Bab 7
Kota Bandung yang sejuk, hawa segar yang terhirup setiap saat dengan pepohonan rimbun di tepi kiri dan kanan jalan begitu terasakan di tahun 1960-an. Jika dibandingkan dengan kondisi jalanan Bandung sekarang ini, tentu hanya sebuah penyesalan dengan tingginya tingkat polusi dan kemacetan di mana-mana akibat kendaraan yang menyeut belakangan ini, terutama setiap akhir pekan. Bandung saat itu masih memanjakan para pendatang, terutama mahasiswa yang datang dari hampir seantero negeri dengan semaraknya perguruan tinggi yang tersedia.
Saya pun sudah mantap meninggalkan Kota Gudeg dan meneruskan kuliah di Universitas Padjajaran Bandung, meskipun telah melewatkan kuliah di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada selama satu tahun. Di Bandung, artinya saya berkumpul kembali dengan kakakku, Hermini dan suami, Iskandar Danusugondo, serta kakak yang lain Henk.
Saya mulai membiasakan diri hidup dengan hawa sejuk Bandung. Namun kala itu secara sayup masih terngiang dan belum terpuaskan kepenasaranku terhadap persoalan kesejatian hidup, makna hidup dan bagaimana mengarungi hidup. Pertanyaan-pertanyaan demikian itu selalu menghantuiku. Rasa keingin tahuan mengenai ajaran Buddha pun semakin bertambah.
Suatu kebetulan bahwa pada awal diriku di Bandung itu, dan belum mengenal betul agama Buddha, aku merasakan kegelisahan di saat meninggalnya Jenderal Gatot Subroto, pada tanggal 11 Juni 1962. Kala itu saya mendengar paritta (doa Buddhis) dilantunkan oleh umat Buddha di samping peti jenasah Jenderal Gatot Subroto. Hal ini kudengarkan melalui siaran RRI. Saya sangat mengagumi jenderal ini, atas keberanian dan kegigihannya dalam mempertahankan keyakinannya sebagai orang Jawa. Belakangan kuketahui bahwa beliau menjadi penasihat organisasi Perhimpunan Buddhis Indonesia (Perbudhi) yang waktu itu diketuai oleh Kolonel Sumantri Mohammad Saleh.
Sambil mengisi hari-hari dengan berbagai kesibukan sebagai mahasiswa Unpad, saya tidak berhenti dan terus memelajari ajaran Jawa. Pada awalnya, memelajari ajaran Jawa itu dimaksudkan sebagai memahami budaya anak negeri.
Saya pernah membaca biografi Sultan Hamengku Buwono IX sewaktu menjadi mahasiswa di negeri Belanda yang mengatakan bahwa meskipun saya dididik secara barat oleh orang barat (karena sejak kecil beliau di-indekos-kan pada orang Belanda di Jogja) namun saya tetap orang Jawa.
Sebagai orang yang memegang teguh filsafat Jawa, saya tidak bisa melupakan ujaran Jawa yang pernah saya baca,
”Nglurug tanpa Bala, Sugih Tanpa Bondho, Menang Tanpa Ngasorake, Surodiro Joyoningrat Lebur Dening Pangestuti”
(artinya: Menyerang tanpa pasukan, Kaya tanpa harta, Menang tanpa merendahkan, Keangkaramurkaan lebur karena kebenaran)
Ujaran yang terkenal dalam jagad pitutur Jawa ini kalau dikaitkan dengan perilaku figur Buddha Gotama sangatlah sesuai. Dalam banyak kisah diceritakan, Buddha Gotama tatkala mencari, menemukan dan membabarkan Dharma pertama kali di telatah India Tengah tanpa disertai seorang teman pun, Beliau sendirian saja. Begitu juga ketika mengalahkan petapa Kassapa bersaudara, penyembah api dan mempu nyai banyak pengikut, dengan kasih sayang tanpa merendahkannya. Beliau tidak memalukan Kassapa yang hendak menjadi siswa Sang Buddha. Sesudah mengajukan permohonan ketiga kalinya, barulah keinginan tersebut dikabulkan Sang Buddha namun dengan syarat–syarat; agar ia tetap menghormati ajaran (agama) lama yang pernah dianutnya, dan agar ia selalu menghormat dan menyantuni guru–guru agama seperti apa yang telah dilakukannya selama ini.
Inilah juga ajaran yang kupegang ketika kemudian saya memeluk agama Buddha. Pilihan memeluk agama Buddha betul-betul setelah kugunakan nalar dan sanubariku sendiri.
Berjumpa agama Buddha
Di bulan April tahun 1959, terjadilah peristiwa yang mengharukan sanubariku sewaktu berusia 18 tahun dan duduk di SMA kelas 2. Pada sebuah koran nasional, saya membaca berita pelarian Dalai Lama dari Tibet ke India. Waktu itu Tibet diduduki dengan paksa oleh China sehingga menimbulkan pelarian para pemimpin Tibet tersebut. Dalai Lama dengan diiringi para pemimpin lainnya terusir dari negerinya. Timbul kesan mendalam di dasar sanubariku yang belakangan menjelma menjadi sebuah ”pencerahan”. Bagiku waktu itu adalah suatu hal yang mengherankan, padahal aku tidak mempunyai teman Buddhis dan juga tidak pernah membaca buku-buku ajaran Buddha sebelumnya. Sejak inilah, instingku bergerak lebih besar pada keingintahuan lebih lanjut tentang ajaran Buddha.
Tidak berselang lama, di bulan Mei 1959, ketika usiaku belum genap 19 tahun dan bertepatan menginjak kelas dua SMA, tanpa kuduga terbitlah berita besar di sebuah koran nasional tentang akan diselenggarakannya upacara Waisak di Borobudur. Peringatan Waisak itu akan diselenggarakan bersamaan peringatan 2500 tahun wafatnya Sang Buddha Gotama. Disebutkan juga dalam berita di koran tersebut, dalam rangkaian perayaan nantinya juga dibarengi dengan penahbisan untuk pertama kali bhikkhu-bhikkhu Indonesia, yang dihadiri bhikkhu-bhikkhu dari luar negeri. Hal ini menimbulkan keingintahuan mendalam, semacam passion yang kedua, setelah pelarian Dalai Lama. Sama sekali dalam memoriku kala itu belum tercatat dalam pengetahuanku seperti apa bhikkhu itu.
Keingintahuanku itu tidak kubiarkan mengalir begitu saja, melainkan ingin kutuntaskan. Maka, bersama tujuh orang teman termasuk Henk kakakku, kami berangkat ke Borobudur yang terletak di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah dengan naik sepeda ontel. Jarak dua ratus kilo meter lebih itu kami lewati dengan penuh kegembiraan meski dengan kebohongan. Henk dan saya mengaku pada ayah bahwa kami ke Jogja naik kereta api, namun pada ibu kami jujur saja. Ayah setengah percaya dan beliau membelikan dua tiket KA ke Jogja, sedangkan teman-teman lain secara sendiri, dengan diskon pelajar, membeli sampai Mojokerto saja. Sedangkan semua sepeda secara diam-diam dimasukkan ke dalam bagasi. Ayah mengantar kami sampai Surabaya saja, selanjutnya kami turun di Mojokerto dan melanjutkan mengayuh sepeda menuju Jogja.
Dalam perjalanan itu rombongan beberapa kali berhenti, melepas lelah di jalan. Terkadang berhenti dan tidur di masjid, musholla, kantor polisi, rumah keluarga teman atau pun kantor kelurahan di daerah yang dilewati.
