Bab 3

Bab 3

Buddhis di Tengah Keluarga Muslim

Enam anak remaja menggenjot sepeda anginnya menyusuri jalanan dari Malang menuju Jogja dan Borobudur. Saat itu bulan Mei 1958 kami sedang liburan musim panas. Kebetulan saya baca di surat kabar bahwa akan diselenggarakan upacara Waisak terbesar dalam sejarah Indonesia guna mengenang kejayaan Buddha (Buddha Jayanti) terhitung 2500 tahun wafatnya Buddha Gotama yang dikenal sebagai Tahun Buddhis 2500. Banyak bhikkhu sepuh akan hadir di Borobudur dari Sri Lanka, Kamboja, Burma, Thailand dan India. Saya usulkan pada teman-teman Henk, kakak saya yang sering berkumpul di rumah untuk pergi ke Borobudur dengan naik sepeda. Mereka setuju sekali. Perjalanan tersebut melewati kota-kota di perbatasan Jawa Tengah-Jawa Timur dan mampir untuk beristirahat dulu di Jogja, sebelum esoknya meneruskan ke Borobudur, Magelang. Waktu itu kami duduk di kelas 2 SMA. Henk dan teman-teman tidak terlalu terpukau dengan acara Waisak dan tidak mengetahui persis waktu itu bahwa di Borobudur akan diselenggarakan Waisak. Pikiran mudanya yang menyala-nyala hanya ingin menjelajah keindahan daerah lain, membawanya untuk melakukan petualangan yang mendebarkan itu beserta teman-temannya. Dirasakan tanjakan tinggi ke Magelang begitu berat yang cukup melelahkan. Waktu itu kebetulan sepeda motor termasuk ba rang mewah dan tidak banyak dimiliki orang. Saya sangat terkesan sekali dengan upacara puja bakti umat Buddha yang ada. Hati bergetar melihat bendera aneh yang berkibar di mana-mana. Bendera pancawarna, biru, kuning, merah, putih, jingga dan warna campuran. Itulah panji Buddhis Internasional, lambang persatuan umat Buddha dari semua mazhab.

 

Saya kagum dengan kota Jogja yang antik dan berkeinginan tinggal di sini sebagai pilihan setamat SMA. Pertimbangan lain adalah ingin mengikuti lagi upacara Waisak sambil mengenal lebih jauh ajaran Buddha.

 

Setelah lulus SMA, Henk dan saya berangkat mencari sekolahan. Pertama kami ke Yogya melihat UGM dan diteruskan ke Bandung melihat Unpad. Setelah itu kemudian juga ke UI Jakarta. Saya memutuskan kuliah di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Henk tidak tertarik dengan kota Yogya, ia putuskan lebih memilih Universitas Indonesia (UI). Dirasakannya tinggal di Jakarta begitu kontras dengan Malang yang dingin, kemudian Henk mengubah niatnya dan memilih Universitas Padjajaran (Unpad), Bandung.

 

Selama setahun saya kuliah di UGM serta mempunyai sahabat-sahabat kental yang terjalin sampai kini. Seperti mahasiswa lain saya mondok di rumah eyang Sentul yang sangat kekeluargaan sekali. Ia sangat peduli dengan disiplin belajar anak asuhannya. Sering kita dinasihati bila kendor belajarnya.

 

Teman-teman akan saling traktir bila uang kiriman dari rumah telah tiba, namun tidak jarang mereka jual sarung bekas bila ingin nonton film di kala sedang bokek. Inilah yang mempererat persahabatan kami.

 

Alasan Pindah ke Bandung

Dengan alasan supaya lebih murah, diajaklah saya berkumpul di Bandung. Saat itu jaman begitu sulit. Kami berdua di Bandung ikut kakak tertua, Hermini yang bersuamikan Ir. Iskandar Danusugondho, dosen ITB. Hanya dengan bekal copy ijasah SMA saya melamar di Fak. Hukum Unpad dan diterima dengan mudah karena saya lulus dari kota terpandang, Malang.

 

Sebulan sesudah ploncoan, saya mendapat kabar bahwa saya lulus tingkat satu sehingga saya melaporkan kenaikan itu di Unpad. Jadilah saya duduk di tingkat dua.

