Bab 20
Selepas dari Indofood, setelah suasana hatiku pelan-pelan mulai membaik, saya kemudian pindah kerja ke Rothmans of Pall Mall Indonesia (RPMI), sebuah perusahaan produsen rokok putih. Posisi saya di RPMI saat itu sebetulnya ingin menjadi konsultan saja. Akan tetapi, RPMI menginginkan saya untuk menduduki jabatan direktur definitif. Namun atas alasan yang diajukan, jabatan tetap direktur, tetapi fungsi kerja seperti konsultan. Di situ saya tidak pada posisi mengambil keputusan. Penentuan keputusan yang relatif besar langsung di tangan presiden direktur, Peter Barton sendiri.
Ada lima direktur di situ, dan saya satu-satunya direktur berkebangsaan Indonesia. Sedangkan lainnya berkebangsaan Australia dan Inggris. Sekalipun begitu, kepemimpinan Peter Barton sangat bagus dalam penilaianku. Di sini saya mendapat kesan mendalam. Kepemimpinan Peter tidak jauh dari gaya kepemimpinan Hendy Rusli. Suasana yang terbangun malah lebih akrab. Peter begitu menghargai diriku, karena sebagai orang Indonesia, dipandang lebih banyak tahu seluk-beluk bisnis di Indonesia. Saya dipandang beliau memiliki posisi sangat penting di situ, karena satu-satunya direktur berkebangsaan Indonesia.
Rutinitas pekerjaan kembali menyerang hari-hariku. Sayangnya, belum lama bekerja di RPMI, situasi politik Tanah Air begitu panas menjelang kejatuhan Soeharto. Masa-masa awal bekerja di RPMI, saya menghadapi situasi usaha secara makro cukup tergoncang akibat rembesan suhu politik dan krisis moneter. Suasana bisnis sangat kacau. Terlebih lantas dibelit peristiwa kerusuhan Mei 1998 yang melanda seluruh kota Jakarta di mana toko, mall dan perumahan banyak dibakar perusuh.
Kebetulan kantor RPMI terletak di Jalan Johar, Jakarta Pusat. Tidak jauh dari tempat itu merupakan lokasi pembakaran dan penjarahan. Dalam hari-hari menegangkan itu, siaran televisi tidak henti-hentinya menyiarkan gambar penjarahan dan kobaran api di mana-mana. Peter menyuruh semua staf terus bekerja untuk mengalihkan perhatian dari siaran televisi yang melaporkan berita kerusuhan di berbagai tempat. Saya juga sibuk mengatur karyawan dan mempersiapkan kemungkinan meng-evakuasi karyawan untuk menginap di hotel. Saya sendiri pada puncak hari kerusuhan lebih memilih menginap di Hotel Aryadutha untuk menghindari kemungkinan buruk dalam perjalanan pulang ke rumahku di kawasan Pesanggrahan.
Di saat itu pulalah timbul kesan mendalam saya terhadap Peter Barton. Peristiwa ini tidak mudah dilupakan. Di tengah gentingnya situasi di Jakarta akibat peristiwa kerusuhan dan di tengah gonjang-ganjing ekonomi-politik, sesuai dengan rencana saya harus menghadiri konferensi International Labour Organization (ILO) di Genewa sebagai utusan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo). Sebagai satu-satunya direktur Indonesia di perusahaan, saya dalam kondisi bimbang akan rencana kepergianku ke Genewa tersebut. Dalam waktu bersamaan, empat direksi lain termasuk Peter hendak meninggalkan Indonesia, untuk mengungsi ke Singapura. Waktu itu semua ekspatriat dan orang-orang Tionghoa yang ketakutan mengungsi ke luar negeri. Mereka bergegas ke bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng dan menjual murah mobil yang dikendarainya.
Saya lalu meminta saran kepada Peter dalam kondisi bimbang. Di pikiranku yang kuat muncul adalah larangan pergi meninggalkan Indonesia, dengan alasan untuk menjaga gawang saat semua direktur pergi. Namun jawaban yang kuterima sangat mengagetkan, bahwa Peter menyilahkan diriku pergi ke Genewa. Beliau berkata: “Jika bule-bule pada saat itu boleh mengungsi ke luar negeri, kenapa kau tidak boleh pergi”. Singkat kata, diijinkanlah saya pergi menghadiri konferensi itu, namun satu catatan diminta Peter pada setiap jam 7 pagi waktu Genewa, saya harus menghidupkan handphone milikku untuk mengadakan teleconference dengannya tentang kondisi kantor dan saran solusiku. Mendengar komentar itu, saya terbengong-bengong karena di luar perkiraan. Saya melihat tidak lain sebagai penghargaan yang sangat manusiawi dari seorang bule kepada diriku. Peter sendiri ikut mengungsi ke Australia untuk sementara waktu.
Akhir karierku di RPMI terjadi setelah perusahaan itu diakuisisi oleh British American Tobacco (BAT). Kepada HRD Director BAT, yang juniorku di Apindo, saya mengatakan bahwa nggak usah khawatir saya akan menggeser kedudukannya dengan adanya akuisisi karena saya tidak menginginkannya. Proses akuisisi berjalan mulus dan banyak karyawan RPMI yang harus turun kapal alias diberhentikan dengan pesangon menarik.
Dua HRD Director di BAT yang saya bimbing, meninggalkan perusahaan karena sukar menyesuaikan dengan budaya perusahaan sehingga saya harus menggantikannya sementara sambil mencarikan penggantinya dan mengusulkan dari internal perusahaan. Sesudah Direktur HRD pengganti sukses melampaui masa pelatihan maka saya dengan resmi meninggalkan posisiku sebagai HRD Director BAT.
Sumber: Jayamedho, Bhikkhu. Menapak Pasti: Kisah Spiritual Anak Madura. Edisi Revisi. Jakarta: Penerbit CENAS, 2015, Bab 20 “Direktur Perusahaan Sigaret”, hlm. 287–290.