Bab 5

Bab 5

Penahbisan Kebhikkhuan

Family’s Farewell Party

Keluarga saya menyelenggarakan pesta perpisahan di rumah kediamanku untuk pamit dan meminta maaf pada ibunda tercinta dan seluruh anggota keluarga serta kerabat terdekat. Suasana sangat mengharukan, hujan sesenggukan tidak dapat dihindarkan.

 

Akhirnya ibu dapat diyakinkan dengan samar dengan alasan saya akan menggantikan Bhikkhu Khantidaro yang akan berusia 80 tahun guna meneruskan kepemimpinannya mengelola Sekolah Tinggi Agama Buddha Kertarajasa di Malang. Beliau sangat mendukung namun masih gamang jangan–jangan anaknya akan hilang dan tidak bisa berjumpa lagi. Semua anggota keluarga berusaha keras meyakinkan bahwa hal itu tidak benar bahkan saya bisa lebih khusuk mendoakan keselamatan dan kebahagiaan keluarga besar. Beliau dengan tegar tanpa air mata tumpah ketika disembahsujudi olehku.

 

Berat nian rasanya meninggalkan keluarga, harta kekayaan dan gemerlapnya duniawi, begitu perasaan bergejolak. Namun hal itu adalah suatu Point of No Return.

 

Saya dengan tersendat-sendat karena haru menyampaikan kata perpisahan sebagai berikut:

 

Assalammualaikum,

 

Pertama-tama saya ucapkan terima kasih atas kehadiran Anda semua pada siang hari yang cerah ini guna memenuhi undangan farewell saya.

 

Sebenarnya pengertian “Farewell” ini bukanlah perpisahan fisik ataupun silahturahmi namun hanyalah “pindah kewarganegaraan” saja. Dari “warganegara awam” menjadi “warganegara spiritual”. Dari kehidupan bebas menjadi kehidupan relatif terbatas.

 

Tiga minggu lagi, tanggal 1 April, insyaallah saya akan mencapai usia 70 tahun. Usia yang tidak muda lagi dan sering dirayakan orang sebagai titik puncak yang menurut Hukum Alam semuanya akan menurun, fisikal, intelektual, mental dan finansial. Mumpung saya masih relatif kuat maka sisa kehidupan ini masih dapat saya kontribusikan pada kesejahteraan spriritual. Ibarat baju yang sudah dipakai selama 70 tahun maka sudah waktunya dicuci agar bersih untuk dilipat dan disimpan selamanya di tempat yang terhormat. Hal ini
akan berlaku pada siapa saja.

 

Niat pindah kewarganegaraan ini sebenarnya sudah cukup lama namun belum dapat terlaksana karena berbagai hambatan dan niat yang belum teguh meninggalkan kenikmatan indriawi. Namun sekarang sudah waktunya dilaksanakan karena dead line usia yang membatasinya. Now or never. Better late then never.

 

Ijin dispensasi telah diberikan oleh Pasamuan Para Bhikkhu (Sangha) dengan pertimbangan fisikal saya masih kuat, intelektual masih baik, dedikasi pada pengembangan agama Buddha cukup lama selama 50 tahun, reputasi diri cukup dihargai dan “sisa waktu” masih bisa membantu orang banyak. Untuk dispensasi dan persetujuan Sangha ini saya ucapkan terima kasih. Penahbisan rencananya akan dilaksanakan di Jakarta hari Rabu depan tanggal 16 Maret 2011, sehari sesudah ulang tahun adinda Uce.

 

Hal-hal ini semua bisa terjadi tidak lain dari kasih sayang Anda semua, baik anggota keluarga maupun bukan, yang selalu membantu saya dalam banyak bidang. Matur sembah nuwun saya haturkan dengan tulus dari lubuk hati saya yang dalam kepada Anda semua, terutama ibu tercinta dan khususnya kepada Yu Jeng yang mengasuh saya pada jenjang pendidikan di Universitas. Matur nuwun Yu Jeng dan almarhum Mas Iskandar. May God bless you all.

 

Ibu Issudibyo sangat berjasa dalam membawa saya ke Jakarta dari Malang dan sebagai kunci utama yang membuka karier saya selanjutnya di dunia bisnis. Matur nuwun Yu Dib beserta keluarga. Doa juga saya sampaikan untuk Mas Issudibyo yang sedang terbaring sakit, agar Yang Maha Kasih meringankan penyakitnya. Amin.

 

Pada kesempatan yang baik ini, saya mohon Anda semua untuk membukakan pintu maaf yang sebesarnya atas semua kesalahan saya. Baik yang tidak disengaja maupun disengaja, baik kesalahan yang saya perbuat dengan pikiran, ucapan dan perbuatan yang tidak berkenan di hati Anda semua. Semoga jalan yang saya pilih ini membawa kebahagiaan bagi kita semua. Semoga Yang Maha Kasih selalu membimbing kita dalam Jalan Kebaikan dan Kebajikan dan melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya.

