Bab 23
Salah satu cita-cita yang terus terpendam dan tersemai dalam tumpukan obsesi saya sebagai anak bangsa adalah terwujudnya tatanan masyarakat yang beragam, namun sejatinya memiliki kesamaan dalam memandang pentingnya kesatuan hidup berbangsa dan bernegara. Sungguh ideal andaikata semua anak bangsa memahami perbedaan yang ada dan selanjutnya perbedaan itu menjadi dasar bagi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Perbedaan semestinyalah bukan dipandang sebagai pertentangan malah sebaliknya, karena akan menjadi bencana bagi kesatuan bangsa. Semestinyalah kerukunan bersifat luhur adanya, menjadi mimpi semua warga bangsa yang terlanjur beraneka warna ini.
Mau tidak mau, menghargai adanya perbedaan adalah prasyarat untuk mewujudkan kerukunan. Di dalamnya termasuk sikap mempersilakan pihak lain untuk secara bebas mengekspresikan keyakinan yang menjadi hak-hak yang melekat pada mereka baik secara individu, maupun apalagi secara kelompok. Gagasan-gagasan demikian ini sesuai dengan ide multikulturalisme yang kini sedang hangat diperbincangkan di berbagai negara, tidak terkecuali Indonesia. Kerukunan antar umat beragama adalah salah satu obsesi yang mungkin bukan hanya milik saya seorang, melainkan menjadi obsesi semua orang yang perhatian terhadap kekayaan karakter budaya yang melekat di tubuh bangsa Indonesia.
Saya sejak dari muda sudah memiliki ketertarikan pada bidang dialog antar iman (interfaith dialog). Paling tidak, seperti disinggung pada bagian terdahulu, ini dibuktikan dengan keikutsertaanku dalam pertemuan tokoh agama di tahun 1967 di Bandung atas prakarsa Pangdam Siliwangi Jenderal Dharsono (Pak Ton) pasca meletusnya peristiwa 1965. Belakangan jenderal ini dikenal getol mengkritik kebijakan sentralistik dan otoriter Soeharto, dengan kelompok Petisi 50-nya. Saya bersama sejawat dan sahabatku, Mochtar Rashid sewaktu pertemuan di Bandung itu duduk berdampingan dengan tokoh umat agama lain. Kami berdua sekalipun masih belia, dipercaya oleh Karbono mewakili komunitas Buddhis. Umat Buddha waktu itu berada dalam situasi terpojokkan akibat stigma kedekatan dengan Baperki.
Sejauh dapat ditangkap, tidak banyak figur dalam Magabudhi yang suka memilih atau mengambil pilihan bergaul dengan umat dari agama berbeda. Saya malah sengaja aktif dalam wilayah ini dan juga melibatkan diriku secara penuh dalam sebuah organisasi seperti Masyarakat Dialog Antar agama (Madia), maupun kemudian disusul pendirian Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP). Dua organisasi ini berkedudukan di Jakarta.
Kedua organisasi di atas ber-orientasi pada penyemaian kerukunan antar umat beragama melalui strategi dialog antar agama. Kedua organisasi ini dipenuhi oleh para aktivis LSM, usahawan, birokrat pemerintah dan juga para professional. Saya yang berlatar profesional mencoba menyesuaikan diri dalam kondisi seperti itu. Diriku harus menyesuaikan dengan pemikiran para kolega yang berlatar belakang berbeda. Awalnya, kurasakan gaya berpikir terutama kalangan LSM begitu rumit dan sukanya berkata berliku-liku. Kadangkala berupa hasil serapan dari berbagai buku yang relatif baru, dunia yang kurang akrab di kalangan profesional yang lebih dekat dengan masalah pemecahan masalah. Gaya berpikir para aktivis cenderung idealis dan terlalu asyik dalam liukan intelektual (intellectual exercise) ini lama-kelamaan menarik bagiku yang selama ini relatif terlatih berpikir strukturalis. Pikiran seperti ini sederhana saja untuk merengkuh sebuah tujuan yang dapat dicapai, menghindari banyak perdebatan, sebab hanya akan membuang energi dan melenakan target yang seharusnya dicapai.
Awal masuknya di lembaga di atas apabila diurai, diawali dari perkenalanku dengan figur Djohan Effendi, Menteri Sekretaris Presiden era Presiden Abdurrahman Wahid. Djohan Effendi waktu itu dekat sekali dengan Bhikkhu Pannavaro, seperti juga dekat dengan umat agama lain. Tokoh-tokoh dari agama-agama yang berbeda itu dapat menyatu bersama-sama dengan Djohan Effendi untuk saling berdialog bersama yang setara. Pertemuan pun sering terlaksana dengan kehadiran banyak tokoh agama. Harapannya tentu lahir sebuah pemahaman baru dari hasil pertemuan dengan umat agama berbeda. Saya sering mendatangi forum seperti ini dan bertemu dengan Djohan Effendi dan tokoh agama tingkat nasional lainnya.
