Bab 6

Bab 6

Agama Buddha Bangkit dari Tidur Panjang

Awal Reinvensi Agama Buddha

Iem Brown, salah satu eksponen GPBI (Gerakan Pemuda Buddhis Indonesia), Bandung yang aktif di tahun 1964-1966, menuliskan satu bab The Revival of Buddhism In Modern Indonesia, dalam buku yang diedit Martin Ramstedt berjudul Hinduism In Modern Indonesia; A Minority Religion Between Local, National, and Global Interests (2004). Brown menyebutkan, pada akhir abad 19 mulailah berlangsung penerjemahan naskah-naskah ajaran Buddha dalam Bahasa Pali ke dalam beberapa Bahasa Eropa. Penerjemahan ini ter-nyata turut mengembangkan kelompok theosofi dan berkembang ke seluruh dunia, di antaranya juga masuk dan berkembang di Indonesia. Dua tokoh theosofi dari Belanda Blavatsky dan Olcott yang mengenalkan ajaran Buddha, termasuk Sri Lanka dan Jawa di akhir abad 19 belakangan bahkan menyatakan diri sebagai penganut Buddha. Ieam Brown mencatat sebagai berikut, Both Blavatsky and Olcott even formally converted to Buddhism: the former became an upasika, a designation referring to the first level of initiation for Buddhist laywomen, and the latter an upasaka, a term referring to the equivalent level of initiation for Buddhist laymen.

 

Nusantara pada waktu itu masih di bawah pengaruh Belanda, yang walaupun birokrasinya bercirikan sekular, namun banyak memberi kesempatan pada misionaris Belanda menyebarkan agama Kristen di Nusantara. Sekularisme yang tumbuh juga memungkinkan munculnya gerakan theosofi. Paham theosofi yang berkembang kala itu lalu melembaga dalam berbagai kelompok dan di berbagai kota dikenallah Loji Theosofi, tempat sering berkumpulnya para peminat theosofi. Di tengah kuatnya pengaruh theosofi itu, sampailah pada waktunya, pada sekitar tahun 1932 berdri organisasi Buddhis di Jawa dan dinamakan ”Java Buddhist Association”. Organisasi ini diketuai E.E. Power, sedangkan Josias Van Dienst menjabat sebagai sekretarisnya. Organisasi ini merupakan cabang dari International Buddhist Mission yang berpusat di Thaton, Myanmar. Angin segar mulai berhembus setelah lebih dari 500 tahun sejak keruntuhan Majapahit, agama Buddha hanya tinggal sisa-sisa fisiknya saja yang berupa warisan budaya candi dan literatur pustaka kuno.

 

Pemikiran sekuler yang ditanamkan dalam pendidikan Belanda kala itu, rupanya juga mengusik ketenangan seorang pemikir berdarah Tionghoa bernama Kwee Tek Hoay. Keprihatinannya sampai tersangkut masuk pada banyaknya orang-orang Tionghoa waktu itu yang menjadi penganut Kristen. Entah apakah ada hubungan atau hanya sebuah kebetulan, pada tahun yang sama, Kwee Tek Hoay menerbitkan majalah Moestika Dharma. Beberapa masa kemudian, Kwee Tek Hoay juga merintis penerjemahan riway at hidup Buddha Gotama. Upaya membentengi orang Tionghoa dari pengaruh Barat terus berlanjut, Kwee Tek Hoay kemudian mendirikan Sam Kaw Hwee, sebagai sebuah lembaga yang berupaya mempertahankan tradisi Tionghoa dan membentengi orang-orang Tionghoa di Indonesia dari kealpaan atas adat budayanya. Kwee Tek Hoay terlihat waktu itu tidak memiliki intensi kuat membangkitkan kembali agama Buddha. Namun dalam perkembangan belakangan, jerih payah Kwee Tek Hoay ini tidak boleh terlewatkan, terutama dalam tradisi atau sekte agama Buddha Tridharma yang berlatar budaya Tionghoa.

 

Josiast Van Dienst yang kemudian memutuskan menjadi pandita Buddhis ternyata mengenal dengan baik Kwee Tek Hoay. Keduanya lalu aktif menyelenggarakan diskusi tentang ajaran Buddha di kelenteng di beberapa tempat di Pulau Jawa. Atas jasa Kwee Tek Hoay pula, terselenggara dialog antara Pandita Josias van Dients dan Bhikshu Lin Feng Fei, kepala kelenteng Kwan Im Tong di Prinsenlaan (Mangga Besar), Jakarta. Dialog itu menghasilkan kesepakatan bahwa kelenteng sebagai tempat ibadah umat tradisi tidak hanya digunakan sebagai tempat pemujaan saja, melainkan pula sebagai tempat untuk mendapatkan pelajaran agama Buddha.