Ananda Febri dan Maria,

 

Papa sudah mendampingi kamu sekeluarga di rumah ini selama 12 tahun. Tentu papa mengharapkan kalian bisa membina pernikahan yang sebaik mungkin untuk kebahagiaan kalian khususnya Nanda dan Gaby serta keluarga besar. Harapan ini saya sampaikan juga kepada ananda Kapten (AU) Nyoman Swardhita & Ayu serta Kapten (AL) Wayan Mahardika.


Masalah-masalah keluarga yang mungkin terjadi bisa dicarikan solusi terbaik selama kita memegang Dharma, dengan bekal Love (Kasih), Compassion (Sayang) dan Forgiveness (Maaf). The Power of LOVE dan FORGIVENESS bagi semua orang di dunia ini sangatlah penting untuk pintu sukses dan kebahagiaan bagi diri sendiri dan orang lain di sekitar kita.

 

Apa yang papa berikan kepada kalian didasari atas ketulusan dan kasih sayang dan tidak mengharap imbalan apa-apa. Kebahagiaan orangtua terjadi bila bisa melihat kerukunan dan kesejahteraan anak-cucu nya. Tiada kebahagiaan tanpa kedamaian. Tiada kedamaian tanpa Love, Compassion & Forgiveness. Papa masih ingat pesan almarhum Eyang Kakung bahwa pada anak-anaknya tidak diberikan warisan berupa harta-benda karena hal itu tidak kekal, bisa berubah. Warisan yang beliau berikan pada kita semua adalah: Pengetahuan dan Iman (Knowledge & Faith). Hal ini sesuai dengan pesan Confucius: 

“Bukan ikan yang kuberikan padamu namun kail dan ilmu mengail. Dengan dua hal tersebut kalian akan meraih sukses dalam kehidupan yang berkelanjutan.”

Pesan yang sering saya sampaikan pada khotbah saya di Vihara adalah:

  • Kalau ada masalah besar segeralah kecilkan;
  • Sedangkan masalah kecil yang timbul, janganlah dibesar-besarkan.
  • Janganlah mengungkit-ungkit masalah lampau yang sudah terjadi.

Dari kejauhan papa akan mendoakan kalian sehat, sejahtera dan bahagia dalam lindungan-Nya. Pada kesempatan yang baik ini papa juga minta maaf yang tulus bilamana papa pernah berbuat yang kurang berkenan di hati, baik pikiran, ucapan maupun tindakan. Papa juga dengan tulus memaafkan hal yang serupa pada kalian guna melapangkan jalan sukses yang sedang kalian tempuh.


Sebagai penutup, marilah kita saling mendoakan agar perjalanan hidup kita terbebas dari segala bentuk rintangan dan semoga kita semua selalu mendapat limpahan berkah dan hidayah dari Yang Maha Pengasih lagi Penyayang.


Demikian kata perpisahan saya pada keluarga.

 

Penahbisan Kebhikkhuan

Dua hari menjelang upacara penahbisan saya berada di Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya, di mana ikut sebagai perintis mendirikannya, guna melakukan pelatihan gladi resik dan gladi kotor, khususnya hafalan ucapan–ucapan dalam bahasa Pali, yang konon digunakan oleh Buddha Gotama sendiri, serta sikap bertumpu lutut (jengkeng) yang sangat menyakitkan kaki selama upacara berlangsung.

 

Saya sudah menjalani serangkaian test kesehatan, tes psikologi dan interview formal dengan para bhikkhu. Para bhikkhu juga mengungkapkan harapan–harapan pada saya sesudah menjadi bhikkhu. Saya juga diberi tahu nama baruku adalah Bhikkhu Jayamedho, artinya Kebijaksanaan yang membawa Kemenangan (Wisdom bring Victory). Menurut kamus Pali, kata medho berarti: clever, intelect, wise.


Untuk sekedar diketahui bahwa nama upasaka saya adalah Dharmanaga, yang artinya Naga Penjaga Kebenaran dan nama gelar Dharma dari Sangha Theravada Indonesia yang diberikan adalah Dhammalankara artinya Penghias Dharma.


Upacara penahbisan pada hari Rabu tanggal 16 Maret 2011 diubah jamnya dari pagi menjadi siang hari. Terpaksa banyak teman yang tidak sempat diberitahu dan mereka datang pagi hari namun sempat terakhir kali berjumpa sebagai umat awam. Nakalnya beberapa teman wanita (meski sudah nenek–nenek) masih meminta ciuman pipi dengan dalih mumpung belum menjadi bhikkhu.