 

Ada kejadian tak terlupakan berkenaan dengan sifat saya yang pendendam. Waktu perpeloncoan pada hari terakhir saya minta tanda tangan dari senior saya, yang masih duduk di tingkat satu, Mieke Palar. Ia marah besar dan merasa dilecehkan peranannya dan dengan galaknya “buku suci” perpeloncoanku dilempar jauh-jauh melayang di udara. Saya diminta merangkak mengambilnya. Saya merasa terhina apalagi diperlakukan oleh seorang perempuan. Saya berjanji akan bersaing di sekolah dan siap menang, sumpahku. Selama empat tahun saya tidak mau berbicara dan berhubungan dengan Mieke. Benar juga akhirnya saya lulus duluan. Waktu wisuda Mieke berkata “Selamat ya, kau menang”. Aku hanya tersenyum lebar dan puas.

 

Kini Mieke Palar, yang kelak bersuamikan dosennya Prof. DR. Komar, menjabat sebagai Hakim Agung. Peristiwa ini kuingatkan kembali kepadanya pada 23 Juli 2011 dikala ada Reuni Akbar FH Unpad di Bandung. Ia hanya tertawa terbahak seraya berkata: “Maaf ya bapak biksu..”

 

Selama tinggal di Bandung saya sangat aktif belajar ajaran Buddha dan berpartisipasi dalam pengembangan ajaran di beberapa tempat. Di samping itu juga aktif di pergerakan ekstrakulikuler GMNI seperti saya ceritakan terdahulu. Hikmahnya kepribadianku berubah drastis dari pemalu menjadi pelopor kepemimpinan. Biasa menggerakkan sejumlah orang di organisasi, mengelola dan mendayagunakan mereka untuk suatu tujuan tertentu. Di sini bibit–bibit dan potensi sebagai pengelola human capital sedang diujicobakan.

Anak Yang ”Aneh”

”Keanehan” itu sebetulnya bermula waktu kecil. Henk ingat, waktu kecil, aku suka sekali membuat hiasan-hiasan Pohon Cemara terutama pada waktu menjelang Natal, sebab waktu itu bersekolah di SMP Katolik. Selain itu juga gemar menari. Menjadi pemeran tokoh lemah lembut seperti Arjuna. Belajar menarinya di keluarga dr. Soerojo. Heniek Hermiati, kakak perempuanku mengira, puteri-puteri dokter ini pandai menari, dan beberapa dari mereka adalah temanku. Dari sini minat menari, saya kemudian disalurkan dengan mengikuti belajar tari di rumah teman itu. Menari adalah keluar dari keinginan kecil saya sendiri, termasuk untuk melakukan pementasan.

 

Mochammad Herman Endro (Hary), adik saya juga melihat diriku tidak pernah mengikuti kegiatan olahraga sepak bola seperti dirinya. Waktu itu hampir setiap sore Hari bermain sepak bola di lapangan bola dekat Pasar Oro-Oro Dowo di Malang. Saya, dulu juga tidak pernah ikut sepak bola. Henk ingat, tanganku pernah patah gara-gara main bola dan setelah kejadian itu, saya tidak pernah lagi tertarik bermain bola.

 

Hertuti mengenang di akhir 1950-an, seorang lelaki muda membeli Kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru di gerai buku sebuah gereja di Malang, yang kemudian dibawanya pulang. Utje waktu itu masih sekolah di tingkat SLTP. Lelaki muda itu adalah diriku, yang beberapa hari kemudian sibuk membolak-balik kitab yang baru kubeli. Utje juga turut membaca beberapa halaman. Utje tidak menyangka jika diriku kelak malah melirik agama Buddha. Utje merasa dekat dengan diriku sebab dari kecil lebih sering bermain-main denganku.

 

Henk, aku dan Hary melewatkan SMP di SMP Katolik St. Joseph yang jaraknya tidak begitu jauh dari rumah kami di Jalan Guntur, Malang. Jarak ke sekolah dapat ditempuh dengan jalan kaki. Kami semua dididik oleh para frater jaman itu yang terkenal galak. Meski bersekolah di sekolah Katolik, namun dituturkan Henniek Hermiati, tidak ada yang menjadi Kristen. Semuanya memilih Islam. Hanya saya saja yang memilih agama Buddha. 