 

Sebagai tindak lanjut dari kesepakatan itu, Bhikshu Lin Feng Fei mengijinkan Pandita Josias van Dienst memberikan ceramah agama Buddha di kelenteng Kwan Im Tong. Hal tersebut diikuti Kongkoan (Chineesche Raad), suatu badan yang mengorganisir kelenteng-kelenteng di Jakarta, yang mengizinkan pula beliau memberikan ceramah di kelenteng-kelenteng di sekitar Jakarta.

 

Narada Mahathera, Peletak Dasar Agama Buddha di Indonesia

Seperti tumbuhnya dedaunan dan bunga-bunga, kebangkitan kembali agama Buddha seakan memang saatnya tiba. Era awal abad ke-20 itu, sejarah mencatat kedatangan Bhikkhu Narada Thera dari Ceylon (Sri Lanka). Menarik dicatat, kedatangan bhikkhu Theravada ini untuk pertama kali ke Indonesia pada tanggal 4 Maret 1934 atas undangan Kwee Tek Hoay, Mengelaar Meertens (Ketua Perhimpunan Theosofi cabang Indonesia) dan Pandita Josias van Dienst. Bhikkhu ini terlahir di pinggiran Colombo. Ayahnya bernama Kalonis Parera dan ibunya bernama Pabilina de Silva. Pendidikan dasar dan menengahnya dihabiskan di sekolah Katolik sebelum ia memutuskan untuk menjadi penganut Buddha.

 

Dengan menumpang kapal laut, waktu itu ia datang ke Jawa dan melakukan sejumlah kegiatan, antara lain memberikan khotbah dan pelajaran agama Buddha di beberapa tempat di Jawa Barat dan Jawa Tengah, menanam Pohon Bodhi yang dibawa dari Sri Lanka di pelataran Candi Borobudur pada tanggal 10 Maret 1934 (ditebang pada tahun 1980 karena proyek restorasi Candi Borobudur), dan melantik beberapa upasaka dan upasika di tempat-tempat yang dikunjungi. Salah satu yang dilantik adalah seorang guru Jawa bernama S. Mangunkawatja, tokoh sentral umat Buddha Jawa Tengah waktu itu yang kemudian bergelar Maha Upasaka dan menjadi anggota MPR. Menurut sebuah sumber, Mangunkawatja sebetulnya enggan menjadi anggota MPR. Namun karena didatangi militer, ia tidak kuasa menolak. Orang berkharisma seperti ini kala itu sangat dibutuhkan pemerintah untuk duduk di dalam MPR mewakili golongan tertentu yang biasanya minoritas non-partai politik sesuai amanat Undang-Undang Dasar 1945 (asli). Tokoh ini mengenal ajaran Buddha setelah sempat bersinggungan dengan tokoh-tokoh theosofi sebelumnya. 

 

Tidak sia-sia mengarungi lautan beribu mil jauhnya. Dapat dipastikan, kedatangan Bhikkhu Narada merupakan kedatangan bhikkhu Theravada pertama kali ke Nusantara di abad 20. Meskipun latar belakangnya tradisi Theravada namun beliau juga diterima di kalangan umat Buddha di kelenteng-kelenteng Mahayana di berbagai tempat, antara lain Jakarta, Bandung, Semarang dan kota-kota lain. Setelah dianggap selesai tugasnya, kemudian ia meninggalkan Indonesia. Pada waktu itu hampir di semua kelenteng Buddhis dan non-Buddhis tidak pernah dibabarkan Dharma—ajaran Buddha, melainkan hanya mantra-mantra yang tidak diterangkan maknanya. Karena itu kehadiran beliau mendapat sambutan sangat besar dari kalangan umat kelenteng.

 

Beliau juga hadir pada Waisaka-Puja di Candi Borobudur pada tahun 1959 di mana waktu itu saya juga hadir sebagai peninjau sewaktu sekolah di SMA Malang. Pada menjelang upacara Waisak itu pula dilakukan penahbisan bhikkhu dan samanera Indonesia pertama kali dalam sejarah setelah runtuhnya Sriwijaya dan Majapahit.

