Bab 22
Masih kuingat waktu itu ponakan saya melaksanakan resepsi pernikahnnya bertempat di Aula Makodam, Watugong, Semarang, hari Minggu tanggal 16 November 1995. Adik iparku diberitahu bahwa Raja Keraton Surakarta, yang bergelar Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Pakubuwono XII, atau Sinuhun Amardiko, telah berada di Hotel Patra dan siap akan hadir di perhelatan. Kontan keluarga dan panitia sibuk untuk menentukan siapa gerangan yang patut menjemput beliau. Tentunya salah seorang dari anggota keluarga yang pantas namun bila tidak ada tentu salah seorang anggota panitia.
Dicarilah anggota keluarga yang mengerti ungah-ungguh (sopan santun) dalam tradisi bangsawan Jawa Tengah dan bisa berbahasa Jawa halus (kromo inggil) karena kami semua arek-arek Suroboyo yang biasa berbahasa Jawa kasar namun akrab. Tidak satupun yang bersedia karena takut dianggap kurang ajar. Anda tahu bahwa bahasa Jawa itu sangat sukar dan punya tiga tingkatan berbahasa, ngoko, kromo dan kromo inggil, tergantung siapa yang dihadapinya. Kalau berbicara dengan raja masih harus menggunakan kata-kata khusus lagi. Seperti kata “Kamu” terdapat beberapa kata Jawa: kowe, ndiko (ngoko), sampeyan, awake (kromo), panjenengan (kromo inggil) dan untuk raja digunakan kata: panjenengan dalem, Sinuhun (Solo) atau ngarso dalem (Jogja).
Kata Sinuhun adalah panggilan untuk raja Keraton Solo yang artinya sepadan dengan Yang Mulia, di mana arti sesungguhnya adalah “Yang Bisa dimohon”. Untuk Sultan Jogja digunakan kata Ngarso Dalem, yang artinya Kehadapan Paduka. Sedang untuk raja–raja Pakualaman (Jogja) dan Mangkunegaran (Solo) digunakan kata panggilan Sri Paduka.
Pilihan jatuh pada diriku dengan pertimbangan saya bisa berbahasa Jawa dengan baik serta tahu tata krama keraton karena saya pernah waktu kecil menjadi penari Jawa gaya Jogja dan pernah tinggal di Jogja serta sering berhubungan dengan umat Jawa di Jawa Tengah. Buat saya tidak terlalu susah karena tata krama Jawa Keraton tidak berbeda dengan tata krama bila melayani bhikkhu di Thailand. Sungguh sama. Jadilah saya berangkat menjemput beliau di hotel. Sesampai di cottage beliau maka saya masuk karena kamarnya terbuka dan ada beberapa orang duduk di dalamnya. Saya belum pernah berjumpa dengan beliau namun pernah melihat fotonya.
Begitu saya masuk ruangan di sana, duduk di sofa sosok pria sepuh berwajah Arab berkulit putih. Tamu lain menghadap beliau dengan sikap bersimpuh serta takzim, maka saya duga ini beliau. Saya pun langsung duduk bersimpuh seperti berjumpa bhikkhu dan kontan menghaturkan sembah gaya wayang.
Kusampaikan pesan keluarga untuk menjemput beliau. Jadilah saya menunggu beliau berganti baju dengan jas warna terang.
Di dalam mobil sepanjang menuju tempat resepsi, jadilah saya membuka dialog ringan namun berbobot. Beberapa pertanyaanku adalah tentang banyaknya barang pusaka keraton, termasuk seperangkat gamelan yang hilang tiada ketahuan rimbanya. Kalau bukan orang dalam ya siapa lagi yang berani bertindak. Nggak takut kualat.
Satu lagi pertanyaanku pada beliau dengan bahasa Jawa nan halus: “Apa benar Sinuhun bahwa Pak Harto pernah masuk ruangan pusaka dengan memakai sepatu dan jas guna melihat pusaka kerajaan? Setahu saya menurut adat keraton hanya raja sendiri yang boleh memasukinya yang disertai dayang-dayang wanita yang sudah tidak haid lagi”. Beliau menjawab pendek: “Memang benar”. Tanyaku lagi: “Mengapa Sinuhun tidak mengingatkannya?” Beliau menjawab lagi:” Siapa berani. Khan seharusnya pendamping beliau yang mengerti tata krama keraton yang harus memberi tahu”. Kataku lagi:” Pak Harmoko, Menteri Penerangan yang wong Solo itu yang seharusnya ya Sinuhun.”. Beliau tidak menjawab dan hanya tersenyum. Memang Sinuhun agak rikuh menghadapi pak Harto karena atas jasa beliau keraton Solo yang berusia 200 tahun itu terbakar habis (1985) dan telah dibangun kembali atas prakarsa pak Harto.
