Bab 4

Bab 4

Anak dan Cucu Tersayang

Semula saya memang tidak berniat menikah karena bercita-cita menjadi bhikkhu saja. Sebelumnya beberapa kali pacaran namun selalu kandas antara lain karena masalah agama. Saya tidak mau menggadaikan agama untuk ”cinta”. Namun hukum karma berbicara lain. Akan tetapi daku selalu berpedoman pada frase kaum eksistensialis, alone but not lonely. Saya selalu menyeimbangkan sebagian waktu untuk urusan pekerjaan, sementara sisanya diimbangi dengan relaksasi dan pemenuhan spiritual.

 

Kedekatan dengan kalangan seniman, terutama ketika masih giat bekerja secara penuh, memberikan kesegaran baru bagiku di tengah kepenatan di dunia kerja. Karena itu dulu begitu dekat dengan sosok penyanyi seperti Hetty Koes Endang, Harvey Malaiholo dan beberapa penyanyi lain. Selain itu juga dekat dengan kelompok Geronimo yang waktu itu cukup eksis. Tidak lain karena anak-anak Ibu Issudibyo berada di balik kelompok ini, sehingga saya sering mengikuti kegiatan kelompok ini.

Anak Angkat

Sewaktu bekerja di Indofood, bertemulah saya dengan seorang anak pria berpendidikan SMP di asrama piatu yang diasuh biarawan Katolik, Vicentius di Jl. Kramat Raya, Jakarta. Anaknya berkulit langsat, berwajah sendu dan baik. Saya kenal pastor pengasuh karena sering berdana pada anak yatim piatu di sana. Semula ia mengaku piatu, namun ternyata orangtuanya, bernama Robby Wuisan, berdiam di Jakarta dengan keluarganya dan berjiwa spartan (keras mandiri) dalam mendidik anak-anaknya. Anak itu bernama Febri Leindert Wuisan, anak Manado beragama Protestan. Beberapa kali berjumpa tanpa diketahui orangtuanya. Malah suatu hari saya berkunjung ke rumah orangtuanya ia gemetaran, dan untungnya ayah bundanya tidak ada di rumah.


Selepas SMP ia tinggal bersama orangtuanya, namun hubungan dengan ayahnya kurang serasi. Sewaktu duduk di SMA Kristen, Senen, Jakarta, setiap kali Febri berbuat ulah, selalu saya mengetahui dan menelpon guru atau kepala sekolahnya. Hal ini mengherankan pada dirinya. Rupanya saya memiliki ilmu telepati yang fokus kugunakan.


Akhirnya sewaktu duduk di kelas 2 SMA, kepala sekolahnya, ibu Kalalo meminta ayahnya agar anaknya dapat diasuh orang lain yang selama ini penuh perhatian padanya. Ayahnya terkejut mendengarnya. Namun sesudah diyakinkan, maka beliau setuju menyerahkan Febri ke saya. Suatu sore, dengan didampingi sopir kantor Indofood, Mas Habi, saya berkunjung ke rumah orangtuanya Robby Wuisan, untuk mengambil Febri sebagai anak angkat. Mas Habi menangis terharu melihat peristiwa ini karena tidak pernah terlintas dalam hatinya.

 

Atas kemauan sendiri Febri minta saran untuk mengganti nama keluarga dari nama Wuisan menjadi Endro. Saya tidak bisa mengangkat Febri secara legal menjadi anak angkat karena pengangkatan anak lebih dari usia 3 (tiga) tahun tidak dimungkinkan. Proses di Pengadilan Negeri dilakukan Febri sendiri dengan bantuan pengacara senior Purbadi, S.H., teman saya sewaktu kuliah di Universitas Gadjah Mada.

 

Semula Febri sangat marah dan dendam pada orangtuanya, namun saya menasihati bahwa hubungan biologis anak–orangtuanya tidak bisa terputus. Ia harus membuktikan bahwa menjadi anak saya harus menjadi anak yang lebih baik dan tetap hormat pada kedua orangtua biologisnya. Itulah cara balas budi terbaik menurut ajaran Buddha. Katannu katavedhi artinya, ”mengetahui kebaikan orang lain dan bisa membalas budi orang tersebut”.