 

Kedatangan Narada selanjutnya tercatat selama 15 kali ke Indonesia dan saya merasa bersyukur bisa mendampingi beliau pada usia larut senja. Beliau sangat ketat memegang teguh tradisi Theravada serta mencari titik-titik temu dengan ajaran Mahayana agar timbul persatuan di kalangan umat Buddha.

 

Pada waktu Candi Borobudur dipugar dan Pohon Bodhi yang ditanam beliau pada tahun 1934 di halaman Candi Borobudur ditebang, maka sekali lagi beliau membawa kembali cangkokan pohon Bodhi yang baru dari Anuradhapura, sebuah situs kota kuno di Sri Langka di mana saya berkesempatan membawanya bergantian dengan Duta Besar Sri Langka dari Candi Mendut ke Borobudur pada tahun 1981 dengan berjalan kaki.

 

Pada perayaan ulang tahun beliau ke-85 di Vihara Buddha Metta Arama pada 14 Juli 1983 kondisi fisik beliau sudah sangat lemah dan perlu digotong kesana-kemari. Saya bertanya kepada beliau mengapa dipaksakan datang di Indonesia. Beliau bilang bahwa Indonesia adalah ”my second home country”. Beliau ingin meninggal dunia di persada Indonesia. Kemudian beliau menambahkan bahwa meski tubuh ini sudah renta, jangan sekali-kali menyerah untuk membabarkan Dharma di mana pun juga. Sangat berkesan nasehatnya untuk kita semua. Itulah perayaan ulang tahun sekaligus perpisahan dengan pahlawan Buddhis abad ini.

 

Bhante Narada meninggal dunia di Sri Langka pada usia 85 tahun pada 2 Oktober 1983. Untuk mengingat jasa besar beliau maka balai perpustakaan di Vihara Dhammacakka Jaya, Jakarta Utara diberi nama Wisma Narada. Sekolah Buddhis bertaraf Internasional di Jakarta yang didirikan Sangha Theravada Indonesia juga dinamakan Narada National-Plus School guna mengenang beliau.

Jaman Jepang dan jaman Revolusi

Sejak saat itu banyak berdiri organisasi-organisasi lokal Buddhis tumbuh di perkotaan. Sayangnya selama pendudukan Jepang, semua kegiatan organisasi Buddhis terhenti. Seperti layaknya organisasi keagamaan yang lain, yang juga berada di bawah tekanan bala tentara Jepang. Api yang sempat mengecil selama lima abad silam itu lalu kembali meredup. Semangat anak bangsa berkobar di jaman ini guna membebaskan diri dari penjajahan. Keinginan untuk merdeka kian menggema meski mendapat tekanan penguasa Jepang yang amat kejam.

 

Sesudah diproklamasikan kemerdekaan Indonesia pergerakan umat Buddha belumlah nampak karena semua komponen bangsa bersatu-padu bersedia mengorbankan harta dan jiwa untuk menegakkan dan mengisi kemerdekaan bangsa.

 

Pada Era Soekarno

Kemunculan Java Buddhist Association segera diikuti dengan munculnya organisasi-organisasi dalam agama Buddha. Pada tahun 1952 terbentuklah Gabungan Sam Kau Hwee Indonesia. Ketua pertama dijabat oleh The Boan An dari Bogor yang baru pulang studi dari Belanda meski belum menyelesaikan pendidikannya. Setahun kemudian di tahun 1953, The Boan An menjadi samanera di Vihara Kong Hoa Sie, Jakarta yang bertradisikan Mahayana. Setahun berikutnya, Samanera The Boan An ditahbiskan menjadi bhikkhu dengan nama Ashin Jinarakkhita di Myanmar oleh Bhikkhu Mahasi Sayadaw Mahathera, seorang Mahaguru meditasi (bermazhab Theravada). Bhikkhu ini pernah datang ke Indonesia pada perayaan Waisak memperingati Buddha Jayanti (peringatan 2500 tahun wafatnya Sang Buddha) di Candi Borobudur tahun 1959.

 

Tahun 1955 mencatat dibentuknya Persaudaraan Upasaka Upasika Indonesia (PUUI), sebagai wadah persatuan para upasaka dan upasika. Atas jerih payah Bhikkhu Narada sampai pada The Boan An, pada saat itu mulai banyak umat Buddha yang ditahbiskan menjadi upasaka dan upasika yang antara lain Suhirkam dan Sosro Utomo. Nama yang disebut terakhir ini kemudian menjadi pemimpin dari Persatuan Buddhis Indonesia (PBI).