 

Kejawen Dekat Dengan Agama Buddha

Namun Hermiati melihat ajaran Buddha ada kemiripan dengan Kejawen. Misalnya hormat pada orangtua, kasih sayang, budi pekerti luhur dan sebagainya. Di antara kedua keyakinan itu tidak amat berlainan. Secara kebetulan, ayah penganut Islam abangan, bukannya Muslim sejati, seperti layaknya keluarga priyayi yang kejawen. Ayah juga memelihara keris sejodoh. Sesuatu yang mereka hormati dan dipercaya memiliki daya magis. Untuk mengajarkan agama pada anak-anaknya, ketika masih tinggal di Pasuruan, mereka dipanggilkan guru agama ke rumah, tetapi anak-anak tidak merespon dan malah kabur.


Ayah suka menyepi ke makam Gunung Kawi, atau pergi ke Pantai Ngliyep, di pesisir selatan wilayah Malang, bersama kawan ayah yang orang Tionghoa Jawa bernama Yan Kwi. Berdua mereka sering menyepi ke Pantai Ngliyep. Ayah juga tidak mengharuskan salat lima waktu bagi anak-anaknya. Henk tahu persis, ayah setiap malam takbiran menunggu datangnya lailatul qadar dengan duduk di teras rumah dengan meja di hadapannya. Hari menyimpulkan, ayahnya memercayai keyakinan yang merupakan campuran antara Islam dan Kejawen. Kira-kiranya, Islam gaya-gaya keraton Solo dan Yogya.


Sebuah keterangan yang belum tentu ada keterkaitan, keluarga besar saya juga telah mengetahui agama Buddha dari saudara sepupu bernama Kolonel AU Raden Abby yang beragama Buddha. Ibu dari Abby adalah saudara kandung ayah. Hermini mengingat benar-benar saudara sepupunya itu yang mendalami agama Buddha. Bahkan beberapa anak saudara sepupunya ini juga beragama Buddha hingga sekarang. Namun hal itu baru kuketahui sewaktu upacara Waisak di Candi Borobudur yang dipanggil nama Abby untuk diwisudi sebagai upasaka tahun 1994. Di sanalah mereka dipertemukan.

 

Hary yang hanya selisih dua tahun denganku, menambahkan, di Malang sekitar tahun 1950-an keberadaan masjid di wilayah kota dingin itu juga sangat jarang. Satu-satunya masjid yang dekat dengan rumah adalah Masjid Agung yang terletak di seberang Alun-Alun Malang. Cukup jauh jarak masjid itu dari rumah. Ia ingat jarang sekali orang pergi ke masjid di kala itu.

Saling Menghargai di Tengah Keluarga

Setelah setengah abad berlalu, ketika saya telah menjadi aktivis Buddhis, perasaan keluarga tidak ada yang berbeda. Hal itu merupakan konsekuensi dari perjalan spiritual yang telah ditempuh sekian lama. Henk mengaku sedikit bangga, tetapi lebih karena itu sebuah proses yang berjalan cukup lama. Keluarga mengetahui kalau saya sering pergi ke India, sementara anggota keluarga lainnya yang Muslim beberapa juga telah berhaji. Bukanlah sebuah kemewahan, bukan sesuatu yang wah sifatnya. Sebaliknya, keluarga juga tidak menyesal, masing-masing mempunyai jalan hidup sendiri.


Yu Jeng, kakak perempuan yang menampung diriku di Bandung ketika menjadi mahasiswa, merasakan pilihanku adalah panggilan dari hati nurani. Begitu pula Utje melihat yang sama, betul-betul berdasarkan pilihan dari dasar sanubari. Utje dan Yu Jeng mengaku cukup bangga, dikatakan diriku yang sering menghibur, terkadang dengan jokes-jokes apa saja yang seakan tidak habis-habis, juga sering memberi dukungan di kala susah, sekarang menjadi figur yang berguna bagi lingkungannya. Bukan sebagai umat biasa saja, melainkan menjadi penggerak di kalangan umatnya.

 

Saudara-saudara perempuanku merasa cukup dekat dan selalu diperhatikan. Tidak hanya di situ, mutiara-mutiara kasih dan untaian sayang juga selalu terpendar dari hubungan saya dengan ibu, yang hingga proses penulisan ini telah menginjak usia yang ke-94 tahun. Ibu bagiku menjadi simpul dari semua perjalanan spiritualku. Dalam berbagai kesempatan perjalanan ke luar negeri, saya beberapa kali mengajak ibu berkeliling Eropa dan juga Asia. Di usianya yang begitu lanjut, organ fisik mulai melemah, namun daya ingat dan kemampuan bicara ibu tidak menampakkan tanda-tanda ketuaan. Saya menjadi kebanggaan ibu. Jika dalam pertemuan saya belum nampak, ibu selalu menanyakannya. Uce menceritakan betapa bahagianya ibu ketika sepulang dari khotbah Dharma, saya langsung menemui ibu dan menyerahkan amplop berisi uang persembahan (dana-punya) yang diberikan pengurus vihara. Amplop itu dalam keadaan utuh dan belum dibuka, kecuali dibuka oleh ibu. Hubungan yang demikian dekat ini dilihat oleh Hertuti dan juga Hermini sebagai salah satu riak-riak yang menghalangi niat lamanya untuk segera menjadi seorang bhikkhu. Ibu seolah berat melepaskan anak kebanggaannya itu, menjalani kebhikkhuan yang terikat dengan 227 aturan yang lebih berat dari umat awam. 

