Apakah kita bisa duduk tenang bersama perasaan yang sulit? Alih-alih bergegas melepaskannya, sanggupkah kita membiarkan perasaan itu ada dalam diri, mengamati bagaimana a berproses dalam batin kita?
Saya tahu bahwa mendiamkan perasaan tak nyaman melawan naluri kita. Namun, sesekali, mari kita mencoba melawan naluri itu, biarkan perasaan sulit mengalir dalam rang batin kita. Misalnya, ketika kita membiarkan perasaan kecewa, sedih, atau sakit tanpa mengalihkan perhatian dengan hiburan, apa yang terjadi jika kita menghadapinya secara langsung? Bagaimana jika kita mengamati perasaan itu tapa prasangka atau perlawanan?
Pada musim dingin tahun 2020, saya setuju tampil di sebuah program televisi Korea yang mendokumentasikan kehidupan sehari-hari orang terkenal. Seperti biasa, saya mengawali hari dengan meditasi dan doa pagi di rumah kecil yang say tinggali bersama orang tua saya yang sudah lanjut usia. Rumah ini saya beli dari hasil royalti buku saya dan kemudian kepemilikannya saya serahkan kepada ordo Buddhis saya. Setelah program itu tayang, beberapa orang mengkritik saya karena dianggap tidak mempraktikkan hidup tanpa harta. Mereka tidak memahami kehidupan biksu di Korea yang umumnya harus mandiri.
Rumor pun bermunculan, menyebut rumah saya mewah, bahkan ada yang mengatakan saya memiliki Ferrari. Seorang biksu senior mengkritik saya, menyebut saya “parasit” dan “tukang hibur.” Ingatlah, kisah terhebat bukanlah yang berjalan mulus, melainkan kisah yang menghadapi kesulitan dan bangkit dari kegagalan. Kita belum selesai menulis buku kehidupan kita. Mari menulis kisah penuh arti tanpa penyesalan.
Leave a Reply