Bab 8
Sesudah saya banyak belajar dari Karbono yang memberikan buku-buku tentang ajaran Buddha dalam bahasa Inggris maka ada beberapa hal yang menarik perhatianku sehingga memungkinkan saya secara mantap memeluk agama Buddha. Penjelasan Karbono tentang ajaran Buddha keterkaitan dengan banyak pertanyaan saya dengan gamblang kucerna khususnya berkaitan dengan Kejawen karena Karbono juga memahaminya.
Ada beberapa butir ajaran Buddha yang menarik perhatian saya untuk melanjutkan berguru pada Karbono yaitu:
1. Kalama Sutta
Banyak guru agama yang semuanya memulai ajarannya dengan ”Percayalah akan Aku” serta ”Hanya melalui Jalan-Ku maka kau akan diselamatkan menuju Surga”.
Namun hal ini tidak terjadi pada ajaran Buddha. Satu-satunya ”nabi” yang berani mengajarkan:
”Jangan mudah percaya akan apapun juga, termasuk yang Aku ajarkan, sebagai suatu Kebenaran sebelum Anda melakukan analisa, meneliti kebenarannya seperti seorang pandai emas yang menilai suatu kadar emas dengan menimbang, membelah dan menggosoknya”
hanyalah Buddha Gotama yang berkata tentang hal itu dihadapan Suku Kalama. Banyak guru spiritual yang silih berganti datang mengunjungi suku Kalama dengan doktrin “Percayalah akan Aku, Ikutilah Jalan Kebenaran-Ku”. Kala itu di India tingkat pemahaman spiritual masyarakat jauh dari tingkat jahiliah, namun sudah mencapai tingkat yang tinggi yang sudah mengenal falsafah nihilisme dan sebagainya.
2. Come and See (Ehipassiko)
“Datang dan Lihat Sendiri”. Itulah ajaran Buddha pada semua pengikutnya. Bukannya datang dan percayalah. Terdapat dua kelompok besar orang beragama yaitu: The Believers (beragama karena percaya Sang Nabi) dan satu kelompok yang lain The Truth Seekers (Pencari Kebenaran). Dua kelompok ini sangat berbeda karakternya. Kaum kepercayaan biasanya sangat kukuh pada teks kitab suci, ketaatan sering membuta berakibat fanatisme dan bersikap truth claiming yang menganggap dirinya paling benar. Sedang yang satu lagi memiliki sikap berbeda yaitu suka mendengarkan dengan seksama uraian orang lain (termasuk gurunya), suka merenungkan perihal apa yang didengar, enggan berbantah, sangat toleran, menghormati orang lain meski berbeda paham dan berusaha mencari bukti atas ucapan orang lain. Kelompok terakhir ini sering disebut Kaum Sufi dalam Islam. Sang Buddha pada semua orang sewaktu membabarkan ajaran-Nya selalu mengatakan Datang dan Buktikan sendiri apa yang Kuajarkan. Janganlah mengikuti begitu saja apa yang Aku katakan. Kalau apa yang Aku ajarkan tidak benar, tidak baik dan tidak bermanfaat untuk orang lain dan dunia, maka janganlah diikuti. Ini benar-benar ajaran seorang Scientist Spiritualist.
3. Hukum Karma
Hukum sebab akibat yang saling bergantungan (dependent origination / inter-dependency) tidak saja menjadi monopoli kaum fisikawan namun juga berlaku pada hubungan antar manusia. Ini sangat logis bagi saya yang selaras dengan ilmu pengetahuan. Sesuatu yang terjadi tanpa suatu awal yang mendahuluinya (causa prima) dijauhkan dari pembicaraan. Hal ini meyakinkan saya mengapa selama ini selalu dihantui untuk mengetahui dan mengenal ajaran Buddha meski belum pernah memiliki teman ataupun literatur Buddhis. Pasti ini ada hubungannya dengan ajaran kelahiran kembali (rebirth) dari Hukum Karma.