Setelah beberapa hari, akhirnya sampailah rombongan di tempat tujuan. Siangnya, setibanya di Candi Mendut tanggal 22 Mei 1959 (2503 BE-Tahun Buddhis) jam 15.00, terkait dengan prosesi Waisak dari Candi Mendut ke Borobudur telah usai. Namun hal itu tidaklah menyurutkan langkah kami untuk tetap masuk ke dalam Candi Mendut. Tatkala di ruangan Candi Mendut, tiba-tiba hal di luar nalar yang aku rasakan. Banyak bintang turun seolah menekan tubuhku, sampai daku jongkok bersimpuh bertumpu lutut dan kepala tertunduk merendah menyembah kehadirat beliau. Di saat itulah, kemudian aku diberi dupa oleh seorang upasaka. Kupegang dupa tersebut dan sedikit gamang aku berujar lirih, “Aku menghormat padamu Buddha dan kuingin mengetahui ajaran-Mu”.
Anehnya, pengalaman itu tidak dialami oleh teman-temanku yang sama-sama masuk ke dalam candi. Aku masih terus didera perasaan heran dan pesona oleh kejadian yang baru saja kualami.
Rombongan kemudian mengejar prosesi di Candi Borobudur. Aku dan kawan-kawan kemudian mengikuti perjalanan dengan berjalan kaki seraya menuntun sepeda menuju Candi Borobudur. Di perjalanan itu, kebetulan kami beriringan dengan seorang Buddhis dari Makassar yang banyak menjelaskan tentang agama Buddha kepada kami. Mulailah sedikit demi sedikit pengetahuanku tentang ajaran Buddha terekam dalam benak kepalaku. Teman-teman lain kurang gairah mendengarnya yang dilihatnya cuma amoy-amoy yang mulus.
Dari kejauhan sudah nampak pergerakan nyala lilin-lilin yang dibawa umat mengelilingi lorong-lorong candi. Hatiku sangat bergetar dan ingin cepat segera sampai dan takut terlambat.
Sesampainya di Borobudur kami bersama-sama naik ke candi dengan membawa lilin dan dupa yang diberikan panitia, memutar layaknya tawaf bagi umat Islam yang menjalankan ibadah haji, hingga ke tingkatan atas. Di hadapan kami terhampar kegelapan dengan penerangan ratusan lilin-lilin upacara
yang menambah kesyahduan dan kesakralan upacara, sebab sebagian para bhikkhu sedang bermeditasi duduk bersandar melingkari dinding maha stupa. Aroma dupa harum serta bunga melati dan sedap malam terhirup segar. Saat itulah yang dikenal sebagai Detik Waisak yang sakral pada pukul 20.35 WIB. Lagi-lagi aku diberi dupa oleh seorang upasaka. Dengan memegang dupa aku berujar yang sama seperti di Candi Mendut dihadapan patung Buddha yang terbuka yang dikelilingi oleh lilin-lilin menyala serta harumnya bunga dan dupa. Peristiwa itu begitu mengendap lama serta dalam di dasar sanubariku.
Setelah prosesi itu selesai, keesokannya, rombongan remaja dari Malang ini menggenjot ontel-nya untuk kembali ke Malang. Peristiwa yang kualami di Magelang itu kemudian kuceritakan kepada orangtuaku dengan penuh antusias. Daku merasa puas, sekalipun badanku letih setelah berhari-hari mengayuh sepeda, keinginanku untuk melihat Candi Borobudur, prosesi Waisak dan sedikit mengenal agama Buddha telah kesampaian.
Ada sedikit cerita lucu sewaktu kami sedang istirahat dipinggir jalan antara Surabaya–Malang. Dari kejauhan kami melihat mobil yang disetir ayah sendiri. Kontan kami semua merunduk takut kelihatan. Begitu mobil ayah mendekat nampak jendela kaca dibuka dan ayah meludah ke arah kami. Tak ayal kami sangatlah takut sekali karena mengganggap ayah mengetahuinya. Ternyata hal itu suatu kebetulan belaka.
Mengenal Ajaran Buddha
Setahun saya kuliah di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada di Jogja namun belum berjumpa dengan ajaran Buddha sehingga suatu kesempatan saya bisa pindah kuliah ke Universitas Padjadjaran, Bandung.
Bandung sebagai Paris van Java, telah lama dikenal orang. Saya juga mengenal sebutan demikian itu. Keelokan pemandangan ditambah tangan-tangan kreatif membuat kota di ketinggian itu mengalirkan kekhasan bagi kota itu. Berseraknya lembaga pendidikan tinggi favorit, merupakan sebuah nilai tambah,
yang menyajikan pergerakan dan dinamika kampus. Gerakan mahasiswa begitu hidup. Nafas demikian ini juga mengalir ke dalam sanubariku. Bukanlah tipe mahasiswa yang melulu kutu buku yang kuinginkan, melainkan juga melakukan suatu perubahan sebagaimana layaknya generasi muda lainnya.
Setelah menetap di Bandung, proses pencarianku belumlah berhenti namun mengendap tiada arah. Suatu sore hari selepas kuliah di Universitas Padjadjaran (Unpad), Bandung, tepatnya di tahun 1962, aku membaca majalah ”Djaja” terbitan Jakarta yang membuka rubrik tanya jawab tentang agama. Aku tertarik dan melayangkan sepucuk surat kepada redaksinya dengan menanyakan hal-hal berikut:
Apakah sebetulnya agama Buddha itu?
Apa nama Kitab Sucinya?
Literatur apa saja yang bisa dibaca?
Apakah agama Buddha mengenal Tuhan?
Di mana tempat ibadahnya di Bandung?
Jawaban redaksi pada tanggal 18 Juni 1962 menyebutkan, bahwa redaksi tidak mengetahui tentang ajaran Buddha dan tidak berwenang menjawabnya sedangkan alamat tempat ibadahnya adalah di Vihara Vimala Dhamma, Jl. Dago No. 3 Pav. Bandung. Diberikan juga informasi satu buku berjudul, ”The Teaching of the Compassionate Buddha” karangan E. A. Burtt, terbitan tahun 1958.
Daku sangat gembira mendapatkan berita tersebut. Beberapa hari kemudian saya ke toko buku untuk mencari buku tersebut namun tidak mendapatkannya.
Kemudian pada suatu siang selepas kuliah, saya bersepeda ke Jl. Dago (sekarang Jl. H. Juanda) mengunjungi vihara yang dimaksud dan menanyakan pada seseorang di mana aku bisa mendapatkan informasi tentang ajaran Buddha. Orang tersebut menganjurkan aku mengunjungi Karbono (seorang pejabat perkeretaapian), di kediamannya yang tidak jauh dari vihara.
Suatu hari menjelang senja saya berkunjung ke rumah Karbono yang dimaksud. Setelah memperkenalkan diri sebagai mahasiswa Unpad asal Malang, kujelaskan maksud kedatanganku guna mengenal lebih lanjut ajaran Buddha.
Karbono menanyakan alasanku ingin mengenal ajaran Buddha. Sesudah mendengarkan, Karbono memanggil istrinya untuk sekali lagi mendengar pengakuanku itu. Dengan muka berseri-seri Karbono menjelaskan secara singkat inti ajaran Buddha sambil menyerahkan beberapa buku bacaan ringkas terbitan Surabaya (Pannasiri Go Eng Djan). Pertemuan pertama tersebut kulanjutkan dengan banyak pertemuan di rumah beliau.
Karbono menjelaskan intisari ajaran Buddha dengan cara yang mudah dipahami orang awam. Sejak saat itu aku rajin berjumpa Karbono yang dengan sabar membimbingku. Suatu hari Karbono memberikan sebuah buku tebal berjudul The Doctrine of The Buddha yang dikarang oleh George Grimm, seorang hakim agung di Jerman. Buku warisan tersebut kini tersimpan di perpustakaan Padepokan Dhammadipa Arama, Malang. Selain buku itu, banyak buku dan artikel lain berbahasa Inggris diberikan kepadaku dan tiap kali kutindaklanjuti dengan dialog intensif. Dialog tersebut tidak hanya mengupas secara logis, tetapi juga masuk di hati melalui contoh dari kehidupan sehari-hari.