Pertanyaanku lanjutan adalah: “Apa benar beliau minta sebuah keris andalan keraton”. Beliau menggangguk sendu. Kutanya lagi: “Apa sudah dikembalikan?” Dijawab serba pendek “Belum”. Pertanyaanku lagi: “Apa sudah pernah diminta sesudah beliau jatuh: Dijawab beliau: “Sudah, namun beliau minta ijin dipinjam”. Tuturku:”Wah, untuk melindungi pak Harto beserta keluarga dari geger politik saat itu”. Beliau hanya diam saja.
Beliau juga menanyakan asal-usul keluargaku dan beliau sedikit kagum kok orang Madura-Jawa masih bisa berbahasa Jawa halus. Kujelaskan juga bahwasanya saya ikut serta berpartisipasi dalam pengembangan agama Buddha di Indonesia di mana baik falsafah maupun budaya agama sangat mirip dengan budaya Jawa yang kini sedang merosot ke titik nadir. Beliau sangat mengagumi hal itu.
Sesudah beberapa lama beliau di tempat pesta maka saya mengantarkan beliau kembali ke hotel. Sesampai di hotel beliau memanggil sekretaris pribadinya, pak Sri, agar saya diproses untuk diberi penghargaan. Wah saya menjadi bengong tidak percaya sama sekali. Saya diminta mengirimkan Riwayat Hidup dengan segera. Namun hal ini tidak saya lakukan sampai pak Sri berkali-kali menelponku. Akhirnya apa yang diminta saya fax ke pengageng administrasi keraton. Sehabis itu tidak ada beritanya lagi.
Pada suatu hari saya diminta menemani Djohan Effendi, Ketua Indonesia Conference on Religion & Peace (ICRP) yang juga sahabat dekat Gus Dur, untuk ikut ke keraton Solo guna mengikuti upacara adat peringatan tahun baru Jawa, yang magis dan sakral, 1 Suro tahun 2000. Ditempat itulah, sebelum pusaka tombak-tombak dikirab (diarak) keliling tembok keraton dengan berjalan kaki tanpa sandal serta berbusana adat Solo hitam, Sri Susuhunan secara pribadi menyerahkan Surat Pengangkatan, dalam map warna hijau ke tanganku dan tangan Djohan Effendi. Dengan menyembah aku ucapkan “sembah nuwun sanget Sinuhun” (Terima kasih banyak Sinuhun). Surat Pengangkatan No. 43/K tertanggal 21 Oktober 2000 atau menurut penanggalan Jawa 22 Rejeb tahun Jumawal 1933.
Kubaca isinya yang mengagetkanku karena gelar yang kuterima adalah gelar bangsawan tinggi (Sentono Riyo Dhuwur) Kanjeng Raden Haryo (KRH) Endrokusumo. Mungkin gelar yang tinggi ini disebabkan karena gelar bangsawanan Maduraku yang Raden Panji dan bukan Raden biasa. Di Thailand gelar Raden adalah juga gelar bangsawan yang cukup bergengsi.
Biasanya yang menyerahkan Kekancing Dalem (Surat Keputusan) bukan Sinuhun melainkan Pangageng Parentah Karaton (Pejabat Istana) Gusti Pangeran Haryo Dipokoesoemo, putera beliau.
Tepat jam 12 tengah malam prosesi bergerak diterangi obor minyak diserta bau harum bunga melati semerbak serta dupa setanggi sampai menjelang subuh iringan tiba kembali di keraton. Rakyat menyemut melihat dan mengiringi iringan tersebut yang didahului oleh pasangan kerbau bule milik keraton yang disebut Kyai Slamet. Kotoran para kyai kerbau ini juga menjadi rebutan masyarakat karena dianggap bertuah.
Prosesi ini persis seperti ritual Buddhis pradhaksina mengelilingi stupa, candi atau uposathaghara untuk menghormat Buddha.
Beberapa kali saya masih berjumpa beliau di Jakarta dan sering berbicara dari hati ke hati. Beliau adalah seorang raja tanpa kekuasaan dan cuma sedikit harta. Apalah artinya itu. Pernah beliau curhat padaku bagaimana mungkin keputusan seorang raja (seperti beliau) seringkali dibantah oleh puterinya. Beliau merasa kewibawaannya di dalam keratonpun sudah surut. Sedangkan dalam budaya Jawa, Sabdo Pandito Ratu, tan keno wola-wali, yang artinya sabda seorang raja tidak bisa dirubah dan tidak boleh bolak balik.
Kewibawaan dan keagungan raja Jawa dilukiskan demikian indah dalam bahasa Jawa yaitu:
“Raja yang dikasihi para dewa, diperhamba bidadari, dekat dengan ulama dan disegani para raja. Raja yang menguasai pengetahuan luas namun tak merendahkan pengetahuan orang lain, memberi payung siapa yang kehujanan, memberi tongkat orang yang kelicinan, memberi pelita orang yang kegelapan”
Di sini seorang kepala negara atau raja dilukiskan sebagai orang yang adil dan berwibawa, murah hati kepada rakyat dan dicintai para ulama. Oleh karena itu, imajinasi orang Jawa terhadap pemegang kepemimpinan adalah mengayomi.