 

Hertuti sendiri sebenarnya mendukung pilihanku untuk menjadi bhikkhu sepanjang demi kebahagiaan rohani diriku. Dirinya menyamakan dengan keaktifannya sendiri dalam berbagai kegiatan pengajian, sebagai muslimah, yang sering diikutinya. Dalam forum pengajian itu, dia merasakan mendapatkan pemenuhan kebahagiaan rohani.

 

Dalam hal ritual Islam, saya juga sering ikut berpuasa apabila keluarga lainnya menjalani puasa. Kalau lebaran saya juga turut berkumpul bersama keluarga lain merayakan lebaran. Henk mengaku menjunjung tinggi prinsip:

”Agamaku agamaku, agamamu agamamu.”

Malah kalau Waisak, kakak, adik dan keponakan beberapa kali pernah diajak ke Borobudur.

 

Yu Jeng dan Utje juga masih ingat ketika diriku dianugerahi gelar Dharma: Dhammalankara (Penghias Dhamma) dari Sangha Theravada Indonesia (STI). Rombongan keluarga juga menyertai saat gelar itu disematkan kepadaku di Vihara Mendut, Magelang, 1 Maret 1995. Bersama saya, gelar kehormatan dari Sangha Theravada Indonesia juga diberikan kepada Drs. Teja SM Rashid (gelar Dharmavisarada) dan dokter Ratna Surya Widya (gelar Sasanadhaja).

 

Sebaliknya pada waktu lebaran, saya juga ikut ramai-ramai berkumpul sungkeman kepada ibu bersama saudara lain yang paling sering di rumah Henky di bilangan Petukangan, Jakarta Selatan, yang persis bersebelahan dengan rumah saya. Hari melihat, lebaran itu sudah menjadi tradisi, sehingga anggota keluarga lain yang memilih Kristen pun juga hadir berkumpul bersama.

 

Saya di mata Henk dan saudara lainnya hanya aktif di bidang agama, tidak memiliki aktivitas di bidang lain umpamanya olahraga, atau lainnya. Saya juga tidak pernah berdiskusi secara mendalam tentang soal agama dengan saudara lainnya. Seingat Henk, dulu saya pernah berdiskusi soal agama dengan Nursyamsi, kakak dari Iskandar Danusugondo. Nursyamsi kebetulan berlatar Islam fanatik. Pada suatu malam, saya dan Nursyamsi tiba-tiba terlibat diskusi tajam tentang agama semalam suntuk. Henk mengetahui hal itu tidak tahan, kemudian menyingkir untuk istirahat. Saya di mata saudaraku yang lain juga sudah mengetahui, tidak akan ketemu dalam diskusi soal agama dengan saudara-saudara lainnya.

 

Bentuk pluralisme di keluarga ini demikian menyala, seperti nyala lilin vihara yang tidak pernah mati sekalipun tertiup angin yang datang begitu kencang. Jika kebetulan melakukan perjalanan ke Malang, saya menyempatkan diri bertandang ke Vihara Dhammadipa Arama di Batu, Malang, keluarga lainnya juga turut masuk ke vihara ramai-ramai menyertai saya dan bertemu dengan para bhikkhu. Termasuk saat pertemuan antar saudara keluarga besar saya di Malang tahun 2009 lalu, saya yang mampir ke vihara di Ngandat juga diikuti saudara-saudara lainnya. Para bhikkhu di sana sangat terkejut dengan kehadiran keluarga ini, sambil ada yang nyeletuk menyikapi niatan saya yang ingin menjadi bhikkhu namun belum terlaksana, ”Nah, ini sudah diantar keluarga”. Seringnya saya mengajak saudara-saudaraku ke vihara membuat keluarga lainnya juga mengenal bhikkhu-bhikkhu yang kukenal, seperti Bhikkhu Win, Bhikkhu Khantidaro, Bhikkhu Pannyavaro yang bertelinga lebar dan bhikkhu-bhikkhu yang lebih muda lainnya.