Perjumpaan dengan Karbono itu sering pula dilakukan di Vihara Vimala Dhamma, di Jalan Dago Bandung.
Aku masih ingat pada waktu pertama kali menginjakkan kaki di Vihara Vimala, di situ sudah ada lima atau enam orang pemuda dan mahasiswa Buddhis yang belajar Dharma di bawah bimbingan Karbono. Mereka umumnya berasal dari praktik tradisional Tionghoa dan merasa nyaman karena pendekatan yang diberikan Karbono bersifat filsafat, logis, dan sistematis. Unsur mistis tidak pernah disinggung. Hal ini berbeda dengan para tokoh Buddhis nasional saat itu yang lebih menyukai sisi mistisnya.
Kaum muda ini sangat haus akan pengetahuan dan ingin mencocokkan apa yang dijelaskan Karbono dengan penjelasan ahlinya. Mereka rajin merapikan perpustakaan vihara untuk dipakai sebagai referensi diskusi Dharma dari berbagai sekte Buddhis. Dari hasil diskusi dan bacaan mereka terbitlah majalah stensilan yang dikerjakan sendiri dengan nama: Berita Vimala Dhamma. Karbono tersenyum dan bangga dengan gerakan kaum muda ini.
Karbono yang berlatar belakang Kejawen, diketahui sebelumnya juga tidak mendapat kepuasan di dalam memahami agama Islam meski beliau sangat rajin menunaikan rukun Islam. Kadangkala beliau menyesal dan menangis bila terlambat salat. “Masak sih salat yang hanya sebentar sebagai pemenuhan kewajiban pada Allah di nomor duakan dibandingkan rejeki yang telah diterimanya”, demikian pikir beliau. Hal inilah yang dianggapnya suatu yang membebani batinnya. Kemudian Karbono memelajari ajaran Buddha dari buku berbahasa Belanda dan Inggris yang diketemuinya. Lewat Karbono-lah saya mulai saat itu digembleng dengan disodori buku-buku ajaran Buddha dalam bahasa Inggris. Setiap selesai membaca, lalu dilanjutkan diskusi. Ia mengajarkan kepada saya:
“Beragamalah, tapi jangan menjadi beban”
Dengan niat dan kemantapan, maka di tahun 1963 saya sangat mantap memutuskan memeluk agama Buddha dengan diwisuda oleh Bhikkhu Ashin Jinarakkhita di Vihara Nagasena, Pacet, Cianjur bertepatan dengan hari suci Asadha tanggal 10 Juli 1963 sebagai upasaka dengan nama Dharmanaga. Hanya selama setahun saya memelajari ajaran sudah berani mengambil keputusan pindah agama atas kemauan sendiri. Waktu pagi hari sebelum wisuda vihara tersebut diresmikan pemakaiannya dengan dihadiri beberapa duta besar negara–negara Buddhis.
Beberapa keluarga sebetulnya keberatan dengan keputusan yang aku buat itu karena pemahamanku yang masih sangat sedikit. Namun sekali lagi prinsip dalam diriku mengalahkan segalanya sejak menjadi Buddhis. Ayah dan ibu saya tidak terlalu keberatan bila saya memeluk agama Buddha namun dimintakan supaya saya jadi orang yang lebih baik. Argumentasi-argumentasi saya sampaikan kepada beliau dan beliau menerima dengan sepenuhnya karena saya faham tentang Islam. Sejak kecil saya rajin puasa (meski tidak salat) dan di kala menjadi mahasiswa saya termasuk yang faham tentang Hukum Islam dan Islamologi.
Ayah tidak terlalu percaya bahwa bila anaknya berpindah agama (sehingga dianggap kafir) dan menjadi orang yang lebih baik yang tidak merugikan orang lain melainkan memberikan manfaat kehidupannya bagi sesama, akan dikenai sanksi neraka oleh Tuhan. Beliau seorang penganut agama yang berperikemanusiaan (humanistic religion).
Bagaimana sebenarnya dampak orang yang murtad dan menjadi kafir?
Kitab Suci Al Qur’an Surah At-Tahrim Ayat 6:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”. (QS. 66:6)
– Tafsir / Indonesia / DEPAG / Surah At Tahriim 6 –
Dalam ayat ini firman Allah ditujukan kepada orang-orang yang percaya kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, yaitu memerintahkan supaya mereka, menjaga dirinya dari api neraka yang bahan bakarnya terdiri dari manusia dan batu, dengan taat dan patuh melaksanakan perintah Allah, dan mengajarkan kepada keluarganya supaya taat dan patuh kepada perintah Allah untuk menyelamatkan mereka dari api neraka.
Di antara cara menyelamatkan diri dari api neraka itu ialah mendirikan salat dan bersabar, sebagaimana firman Allah SWT.
Al-Imam Tajuddin Abdul Wahhab ibn Ali as-Subki (w 771 H) dalam kitab Thabaqat asy-Syafi’iyyah al-Kubra, j. 1, h. 91, berkata:
“Tidak ada perbedaan pendapat antara Imam al-Asy’ari dan para ulama pengikutnya, bahkan tidak ada perbedaan pendapat di antara segenap orang Islam bahwa seorang yang berkata-kata kufur atau berbuat perbuatan kufur; maka ia telah kafir kepada Allah yang Maha Agung, ia akan dikekalkan di dalam neraka, sekalipun hatinya mengingkari itu (artinya: sekalipun hatinya tidak berniat keluar dari Islam)”
Anggota keluarga lain yang aktivis organisasi wanita Muhammadiyah, Aisyiah, mengatakan pada saya: “Apakah kau sadar bila kau meninggal dunia sebagai orang kafir maka hanya neraka yang menerimamu”. Jawaban saya merendah demikian: “Tidak apa karena dalam ajaran Buddha dikatakan bahwa barangsiapa berjalan dalam jalan Dharma (Kebenaran) maka ia akan masuk surga (surga versi Buddhis). Terdiamlah beliau.
Sejenak beliau menimpali lagi: “Kamu tahu bila orang-tuamu meninggal dunia maka doamu tidak akan diterima Allah”. Saya menjawab dengan merendah: “Benar itu”. Namun menurut pemahaman saya, maka sebagai seorang anak maka wajib mendoakan almarhum agar mendapat tempat yang layak sesuai amal perbuatannya. Soal diterima atau tidaknya doa saya maka saya serahkan sepenuhnya pada Allah. Saya tidak yakin bahwa doa seorang anak yang dilantunkan secara ihklas dan tulus akan ditolak oleh Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. “Mohon maaf Tuhan saya tidak bertindak diskriminatif”, sahut saya.
Prof. Dr Musdah Mulia, tokoh pluralism dan ahli hukum Islam dari Kementerian Agama dalam sambutan tertulis dalam buku ini juga menegaskan:
“Dari perspektif Islam, kondisi mayoritas masyarakat Muslim Indonesia masih belum memahami ajaran agamanya secara utuh. Sungguh ironis, bahwa prinsip kebebasan beragama yang diperkenalkan oleh Nabi Muhammad SAW dan dipraktikkan masyarakat Islam pada abad ke-7 Masehi, dewasa ini justru menjadi asing di hampir semua komunitas Muslim, khususnya di Indonesia. Buktinya, tafsir mainstream yang dianut umat Islam menyatakan mutlaknya larangan riddah atau murtad. Seseorang yang telah menganut agama Islam tidak diperkenankan berpindah agama (murtad) dan hukum bagi mereka dipandang sama dengan kafir, yakni halal darahnya dan tidak berhak mewarisi dan diwarisi. Untuk kebutuhan masa sekarang di mana tuntutan kemanusiaan global menghendaki adanya penghormatan yang tinggi kepada martabat manusia, maka tafsir ajaran yang membatasi kebebasan beraga ma itu sudah tidak relevan lagi karena tidak sesuai dengan tujuan kemaslahatan manusia yang menjadi inti dari seluruh bangunan syari’at Islam”.
