“Borobudur mengajarkan bahwa kesempurnaan itu tidak tentang bentuk fisik, tetapi dalam kehampaan hening spiritual, persaudaraan dan perdamaian” (Anonymous).
Polemik mengenai Chattra di stupa induk Borobudur mengajak kita untuk merenung. Tanpa Chattra, stupa tersebut terasa tak lengkap, seolah ada yang belum selesai. Namun, keindahan spiritual seringkali justru terletak dalam kesunyian dan ketiadaan.
Selama bertahun-tahun. Kita mendaki bukit kebajikan borobudur tapa chattra di puncak stupa. Apakah hal ini mengurangi nilai filosofis dan spiritual borobudur? Banyak yang bersembahyang di sana tanpa mempersoalkan absennya chattra, mencari ketenangan dalam kekosongan.
Pendakian borobudur adalah simbol pembelajaran spiritual, dari alam kammadhatu hingga mencapai kekosongan absolut. Setiap tahapan mendekatkan kita pada peniadaan ego dan penyatuan dengan sunyawuri, kekosongan yang sempurna.
Kekosongan ini. Terbentang luas dalam cakrawala tapa batas, merupakan kebenaran yang tersembunyi. Ketiadaan menjadi analogi untuk keindahan dan kesempurnaan, melengkapi yang ada tapa perlu ditambah atau dikurangi. Borobudur mengajarkan bahwa kesempurnaan tidak selalu harus ditandai secara fisik. Tanda-tanda sering kali mengandung interpretasi yang bersifat sementara, sementara kekekalan justru hadir dalam ketiadaan tanda.
Meskipun tapa Chattra, stupa induk Borobudur tetap menjadi pusat spiritual yang agung. Sejak dulu, berjuta orang datang, menemukan kedamaian dalam sunyawuri, meresapi kebahagiaan dari ketiadaan, seperti suara hening penyair yang menemukan kedalaman makna di tengah kekosongan Borobudur.
Sumber: Jo Priastana | Chattra Borobudur dan Ketiadaan Itu
Leave a Reply