Jadi Pengurus Wihara Bukannya Makin Rendah Hati Malah Makin Songong

February 16, 2025

Jadi Pengurus Wihara Bukannya Makin Rendah Hati Malah Makin Songong

Di awal, mereka datang ke wihara dengan ‘niat baik. Rajin berdoa, aktif dalam kebaktian, dan tampak penuh welas asih. Namun, begitu masuk ke lingkaran kepengurusan, perlahan sikapnya berubah. Bukannya semakin bijaksana, justru makin sibuk dengan ego dan kepentingan pribadi. Kok bisa?

 

Jabatan Menjadi pengurus wihara bukan sekadar tugas administratif. Ini ujian sejati bagi batin. Godaan pujian, kekuasaan, dan rasa memiliki sering kali membuat seseorang lupa tujuan awalnya. Alih-alih menjadi lebih rendah hati, justru semakin ingin diakui dan dihormati.

 

Ketika ego sudah berkuasa, diskusi berubah menjadi arena perebutan pendapat. Keputusan yang seharusnya untuk kebaikan bersama malah dipenuhi intrik, sindiran, bahkan permusuhan. Seperti dunia luar, tapi dengan bungkus kebajikan.

 

Ada yang hilang Awalnya membantu dengan tulus, tapi lama-kelamaan muncul rasa ingin dihargai. “‘Saya sudah berbuat banyak, kok dia tidak sadar?” Kekecewaan ini akhirnya membuat orang semakin jauh dari makna berbakti yang sesungguhnya.

 

Solusi? Kembali ke ajaran Sejati. Jabatan itu hanya alat, bukan tujuan. Jika ingin benar-benar mengabdi, ingat kembali nilai-nilai dalam Dhamma: tanpa ego, tanpa pamrih. Apakah kita mendekat ke jalan kebijaksanaan, atau justru terjebak dalam ilusi duniawi dengan label spiritual?

 

Pengingat: Menjadi pengurus wihara bukan berarti otomatis lebih baik dari yang lain. Justru, ini ladang ujian terbesar. Jika bisa melewatinya dengan benar, baru layak disebut benar-benar berlatih. Kalau tidak? Ya, hanya sekadar mengganti panggung dari dunia biasa ke dunia yang terlihat lebih suci, tapi isinya tetap sama.

Tags :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

TRANSLATE