Menjadi Aktivis Muda Buddhis
Sejak keputusanku memilih agama Buddha tahun 1963, selanjutnya saya mengikuti dinamika anak-anak muda Buddhis di Kota Bandung. Saya banyak mengenal kawan-kawan baru sesama mahasiswa yang aktif di Vihara Vimala Dharma.
Saya dan kawan-kawan, antara lain Mochtar Rasyid, Gde Raka, Khemawati, Arya Cahyadi dan lain-lain dalam perkembangannya juga mendirikan organisasi Gerakan Pemuda Buddhis Indonesia (GPBI) di kota masing-masing di bawah pengaruh Bhikkhu Ashin. Waktu itu, umat awam belum banyak aktif. Di sinilah awal polemik dalam organisasi Buddhis saya alami untuk pertama kalinya. Sebagai pengurus GPBI, organisasinya kemudian digembosi dan selanjutnya dibentuklah kepengurusan GPBI yang baru. Organisasi ini lantas tidak bertahan lama, sebab selain melebur menyatu dengan organisasi lain dalam wadah organisasi Buddhis yang baru (Perbudhi), di bawah kepemimpinan Kolonel Soeradji di tahun 1970, kepengurusan selanjutnya juga tidak cukup efektif dalam melanjutkan estafet kepengurusan.
Inkarnasi Tapusa dan Ballika
Dalam menggali keputusanku memilih agama Buddha, saya menilai terdapat dua hal mengenai spiritualitas Buddhis. Ibarat kepingan mata uang, dua hal itu tidak dapat dipisahkan. Dua sisi itu adalah sisi sifat mistik dan rasionalitas. Bagi saya, yang paling berpengaruh adalah pada sisi mistik.
Mengapa saya dulu tahun 1959 kok ingin bertemu Dalai Lama?
Mungkin dalam kehidupan lampau saya ini seorang Buddhis
Kenapa sewaktu upacara Waisak di Borobudur tahun 1959 saya mengucapkan penghormatan pada Sang Buddha dan janji ingin mengetahui ajaran-Nya?
Inilah sisi mistis akibat kebenaran Hukum Karma, yang oleh Abrahamic Religion disebut sebagai “Rahasia Tuhan”, “Kehendak Tuhan” atau “Nasib” yang digariskan Tuhan.
Bagiku, memelajari ajaran Buddha sebenarnya sama dengan memelajari sufisme dalam Islam. Menurut mereka, yang penting adalah berpikir & berperilaku baik dan di sinilah seringkali terjadi pertentangan antara penganut syariat dan sufi.
“Banyak kesamaan antara Sufisme dan ajaran Buddha ini”.
Setelah betul-betul menjadi Buddhis, barulah saya mengetahui mengapa saya memberi dua janji, menghormati Buddha dan berjanji memelajari ajaran-Nya tatkala mengunjungi perayaan Waisak di Borobudur Mei tahun 1959. Ternyata dalam sejarah agama Buddha, murid pertama Buddha, Tapussa dan Balika sewaktu berjumpa Buddha sesudah mencapai Pencerahan Agung, juga disuruh mengucapkan dua perlindungan tersebut:
Buddham Saranam Gachami,
Dhammam Saranam Gachami
Aku Berlindung pada Buddha,
Aku berlindung pada Dharma
Sangha (Pasamuan para bhikkhu) di kala itu belum terwujud.
“Jangan-jangan, saya ini budak belian Tapussa dan Ballika 2600 tahun lampau, dan bertumbimbal lahir pada era sekarang”.
Sisi rasionalitas, bagi saya Buddhism is very-very scientific. Karena itulah saya juga maklum jika sebagian orang mengatakan, Buddhism is not religion (bila menggunakan kriteria Abrahamic Religion), melainkan Buddhism is science, Buddhism is ethics, Buddhism is metaphysic.
“Ajaran Buddha baru bisa dikatakan agama kalau melihat faith dan ritualnya serta ajaran tentang adanya surga dan neraka serta berbagai upacara ritual baik yang biasa, sederhana sampai yang rumit kadangkala bersifat rahasia dalam sekte tertentu. Karena dalam tesisnya, Buddha ibaratnya seperti seorang dokter. “Hai, kamu itu sakit, lho, duka nestapa pasti ada sebabnya.” Kalau sebabnya ini dihilangkan melalui Jalan Utama Berunsur Delapan, dukanya akan berubah menjadi Kebahagiaan Sejati—sukkha”.
Karbono selalu menekankan dalam ceramahnya bahwa segala sesuatu di alam semesta selalu berubah (Jawa: owah-gingsir) dan inilah yang menyebabkan dukkha. Dukkha timbul karena ada ‘aku’, milikku, barangku dan kehausan untuk memiliki dan kemelekatan. Ia menyamakan dalam Islam, jika dipahami semua ini milik Tuhan, dan ikhlas menerima apa adanya, maka dukkha akan hilang. Dalam bahasa Buddhisnya,
“Sudah sesuai karma yang harus dijalani dengan kesabaran.”
Dengan mentransformasi pikiran, yang semula sedih, setidaknya menjadi netral, dan bisa juga menuju positif. Timbulnya dukkha juga bisa karena kelalaian. Menurut Sang Buddha, barang siapa yang tidak waspada, seakan-akan mati.
Atas diskusi dengan Karbono dan kawan-kawan kala itu, saya mengetahui bahwa dalam ajaran Buddha yang diajarkan pertama adalah pengertian yang benar dulu apa makna hidup dan kehidupan, dan bagaimana melenyapkan duka. Tidak kalah penting juga adalah melihat ke dalam diri atau yang disebut meditasi guna memperoleh kebijaksanaan (wisdom). Akar penderitaan pertama adalah lobha (serakah). Akar kedua adalah dosa (kemarahan, kebencian, dengki dan iri hati) sebagai kelanjutan sifat serakah karena disebabkan moha (kegelapan batin). Serakah itu tidak hanya pada harta saja, namun bisa pada keyakinan dan agama.
“Kalau sekarang ada koruptor dan perusak alam dan tidak merasa berdosa sampai akhir hayat, tetapi hukum karma tetap berlaku. Setelah mati, mungkin ia lahir kembali di tempat yang sangat menderita seperti di negara-negara Afrika Hitam”.
Saya juga amat mengagumi pikiran Dalai Lama. Dalam karya Dalai Lama yang kuanggap guru terbesarku, The Art of Happiness at Work disebutkan, semua mahluk ingin berbahagia. Kebahagiaan itu lebih ditentukan oleh kondisi pikiran (batin) daripada kondisi eksternal, lingkungan atau kejadian yang dialami. Hal ini akan berjalan dengan catatan jika kebutuhan dasar hidup seseorang terpenuhi terlebih dahulu. Kebahagiaan dapat dicapai melalui pelatihan sistematik dari pikiran dan hati nurani, melalui transformasi sikap dan pandangan.
KISAH PENDIRIAN PADEPOKAN DHAMMADIPA
1. Padepokan Dhammadipa Arama, Tahun 1970-an
Bulan Waisak, Mei tahun 1971, seorang bhikkhu asal Thailand Selatan bernama Phra Kru Athacariyanukich (Bhante Win) mempunyai cita-cita luhur agar umat Buddha khususnya di Malang, dapat memiliki sebuah tempat yang layak dan patut dibanggakan, di suatu tanah yang lapang berhawa sejuk dan tidak hingar bingar karena kebisingan kota.
Cita-cita luhur tersebut disambut baik oleh umat Buddha di Malang dan Surabaya. Mulailah beliau menghimpun kerjasama dengan para donatur. Niat baik itu pun juga direspon oleh Yang Mulia Somdet Phra Nyanasamwara, sehingga terkumpul dana sejumlah Rp. 202.240,-. Dengan dana tersebut dicarikan tanah yang sesuai dengan tujuan luhur itu.