 

Keputusan mengangkat anak ini juga sebetulnya menghambat keinginanku menjadi bhikkhu pada usia 50 tahun. Selama ini saya pandai berceramah tentang berbagai hal dalam permasalahan kehidupan berkeluarga. Namun sekarang tertantang dengan mengambil Febri dicoba membuktikan keteguhan, kesabaran, kasih sayang sebagai orangtua yang kadangkala berhadapan dengan kebandelan anak remaja. Syukurlah dalam perjalanan hidup, Febri tidak pernah terlibat pada narkoba meski banyak temannya yang menjadi korban dan di depan sekolah SMA-nya diketahui ada penjual narkotik.


Febri dapat dibimbing sampai meraih gelar Sarjana Ekonomi di Universitas Kristen Indonesia (UKI). Menjelang kelulusannya ia meminta ijin menikah namun kuijinkan dengan syarat harus lulus dahulu.


Pada tanggal 15 Februari 1998, secara Buddhis dinikahkanlah Febri di Gedung Serba Guna, Senayan dengan seorang gadis Manado, Maria Golkarina Pangemanan. Sebulan sebelum pernikahan Febri diwisuda sebagai upasaka oleh Bhante Subalaratano di Vihara Saung Paramita, Ciapus, Bogor. Semoga ia dapat menjalani sila dengan baik serta dapat mendidik anak-anaknya dalam jalan Buddha.


Seminggu sebelumnya, dilakukanlah upacara pernikahan di Gereja Protestan, Immanuel, Gambir. Di samping keluarga Manado, hanya saya saja yang mendampingi di gereja karena keluarga saya yang muslim minta ijin tidak mendampingi. Hal ini dikarenakan menurut fatwa MUI kaum muslimin tidak boleh mengikuti peribadatan agama lain. Namun mereka dengan penuh antusias hadir dalam upacara pernikahan (pawiwahan) secara Buddhis. Pemberkahan oleh Bhikkhu Pannyavaro didampingi Bhikkhu Sukhemo dan Bhikkhu Subalaratano. Orangtua kandung Febri bersedia menyalakan lilin di altar dan kedua pengantin berikrar secara agama Buddha. Pada waktu resepsi pernikahan, saya juga mengundang kedua orangtua Febri untuk ikut duduk di pentas guna menghormatinya. Nenek Febri sampai menangis tersedu tidak mengira bahwa cucunya mendapat kehormatan besar seperti itu dengan berpakaian kebesaran bangsawan Keraton Jawa.

 

Ada hal yang menarik dari upacara pernikahan tersebut. Menurut adat Manado, penyelenggara pernikahan adalah pihak pria, sedangkan menurut adat Jawa adalah pihak mempelai wanita. Permintaan kedua pengantin adalah pernikahan dengan adat Jawa. Nah, di sini diuji ketoleransian dan keharmonisan. Saya mengalah bahwa pihak wanita diskenariokan sebagai penyelenggara pernikahan adat Jawa lengkap dengan midodareni dan siraman. Demikian juga dengan acara panggih (pertemuan): injak telur, sungkem sampai pangkon dan tilik pitik. Saya yang punya gawe bertindak seakan-akan sebagai tamu saja. Waktu itu saya cukup pusing karena calon pengantin beda agama dan beda suku. Namun semua berjalan mulus sesuai filsafat Jawa:

“Iso ora iso yo kudu biso” — Bisa tidak bisa harus jadi bisa.

Barangkali di balik peristiwa pernikahan anak angkat saya ini memunculkan pertanyaan, mengapa pernikahan tidak dilaksanakan di vihara saja. Sebab pernikahan di tempat ibadah tentu lebih sakral kesannya, ketimbang pernikahan di rumah. Hal ini memang bukan tanpa kesengajaan. Saya sudah berkelana ke luar negeri bahwa tidak ada pernikahan Buddhis yang dilakukan di vihara namun dilakukan di rumah dan bersifat kekeluargaan.


Dalam perkembangan selanjutnya, saya sendiri ikut dalam tim penyusun tata upacara pernikahan Buddhis Theravada. Dalam buku tata upacara pernikahan itu, bhikkhu tidak diijinkan menjodohkan atau menikahkan karena ini merupakan pelanggaran berat. Karena itu di Indonesia dibentuk lembaga untuk mewadahi para upasaka; pandita sebagai pamong yang bertugas menikahkan umat. Bhikkhu hanya memberkati sepasang suami istri yang telah sah menurut hukum. Hal ini berbeda dengan agama Kristen bahwa pendetalah yang berhak menikahkan.