Beberapa teman yang mendengar saya mendapat gelar bangsawan ada yang sinis menanya: “Eh, kamu bayar (beli) berapa?” Kujawab santai: “Kalau disuruh bayar saya nggak doyan karena bukan diriku yang dihargai”. Banyak pejabat dan pengusaha sesudah menyumbang uang yang cukup banyak diberi gelar karena memang karaton banyak membutuhkan dana untuk berbagai upacara dan perbaikan serta belanja operasional. Maklum nggak ada penghasilan dari tanah-tanah keraton yang sudah diambil rakyat akibat revolusi sosial anti kerajaan tahun 1946.
Suatu hari saya mentraktir beliau dengan makan siang di Saung Kuring, Jakarta. Sesudah makan dan sesudah kembali ke hotel beberapa kali saya mengucapkan terima kasih seraya menghaturkan sembah seperti ber-anjali namun menyentuh hidung.
Esoknya ajudan beliau menelpon saya dan meminta saya menghadap di hotel Kartika Chandra, Jakarta.
Beliau bertanya kenapa kemarin saya berkali-kali mengucapkan terima kasih. Saya matur beliau bahwa menurut ajaran Buddha, bila seseorang memberi pada orang lain maka yang harus mengucap terima kasih adalah si pemberi dan sekali-kali bukan si penerima, seperti kebiasaan saat ini. Mengapa? Tanya beliau. Saya matur lagi bahwa sikap memberi adalah seperti sikap menanam. Sopo nandur mesthi ngunduh. Ngunduh wohing pakerti. Artinya siapa menanam mesti menuai, menuai buah kebajikannya. Langsung beliau mengerti maksudku dan beliau memuji diriku.
Pernah saya matur beliau tentang isu suksesi keraton: “Sinuhun, apa tidak sebaiknya Sinuhun mengusulkan pada Dewan Pangeran, agar mengusulkan tiga nama calon pengganti beliau. Sinuhun tinggal menetapkan saja kriterianya.” Hal ini untuk mencegah perebutan tahta seperti yang terjadi selama ini di beberapa keraton di Jawa karena faktor magis dan bukan seperti di Inggris atau Jepang. Beliau hanya menjawab: “Tidak, biarlah sejarah yang menentukan”.
Saya memahami hati beliau karena tidak sampai hati kalau melihat keturunannya berebut tahta karena putra-putri beliau 35 orang dari banyak istri namun tanpa pengangkatan seorang permaisuri. Hamengku Buwono IX juga tidak mengangkat permaisuri dari kelima istrinya.
Beliau wafat pada 11 Juni 2004 pada usia 85 sesudah bertahta selama 59 tahun. Dalam sejarah kerajaan Mataram beliau adalah raja terlama namun dalam kondisi yang menyedihkan. Hatiku sangat sedih mendengar berita itu. Aku berangkat ke Solo via Jogja dan langsung masuk keraton duduk simpuh di depan jenasah sang raja. Sebagai raja Jawa maka jenasah beliau berpakaian Jawa dengan busana raja, dan tidak dikafani layaknya orang Islam. Semua raja Jawa diperlakukan demikian halnya. Sampai hari ini semua raja-raja Jawa yang sudah dinobatkan tidak boleh naik haji ke tanah suci Mekkah dan Madina. Kenapa???
Jenasah beliau dimakamkan di pemakaman raja-raja di Imogiri Jogja di bagian Kasunanan. Sedangkan di bagian lain adalah wilayah makam raja-raja Jogjakarta, sedang ditengahnya adalah makam Sultan Agung Hanyokrokusumo, seorang raja Jawa terbesar.
“Tiada yang kekal di dunia ini. Semuanya akan berubah dan hancur.”
Tepat seperti ramalan saya ketika memberi saran Sinuhun, maka saat ini di keraton Solo terdapat dua raja yang saling berebut tahta, yaitu Sinuhun Hanggabehi dan Sinuhun Tejowulan yang keduanya mengklaim diri mereka sebagai Sri Susuhunan Surakarta Hadiningrat Pakubuwono XIII. Apa karena angka 13 yang sial?
Demikianlah adanya. Memperebutkan tahta tanpa wibawa, kuasa dan tanpa harta.
Sumber: Jayamedho, Bhikkhu. Menapak Pasti: Kisah Spiritual Anak Madura. Edisi Revisi. Jakarta: Penerbit CENAS, 2015, Bab 22 “ABerjumpa Raja Keraton Surakarta”, hlm. 300–306.