Tanggal 5 Juli 1971, tiga orang menerima uang dan mengurus pembelian tanah untuk vihara tersebut. Mereka adalah Bhikkhu Agga Jinamitto, Djamal Bakir, dan Sri Hartini Dharmayani istri Djamal Bakir sebagai pemegang amanat umat.
Pada tanggal 17 Juli 1971 dibeli tanah seluas 4400 m2 dari Bapak Dasuki dengan harga Rp. 75.- (tujuh puluh lima rupiah) per m2 di Dusun Ngandat, Desa Mojorejo, Kecamatan Junrejo, Kota Batu. Tanah dua petak tersebut di atas namakan Ibu Djamal dan saya sendiri. Karena beberapa kasus yang terjadi bahwa pengatasnama tanah yang telah meninggal dunia maka tanah jatuh pada ahli waris maka untuk mencegah hal ini saya menyarankan agar kita berdua membuat pernyataan tertulis di notaris bahwa tanah ini milik umat dan bukan milik pribadi. Sejak saat itu berdiri Panitia Pembangunan Vihara yang ditangani langsung oleh ibu Djamal Bakir.
Pembangunan pertama ’Veluvana’ sebagai dhammasala (ruang khotbah) pertama dimulai tanggal 15 Agustus 1971. Diberi nama Veluvana karena bangunan utama ini seluruhnya dari bambu, kecuali atap genteng dan lantai papan. Seluruh pagar vihara juga ditanami pagar bambu yang saat ini menjadi pagar alami khususnya di area kuti dan uposathaghara (gedung penahbisan).
Pada tanggal 25 September 1971 vihara sederhana tersebut mendapat kunjungan Presiden WFB (World Fellowship of Buddhist)—Pangeran Puteri Poon Pismai Diskul (bibi Raja Thailand), yang memberikan hadiah sebuah arca Buddha setinggi + 40 cm. Pada hari itu pula diadakan upacara peresmian vihara yang dihadiri oleh Maha Nayaka Maha Sangha Indonesia Sthavira Ashin Jinarakkhita.
Pada tahun 1972, Yang Mulia Phra Nyanawaraborn Kicchara, Mahathera—Wakil Ketua Wat Bovoranives di Bangkok menghadiahkan sebuah arca Buddha setinggi 1 m yang dilapis kertas emas.
Terjadi peristiwa yang menggegerkan yaitu pada tanggal 28 Februari 1973, perampok membawa kabur 2 buah arca Buddha tersebut pada tengah malam, dengan mengancam penjaga yang hanya seorang diri. Sebagaimana diketahui, dinding dan pintu dhammasala ini terbuat dari bambu.
Arca Buddha yang besar ditemukan kembali di rumah perampok di kota Malang pada tanggal 5 Maret 1973, sedang yang kecil tidak ditemukan hingga saat ini dan pada tanggal 27 Maret 1973, diserahkan kembali oleh Kapolwil Malang kepada pengurus vihara dan disimpan di Jalan Tapaksiring No. 22 B, Malang.
Upacara penempatan kembali arca tersebut dilangsungkan pada tanggal 17 April 1973 di tempat semula. Hilangnya arca selama 48 hari ternyata membawa hikmah. Nama Vihara Veluvana menjadi berkembang cepat karena diekspose melalui berbagai surat kabar di Indonesia. Umat Buddha makin banyak berkunjung di Vihara Veluvana dan dukungan dari berbagai kalangan masyarakat dan hal ini terus mengalir.
Panitia Pembangunan dan Pemugaran Dhammasala yang terdiri dari empat serangkai sebagai lambang persatuan dibentuk pada tanggal 7 September 1975 yaitu: Lwie Siek Yan, Liauw Tiek Sun, Drs. Djamal Bakir, dan saya sendiri.
Peresmian Dhammasala Veluvana—yang berarti hutan bambu, dihadiri oleh Bupati Malang R. Soewignyo diselenggarakan pada tanggal 16 Mei 1976; Ketua Umum Perbudhi (Perhimpunan Buddhis Indonesia) Suraji Ariakertawidjaja, Bhante Girirakkhito dan 6 bhikkhu dari Thailand: Phra Vimosilahara Mahāthera, Phra Suvirayan Mahathera, Phraru Doruthon Sombat, Phrakru Vimolasith Mahathera, Phrakru Prasong, Phra Piyadharo. Atas saran Somdet Phra Nanasamwara, maka Vihara Veluvana, sejak peresmian tanggal 16 Mei I976, diubah menjadi Padepokan Dhammadipa Arama agar lebih mendekati budaya lokal. Dipa berarti pelita atau penerangan. Dipa juga berarti pulau. Pulau tempat bagi manusia untuk tinggal dan hidup di dalamnya. Jika kita menjadikan Dharma sebagai pulau berarti kita hidup dalam Dharma. Sang Buddha bersabda,
”Dhammadipa Dhammasarana Anannasarawa”
artinya jadikanlah Dharma pulau bagimu, jadikanlah Dharma sebagai pelindungmu, tidak mencari perlindungan yang lain.
Sedangkan Yayasan Dhammadipa Arama diresmikan pada tanggal 6 Juli l976 dengan Akta Notaris Djoko Supadmo, Surabaya, dengan Herman S. Endro, SH sebagai ketua dan Drs. Djamal Bakir sebagai sekretaris.
2. Padepokan Dhammadipa Arama, tahun 1990-an
Sejak tahun 1992, Bhante Khantidharo menetap di Padepokan Dhammadipa Arama, Batu. Tahun 1992 itulah mulai dibangun kuti untuk tempat tinggal para bhikkhu dan untuk umat peserta latihan vipassana yang semuanya dibangun dari kayu besi atau ulin. Kayu ulin atau besi ini merupakan kayu yang memiliki kualitas tertinggi, karena anti rayap dan anti air. Sehingga bisa bertahan hingga ratusan tahun.
Tahun 1995, diresmikan bangunan khusus segi delapan untuk meditasi (Bhavana Sabha). Bhavana artinya pengembangan batin, sedangkan Sabha berarti ruangan atau tempat. Jadi Bhavana Sabha dapat diartikan sebagai ruang khusus yang digunakan untuk melatih mengembangkan batin khususnya Vipassana Bhavana. Segi Delapan melambangkan Jalan Tengah Berunsur Delapan (pannya, sila, dan samadhi). Dalam ruangan ini terdapat ukiran dari kayu ulin di empat sisi luar dan dalam. Dari sisi dalam tertera 4 peristiwa penting, yaitu Pangeran Siddhattha berjumpa dengan orang tua, orang sakit, orang mati, dan seorang petapa. Sisi luar tertera saat Pangeran Siddhattha lahir di Taman Lumbini, mencapai penerangan sempurna di Bodhgaya, khotbah pertama di Isipatana, dan saat parinibbana di Kusinara.
Tanggal 28 November 1997, diresmikan Uposathaghara, Reclining Buddha, dan Balekambang (ruang serba guna) yang dihadiri oleh para bhikkhu baik dari dalam maupun luar negeri. Uposathagara adalah bangunan khusus yang digunakan untuk kegiatan Sangha, seperti penahbisan bhikkhu, pengulangan aturan disiplin kebhikkhuan). Bangunan ini ada sima atau batas yang terdiri dari 9 titik dan telah diresmikan dengan pembacaan paritta oleh + 64 bhikkhu dari Sangha Theravada Indonesia dan para bhikkhu dari Thailand. Sejak saat itu diadakan penahbisan (upasampada), penahbisan bhikkhu di tempat ini dua tahun sekali, bergantian dengan di Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya di Jakarta Utara.
Reclining Buddha adalah salah satu bentuk sikap meditasi berbaring yang dilakukan Sang Buddha. Menjelang wafat beliau berkata pada murid-muridnya,
”Vayadhamma sankhara, Appamadena sampadetha”
artinya: Segala yang terkondisi pasti akan berubah dan hancur. Berjuanglah dengan penuh kesadaran untuk membebaskannya.