3. Konversi (Pindah Agama)
Agama lain banyak yang bertindak memengaruhi orang lain untuk pindah ke agama yang dipeluknya dengan berbagai cara. Surga diperoleh bila ia semakin banyak membantu proses konversi (perpindahan agama). Persis seperti upaya MLM (Multi Level Marketing) yang mendapat manfaat bilamana banyak merekrut kaki-kaki baru untuk masa panjang sebagai pendapatan pasif (passive income). Seumur hidup. Mereka berlomba mempromosikan agamanya seperti promosi unggulan suatu produk. Agama menjadi komoditi bisnis dengan Tuhan sebagai bisnisnya—The God Business.
Perilaku semacam itu ditolak oleh Sang Buddha. Dharma tidak boleh sekali-kali menjadi objek dagangan. Terdapat beberapa kasus di mana orang mengajukan permohonan kepada Sang Buddha sendiri untuk menjadi pengikut Sang Buddha sesudah mendengarkan pembabaran Dharma nan Agung. Bukannya langsung menerimanya melainkan Sang Buddha meminta mereka berpikir sekali lagi mengingat mereka (bernama Upali) pemimpin suatu kelompok spiritual dan ada yang jenderal (bernama Sinha). Baru sesudah tiga kali dalam beda pertemuan, Sang Buddha bersedia menerima mereka sebagai pengikut dengan syarat:
Pada kesempatan lain, seorang umat awam hendak mengunjungi Sang Buddha, namun saat itu waktunya tidak tepat karena masih terlalu pagi dan biasanya Buddha sedang bermeditasi pada waktu demikian. Oleh sebab itu, orang tersebut mengunjungi tempat petapaan pengikut ajaran lain dan ia terlibat percakapan serius di mana para petapa tersebut mengatakan hal-hal yang tidak baik terhadap Sang Buddha. Ketika Sang Buddha mengetahui hal ini, beliau mengunjungi tempat petapaan tersebut dan melalui serangkaian tanya jawab antara kedua pihak, Sang Buddha berhasil melenyapkan pandangan salah para petapa ajaran lain tersebut. Namun demikian, pada akhir kotbah para petapa tersebut tidak menjadi pengikut Sang Buddha.
Saat itu Sang Buddha berkata:
“Nigrodha, engkau mungkin berpikir: ‘Petapa Gotama mengatakan hal ini untuk mendapatkan murid.’ Namun jangan engkau beranggapan demikian. Biarlah ia yang menjadi gurumu tetap menjadi gurumu. Atau engkau mungkin berpikir: ‘Beliau ingin kami meninggalkan peraturan-peraturan kami.’ Namun jangan engkau beranggapan demikian. Biarlah peraturanmu tetap berlaku seperti apa adanya. Atau engkau mungkin berpikir: ‘Beliau ingin kami meninggalkan gaya hidup kami.’ Namun jangan engkau beranggapan demikian. Biarlah gaya hidupmu tetap seperti apa adanya. Atau engkau mungkin berpikir: ‘Beliau ingin kami mengukuhkan kami dalam melakukan hal-hal yang menurut ajaran kami adalah salah, dan yang dianggap demikian oleh kami.’ Namun jangan engkau beranggapan demikian. Biarlah hal-hal yang kalian anggap salah tetap dianggap demikian. Atau engkau mungkin berpikir: ‘Beliau ingin menarik kami dari hal-hal yang me-nurut ajaran kami adalah baik, dan yang dianggap demikian oleh kami.’ Namun jangan engkau beranggapan demikian. Biarlah hal-hal yang kalian anggap baik tetap dianggap demikian. Nigrodha, Aku tidak berbicara karena alasan-alasan ini.”
“Ada, Nigrodha, hal-hal tidak baik yang belum ditinggalkan, ternoda, mendukung kelahiran kembali, menakutkan, menghasilkan akibat menyakitkan di masa depan, berhubungan dengan kelahiran, kerusakan, dan kematian. Adalah untuk meninggalkan hal-hal ini, maka Aku mengajarkan Dharma. Jika engkau mempraktikkan dengan benar, hal-hal ternoda ini akan ditinggalkan, dan hal-hal yang murni akan tumbuh dan berkembang dan engkau akan mencapai dan berdiam dalam kesempurnaan kebijaksanaan sepenuhnya, dalam kehidupan ini, dengan pandangan terang dan pencapaianmu sendiri.”