Sejauh ini hanya dua orang saja yang pernah ditahbiskan menjadi bhikkhu dalam satu kali jalan, yaitu upacara penahbisan sebagai samanera (calon bhikkhu) yang disebut sebagai pabbajja dan langsung dilanjutkan upacara penahbisan sebagai bhikkhu atau upasampada. Orang yang terdahulu itu adalah Bhikkhu Khantidaro yang ditahbiskan di tempat yang sama tahun 1986 sewaktu beliau berusia 55 tahun. Bedanya adalah bahwa Bhikkhu Khantidaro sudah pernah ditahbiskan menjadi bhikkhu sementara sewaktu dengan keluarga berdinas sebagai kepala sekolah Indonesia di Yangon, Myanmar.


Umumnya seseorang baru ditahbiskan menjadi bhikkhu sesudah menjalani proses belajar selama dua tahun sebagai samanera.


Semua anggota keluarga, kakak–adik dan ipar siap mengikuti prosesi pada pukul 13.00 mengiringi saya yang berbaju semacam ihram putih membawa bunga persembahan menuju gedung penahbisan (Uposathagara). Langsung menuju ke altar, mempersembahkan bunga serta menyalakan lilin dan dupa disertai sembah sujud.

 

Dilanjutkan dengan berjalan dengan lutut menghadap keluarga. Di sana dengan sikap hormat merangkap tangan meminta maaf atas kesalahan yang pernah dibuatnya dan mohon keikhlasan pamit meninggalkan keduniawian dan menjadi samana (petapa). Semua yang mendengar menangis sendu sesenggukan dan air mata tumpah. Saya mengakhiri pamit dengan bersembah sujud.


Kakak lelaki tertua kemudian menyerahkan seperangkat jubah, yang saya beli di Bangkok, untuk dipakai dalam upacara. Itulah seperangkat jubah satu-satunya yang saya akan miliki sebagi milik pribadi yang tidak boleh terpisah pada tiap penggantian hari (akan dikenakan sanksi bila ia lalai melakukannya).


Dentang lonceng dan bedug berbunyi mendayu-dayu menandakan para bhikkhu sebanyak 28 orang akan memasuki ruang upacara. Semua umat bersimpuh dengan sikap sopan merangkap tangan (anjali). Bhikkhu sepuh memulai upacara dengan menyalakan lilin dan dupa serta melakukan penghormatan pada Triratna, Buddha–Dharma–Sangha, kredo atau syahadat umat Buddha.


Berjalan berlutut, saya dengan membawa jubah yang terlipat rapi dengan kedua belah tangan, menghadap bhikkhu penahbis (upajjaya) yang akan menjadi gurunya sepanjang masa. Jubah diletakkan di sebelah kanan, menyerahkan persembahan bunga dan ia bersujud tiga kali dan dilanjutkan permohonan untuk ditahbiskan menjadi samanera. Upacara penahbisan dilaksanakan dengan cara mengikuti kata–kata bahasa Pali dari Achariya tentang penghormatan pada Buddha, pernyataan perlindungan pada Triratna serta janji Dasa Sila.

“Sejak saat itu, dunia dalam batin saya berubah. Bukan lagi tentang apa yang ingin saya capai, tetapi bagaimana saya melepaskan.”

Samanera (calon bhikkhu atau novice) adalah seorang pria yang berjanji dihadapan para bhikkhu dan komunitas Buddhis untuk berlindung pada Triratna dan melatih diri menaati Dasa Sila, sepuluh pantangan, yaitu melatih diri untuk:

  1. Menghindari pembunuhan mahluk hidup, biarpun itu semut ataupun nyamuk,
  2. Menghindari mengambil barang yang tidak diberikan kepadanya,
  3. Menghindari melakukan hubungan kelamin dalam bentuk apapun, dengan obyek apapun juga, ataupun melakukan masturbasi,
  4. Menghindari ucapan yang tidak benar,
  5. Menghindari makan atau minum barang yang memabukkan yang mengakibatkan lemahnya kesadaran,
  6. Menghindari makan makanan sesudah tengah hari (namun boleh minum),
  7. Menghindari untuk menari, menyanyi, bermain musik, melihat pertunjukan,
  8. Menghindari memakai bunga-bungaan, parfum, alat kosmetik untuk tujuan menghias dan mempercantik diri,
  9. Menghindari penggunaan tempat tidur dan tempat duduk yang tinggi dan mewah,
  10. Menghindari menerima emas dan perak (termasuk uang).

 

Dalam agama Buddha tidak dikenal sumpah namun yang ada adalah janji pada diri sendiri dengan kesadaran penuh dihadapan bhikkhu dan komunitas Buddhis.