KENANGAN BERSAMA KAWAN AKTIVIS LAWAS
Mochtar Rasyid, Peminat Mistik
Dalam organisasi GPBI, saya memiliki teman akrab, salah satunya adalah (alm.) Mochtar Rasyid. Kebetulan Rasyid sangat menggemari hal-hal metafisik, soal rasa (Jawa). Untuk hal ini saya mempunyai kenangan dengan sahabat karibku ini.
Rasyid adalah mahasiswa Farmasi ITB. Perjumpaan itu terjadi di tahun 1963, Rasyid dibawa oleh teman saya, seorang mahasiswi Buddhis. Dikatakan oleh teman perempuannya itu, bahwa Mochtar Rasyid ini berkali-kali terkena guna-guna. Setelah berbicara panjang lebar, saya lantas meminjamkan patung Buddha yang sangat kecil ukurannya, sekitar 1 cm tingginya untuk Rasyid. Patung itu berasal dari Kamboja yang diberikan kepada saya oleh Bhikkhu Ashin. Selang berjalannya waktu Rasyid mengatakan, bahwa setiap membawa patung itu, guna-guna itu tidak mempan. Sebaliknya jika tertinggal malah gampang terkena guna-guna. Padahal, suatu hari ketika dalam perjalanan menggunakan bus ke luar kota bersama teman-teman sedharma dari suatu wisata religi, patung itu jatuh dan tidak ada lagi di saku baju. Anehnya, patung itu dapat ditemukan kembali (yang jatuh di tanah dekat tangga bus). Sayang, patung itu kini telah hilang entah di mana.
Sepertinya dirasakan Rasyid, ia mulai tergantung dengan patung itu. Atas perubahan pada dirinya itu, sekadar berpendapat saya menyampaikan kepada Rasyid agar tidak lagi tergantung kepada patung, melainkan seharusnya kepada diri sendiri, sesuai ajaran Buddha. Jika tameng itu ada di dalam, yaitu sisi
eksoterisnya, maka patung atau jimat itu tidak perlu lagi. Kemudian aku mengajak Rasyid belajar meditasi bersama.
Sebenarnya, sebelum tahun 1965 itu saya dan kawan-kawan merasa curiga dengan kehadiran Rasyid. Di tengah memanasnya situasi politik saat itu kecurigaan muncul, disebabkan Rasyid yang berasal dari Minangkabau dicurigai sebagai oknum HMI. Kami berpikir mana mungkin seorang Minang mau memeluk agama Buddha. Kebetulan waktu itu Soekarno sangat membenci HMI karena dianggap tidak progresif revolusioner, dan organisasi itu nyaris dibubarkan. Kecurigaan kepada Rasyid lebih karena dugaan penyusupan mata-mata yang masuk ke dalam lembaga Buddhis. Apalagi sewaktu pendirian GPBI, Rasyid juga ikut masuk di dalamnya dan bahkan bersedia menjadi pengurus DPP. Lebih besarlah kecurigaan itu. Akan tetapi, seiring perjalanan waktu, Rasyid menampakkan sebagai mahasiswa yang betul-betul ingin mendalami ajaran Buddha bersama saya dan lain-lain, maka perlahan namun pasti, kecurigaan terhadap Rasyid menghilang.
Sejak saat itu, Rasyid sudah memperlihatkan kecintaannya pada klenik dengan melihat patung-patung yang ada di Vihara Vimala Dharma. Sisi eksoteris di balik benda-benda itu menurut Rasyid, dapat dirasakan dari getaran demi getaran. Kadang dirasakan getaran itu mengarah pada energi positif, atau kadang negatif. Kekuatan dari getaran itu dianggap bisa memberikan perlindungan bagi pemiliknya. Saya malah ba-nyak mendapatkan pelajaran mengenai “isi” keris. Kami secara bergantian mengecek benda-benda di vihara yang dianggap ada isinya bagaimana rasa getarannya.
Saya memiliki pengalaman unik soal perkerisan ini ketika menghadiri undangan pernikahan Santoso, teman kuliah kakakku di Bandung, yang tinggal di Solo. Perkawinan itu dihelat di rumah kakek Santoso, mbah Hadi yang seorang juragan batik. Di sana saya berkesempatan langsung berbicara dengan Mbah Hadi. Setelah berbicara panjang lebar mengenai perkerisan, mbah Hadi menebak saya memiliki ngelmu. Saya menampiknya dengan halus. Akan tetapi hal itu semakin membuat penasaran beliau. Masuklah Mbah Hadi ke kamarnya dan keluar sambil membawa sebilah keris. Keris itu pun diserahkan ke saya. Saya merasakan ketika memegang keris itu seolah saya menjadi seorang satria berbadan tinggi besar. Mbah Hadi kemudian bercerita panjang lebar asal-usul keris itu yang milik seorang pangeran Keraton Solo. Mbah Hadi kemudian masuk kamar lagi dan keluar membawa sebilah keris lain untuk diterawang olehku. Selanjutnya terus demikian sampai lima kali keluar masuk kamar. Dalam beberapa saat itu saya merasakan ketegangan, namun saya puas sebab bisa menjawab pertanyaan tuan rumah dengan benar tentang “isi” keris. Mulailah saya menyenangi perkerisan sampai saya menjadi bhikkhu, tanpa harus memberi sesaji seperti dupa dan lainnya.
Rasyid adalah sahabat seperjuangan dalam gerakan Theravada. Ia mewakili di segenap pertemuan dengan Menteri Agama serta peninjauan ke daerah-daerah.
Karena saya sibuk di pekerjaan maka ia mewakili Magabudhi dan Walubi di banyak kegiatan. Karenanya ia juga menjadi pendiri dan Wakil Presiden Asian Buddhist Council (ABC) di Colombo, Sri Lanka.
Menjelang wafat ia bilang saya: “Ndro, kita bersahabat lebih dari 30 tahun, dan kita sebenarnya tidak pernah selaras, namun tetap bisa bersama ya.” Kujawab: “Memang benar karena yang mengikat kita berdua adalah pengabdian pada ajaran Buddha secara tulus, sehingga kita saling membantu dan tenggang rasa.”
Rasyid adalah seorang perfectionist, mau segalanya sempurna, sedang diriku seorang pragmatis. Latar belakang budaya, pendidikan dan pengalaman hidup membuat kami banyak berbeda satu sama lain yang kadang sukar dikompromikan.
Di rapat-rapat Walubi kami seakan berbeda pendapat dan debat sengit sehingga anggota majelis lain ada yang pro salah satu dari kami. Sebenarnya hal itu adalah permainan negosiasi biasa.
Dalam menelorkan dokumen “Pedoman Pembabaran dan Pengamalan Agama Buddha Mazhab Theravada”, yang isinya hampir semua saya buat, maka guna menyukseskannya terpaksa saya bersekongkol dengan Bhante Vin untuk menugaskan dia ke Bangkok. Selama proses rapat yang berlangsung di Vihara Padumuttara, Tangerang, ia tidak diberikan tiket pulang. Sesudah rapat selesai dan dokumen telah ditanda tangani maka barulah ia pulang ke Jakarta dan marah-marah. Saya dan Suparto HS, Ketua Umum Magabudhi hanya tersenyum saja.
Oka Diputhera
Oka Diputhera, tokoh awal perkembangan agama Buddha juga mengenal baik diriku dan melihat kiprahku dalam perkembangan agama Buddha. Diceritakan, bahwa pada waktu agama Buddha mulai berkembang, Oka tinggal di Kampung Bali, Jakarta Pusat. Di kawasan itu, Oka dikontrakkan rumah oleh Pemda Bali. Sebelum ditempatinya, dulu rumah itu ditempati oleh orang Tionghoa. Begitu Oka masuk ke situ, dijumpainya cerita bahwa di kanan dan kirinya rumah itu, sering ada orang kerasukan. Orang Tionghoa itu bercerita, jika dirinya dalam malam Jumat tidak menyiapkan kopi dan lisong, dia pasti diganggu.