 

Pada tanggal 3 Mei 1958, Persatuan Buddhis Indonesia berubah nama menjadi Perhimpunan Buddhis Indonesia (Perbudi) yang dipimpin Sariputra Sadono, seorang upasaka dan pengusaha pribumi dari kota Semarang. Dibentuknya Perbudi ini dimaksudkan sebagai wadah umat Buddha dari berbagai golongan, baik pribumi, Tionghoa maupun India. Percik-percik polemik sebenarnya sudah mulai marak pada masa ini. Perbudi didirikan sebagai reaksi dari gabungan Sam Kaw Hwee pimpinan The Bo An yang dianggap kurang leluasa menerima umat Buddha dari kelompok non-Tionghoa. 

 

Dalam catatan Ida Bagus Giri, “Selayang Pandang Kongres Perbudi Pertama” (Majalah Buddhis No. 9 Maret 1959) disebutkan, para pengurus yang mendampingi Sadono antara lain, Soeharto (Wakil Ketua I), Kho King Hie (Wakil Ketua II), Koo Djien Swan (Penulis I), Aris Munandar (Penulis II), Tjoa Han Tjong (Penulis III), Oh Kong Djan (Bendahara I), dan Sosro-Oetomo (Bendahara II). Mereka dibantu oleh Oka Diputhera untuk perwakilan Jawa Barat, Wirjowratmoko (Jateng), Muslim Dalid (Jatim), dan I Nengah Hastika (Bali). Pada konggresnya di awal tahun 1959, Perbudi menuntut supaya Hari Raya Waisak dijadikan hari raya resmi oleh negara dan perawatan Candi Borobudur diserahkan kepada umat Buddha.

 

Pada era kepemimpinan Sadono, pada jelang malam Waisak 1964 di selasar Candi Mendut pada suatu malam, saya memandang pelataran candi mendampingi Sadono. Saya berkata, ”Pak Sadono, kapan ya kita bisa membangun vihara di bekas reruntuhan asrama biarawati Katolik di sana?” Sambil berbicara begitu saya menunjuk letak reruntuhan, yang tidak jauh letaknya dari candi tersebut. Sadono hanya menjawab, ”Kita belum mampu”.

 

Maka terjadilah kenyataan sampai jauh sesudah era beliau tidak terbangun Vihara Mendut tersebut. Hal ini sesuai dengan resep ”The Secret” bahwa bilamana Anda tidak mempunyai visi atau gereget ingin mendapatkan sesuatu, maka hal itu tidak akan terwujud. Jauh sesudah masa itu kaum Theravada dapat membangun Vihara Mendut di bekas reruntuhan asrama biarawati Katolik tersebut. Dalam pembangunan ini, saya dan Febri, anak angkat, berkesempatan pula berpartisipasi mempersembahkan sebidang tanah di pinggir Sungai Elo yang terletak di belakang vihara pada tahun 1989 pada Sangha Theravada yang diterima Bhante Pannyavaro. Tanah tersebut kini telah berdiri bangunan untuk meditasi.

 

Era kepemimpinan Sariputra Sadono selesai dan berakhir pula kepemimpinan sipil. Kepemimpinan Perbudi selanjutnya dikendalikan perwira tinggi militer, Soemantri MS (singkatan Muhammad Saleh) dan selanjutnya Suradji Ariakertawidjaja yang keduanya adalah perwira berlatar belakang militer dan memiliki kedekatan dengan Jenderal Gatot Subroto. Pangkat terakhir keduanya adalah Brigadir Jenderal dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.

 

Setelah organisasi-organisasi umat Buddha berdiri, di tahun 1959 barulah organisasi pasamuhan para bhikkhu (Sangha) berdiri untuk pertama kali dengan nama Sangha Suci Indonesia. Inisiatif pendirian Sangha ini tidak lepas dari peran Bhikkhu Ashin Jinarakkhita, sebagai bhikkhu pertama Indonesia. Anggota Sangha yang tercatat saat itu adalah Bhikkhu Ashin Jinarakkhita, Bhikkhu Jinaputta, Samanera Jinagiri (Bhikkhu Girirakhitto dan Samanera Jinapiya (Bhikkhu Titthaketuko), ditambah beberapa orang samanera lainnya.

