaitan dengan pengelolaan HRD, namun semuanya berakhir tanpa bukti. Suasana kerjaku dan anak buahku bertambah tidak nyaman. Anak buahku bertindak serba salah, memihak diriku akan disalahkan, bila memihak rezim baru merasa gerah karena banyak hal bertentangan dengan kaidah-kaidah HRD yang mereka kuasai. Pada akhirnya kekuasaan akan lebih menang, meski sementara waktu.
Gus Dur pernah mengingatkan: “Becik ketihithik, olo ketoro – yang benar akan tampak dan yang batil juga akan terlihat. Keputusanku tersebut didasari juga nasehat Dalai Lama yang pernah kubaca sebagai berikut:
“Ketika orang lain karena kecemburuan memperlakukanku dengan buruk,
Dengan penindasan, fitnah dan banyak lagi,
Aku akan belajar menerima semua kekalahan,
Dan memberikan kemenangan kepada mereka“
Kekecewaan yang mendalam melahirkan sakit hati yang mendalam (yang tidak nampak diluar) pada diriku karena tuduhan korupsi. Sebuah gejala manusiawi, yang sulit hilang sekalipun ingin selalu dimusnahkan. Hatiku hancur dan membara sampai ke ubun-ubun. Saya masih belum bisa menerima tuduhan yang disangkakan kepadaku. Sebuah kewajaran jika amarahku memuncak. Saya bukan bekerja di bagian yang rawan main komisi, penyogokan atau sebangsanya. HRD adalah tempat yang kering bukan tempat yang basah. Kejam benar. Semua itu akhirnya saya kembalikan ke hukum alam, hukum karma.
Sesudah diijinkan saya memasuki usia pensiun 55 tahun, atasanku meminta agar selama setahun saya dijadikan “staf ahli” yang lebih banyak nganggurnya daripada kerja. Oleh sebab itu saya tidak mau mati dibunuh waktu nganggur, lebih baik saya membunuh waktu. Kill the time otherwise you will be killed by the time. Cara membunuh waktu adalah saya menulis sebuh buku untuk umat Buddha yang belum pernah ada.
Buku tersebut menguraikan makna hari-hari raya umat Buddha serta saya uraikan kalender Buddhis yang ada. Di Indonesia digunakan bermacam kalender lunar berdasar peredaran bulan, seperti kalender Bali, Jawa dan Tionghoa. Kalender Jawa (dan Arab) murni kalender lunar, sedangkan kalender Bali dan Tionghoa adalah luni-solar, berdasarkan peredaran bulan yang disesuaikan dengan peredaran matahari, sehingga pada suatu tahun terdapat kabisat lunar, setahun 13 bulan.
Jadilah buku tersebut dengan judul: “Hari Raya Umat Buddha dan Kalender Buddhis 1996-2026” yang terbit Juli 2007 guna memperingati 20 tahun organisasi Magabudhi (1976-1996). Dalam buku tersebut saya hitung secara manual kapan jatuhnya Hari Waisak serta hari-hari raya Buddhis lainnya selama kurun 30 tahun. Buku tersebut adalah acuan Kementerian Agama serta banyak pihak dalam menetapkan Hari Waisak beserta jam, menit dan detiknya. Inilah hasil orang yang otodidak, belajar sendiri dari banyak pihak.
Semasa dalam masa tunggu, saya minta ijin ke Bangkok untuk sementara waktu. Saya habiskan waktu di Bangkok dengan melakukan meditasi penuh selama dua minggu di suatu vihara dipinggir kota. Saya mengembalikan saja semua perubahan itu kepada ajaran Buddha. Di mana Sang Buddha sendiri pernah difitnah orang, namun dengan kesabaran dan kasih maka semuanya itu berakhir tidak terbukti dan karma buruk kembali pada si-empunya. Ternyata kemudian karma buruk menimpa atasanku tersebut setelah beberapa tahun kemudian dia juga dilengserkan secara tragis.
Kalau karma sudah menentukan akhir maka segala sesuatu harus diterima apa adanya karena kekuasaan dan segalanya memanglah tidak kekal, bersifat sementara.
Melahirkan Perbudhi
Dua tahun sesudah saya menjabat Direktur Indofood Group, saya sadari banyak karyawan Indofood beragama Buddha tradisi Tionghoa dan kurang faham ajaran Buddha. Lima direktur dan banyak manajer dan supervisor yang beragama Buddha sehingga mendorong diriku mengumpulkan mereka sehingga terbentuk Perhimpunan Buddhis Indofood (Perbudhi). Setiap hari Jum’at sewaktu karyawan lain melakukan salat, maka kami menyelenggarakan Buddha-Puja alias kebaktian singkat dan saya berikan sedikit penjelasan tentang Dharma. Sesudah mereka menyadari akan dirinya maka untuk pertama kali diselenggarakan Perayaan Waisak bertempat di Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya sekalian mengenalkan vihara tersebut. Organisasi Perbudhi ini sampai sekarang masih eksis dan setiap tahun perayaan Waisak ini tetap dilangsungkan dengan sponsor perusahaan. Anggotanya meluas ke seluruh Salim Group di Jakarta.
Sumber: Jayamedho, Bhikkhu. Menapak Pasti: Kisah Spiritual Anak Madura. Edisi Revisi. Jakarta: Penerbit CENAS, 2015, Bab 19 “Direktur Human Resource Development”, hlm. 270–286.