Melihat hal itu, Oka mengajak seorang pedanda Bali dan juga bhikkhu, termasuk saya juga ikut di dalamnya, sering menginap di sana terus memanjatkan paritta. Berawal dari itu, Oka bisa membuktikan bahwa paritta dari agama Buddha itu memang ampuh. Artinya, setelah itu tidak ada lagi orang kerasukan, Oka pun tidak perlu memberi sesajen seperti lisong dan lainnya. Di situ saya juga turut membaca paritta, turut ”membersihkan” rumahnya. Oka sendiri waktu itu baru saja menikah, sementara saya masih sangat muda. Saya dikenalnya sebagai salah satu aktivis Gerakan Pemuda Buddhis Bandung.
Saya menganggap Oka Diputhera serta istri sebagai kakak sendiri. Banyak ilmu kebuddhaan ditanyakan kepadanya sehubungan dengan jabatannya di Departemen Agama Ditjen Hindu & Buddha. Oka pandai bersyair, berkelakar dan mengarang lakon antara lain Ashoka dan Sebiji Lada. Namun Oka bukan orang yang suka membaca literatur Buddhis yang berbahas Inggris. Hal ini berbeda dengan Karbono dengan sumber yang lebih banyak. Dengan Oka terpaksa saya banyak berbeda pendapat tentang Sang Hyang Kamahanikan di mana Oka sering ”menyesuaikan” dengan situasi dan kondisi alias politis. Sedangkan kelompok Bandung ingin keaslian dan kebenaran ajaran. Karena kejengkelannya Karbono pernah berujar:
”Met of zonder (dengan atau tanpa) Dirjen, kita jalan terus”
Yang benar adalah benar, tidak perlu menyesuaikan ajaran kita dengan ajaran agama lain tatkala Oka menciptakan Panca Sraddha yang mirip dengan Lima Rukun Islam ataupun Panca Sradha Hindu. Oka tidak salah, mengingat posisinya sebagai pejabat Departemen Agama, namun sedikit dilupakan bahwa Departemen Agama tidak layak turut campur soal ajaran atau aqidah.
Kekisruhan juga terjadi sewaktu timbulnya kasus pengharusan mengakui paham Adi Buddha sebagi Tuhan-nya umat Buddha yang ditentang habis-habisan oleh kelompok Theravada Bandung. Saya berusaha mendekati Oka dengan membawa beberapa literatur Buddhis berbahasa Inggris antara lain The God of the Buddha yang menjelaskan aspek theologis, sebagai non-theistic religion (bukan atheistic), dalam agama Buddha serta pemahaman tentang Adi Buddha. Kelompok Theravada pantang menyerah dan tetap berusaha memahamkan Oka. Akhirnya Oka sangat paham tentang hal itu namun masalah keburu membesar. Ia tidak bisa berbuat banyak dikala timbul Keputusan Presiden tentang Sumpah menurut agama-agama di mana dicantumkan kalimat: ”Demi Sang Hyang Adi Buddha”. Orang Theravada menyiasatinya dengan melafalkan ”Demi Sang Buddha”. Hyang-nya tidak dilafal. Siapa sih yang dengar.
Kekurangsukaan membaca literatur berbahasa Inggris inilah yang sering membuat Oka mengalami kesulitan dalam mengelola direktoratnya, seperti pemahaman apa itu ajaran Nichiren Soshu, Maitreya dan lainnya.
Namun jasa Oka dalam membina umat Buddha sangat besar berkat kegigihannya, serta trial & errornya sehingga membuahkan hasil Penetapan Hari Raya Waisak yang diperjuangkan bersama, termasuk oleh Oka, sejak 1958 yang dikabulkan pada 19 Januari 1983 serta juga pembentukan Direktur Urusan agama Buddha di Ditjen Agama Hindu & Buddha, Departemen Agama RI di mana Oka sebagai Direktur yang pertama.
Djamal Bakir (Bhikkhu Khantidaro)
Saya waktu itu juga berkenalan dengan tokoh Buddhis di Malang. Salah satunya adalah Djamal Bakir beserta istri, yang sekarang dikenal dengan Bhante Khantidaro. Sebelum mengenal pribadi saya, bhikkhu ini telah beberapa saat mengenal figur saya dari berbagai berita. Bahkan ada sejenis majalah atau buletin terbit bulanan yang menyebut nama Herman S. Endro. Saya diketahui masih berstatus mahasiswa, sudah menjadi Ketua GPBI. Akan tetapi secara fisik baru dikenalnya di Malang saat saya pulang liburan mengunjungi orangtuaku di Malang. Tidak lupa saya menyempatkan diri bertandang ke rumah Djamal Bakir yang kukenal hanya nama di majalah stensilan terbitan beliau.
Komunikasi terus berlangsung, kebetulan Djamal Bakir menjabat Ketua Perhimpunan Buddhis Indonesia (Perbudi) cabang Malang. Hubungan pun semakin erat. Jika saya ke Malang, Djamal Bakir memberi kesempatan kepadaku untuk memberikan ceramah agama Buddha. Tempatnya masih di kelenteng besar, sekitar tahun 1966-1967. Djamal Bakir sendiri mengenal agama Buddha tahun 1964 dan setahun kemudian baru aktif di dalam agama Buddha hingga sekarang.
Di tahun 1970-an awal, Djamal Bakir rajin mengunjungi komunitas Buddhis di pedalaman wilayah Malang seperti Jatiguwi, Ampelgading, Sumberpucung, Dampit dan lain-lain. Dalam kegiatan itu saya beberapa kali ikut mendampinginya. Pekerjaan sehari-hari beliau waktu itu adalah sebagai PNS, guru di sebuah SMEA di Malang. Kunjungan ke daerah-daerah itu dilakukan hampir setiap minggu, dan sebulan sekali membawanya sampai ke Jember. Di sana komunitas Buddhis mengaku kurang mendapat arahan. Karena jarak cukup jauh, dalam perkembangannya sekarang, komunitas di tempat itu kurang berkembang dengan baik. Setamat kuliah dari Universitas Padjajaran, saya pulang kembali ke Malang dan tinggal bersama orangtua. Masa itu kugunakan untuk turut mendirikan yayasan yang mengelola vihara tersebut yang dinamakan persis seperti nama viharanya, Yayasan Dhammadipa Arama pada tahun 1975. Peranku cukup vital dalam mengurus kelengkapan persyaratan pendirian yayasan tersebut. Djamal Bakir mengaku, waktu itu peran beliau sejauh membubuhkan tanda tangannya saja. Saya juga sekaligus bertindak sebagai ketua yayasan untuk pertama kalinya.
Tidak berapa lama kemudian saya dipindahkan ke Unilever Jakarta. Posisiku sebagai ketua diganti oleh Djamal Bakir sendiri.
Tahun 1977 Djamal Bakir mendapatkan tugas di Burma, Myanmar. Di sana beliau bertugas selama 5 (lima) tahun. Sewaktu di sanapulalah beliau pernah mengundang saya untuk berkunjung ke Burma dan berziarah ke Shwee Dagon Pagoda yang terkenal itu. Pertemuan pun terjadi di Burma oleh dua sahabat yang pernah sama-sama berjuang di Malang. Djamal memperkenalkan budaya Buddhis di negeri tersebut kepadaku. Beliau tidak lupa juga cukup aktif menjalin pertemanan dengan kalangan Buddhis di sana, dan teman-teman beliau itu pula yang akhirnya banyak membantu pendirian pagoda Pati Rupaka Swedagon di komplek vihara yang sekarang ditempatinya, Vihara Dhammadipa Arama, di Batu, Malang.
