Bab 24

Bab 24

Center of Asian Studies (CENAS)

Membidani Kelahiran Center of Asian Studies (CENAS)

Suatu hari di awal tahun 2003, datang kepada saya seseorang anak muda yang biasa dipanggil Zaenal atau Eko yang saya kenal di ICRP, sebuah lembaga yang bergerak di dunia penguatan pluralism dan dialog antar agama di Indonesia. Lembaga ini semula bertempat di Jalan Percetakan Negara, Rawasari, Jakarta Pusat, sebelum berpindah ke komplek Percetakan Negara, Cempaka Putih Barat, Jakarta Pusat. Sebuah gedung perkantoran berlantai empat terletak di sebuah sisi jalan yang menghubungkan antara kawasan Salemba dan Rawasari. ICRP semula berkantor di lantai tiga di gedung tersebut. Setahu saya, kantor itu merupakan pinjaman dari seorang dermawan, pengusaha besar di Jakarta. Setelah tiga tahun menempati kantor tersebut, di awal tahun 2003, ICRP membeli sebuah rumah di kawasan Cempaka Putih Barat, untuk dijadikan kantor permanen lembaga ini. Saya sempat mengikuti rapat beberapa kali untuk memutuskan kepindahan kantor tersebut.

 

Saya dan Zaenal Eko lantas banyak berdiskusi soal spiritualitas, termasuk salah satunya di suatu senja di sebuah ruangan kantor milik seorang konglomerat yang terletak berdekatan dengan Bundaran Hotel Indonesia, ketika saya sedang ada pekerjaan di tempat itu. Diskusi itu termasuk menyenggol spiritualitas Buddhisme yang tidak terhindarkan juga terselip-selip menengok kekayaan Islam, utamanya dari sisi sufismenya. Seperti sudah dimaklumi khalayak, Buddhisme ternyata memiliki persinggungan dengan sufi, misalnya konsep zuhud dalam dunia sufi. Secara garis besar, menghadapi perubahan jaman, seseorang tidak musti gagap jika cukup tebal memiliki fondasi spiritual yang membawa pada penaklukan materialisme dan hedonisme, sebuah penyakit akut di jaman globalisasi ini. Penelusuran mengenai hal seperti ini telah dilakukan banyak sarjana, termasuk salah satunya Dr. Imtiyaz Yusuf, pengajar di Assumption University, Thailand, yang telah sekian lama meneliti relasi Ajaran Buddha dan Islam. Belakangan saya mengenalnya lewat lembaga yang kemudian di bentuk dengan nama Center of Asian Studies (CENAS). Dengan Imtiyaz, saya menyampaikan segala uneg-uneg saya mengenai spiritualitas ajaran Buddha dalam beberapa kesempatan, termasuk ketika saya berkesempatan pergi ke Bangkok tahun 2011 lalu. 

 

Zaenal Eko adalah lulusan Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta. Saya juga pernah kuliah di UGM, meskipun hanya satu tahun, tepatnya di tahun 1960, sebelum pindah ke Unpad Bandung. Cerita lengkap mengenai perjalanan kuliah saya telah di terangkaikan di bab satu. Minat pada dunia filsafat dan nilai-nilai Timur sering bersambungan dengan pandangan dan pikiran saya. Kebetulan kesibukan saya tidak lagi padat, setelah memasuki masa pensiun. Saat itu saya sudah memasuki masa pensiun dari pekerjaan saya sebagai professional, namun pikiran dan tenaga saya rupanya masih laku untuk dimanfaatkan membantu beberapa corporate, di antaranya beberapa bank swasta, perusahaan pelayaran di Samarinda dan terakhir distributor suplemen antiaging dari Jepang yang berkantor di Jakarta.


Tepatnya di sekitar tahun 2005 akhir, saya mendapat kabar bahwa Zaenal Eko dan kawan-kawannya tengah menggodok berdirinya sebuah lembaga baru yang mengkhususkan diri pada isu-isu khazanah pemikiran dan nilai-nilai Asia. Lembaga ini nantinya juga diperuntukkan sebagai oase untuk melestarikan pemikiran khas yang dimiliki masyarakat Asia, di tengah menguatnya ketegangan antara Islam dan Barat saat itu. Saya seketika itu juga merasakan memang perlu lembaga seperti ini supaya bisa mendamaikan relasi antar peradaban. Namun rupanya ide itu belum mengerucut.

 

Dialog Budddhis-Muslim di Bangkok

Kemudian ketika akan diselenggarakan dialog Buddhis dan Muslim di Bangkok pada Juni 2006. Dialog itu diselenggarakan oleh lembaga INEB impinan Sulak Sivaraksa yang bekerja sama dengan Just International dari Malaysia, yang dipimpin oleh Chandra Muzaffar. Saya tahu rupanya masih ada satu slot peserta dari Indonesia yang masih kosong. Saya menawarkan kepada Zaenal apakah mau mengisi slot tersebut dan berangkat bersama ke Bangkok. Saya menuliskan permohonan kepada panitia untuk mengundang Zaenal. Akhirnya nama Zaenal diterima untuk mengisi satu jatah dari Indonesia itu. Salah seorang kawan lama saya, Teddy Prasetyo yang telah puluhan tahun bermukim di Bangkok membantu proses perjalanan ke Bangkok kali ini. Dalam forum dialog di Bangkok itu, kami ternyata bertemu dengan Dr. Din Syamsuddin Ketua Umum Muhammadiyah, dan Dr. Amany Lubis dari UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Selama tiga hari, kami terlibat dialog untuk mencari solusi terbaik atas konflik yang sedang menghangat di wilayah Thailand selatan waktu itu.