(Udumbarika-Sihanada Sutta)
Jadi, jelas bahwa Sang Buddha mengajar bukan untuk mendapatkan pengikut ataupun mengubah keyakinan atau cara hidup seseorang, melainkan untuk menunjukkan jalan melenyapkan permasalahan kehidupan (dalam istilah Buddhis disebut penderitaan atau dukkha) tanpa seseorang harus terikat dengan menganut agama Buddha. Contohnya, ajaran Buddha tentang meditasi ketenangan batin dan kebebasan dapat dijalankan oleh siapa saja, dari agama mana pun dan bangsa mana pun, tanpa perlu menjadi umat Buddha.
Sungguh agung perilaku Sang Buddha tersebut yang kinipun masih sukar didapat ataupun diterapkan oleh umat manusia dengan banyak terjadinya kekerasan dengan bendera agama.
4. Kerukunan Hidup Beragama
Suatu ketika Buddha bersama lima ratus orang siswa-Nya melakukan perjalanan dari satu kota ke kota lain. Mengikuti di belakang rombongan Sang Buddha, dua orang petapa pengembara, yaitu seorang guru dan muridnya. Walaupun keduanya guru dan murid, keduanya berbeda pandangan terhadap ajaran Buddha; selama perjalanan sang guru menghina dan merendahkan ajaran Buddha, sedangkan muridnya berusaha memuji dengan berbagai cara. Perdebatan keduanya berlangsung selama perjalanan hingga akhirnya rombongan Sang Buddha mendapatkan tempat persinggahan untuk beristirahat.
Saat itu para bhikkhu membicarakan tentang kejadian ini dan bagaimana Buddha diam saja walaupun jelas-jelas keduanya yang berdebat tentang ajaran beliau berada persis di belakang rombongan tersebut. Ketika Buddha mengetahui pembicaraan tersebut, beliau berkata:
“Para bhikkhu, jika seseorang menghina-Ku, Dharma (ajaran Buddha), atau Sangha (perkumpulan para bhikkhu), kalian tidak boleh marah, tersinggung, atau terganggu akan hal itu. Jika kalian marah atau tidak senang akan penghinaan itu, maka itu akan menjadi rintangan bagi kalian. Karena jika orang lain menghina-Ku, Dhamma, atau Sangha, dan kalian marah atau tidak senang, dapatkah kalian mengetahui apakah yang mereka katakan itu benar atau salah?”
“Tidak, Bhagava,” jawab para bhikkhu.
“Jika orang lain menghina-Ku, Dharma, atau Sangha, maka kalian harus menjelaskan apa yang tidak benar sebagai tidak benar, dengan mengatakan: ‘Itu tidak benar, itu salah, itu bukan jalan kami, itu tidak ada pada kami’.”
“Jika orang lain memuji-Ku, Dharma, atau Sangha, kalian tidak boleh gembira, bahagia, atau senang akan hal itu. Jika kalian gembira, bahagia, atau senang akan pujian itu, maka itu akan menjadi rintangan bagi kalian. Jika orang lain memuji-Ku, Dharma, atau Sangha, kalian harus mengakui kebenaran sebagai kebenaran, dengan mengatakan: ‘Itu benar, itu tepat sekali, itu adalah jalan kami, itu ada pada kami’.”
(Brahmajala Sutta)
Dengan demikian, Buddha mengajarkan agar para pengikutnya tidak terbawa emosi positif atau negatif saat seseorang memuji ataupun merendahkan ajaran-Nya, melainkan menjelaskan mana yang benar dan mana yang tidak benar atas pandangan terhadap ajaran Buddha tersebut sehingga dapat membebaskan agama Buddha dari pandangan salah orang-orang yang tidak tahu atas ajaran-Nya.