Keyakinan mengikuti jalan Sang Buddha, membuat Djamal Bakir (Bhante Khanti) tidak pernah mengenal patah semangat. Sesudah pensiun memutuskan menjadi bhikkhu tahun 1987, beliau adalah bhikkhu ketiga putera Indonesia yang ditahbiskan di Indonesia dan oleh bhikkhu-bhikkhu Indonesia. Hubungan dengan saya tidak pernah berhenti baik komunikasi per telpon maupun dalam acara-acara keagamaan. Tahun 1992, Bhante Khanti ditugaskan di Malang, kembali ke institusi yang selama lima tahun ditinggalkannya.
Bhante Khanti sangat menghargai saya dan karenanya foto saya terpasang sebagai pendiri Dhammadipa Arama dan beliau mengharapkan saya kembali membantu membina STAB (Sekolah Tinggi Agama Buddha) Kertarajasa dalam kompleks vihara. Pada November 2009, Bhante Khanti mendoakan agar proyek manajemen yang saya kelola di Samarinda tidak diperpanjang lagi dan dapat kembali ke vihara membina bersama lagi seperti awal pendirian padepokan.
Bhikkhu Vin Vijano
Saya berjumpa pertama dengan Bhante Vin, asal Thailand, di kala beliau mendarat pertama kali di Indonesia pada tahun 1969 sebagai kepala Dharmaduta Thailand untuk Indonesia. Seringkali saya membantu beliau berbahasa Indonesia dan dengan keberaniannya khotbah dengan perbendaharaan kata yang sangat minim. Gelak tertawa pernah terjadi dikala beliau menjelaskan bahwa kita harus menggunakan “kelapa”, yang maksudnya adalah “kepala”, sambil memegang kepala beliau. Karena pelo beliau mengucapkan kata “pantat” untuk kata pantas.
Pernah beliau terusir dari Indonesia karena ada sementara golongan umat Buddha merasa terusik kedisiplinannya sebagai bhikkhu melaksanakan peraturan seperti tersebut dalam kitab suci serta upaya meluruskan pemahaman yang kurang benar tentang agama Buddha. Kehadiran Bhante Vin laksana duri dalam daging yang mengganggu konsep pengembangan (yang salah) akan Dharma Sang Buddha. Atas jasa banyak orang beliau akhirnya bisa hadir kembali dan sementara berdiam di Vihara Padumuttara yang secara konsisten mendukung pertumbuhan agama Buddha sejak sebelum perang dunia.
Bhante Vin sangat teguh dalam memegang Dharma Vinaya (ajaran & disiplin ke bhikkhuan) dan mengokohkan pendukungnya untuk tidak goyah mengatasi terpaan fitnah dan rongrongan. Hanya dengan dua modal itulah maka hari depan akan cerah. Bendera Theravada dengan tegas dikibarkan kemana-mana. Beliau tidak pernah lelah dan dengan kesabaran yang luar biasa keliling kota-kota di seluruh Indonesia dengan menggunakan berbagai transportasi umum sehingga pernah bus yang ditumpanginya di Pekalongan mengalami tabrakan berat sehingga beliau harus dirawat di rumah sakit.
Beliau menyarankan agar memuntahkan “anak-anak panah” berupa penerbitan buku dan buletin guna menjelaskan kepada khalayak atas ajaran Buddha yang benar dengan menunjukkan referensi dari kitab suci Tripitaka Pali. Beliau juga memperluas jejaring persahabatan dengan para bhiksu Mahayana dengan semangat: ’Kita Bersaudara’.
Satu hal yang kukagumi adalah ketulusan beliau dalam melayani umat, pada jam berapa pun diminta beliau siap pergi meski badannya sangat lelah. Selalu beliau mengucapkan: ’Tidak apa-apa”. Kalau sehabis pulang dari Bangkok, beliau selalu membawa banyak oleh-oleh untuk umat “pendukungnya” meski barang itu kecil dan sederhana. Begitu pula siapa pun yang jumpa beliau di Bangkok dan akan kembali ke Jakarta, beliau selalu menitipkan oleh-oleh untuk umatnya. Kepeduliannya sangatlah besar yang menjadikan beliau disayangi oleh banyak orang.
Kalau kita mengunjungi beliau di Bangkok, selalu saja diusahakan kita berjumpa dengan Sangha Raja (Supreme Patriach) yang membuat orang senang dan bangga. Seringkali beliau mengajarkan falsafah ”Katanyu–Katavedhi” artinya ”Berterimakasih & Bisa Membalas Budi”. Dua hal ini yang membedakan orang baik dan orang tidak baik.
Hartati Murdaya membantu beliau dengan mempersembahkan sebuah rumah tinggal di area Menteng , Jl. Lembang Terusan, Jakarta guna dipakai sebagai basis aktivitas agama. Dikarenakan perbedaan paham dalam menghadapi Walubi yang dipimpin Hartati Murdaya maka hubungan menjadi kurang erat, namun saya masih sering menengok beliau dan masih bersedia memberikan uraian Dharma di kediaman beliau di Buddha Metta Arama. Perbedaan paham janganlah membuat perpisahan di antara kita.
Gerakan Theravada bisa besar antara lain karena jasa Bhante Vin. Raja Thailand akhirnya memberi gelar beliau Chao Khun. Gelar sebelumnya adalah Phra Kru Vidhurdhammabhorn.
Bhikkhu Sombat Pavito
Bhante Vin dibantu oleh Bhante Sombat yang jauh lebih muda yang mempunyai hubungan dekat dengan pimpinan (muda) Sangha. Saya melihat kegigihan beliau dalam membesarkan Dharma Sang Buddha. Dibantu oleh Semar Putih—Marsekal Muda Oyo Prayogo Kusno, yang badannya bulat seperti Semar dan selalu berbaju putih-putih, bergeraklah beliau untuk mendirikan ”Mother Temple” di kota Jakarta.
Dibantu oleh seorang mediator spiritual, yang bekerja di Kedutaan Thailand, dicarilah tempat yang tepat. Saya sangat menentang cara-cara seperti itu karena dianggap tidak Buddhistis. Sebagai manajer perusahaan internasional saya mengusulkan pendekatan cara manajemen dengan mempertimbangkan kebutuhan 30 tahun mendatang. Namun ide itu ditolak oleh beliau. Meskipun demikian saya tetap membantu beliau yang akhirnya menemukan dan mewujudkannya sebagai Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya di Sunter, Jakarta Utara. Belakangan saya ’menyerah’ dan melihat kebenaran dari saran-saran sang mediator spiritual. Saran-saran tersebut secara singkat adalah:
Saya sangat terharu dan bangga dapat ikut serta ke Bangkok dengan rombongan untuk mengikuti upacara pengecoran patung Buddha perunggu yang dilakukan oleh Raja Thailand sendiri di halaman Wat Bovoranives pada tanggal 16 April 1985. Suatu kejadian yang juga sangat penting di kala itu ketika saya dan rombongan sempat menerima sebuah medali kenangan dari Raja sendiri serta saya sempat berbincang berdua cukup lama dengan beliau dengan
disaksikan pejabat tinggi yang hadir.
Berkat kerjasama dengan Bhante Sombat dan Bhante Vin serta Pak Kusno, Vihara Dhammacakka diresmikan oleh KASAD Thailand, Jenderal Arthit Kham Lang Ek dan Menteri Agama Munawir Sjadzali pada 23 Agustus 1985. Sesudah itu banyak para pejabat tinggi negara Buddhis berkunjung dan sembahyang di vihara ini, antara lain Pangeran Sihanouk, Raja Kamboja, Putra Mahkota Thailand Vajiralongkhorn, Puteri Mahkota Sirindhon dan sebagainya.
Sumber: Jayamedho, Bhikkhu. Menapak Pasti: Kisah Spiritual Anak Madura. Edisi Revisi. Jakarta: Penerbit CENAS, 2015, Bab 7 “Mengabdi Pada Dharma”, hlm. 89–120.