 

Saya menjadi penggiat pernikahan antar agama di Jakarta beserta teman-teman lain di ICRP (Indonesia Conference on Religion & Peace). Pernah saya menikahkan sepasang pengantin di Vihara Dhammacakka Jaya, Jakarta. Pengantin wanita kulit putih berkebangsaan Kanada beragama Buddha, sedangkan pengantin pria Jawa asal Jogja beragama Katolik. Pengantin wanita sangat ngotot minta pernikahannya dilangsungkan dengan upacara Buddhis sehingga semua pihak kelabakan. Untunglah mereka dapat menghubungi ICRP. Saya berkesimpulan, ”Ternyata bila kita saling toleran dan saling menghormati maka perselisihan akibat pernikahan antar agama dapat dihindarkan”. Kerukunan dan perdamaian adalah sumber kebahagiaan. Lebih jauh lagi, dari infotainment di televisi ternyata bahwa kesamaan agama bukan merupakan jaminan kelanggengan pernikahan.

 

Dari rahim Maria lahirlah Krishna Girinanda Endro, cucu pertama, dengan nama kecil Nanda, yang lahir tanggal 7 Januari 1999, empat hari sesudah Bhante Giri wafat. Karena itu ia kuberi nama Giri. Nyatanya sesudah besar badannya seperti giri (gunung). Pada waktu acara turun tanah dalam tradisi Jawa, Nanda kecil ditaruh di kurungan dan di sana ditebarkan kamus kecil warna merah menyala, bolpoin, uang warna hijau muda dan sebagainya. Apa yang diambil Nanda? Saya mengharapkan ia mengambil kamus merah, namun yang diambil uang warna hijau. Seketika saya bilang, ”Wah nanti mata duitan nih”. Pimpinan upacara bilang, ”Yang positif pak, kelak menjadi Menteri Keuangan”. Semogalah begitu. Namun dalam perkembangan remajanya ternyata ia mata duitan. Suka jajan dan mentraktir teman-temannya. Malah dengan adiknya agak pelit.


Cucu kedua lahir tanggal 18 Juni 2000 dan diberi nama Gabriella Endro, dengan nama kecil Gaby, karena ibunya tergila-gila cerita bersambung sinetron Gabriella yang mengharukan. Dalam pertumbuhannya ia sangat rajin, cerdas dan selalu memiliki target. Ia suka seni tari dan musik.


Sewaktu berusia 8 tahun ia ditanya olehku. Siapa idolamu. Ia jawab, ”Yangkung”. Kenapa? tanyaku. Dia menjawab, ”Yangkung masuk TV, koran, majalah dan banyak duitnya”. Pernah ditanya lagi, ”Bolehkah Yangkung jadi bhikkhu?” Jawabnya, ”Tidak boleh”. Sesudah berargumentasi maka selanjutnya Gaby menjawab, ”Boleh, tetapi ATM-nya kasih saya dulu dong”. Pintar juga anak kecil ini.


Bagi saya sendiri, hikmah yang diambil bagi pasangan yang tidak memiliki anak adalah, dengan tulus dan kasih sayang sepenuhnya Anda bisa mengasuh anak lain yang membutuhkan dengan asuhan seperti anak sendiri. Sewaktu mengambil Febri, seorang familiku sempat bilang, ”Mas sekarang banyak lho anak tiri yang kejam. Berhati-hatilah”. Saya menimpalinya, ”Anak kandung yang kejam juga nggak kurang kok”. Saya meneguhkan bahwa memang harus memercayai Hukum Karma, akibat perbuatan dahulu (before life) dan perbuatan sekarang (current life) yang berbuah pada kehidupan mendatang (next life). Hal ini sesuatu yang tidak ditekankan dalam Abrahamic Religion. Pada agama-agama Timur terdapat keyakinan tentang kehidupan lain setelah kematian (Life After Life – Rebirth). Hal ini bisa menjawab pertanyaan: ”Kenapa saya begini dan dia begitu”. Takdirkah? Karmakah? Nasibkah? Siapa yang menentukan?


Sering saya dalam nasihat pada berbagai upacara perkawinan menekankan bahwa kebahagiaan rumah tangga hanya dapat tercipta bilamana pasangan lebih banyak memiliki positive mind daripada negative mind. Ibaratnya mendirikan rumah, maka perlu pilar-pilar penyangga atap tempat berteduh penghuninya, yaitu saling mendukung, saling memaafkan, saling menerima apa adanya. Jika saling menuntut, hal itu tidak lain merupakan bibit ataupun karat yang merusak dan menghancurkan rumah tangga.


Karena itu logika harus lebih banyak dikemukakan daripada emosi. Kesabaran adalah ladang penghayatan agama yang paling sukar namun dengan hasil yang paling besar.

