Keberadaan bhikkhuni dalam tradisi Buddhisme Theravada saat ini sangat terbatas Hal ini bermula sejak abad ke-11 M ketika silsilah penahbisan bhikkhu dan bhikkhuni terputus akibat perang, bencana alam, dan kelaparan di Sri Lanka.
Menurut Vinaya, penahbisan bhikkhuni harus dilakukan dalam dua sisi: oleh Sangha bhikkhuni yang terdiri dari sepuluh bhikkhuni yang sudah menjalani kebhikkhuniannya selama sepuluh tahun, dan dilanjutkan dengan penahbisan oleh Sangha bhikkhu.
Karena itu, saat ini wanita yang ingin menjadi bhikkhuni hanya bisa mendapatkan penahbisan sebagai dasasilamata atau atthasilani, namun status ini dianggap ambigu dan tidak diakui sepenuhnya.
Pada masa modern, upaya mengembalikan status bhikkhuni dalam Theravada dilakukan melalui konferensi Sakyadhita di Bodh Gaya pada 1987. Penahbisan bhikkhuni pertama di Sri Lanka dilakukan pada 1996, namun menggunakan silsilah dari aliran Dharmaguptaka, yang berbeda dengan Theravada. Hal in menimbulkan perdebatan, terutama di kalangan bhikkhu tradisional yang menganggap penahbisan tersebut tidak sah.
Beberapa bhikkhu modern, seperti Ajahn Brahm, mendukung penahbisan satu sisi, yaitu hanya dilakukan oleh Sangha bhikkhu, dengan alasan bahwa aturan penahbisan dalam Vinaya telah berkembang dan memungkinkan penahbisan satu sisi setelah keberadaan Sangha bhikkhuni terputus.
Namun, pendapat in mendapat tentangan keras dari bhikkhu tradisional yang berpegang teguh pada aturan penahbisan dua sisi. Kontroversi in menunjukkan bahwa meskipun ada dukungan dari bhikkhu modern, status bhikkhuni dalam tradisi Theravada masih menjadi perdebatan yang belum terselesaikan.
Leave a Reply