 

Akhirnya, dialog selama tiga hari yang terselenggara atas kerja sama International of Engaged Buddhists (INEB) pimpinan Sulak Sivaraksa bekerja sama dengan International Movement for a Just World (JUST) pimpinan Chandra Muzaffar dan Santi Pracha Dhamma Institute (SPDI), atas dukungan Niwano Peace Foundation itu menyepakati keluarnya “Deklarasi Dusit” yang berjumlah sebelas butir menyangkut sugesti moral dan juga langkah mendesak yang harus segera dilakukan untuk mengakhiri konflik di wilayah Thailand Selatan itu. Di sesi penyusunan rekomendasi ini, saya terlibat secara aktif beserta beberapa tokoh kunci dari perwakilan masing-masing negara peserta.

 

Salah satu butir rekomendasi yang layak diperhatikan adalah dialog itu memberi dukungan atas rekomendasi National Reconciliation Commision (NRC), pimpinan mantan PM Anand Panyarachun yang beranggotakan 48 orang dari berbagai latar belakang. Komisi independen bentukan mantan PM Thaksin Sinavatra ini menandaskan bahwa agama bukanlah penyebab dari kekerasan di bagian selatan Thailand. Ketidak adilan proses hukum dan sistem administrasi serta kemiskinan dan pencabutan hak warga selatan adalah antara lain faktor dominan yang menyulut kekerasan. Faktor lain yang turut memperumit situasi adalah kondisi sejarah dan kebudayaan. Sinyalemen ini juga secara apik dipotret Michael Gilquin dalam The Muslims of Thailand (2005) yang mencatat, “…family cohesion among Muslims is greater than among other Thais and the number of divorces lower. One consequence may be a markedly higher birthrate among Muslims than among Buddhists (p. 26). 

“Spiritualitas bukan hanya jalan sunyi dalam gua — ia juga bisa hadir dalam riset, diskusi, dan kerja sama antar budaya yang mempererat sesama umat manusia.”

Butir rekomendasi dialog penting lainnya, para bhikkhu, ulama serta para pemimpin Buddhis dan Muslim umumnya di tiga propinsi tersebut harus duduk bersama melumerkan pembatas yang menciptakan jurang antara komunitas Buddhis dan Muslim dan membangun pemahaman antara dua komunitas tersebut.

 

Muncul pengakuan penting dari seorang Muslim bernama Zakaria dari Yala yang bertutur secara pribadi di tengah perhelatan dialog tersebut. Menurut pengakuan Zakaria yang juga punya nama dalam bahasa Thai, di ketiga propinsi selatan kebudayaan yang berkembang adalah budaya Melayu. Orang selatan umumnya memakai Bahasa Yawi dalam komunikasi sehari-hari, berbeda dengan Thailand Tengah maupun Utara yang memakai Bahasa Thai. Jika umumnya masyarakat Thailand merayakan 60 tahun naik takhta rajanya (tahun 2006), tidak demikian dengan masyarakat selatan. Menurut dia, foto raja tidak ada di selatan, kecuali dipasang oleh pihak kerajaan. Menurutnya pula, tidak ada pula warga selatan yang muslim memakai kaos berwarna kuning sebagaimana umumnya warga Thailand.


Pada saat ekskursi, peserta dialog juga sempat diajak berkunjung ke Masjid Tonson, di pinggiran Kota Bangkok, yang di belakang masjid itu terletak makam salah seorang Chularajamontri (penasihat Raja dari perwakilan Islam). Takmir masjid juga sangat terbuka menerima rombongan peserta dialog tersebut.


Sepulang dari kegiatan itu, rencana pelembagaan ide di atas rupanya terus dimatangkan. Zaenal bercerita bahwa waktu itu muncul juga dorongan dari Profesor Lasiyo dari Universitas Gadjah Mada dan juga dari Dr. Gde Natih, seorang Indologis, Phd holder dari Exeter University, Inggris yang waktu itu bekerja untuk Unesco. Maka disepakatilah akan dibakukan sebuah lembaga dan saya ditawari posisi sebagai penasihat.

 

Beberapa nama selain Zaenal Eko, juga ada Irsyad Zamjani, dan Agustinus Sudarmanto. Muncul juga seorang peneliti dari Jepang, Hisanori Kato yang mengkhususkan perhatiannya pada isu Islam fundamental dan liberal di Indonesia. Doktor sosiologi lulusan University of Sidney ini pernah diundang diskusi bersama di kantor Cenas, yang tidak lain adalah rumah saya sendiri. Saya tawarkan supaya menggunakan rumah saya sebagai kantor sementara, sembari menata organisasi. Nantinya jika sudah kuat, barulah mencari kantor sendiri.