 

Penahbisan Bhikkhu

Sudah lama saya bercita-cita menjadi bhikkhu sejak mengenal ajaran Buddha, namun tiap kali niat itu datang selalu saja terhalang realisasinya. Keenakan meniti jenjang karier bisnis sampai yang tertinggi, menikmati hubungan sosial yang cukup terpandang, menikmati keindahan dunia dengan berkelana ke banyak negara sampai sejumah 28 negara, mengangkat dan membesarkan anak orang, menyantuni beberapa anak untuk mendapat pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, dan sebagainya. Tidak dapat disangkal bahwa kenikmatan duniawi dan indriawi membelenggu diriku sampai usia sepuh. Karenanya wajahku sampai usia 70 tahun, kata orang, selalu nampak segar dan muda.

 

Andaikan saya menjadi bhikkhu, meninggalkan keduniawian dan hidup layaknya petapa, maka rasanya akan menjadi bhikkhu yang komplit. Tidak hanya akan mengejar “surga” namun juga sudah kenal hitamnya “neraka” duniawi yang ada di Bangkok dan Amsterdam misalnya. Anda bisa menebak apa itu.

 

Namun hambatan terbesar dariku untuk merealisasikan adalah belum ikhlasnya ibu. Kepada anak-anaknya ibu mengatakan bahwa saya boleh menjadi bhikkhu bila ia telah wafat. Ia tidak sampai hati melihat putra kesayangannya hidup “merana” semacam itu. Hal ini sangat wajar dirasakan semua orangtua yang budaya keagamaan Buddha belum menjadi tradisi yang membanggakan. Berbeda dengan bangganya orang tua yang hidup dalam tradisi Katolik di Indonesia Timur, Philipina dan Italia misalnya bila putranya menjadi pastor. Demikian juga di Sri Lanka, Myanmar, Thailand yang juga bangga bila putranya menjadi bhikkhu. Bahkan di Thailand sudah menjadi tradisi bahwa seorang pria sebelum menikah, boleh menjadi bhikkhu sementara 3 (tiga) bulan lamanya dengan gaji penuh. Pernah saya saksikan di Kamboja seseorang ditahbiskan menjadi calon bhikkhu (samanera) di krematorium sewaktu ayahnya diperabukan. Seorang sahabat saya di Bangkok yang orang Indonesia juga menjadi bhikkhu selama sebulan sewaktu merayakan 60 tahun usianya. Praktik semacam ini tidak ada di Sri Lanka dan Myanmar.

 

Kegundahan hati ini pernah saya ungkapkan kepada Dagpo Rimpoche dari Tibet yang sedang berkunjung di Bali dan beliau menasihati bahwa tidak harus orang menjadi bhikkhu untuk berbuat bajik menyebarkan Dharma, namun menjadi orang biasa jauh lebih luwes. Hal ini selaras dengan ungkapan Bhikkhu Girirakkhitto Mahathera bahwa saya seakan “bertapa di tengah pasar”. Hal itulah yang dijalaninya selama ini.

 

Pada bulan Maret 2009 kebetulan keluarga saya meyelenggarakan Reuni Akbar “Endro’s Family” memeringati 100 tahun kelahiran ayahanda kami. Acara nyekar ke makam almarhum dan leluhur di makam keluarga di Surabaya, Malang serta makam raja-raja Bangkalan, Madura guna melimpahkan kebahagiaan yang kita miliki pada leluhur. Sikap semacam ini di ajaran Buddha dikenal sebagai upacara pattidana (pelimpahan jasa). Sewaktu berada di kota Malang kami berkesempatan mengunjungi Vihara Dhamma dipa Arama di desa Mojorejo, Batu dan berjumpa dengan Bhikkhu Khantidaro (dahulu bernama Djamal Bakir) sahabat seperjuangan saya dalam mendirikan vihara tersebut. Beliau tanya apakah Anda semua hendak mengantarkan dik Endro menjadi bhikkhu karena esok harinya akan diselenggarakan penahbisan 7 (tujuh) bhikkhu sekaligus yang juga tercatat di Rekor MURI. Beliau juga menanyakan apakah mereka rela adiknya menjadi bhikkhu? Semua serentak kompak menjawab: “Rela dan ikhlas”. Saya sangat terharu mendengar penegasan serentak tersebut yang diluar dugaan.