The Millenium Religious World Summit
Aktivitas di dunia lintas iman yang kugeluti ternyata membawa pengalaman yang sangat berkesan. Kenyataan ini tidak jauh dari terbukanya kesempatan menghadiri sebuah event sangat besar, pertemuan agama sedunia yang dihelat di gedung Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York tahun 2000. Semula dari Buddhis telah ditunjuk Bhikkhu Pannavaro Mahathera. Akan tetapi beliau pada saat yang ditentukan ternyata memiliki agenda lain. Karena itu diwakilkanlah kepada saya. Bersama rombongan pemuka agama lain yang dikoordinir oleh MADIA (Masyarakat Dialog antar Agama), berangkatlah delegasi Indonesia ke New York. Beberapa nama yang berangkat bersama-sama waktu itu antara lain Romo Ismartono (Katolik), Pendeta Yewanggu (Protestan), Gde Natih (Hindu) dan Pangeran Djatikusumah (aliran Kepercayaan – Sunda Wiwitan).
Kami berangkat bersama dari Bandara Soekarno-Hatta, di akhir Agustus 2000. Perjalanan dari Jakarta terlebih dahulu transit di Belanda. Tiba di Bandara Schipol, Amsterdam jam 4 pagi waktu setempat dan dijadwalkan perjalanan akan dilanjutkan pada pukul 8 malam. Alamak, semua saling celingukan kemana menghabiskan waktu seharian ini? Terpaksalah saya usul untuk menghabiskan waktu jalan-jalan di kota Amsterdam sesudah sarapan pagi.
Kota Amsterdam pada waktu itu memasuki pertengahan musim panas. Tampak deretan bangunan kuno khas Eropa bersanding dengan gedung-gedung perkantoran yang berdesain kontemporer. Hal ini ditopang juga dengan sistem transportasi yang sangat memadai. Kendaraan bermesin begitu mesra bersanding dengan kendaraan angin seperti sepeda ontel. Kendaraan sepeda angin berlalu lalang dengan bebasnya. Para pejalan kaki pun tampak asyik dan leluasa berjalan, tanpa harus memikirkan keselamatannya menghindari senggolan kendaraan yang lewat di trotoar.
Setelah cukup puas menikmati udara Amsterdam, walaupun tidak terlalu lama, sore hari pukul 17 kami kembali lagi ke Schippol Airport. Sesuai jadwal, malam harinya langsung terbang menuju New York. Rombongan tiba di Bandara JF. Kennedy, New York jam 12 tengah malam waktu setempat. Sekali lagi seluruh anggota rombongan sempat saling pandang, tanda kebingungan sebab tidak ada yang menjemput. Akhirnya semua bersepakat untuk naik taksi menuju lokasi acara. Dengan naik taksi rombongan ini menuju Waldorf Astoria, hotel tua yang sangat terkenal dan biasa ditinggali oleh pemimpin negara dan selebriti dunia.
Setiba di hotel, dengan paras wajah kelelahan rombongan ini masih disibukkan urusan administratif. Lebih dua jam mengurus, namun tidak kunjung ada berita dari resepsionis hotel. Terpaksalah mereka langsung menghubungi panitia dan akhirnya menjelang subuh barulah mendapat Hotel Holliday Inn yang cukup bagus. Segera rombongan bergegas ke hotel yang dimaksud. Keesokan harinya, pada waktu sore rombongan dari Indonesia ini bergabung dengan delegasi dari negara lain menuju gedung pertemuan dengan mengambil tempat di Balai Sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Cukup mengagetkan saya bahwa di depan gedung PBB itu sekelompok demonstran dengan rapi dan sopan meneriakkan yel-yel “Free Tibet”, yang jelas guna menarik perhatian delegasi sedunia. Saya melihat demonstrasi itu tersentuhlah hatiku dengan perjuangan HH Dalai Lama yang terusir dari negerinya, dan hingga kini masih tetap berdiam di pengasingan. Di tempat lain yang tidak berjauhan, saya agak tergelak melihat anggota delegasi dari berbagai agama dan negara datang berbondong memasuki halaman Gedung PBB. Saya tergelak karena timbul dalam ingatanku seperti layaknya pengikut karnaval dengan pakaian warna-warni dalam berbagai bentuk kostum. Biarpun se-agama, para pemimpin itu berpakaian berbeda-beda yang menunjukan identitas keyakinannya masing-masing. Demikian ini kulihat sebagai ekspresi aliran Buddhis yang begitu banyak. Sayang HH Dalai Lama tidak diundang karena tentu saja panitia ketakutan akan ancaman boikot pemerintah RRC. Hal itu juga disayangkan oleh Nelson Mandela pada kata sambutannya yang mana keduanya adalah pemenang Hadiah Nobel Perdamaian.