 

Bercabang dan beranting. Demikianlah gambaran perkembangan organisasi umat Buddha yang mulai tumbuh kala itu. Mulai tahun 1963 hingga 1965 banyak bermunculan organisasi Buddhis yang aktif dalam pembinaan umat Buddha, khususnya di bidang sosial kemasyarakatan. Di antara yang perlu dicatat adalah Buddhis Indonesia (BI) di Semarang, Musyawarah Umat Buddha Seluruh Indonesia (MUBSI) di Yogyakarta, Gerakan Wanita Buddhis Indonsia (GWBI) di Jakarta dan Gerakan Pemuda Buddhis Indonesia (GPBI) di Bandung.

 

Pada masa itu perang dingin antara Blok Barat (Eropa dan USA) serta Blok Timur (Sovyet Rusia dan negara Komunis lainnya) sangat kuat yang membuat ketegangan politik dan militer di seluruh dunia. Dunia ketiga Asia dan Afrika belum dan ada yang baru lepas dari belenggu penjajahan dari negara Barat. Hal ini berakibat organisasi politik dan sosial di Indonesia juga terbelah dua. Dua-duanya saling menyerang dan perpolitikan negara kian lama kian condong ke kiri (sosialis dan komunis). Soekarno mendirikan Gerakan Non Blok yang tidak memihak kiri dan kanan namun dalam sepak terjangnya lebih ke kiri dan memusuhi yang kanan. Thailand dapat dikategorikan kanan di mana markas World Fellowship of Buddhist (WFB) bermarkas.

 

Kaum militer dan partai politik di Indonesia juga mulai berbelah dunia. Yang kurang selaras dengan kepemimpinan Soekarno dianggap tidak revolusioner dan dimusuhi bahkan diancam kekerasan. Bentrokan di mana-mana. Beberapa organisasi kanan ada yang dibubarkan. Bahkan organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) nyaris dibubarkan atas hasutan kaum komunis.

 

Organisasi Perbudi yang dipimpin perwira militer tidak lepas dari kondisi konflik dan dituduh kanan oleh sekelompok umat Buddha lain, organisasi Buddhis Indonesia (BI), yang berpusat di Semarang. Organisasi BI mengundang pimpinan organisasi Buddhis Republik Rakyat China, Bhikshu Chao Pu Chu, datang ke Indonesia dan berkunjung ke Borobudur. Waktu itu saya sebagai Ketua Umum Gerakan Pemuda Buddhis Indonesia (GPBI) yang saya dirikan juga turut hadir sehingga kami dituduh kiri oleh pimpinan Perbudi. GPBI waktu itu bawahan (onderbouw) Perbudi. Karena tuduhan itu maka selaku Ketua Umum kami ingin berdiri di tengah (layaknya Gerakan Non Blok) dan atas restu pimpinan Perbudi Bandung, Maha Pandita Karbono, DPP GPBI mengeluarkan Dekrit Asadha yang dikeluarkan pada Juli 1965 (tiga bulan sebelum G30S/PKI) yang isinya melepaskan diri dari Perbudi dan menjadi otonom. Beberapa pimpinan GPBI waktu itu memang beraliran kiri, sedangkan saya dan Mochtar Rashid yang orang Padang asli dan memeluk agama Buddha bersikap netral, bukan kanan.

 

Kontan dua perwira militer, Ketua Umum & Sekjen DPP Perbudi marah besar dan kami dicap gerakan kiri. Inilah pengalaman pertama kami berpolitik dan sudah berada di pusaran arus bahaya tanpa disadari.

 

Pada tanggal 30 September 1965 terjadilah ledakan besar perpolitikan di tanah air yang dimenangkan kaum kanan.

 

Soekarno mengalami nasib malang, ditahan dan dilucuti kekuasaannya serta menyerahkan kekuasaannya sebagai Presiden dan Panglima Tertinggi kepada Soeharto. Berakhirlah era Soekarno.


Demi keamanan kita semua maka saya selaku ketua Umum DPP mengeluarkan surat pemberitahuan ke seluruh cabang untuk menonaktifkan organisasi, demi keselamatan generasi muda Buddhis karena banyak orang Tionghoa, anggota Baperki yang beraliran komunis ditangkap militer. Syukurlah beberapa orang pimpinan GPBI yang berbau kiri tidak mengalami nasib buruk kecuali dipecat sebagai mahasiswa oleh pimpinan universitas dalam upaya pembersihan besar-besaran dari unsur kiri termasuk para pendukung Soekarno.

Sumber: Jayamedho, Bhikkhu. Menapak Pasti: Kisah Spiritual Anak Madura. Edisi Revisi. Jakarta: Penerbit CENAS, 2015, Bab 6 “Agama Buddha Bangkit dari Tidur Panjang”, hlm. 80–88.

TRANSLATE