Kurang lebih 200 tahun kemudian seorang raja terbesar sepanjang sejarah India yang bernama Ashoka menjadikan agama Buddha sebagai agama negara. Berkat jasanya mengutus para misionaris Buddhis, agama Buddha dapat menyebar ke berbagai wilayah di luar India: ke arah barat menyebar sampai ke wilayah Yunani (walaupun tidak bertahan lama di sana), ke selatan menyebar ke Sri Lanka, ke timur menyebar ke Myanmar, Thailand, Malaysia, dan Indonesia, ke utara menyebar ke Tibet, Tiongkok, Jepang, dan Korea. Namun demikian, Raja Ashoka tetap menghargai dan menghormati berbagai agama lain yang ada saat itu. Dalam beberapa prasastinya tercatat bahwa Raja Ashoka walaupun beragama Buddha mendanakan sejumlah gua sebagai tempat petapaan bagi para petapa ajaran lain. Di antara sekian banyak prasasti peninggalan Raja Ashoka terdapat sebuah prasasti yang mengajarkan toleransi antar umat beragama yang berbunyi sebagai berikut:
“Janganlah kita menghormati agama kita sendiri dengan mencela agama lain. Sebaliknya agama lain pun hendaknya dihormati atas dasar-dasar tertentu. Dengan berbuat demikian kita membuat agama kita sendiri berkembang, selain menguntungkan pula agama lain. Jika kita berbuat sebaliknya, kita akan merugikan agama kita sendiri selain merugikan agama lain. Oleh karena itu, barangsiapa menghormati agamanya sendiri dan mencela agama lain, semata-mata terdorong oleh rasa bakti kepada agamanya sendiri dengan pikiran ‘Bagaimana aku dapat memuliakan agamaku sendiri’, justru ia akan merugikan agamanya sendiri. Karena itu kerukunan dianjurkan dengan pengertian biarlah semua orang mendengar dan menghormati ajaran yang dianut orang lain” (Rock Edict XII).
Demikianlah agama Buddha dengan sifat toleransi dan pasifisme (paham cinta damai) yang tinggi dapat hidup rukun dan harmonis dengan agama lain di mana pun ia berkembang. Dalam sejarah perkembangannya, agama Buddha tidak pernah menyebabkan pertumpahan darah saat memperkenalkan ajarannya di dalam maupun di luar India. Di Asia Timur khususnya di Tiongkok agama Buddha dapat berbaur dengan keyakinan setempat (agama Konghucu dan Taoisme) yang kemudian menghasilkan keyakinan baru yang disebut Tri Dharma (Tiga Ajaran: Buddha, Konghucu, dan Tao). Di Indonesia sendiri pada masa kerajaan Majapahit kehidupan agama Buddha dan agama Hindu berlangsung rukun dan harmonis seperti yang tersirat dalam ungkapan Jawa Kuno:
“Syiwa-Buddha Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa”
Artinya:
“Agama Syiwa dan agama Buddha adalah berbeda-beda namun tetap satu, tiada Kebenaran yang mendua” —tertulis dalam pustaka Sutasoma.
Pada jaman modern ini umat Buddha telah membina kerukunan intern dalam agama Buddha sendiri dengan pendirian berbagai organisasi Buddhis Internasional non-sektarian seperti World Buddhist Sangha Council (WBSC) dan World Fellowship of Buddhist (WFB) yang berusaha mempersatukan berbagai aliran Agama Buddha yang berbeda-beda. Pada abad ke-21 umat Buddha di seluruh dunia sama sekali tidak terpancing emosi ketika patung Buddha raksasa di Bamiyan, Afghanistan dihancurkan. Reaksi umat Buddha yang keras namun damai serupa juga terjadi saat menghadapi Buddha Bar di Jakarta sampai ditutupnya bar tersebut.
5. Ajaran yang sistimatik rasional dan humanis
Buddha menemukan Jalan Kebenaran 2600 tahun lalu di Buddha-Gaya namun ajaran tersebut masih selaras dengan ilmu pengetahuan sehingga kini banyak orang barat yang terpelajar sangat tertarik mengikutinya.
Apa yang beliau ajarkan persis seperti perilaku seorang dokter, melihat penyakit, sebab timbulnya penyakit, bisa diobati dan memberikan resep guna mengakhiri penyakit. Karenanya Buddha sering disebut sebagai Bhaisajja-Guru, Guru Penyembuh.
Seluruh ajaran Buddha sangat sistematis, rasional dan humanis tanpa diskriminasi sekecil apapun. Berlaku secara universal dan dapat dibuktikan kebenarnnya. Ah, ini bukan promosi .
Sumber: Jayamedho, Bhikkhu. Menapak Pasti: Kisah Spiritual Anak Madura. Edisi Revisi. Jakarta: Penerbit CENAS, 2015, Bab 8 “Ketertarikan Pada Dharma”, hlm. 121–128.