Jadi anak itu bukan cuma soal belajar dan senyum-senyum di depan orang dewasa. Kadang, ada tekanan yang nggak kasat mata: dibanding-bandingkan dengan anak tetangga, teman, bahkan saudara sendiri. “Lihat si A, ranking terus. atau “Kenapa kamu nggak bisa seperti B yang sopan dan pintar?” Kalimat-kalimat sederhana itu mungkin dianggap motivasi oleh orangtua, tapi buat anak? Rasanya seperti dicap nggak cukup baik.
Dari sudut pandang Buddhis, membandingkan seperti anak dengan yang lain malah bikin derita bertambah, baik untuk anak maupun orangtua. Buddha mengajarkan upekkha atau keseimbangan batin: menerima bahwa setiap individu punya perjalanan hidup dan kemampuan unik. Ketimbang membandingkan, orangtua diajak untuk memahami dan mendukung anak sesuai potensinya.
Bayangkan kalau fokusnya bergeser ke “Apa yang bikin kamu nyaman belajar?” atau “Apa cita-cita kamu, dan gimana kita bisa capai bareng-bareng?” Lebih hangat, kan? Anak merasa dihargai, dan orangtua nggak stres karena terlalu memaksa. Jadi. sebelum membandingkan anak dengan yang lain, coba refleksi. Apakah itu akan membawa manfaat?
Dalam Dharma, cinta kasih dan pengertian adalah kunci. Dengan begitu, keluarga bisa jadi tempt bertumbuh, bukan tempt berkompetisi.
Leave a Reply