Pemimpin-pemimpin agama yang hadir mewakili agama dunia seperti Bahai, Buddhis, Kristen, Konghucu, Hindu, Islam, Sikh dan Zoroasterism. Satu lagi yang juga hadir adalah kelompok agama pribumi atau agama asli (indigenous belief) yang diberi tempat dalam konferensi tersebut. Untuk Indonesia, kategori agama asli ini diwakili Pangeran Djatikusumah dari Penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan, Cigugur, Kuningan, Jawa Barat. Nama yang disebut terakhir ini malah bergabung pada pembacaan doa menurut kepercayaan asli kaum Indian Amerika. Konferensi itu juga menyingkap fakta di seluruh dunia, kelompok kepercayaan ini mendapat tekanan berat dari agama “import” yang merasa dirinya “paling benar” dan menyingkirkan berbagai macam adat budaya leluhur asli setempat sebelum agama import datang.
Saya sendiri sangat terkesan mengikuti agenda Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam menyambut pergantian abad itu. Perwakilan agama dari sebagian besar penjuru dunia hadir untuk memikirkan cara terbaik untuk mencegah konflik yang menyinggung agama. Acara demi acara kulewati tanpa lelah dan tanpa pernah melewatkan berdiskusi dan berbincang dengan beberapa orang penting. Pada sebuah acara makan, saya sempat bertemu Sekjen PBB Kofi Annan dan berikutnya cucu Mahatma Gandhi.
Dalam konferensi itu, delegasi Indonesia memaparkan ”konflik antar umat beragama” di Ambon dan Poso, yang dibawakan oleh Romo Ismartono dengan didampingi oleh anggota delegasi Indonesia lainnya di Hotel Waldorf Astoria. Dijelaskan kepada forum bahwa di sana tidak ada “perang agama”. Agama hanya dijadikan legitimasi untuk menaikkan eskalasi konflik. Apabila mengikuti analisis Gerry van Klinken (2006) yang mengutip teori konflik Ted Gurr dalam melihat konflik Ambon sebagai apa yang disebut ”communal contender”, maka memanglah bukan konflik agama. Ted Gurr dan koleganya (1993), setelah menyelesaikan studi konprehensif terhadap konflik komunal di berbagai belahan dunia, menemukan bahwa 42% konflik di Sub Sahara Afrika adalah menjadi alat politik kelompok komunal. Pemimpin mereka memanipulasi etnisias bukan untuk memisahkan diri dari negara, melainkan untuk merengkuh kekuasaan negara yang lebih besar untuk diri mereka. Di dalam konflik itu sendiri sebetulnya bukan semata massa di satu pihak berhadapan dengan massa di pihak lain. Pada konflik itu terselip secara kasat mata kompetisi antar elite yang sangat berkepentingan dalam merebut sumberdaya, baik politik maupun ekonomi.
Dalam forum yang dinamakan ”The Millennium World Peace Summit of Religious and Spiritual Leaders”, yang diselenggarakan PBB, 28-29 Agustus 2000 itu mempunyai sederetan tujuan antara lain, menciptakan forum yang menghimpun ratusan tokoh agama dan tradisi besar dunia untuk berkumpul bersama di PBB, yang untuk pertama kalinya dalam sejarah dan mencatatkan sebuah komitmen besar untuk aksi nyata bagi tercapainya kedamaian dunia. Komitmen itu kemudian diwujudkan dalam Deklarasi Perdamaian Dunia (Declaration for World Peace) yang ditandatangani oleh segenap peserta. Tujuan lainnya seperti dituturan Bawa Jain, Sekretaris Jendral Pertemuan, adalah untuk meng-identifikasi cara-cara yang dapat ditempuh supaya komunitas agama dan spiritual di seluruh dunia bisa bekerja sama dalam jalinan antar iman dengan PBB dalam inisiatif-inisiatif perdamaian, penanggulangan kemiskinan dan antisipasi kerusakan lingkungan.