Sambil mengisi hari demi hari di tengah derap industri di perusahaan perkapalan di Samarinda, Kalimantan Timur, dengan berjibaku mengurusi SDM di perusahaan tersebut, saya terus memantau perkembangan Cenas dari kejauhan. Saya mendorong supaya lebih banyak jaringan dengan lembaga lain, sebelum kita dikenal orang. Di awal tahun 2008, program bedah buku Dr. Kato mengenai hasil risetnya di Filipina Selatan dilaksanakan bekerja sama dengan CDCC, pimpinan Din Syamsuddin yang berkantor di kawasan Menteng. Saya datang ke acara itu, meskipun baru tiba dari Samarinda. Saya diminta untuk memberi sambutan di acara tersebut. 

 

Ide melakukan kegiatan mengenai relasi yang harmonis antara Buddhis dan Muslim terus terngiang di telinga saya dan terus mencari kemungkinan untuk bisa dilakukan kegiatan itu. Tim Cenas rupanya juga aktif menulis. Ketika PPM hendak menerbitkan buku Who’s Who PPM, penggarapannya saya tawarkan ke Zaenal dan kawan-kawan. Meski tidak memakai nama lembaga Cenas, namun administrasinya dikelola oleh lembaga. Sisa anggaran penulisan itu kemudian digunakan untuk riset awal (preliminary research) di Malang, Jawa Timur. Riset awal mengenai relasi Buddhis dan Muslim itu kemudian dilakukan di Kecamatan Kasembon, Malang. Saya mengajak Zaenal untuk turun ke lokasi dan melihat kemungkinan untuk dilakukan riset sesungguhnya. Benarlah, tidak lama kemudian tim Cenas melakukan riset di kawasan itu.

 

Namun, meriset di satu lokasi saja ternyata tidak cukup. Datanglah berita bahwa ide riset relasi Buddhis dan Muslim di Indonesia, ternyata mengundang ketertarikan HIVOS, salah satu lembaga dari Belanda. Saya turut senang, sebab saya turut mendorong teman-teman di Cenas supaya mendekati sumber dana dari luar Indonesia untuk mengusung ide tersebut. Sulit rasanya mengharap dukungan dari lembaga di Indonesia, melihat iklim usaha yang masih kapitalistik, keruk keuntungan sebesar-besarnya dengan cara memenuhi pundi-pundi deposito sendiri, juga sibuk meluberi isi kantong para petinggi Negara. Rasanya susah menyelipkan ide-ide yang sifatnya menukik, mendalam dan berimplikasi jangka panjang untuk basis data khazanah keilmuan di Indonesia, khususnya dari kalangan dunia usaha. Hal yang sama sepertinya tidak jauh berbeda di kalangan pengelola Negara. Sumber dana untuk riset sejauh ini belum beranjak dari sekedar menghabiskan anggaran departemen. Jika ditelusuri signifikansi riset-risetnya, umumnya masih jauh panggang dari api. Barangkali hanya bisa berharap, suatu hari nanti akan ada perubahan orientasi pemerintah untuk bekerja sama dengan kalangan swasta dalam hal penyelenggaraan riset. Begitu juga perhatian kalangan swasta. Saya sebenarnya mengimpikan perusahaan di Indonesia seperti perusahaan-perusahaan di Amerika Serikat atau di Negara lain yang menginvestasikan hartanya untuk kemajuan ilmu pengetahuan dengan aksi-aksi filantropi mereka.


Namun, mendengar Cenas bisa bekerja sama dengan salah satu lembaga dari Belanda, HIVOS, hati saya berbunga-bunga. Ide lama berarti telah tersemai, sekalipun berjalan baru dalam skala kecil saja. Apalagi setelah diadakan serangkaian diseminasi dan sosialisasi hasil riset, hingga menjadi buku, saya bertambah terkesan, terutama setelah buku hasil riset tersebut dapat beredar di toko-toko buku besar di Indonesia. Buku tersebut berjudul: “Berpeluh Berselaras: Buddhis-Muslim Meniti Harmoni”, penerbit Kepik Ungu.


Hasil riset hubungan Buddhis-Muslim ini juga dipresentasikan diberbagai forum seperti di Univ. Gajah Mada-Jogja, Univ. Islam Sunan Kalijaga-Jogja, forum United Nations of Vesakh Conference, Bangkok 2011 serta di Jakarta yang disemangati oleh ceramah Dr. Imtiyaz Jusuf dari Bangkok tentang kedekatan ajaran Islam dan Buddha.

Sumber: Jayamedho, Bhikkhu. Menapak Pasti: Kisah Spiritual Anak Madura. Edisi Revisi. Jakarta: Penerbit CENAS, 2015, Bab 24 “Center of Asian Studies (CENAS)”, hlm. 315–320.

TRANSLATE