 

Karenanya saya mempersiapkan pengakhiran tugas sebagai konsultan manajemen di perusahaan pelayaran dan galangan kapal di Samarinda sampai 1 April 2010.

 

Sekali lagi karma (takdir) mengatakan lain. Pada bulan April 2010 seorang pengusaha food supplement Jepang menemui saya dan meminta tolong dengan amat sangat guna membantu transformasi di perusahaannya karena masalah–masalah internal. Dia percaya bahwa saya bisa menolongnya karena pengalaman dan reputasiku. Karenanya saya sekali lagi mengundurkan niat dan menyetujui memberikan pertolongan hanya untuk 6 (enam) bulan saja atau paling lambat sampai akhir tahun saja.

 

Pada bulan Nopember 2010 sahabat–sahabat saya di SUID, teman kuliah angkatan 1960 di Jogja, berkumpul bersama di restoran Dapur Sunda, Jakarta guna melaksanakan halal-bihalal sesudah Lebaran sekaligus mau mengungkapkan dukungan mereka terhadap niat saya menjadi bhikkhu. Teman–teman wanita saling bertubi menciumi saya dengan alasan mumpung belum menjadi bhikkhu. Aduhai nenek–nenek mencium sang perjaka.

 

Sewaktu ada suatu peristiwa kritis yang terjadi di keluarga menjelang usia 70 tahun, maka saya memutuskan dengan bulat dan berat untuk menjadi bhikkhu meski hal ini telah kusampaikan pada keluarga selama dua tahun penuh.

 

Kutulislah sepucuk surat yang ditujukan pada Pasamuan para bhikkhu, Sangha Theravada Indonesia. Dengan penuh keyakinan saya berangkat ke Jogja. Keesokan harinya tanggal 26 Oktober 2010 pada pagi hari berangkatlah saya menuju Vihara Mendut di desa Mendut, Muntilan untuk menghadap Bhikkhu Jotidhammo, dan kemudian Bhikkhu Pannyavaro, Kepala Sangha guna menyampaikan niat itu. Di tengah jalan di Kaliurang sedang dilakukan persiapan menjelang meletusnya gunung Merapi dan orang–orang sedang mengungsi. Tidak lupa saya mengambil gambar gunung Merapi yang indah namun menyeramkan dengan kepulan asap di kawahnya dalam pelukan langit biru pagi hari.

 

Bhikkhu Jottidhammo dan Bhikkhu Pannyavaro menyambut dan akan meneruskan untuk diputuskan dalam rapat para bhikkhu karena hal ini jarang terjadi mengingat usia yang melebihi ketentuan. Pada pukul lima sore gunung Merapi meletus dengan dahsyatnya. Wah pertanda apakah ini bagi saya? Apakah ini pertanda alam untuk menerima ataukah menolaknya? Tanda–tanda baik ataukah buruk?. Walahualam… Dalam Kitab Kakawin Nagara Kertagama2, yang menceritakan kisah masa keemasan Kerajaan Majapahit, Prapanca menuliskan juga suasana kelahiran Hayam Wuruk tahun 1334 M sebagai berikut:

”Sejak dalam Kandungan di Kahuripan telah ada tanda–tanda Baginda orang yang luar biasa, gempa, bumi bergoncang, hujan debu, gemuruh, halilintar, kilat bersambung di langit, gemuruh suara gunung Kampud bergetar banyak orang–orang yang hina dan jahat mati tak berdaya.”

Pada bulan Januari 2011 disampaikan berita bahwa para bhikkhu sepuh menyetujui saya ditahbiskan menjadi bhikkhu di Jakarta pada tanggal 16 Maret. Menangis-harulah daku.


Pada akhir Januari 2011 berangkatlah saya ke Bangkok ditemani staf terdekat Muhammad Firdaus yang telah membantuku selama hampir enam tahun lamanya sebagai konsultan guna menemui bhikkhu sepuh di sana. Sepulang dari Bangkok saya melakukan ziarah kubur ke makam ayah serta leluhur di Surabaya.

Sumber: Jayamedho, Bhikkhu. Menapak Pasti: Kisah Spiritual Anak Madura. Edisi Revisi. Jakarta: Penerbit CENAS, 2015, Bab 3 “Buddhis di Tengah Keluarga Muslim”, hlm. 45–55.

TRANSLATE