Anak Angkat Lain

Di akhir tahun 1990-an terjadi peristiwa lain yaitu saya mengenal remaja Bali yang sedang menempuh pendidikan militer di TNI AU di Yogyakarta. Anak ini biasa dipangil I Nyoman Swardhita. Nenek
Nyoman adalah kakak ipar Bhikkhu Girirakhito Mahathera dari Banjar, Singaraja. Saya kenal Nyoman dari
Ida Bagus Doni, cucu Bhikkhu Girirakhito yang sedang kuliah di Jogja.


Sewaktu saya berkunjung ke Vihara Mendut, Muntilan sehabis merayakan Asadha tahun 1996, saya dijemput Doni dan Nyoman untuk diantar kembali ke Jogja. Pengalaman buruk terjadi. Di kala sesudah parkir di sebuah restoran, mendadak mobilnya macet tidak bisa di-starter. Si kadet Nyoman tidak berani turun membantu dorong karena di belakangnya ada mobil dinas AU dan sebagai kadet tidak boleh mendorong apapun. Terpaksalah saya yang dorong, Nyoman duduk bak raja dan Gus Doni yang nyetir. ”Model begini mau jadi anak angkat saya. Lucu atau tidak sopan?”, kenang saya sambil tertawa terbahak.


Nyoman Swardita ditinggal mati ayahnya yang Letnan AD di kala usia 5 (lima) tahun di Cipanas, Bogor. Karena itu dalam pergaulan selanjutnya ia mengungkapkan ingin menjadi anak angkat saya dan memaksa berkunjung ke rumahku sewaktu liburan akademik. Dasar mudah bergaul, maka ia mudah saja diterima di keluarga besar saya. Apalagi ibu Nyoman dan kakak-kakaknya juga menyatu dengan keluarga saya. Beberapa kali Nyoman menjalin cinta namun selalu mengalami ketidak-berhasilan, antara lain sewaktu lulus akademi (wisuda) tahun 2000 di halaman Istana Merdeka, ia ditemani gadis manis bernama Dewi beragama Islam. Karena masalah agama, maka dengan baik-baik perjodohan tidak dilanjutkan.


Kepada Nyoman, saya lebih banyak membantu secara moral spiritual guna bekal hidupnya sebagai militer yang berbeda dengan sipil. Saya selalu mengatakan: ”Aku pernah muda, namun kau belum pernah tua”.


Pada waktu tulisan ini dibuat, Kapten (POM) AU I Nyoman Swardhita baru saja melangsungkan upacara pernikahan secara agama Hindu dengan Sersan Dua (Serda) Ni Komang Ayu Suartini tanggal 19 Desember 2009 di Desa Banjar, Singaraja dan resepsi yang meriah dengan pedang pora perwira Angkatan Udara dilangsungkan di pelataran Vihara Brahma Vihara, Banjar yang dibangun Bhikkhu Girirakhito. Ternyata bapak angkat Ayu, Marsekal Gde Sedhana, mantan Wakil KSAU, pernah saya kenal sewaktu mengurus jenasah Bhikkhu Girirakhito yang akan dibawa ke Bali dengan menggunakan pesawat Hercules TNI AU. Di sini saya berkeyakinan, ”kalau kita punya nama baik maka akan membuka jalan hidup kita diwaktu mendatang. Baik untuk diri sendiri, anak cucu ataupun sahabat lain yang akan ikut menikmatinya”.

 

Keluarga ”Pancasila”

Di tengah keluarga saya, terutama dalam hal penghayatan agama terdapat empat agama, yaitu Buddha (keluarga saya sendiri), Islam (orangtua dan adik kakak saya), Protestan (keluarga orangtua Febri & Maria), dan Hindu (keluarga Nyoman Swardhita). Hikmahnya, cucu-cucu saya mempunyai keistimewaan mengenal semua agama beserta ritualnya. Mereka terbiasa menyesuaikan diri apabila misalnya ada pembacaan doa bagaimana dengan sikap tangannya. Cucu–cucu ini sekarang malah bersekolah di sekolah Katolik. Lengkaplah sudah kebhinnekaan dalam keluarga ini dan menjadi bukti terbangunnya semboyan ”Bhinneka Tunggal Ika”

 

Pernikahan Antar Agama

Pernikahan dalam agama Buddha bersifat sekular karena Sang Buddha tidak pernah mengajarkan tata cara ritual pernikahan. Sang Buddha hanya mengajarkan bagaimana mencapai kebahagiaan rumah tangga bilamana memenuhi syarat–syarat:

  1. Samma Saddha, sebanding keyakinannya (bukan sama agamanya) dengan pandangan yang benar. Sama agamanya tidak menjamin tidak terjadinya perceraian. Berbeda agama namun mempunyai keyakinan yang sama tentang makna dan tujuan pernikahan serta cara mempertahankan kasih sayang, saling mendukung dan menghormati serta saling memaafkan sangatlah menentukan.
  2. Samma Sila, sebanding dalam perilaku mempertahankan kesusilaan lima sila (Pancasila) Buddhis, menghindari tindak kekerasan badan (KDRT = kekerasan dalam rumah tangga), menghindari tindak pencurian, menghindari perselingkuhan dan perzinahan, menghindari kebohongan, ucapan kasar serta fitnah, menghindari makan minum yang memabukkan serta mendatangkan ketagihan.
  3. Samma Caga, sebanding kedermawanannya. Keduanya memahami makna sikap dermawan dan berdana pada mereka yang patut dibantu, baik perorangan maupun institusi. Dengan landasan keyakinan pada Hukum Karma maka segala bentuk kedermawanan dapat dilakukan dengan tulus ikhlas, tanpa atau sedikit pamrih serta hanya dilandasi atas keyakinan (saddha) semata. Orang Islam menyebut La Illahi ta’ Allah. Semata–mata karena Allah.
  4. Samma Panna, sebanding kebijaksanaannya, selalu berlaku bijak dalam pikiran, ucapan dan perbuatan. Sebuah perilaku yang tidak dikendalikan oleh kekotoran batin seperti keserakahan, kemarahan, kebencian, kecemburuan dan kegelapan batin lainnya.

Menjadi pertanyaan apakah dalam agama Buddha dibenarkan dua anak manusia yang berbeda agamanya saling jatuh cinta dan menikah?


Cinta yang murni tidak mengenal batas agama, suku, ras atau keyakinan lainnya. Hal itu tidak menjadi murni lagi bila dipengaruhi faktor–faktor tersebut di atas terutama kondisi materi dan finansial serta tekanan keluarga dan komunitas agamanya.

 

Dalam Komentar (Atthakatha) Kitab Suci Dhammapada, bagian dari Tripitaka Pali, syair 304 (Kisah Culasubhadda) dan terdapat kisah-kisah tentang umat Buddha yang menikah dengan agama lain. Sang Buddha tidak pernah melarang ataupun mencela pernikahan mereka. Cula tetap teguh dalam keyakinannya dan selalu berbuat baik pada anggota keluarga suaminya yang berbeda agama dengannya sebagai perwujudan keyakinannya pada Buddha. Atas undangan Cula maka Sang Buddha beserta para muridnya datang menerima dana makanan. Pada akhir perjamuan maka Sang Buddha bersabda:

”Meskipun dari jauh, orang baik akan bersinar bagaikan puncak pegunungan Himalaya. Meskipun dekat, orang jahat tidak akan terlihat, bagaikan anak panah yang dilepaskan pada malam hari.”

Mertua dan suami Cula akhirnya menjadi murid Sang Buddha.


Di negara-negara Buddhis, pernikahan dilaksanakan sesuai adat kebiasaan setempat dan kemudian dicatatkan pada pejabat negara yang berwenang. Sesudah mereka resmi menjadi suami istri maka mereka mengundang sejumlah bhikkhu untuk hadir di rumahnya atau di vihara untuk menerima dana makanan. Para bhikkhu setelah menerima dana memberi wejangan sekedarnya pada pengantin baru tersebut dan diakhiri dengan pemberkahan. Tidak lazim melakukan upacara pernikahan dengan mengambil tempat di vihara, kecuali di Indonesia karena pengaruh agama lain. Demikian juga dengan agama-agama Timur lainnya seperti Hindu, Konghucu, Taois dan Shinto tidak melakukan upacara pernikahan di tempat ibadah mereka.

 

Para bhikkhu, menurut disiplin kebhikkhuan, dilarang menjodohkan, menjadi comblang ataupun menikahkan. Mereka akan terkena sanksi berat dari pimpinan Sangha bila melanggarnya.

Sumber: Jayamedho, Bhikkhu. Menapak Pasti: Kisah Spiritual Anak Madura. Edisi Revisi. Jakarta: Penerbit CENAS, 2015, Bab 4 “Anak dan Cucu Tersayang”, hlm. 56–65.

TRANSLATE