Dikatakan pertama kalinya dalam sejarah yang dihelat PBB memang bukan berlebihan. Tentulah membutuhkan biaya besar untuk mendatangkan ribuan tokoh agama dari berbagai unsur agama dan iman seantero dunia. Berbagai macam tradisi ke-imanan dunia diundang seperti Bahai, Buddhis, Indigenous, Islam, Jainisme, Judaisme Kekristenan, Konfusianisme, Hinduism, Shinto, Sikhism, Taoism dan Zoroastri-anism. Pemimpin spiritual dan tokoh agama dari wilayah konflik tidak lupa turut pula dihadirkan seperti dari Sierra Leone, Balkan, Indonesia, Ethiopia, Philipina, Rwanda and Sudan. Mereka diundang untuk mendiskusikan apa yang dapat diperbuat tokoh spiritual dan agama dalam meredakan ketegangan akibat konflik. Di antara undangan yang hadir, selain delegasi dari Indonesia tentunya, antara lain Yang Mulia Francis Cardinal Arinze—President Pontifical Council for Inter-Religious Dialogue di Vatican, Yang Mulia Samdech Preah Maha Gosananda—seorang Buddhis nominee Nobel Prize, Yang Mulia Abdullah Salaih Al-Obaid—Sekretaris Jendral Muslim World League, Kepala Rabbi Israel Meir Lau, Yang Mulia Dr. Mustafa Ceric—Grand Mufti Bosnia, Pendeta Konrad Raiser—Sekretaris Jendral World Council of Churches (WCC), Swami Dayanand Saraswati—perwakilan Shankracharya dari India dan masih banyak lagi.
Pertemuan ini juga dihadiri Thich Nhat Hanh, bhikkhu dari Vietnam yang dalam rentang waktu sekian lamanya menjadi penggerak kegiatan kontemplatif. Pada forum itu figur ini dipercaya memimpin meditasi berjalan (walking meditation) untuk kedamaian dunia mulai jam 15.30-16.00. Meditasi berjalan merupakan praktik Buddhis kuno yang terkait langkah untuk pencapaian kewaspadaan dan kehati-hatian (mindfulness), ketenangan (calm) serta kejernihan (clarity). Panitia sengaja mengajak peserta untuk melakukan meditasi bersama-sama sebagai simbol perjalanan kontemplatif untuk mencapai tujuan dunia yang damai. Selama Perang Vietnam, Thich Nhat Hanh bekerja tanpa lelah untuk melakukan rekonsiliasi antara Vietnam Utara dan Vietnam Selatan. Usahanya ini menggerakkan Martin Luther King Jr. untuk mencalonkan dirinya penerima Penghargaan Nobel Perdamaian di tahun 1967.
Pertemuan tokoh agama dunia ini didanai antara lain oleh Yayasan PBB (Better World Fund), Ted Turner, Ford Foundation, Ruder Finn, Rockefeller Brothers Fund, Carnegie Foundation, Modi Foundation, dan Greenville Foundation. Selain itu, beberapa kelompok agama juga menyediakan makanan dan barang (in-kind contributions).
Pertemuan itu menghasilkan beberapa komitmen yang ditandatangani bersama para agamawan yang hadir. Komitmen itu antara lain mengutuk segala bentuk kekerasan yang mengatasnamakan agama dan sepakat meninggikan nilai kedamaian agama, etnis dan kelompok kebangsaan untuk menghargai hak kebebasan beragama. Butir komitmen lainnya pernyataan untuk bekerja sama dengan PBB dalam meraih kedamaian, menyuarakan penghapusan kemiskinan dan pemerataan akses terhadap pendidikan, kesehatan, serta tidak lupa pula kesempatan untuk meraih kehidupan yang aman dan berkelanjutan. Selain itu, para peserta juga membubuhkan tanda tangan untuk mendidik komunitas mereka untuk memprioritaskan perlindungan terhadap lingkungan.
Presentasi penandatanganan komitmen itu dilangsungkan pada hari kedua yang juga diiringi sambutan Sekjen PBB Kofi A. Annan, Ketua Kehormatan Pertemuan, Ted Turner dan beberapa agamawan terkemuka seperti Francis Cardinal Arinze dari Vatican, Abdullah al-Obaid, Sekjen Liga Muslim Dunia, Kepala Rabbi Israel Meir Lau, Bhikshu Kuni Kumiaki, Pendeta Jingu Daiguji dari Ise dan Pendeta Konrad Raiser. Delegasi dari Indonesia juga tidak terlewatkan turut membubuhkan tanda tangan mereka.
Sumber: Jayamedho, Bhikkhu. Menapak Pasti: Kisah Spiritual Anak Madura. Edisi Revisi. Jakarta: Penerbit CENAS, 2015, Bab 23 “Kontribusi dalam Dialog Antar Iman”, hlm. 307–314.