Setelah diijinkan, saya berjalan mundur tiga langkah, berbalik dan berjalan keluar sambil membawa jubah untuk dipakaikan di luar gedung.


Setelah rapi berganti jubah kuning, lalu memasuki ruang uposatha kembali dengan anggun dan sakral secara perlahan, mendekati Achariya, Bhikkhu Athimedho Mahathera, bersujud dan mohon ditahbiskan menjadi samanera dengan ungkapan dalam bahasa Pali.


Setelah selesai ditahbiskan sebagai samanera, sekali lagi saya menyerahkan persembahan bunga pada guru penahbis, Bhikkhu Sukhemo Mahathera, bersujud dan dalam bahasa Pali mohon ditahbiskan menjadi bhikkhu.

 

Urutan–urutan ungkapan yang terjadi adalah:

  1. Saya menghadap adik lelaki untuk menerima persembahan mangkuk tempat menerima dana makanan serta perlengkapan lainnya, seperti saringan air, alat cukur rambut, benang serta jarum jahit.
  2. Sambil membawa mangkuk ditangan saya mohon ketergantungan pada guru penahbis (upajjaya) sepanjang menjadi bhikkhu dan siap melayani guru penahbis.
  3. Dua Achariya (Bhikkhu Atimedho Thera dan Candakaro Thera) meneliti dan mengumumkan lengkapnya perlengkapan seorang bhikkhu, yang harus dimiliki yaitu seperangkat mangkuk, jubah luar, jubah atas dan jubah bawah, dengan masing–masing disentuhnya.
  4. Guru Penahbis meminta Samanera Endro untuk pergi menjauh ketempat yang ditunjuk di sudut ruangan pintu keluar.
  5. Dua Achariya mengumumkan kesiapan melakukan penahbisan sambil memberitahukan nama calon bhikkhu dan nama guru penahbis, Bhikkhu Sukhemo Mahathera.
  6. Kedua Achariya diperintahkan meneliti samanera dengan menanyai beberapa pertanyaan, seperti apakah memiliki penyakit-penyakit tertentu, apakah ia manusia (bukan mahluk halus), apakah memiliki hutang, apakah ia manusia tak terikat dinas atau hukuman, apakah sudah ada ijin orangtua, apakah telah berusia 20 tahun, apakah perlengkapan bhikkhu sudah lengkap, apakah tahu nama kebhikkhuannya serta nama guru penahbisnya.
  7. Setelah selesai menanyai maka kedua Achariya kembali melaporkan pada Sangha, Pasamuan para bhikkhu bahwasanya sudah lengkap.
  8. Saya dipanggil kehadapan Sangha untuk dikonfirmasi pertanyaan yang telah disampaikan.
  9. Setelah dijawab dengan tegas tanpa salah maka sampai tiga kali diumumkan rencana pengukuhan Samanera Endro sebagai bhikkhu.
  10. Bila tidak ada sanggahan maka Samanera Endro sah menjadi bhikkhu dengan nama Jayamedho dan kemudian bergabung duduk bersama para bhikkhu lainnya. Istilahnya: bhikkhu baru telah lahir pada tanggal 16 Maret pukul 14.20 WIB, pada hari Rebo Pon yang persis sama dengan hari
    kelahiran saya menurut penanggalan Jawa.
  11. Bhikkhu baru menerima bingkisan persembahan dari keluarga dan kemudian Jayamedho mempersembahkannya pada bhikkhu penahbis.
  12. Upacara selanjutnya adalah pelimpahan jasa kepada para leluhur agar mereka juga bergembira dan berbahagia dengan terselenggaranya upacara penahbisan ini.
  13. Ketua Umum Sangha Theravada Indonesia, DR. (Hum) Jotidhammo Mahathera memberikan kata sambutan penutup.
  14. Upacara diakhiri dengan penghormatan sujud pada Triratna, Buddha–Dharma–Sangha. Para bhikkhu meninggalkan ruang upacara.

 

Seluruh rangkaian upacara menggunakan dialog dalam bahasa Pali yang musti dihafal sebelumnya oleh semua pihak. Selama upacara saya harus duduk bertumpu lutut dan waktu berdiri hampir terhuyung yang mengagetkan banyak orang disekitarku. Maklum sudah uzur.


Sejak hari ini maka semua bhikkhu tersebut adalah anggota keluargaku yang baru. Kami semua harus hidup rukun dan saling bantu membantu satu sama lainnya karena kami semua sudah tidak lagi memiliki “ayah-bunda”

Sumber: Jayamedho, Bhikkhu. Menapak Pasti: Kisah Spiritual Anak Madura. Edisi Revisi. Jakarta: Penerbit CENAS, 2015, Bab 5 “Penahbisan Kebhikkhuan”, hlm. 66–76.

TRANSLATE