1 Agustus 2024: Rekonstruksi berlebihan pada situs arkeologi di Asia Tenggara dapat merusak integritas sejarahnya, jar Jeff Allen dan Waraporn Suwatchotikul dari World Monuments Fund.
Restorasi yang berlebihan, seperti di Bagan, Prambanan, dan Ayutthaya, seringkali lebih mengutamakan estetika daripada keaslian. Pendekatan yang lebih hati-hati dan minimalis dapat lebih baik dalam melestarikan situs-situs bersejarah untuk generasi mendatang dan meningkatkan pemahaman publik tentang masa lalu yang sebenarnya.
Selama beberapa dekade, restorasi situs arkeologi di Asia Tenggara cenderung mengubah masa lalu daripada menampilkan keasliannya. Konservator sering kali mengambil pendekatan yang berlebihan, menghiasi situs tersebut untuk “menciptakan” reruntuhan yang menarik bagi pengunjung. Namun, hal ini lebih sering merugikan daripada menguntungkan.
Sayangnya, mempercantik reruntuhan kuno telah menjadi standar di kawasan ini. Proyek konservasi sering kali membangun kembali situs dan mengisi celah-celahnya, baik dengan batu, laterit, bata, plester, maupun kayu. Elemen arsitektur yang paling ikonik sering kali diperbaiki agar terlihat lengkap dan utuh.
TERKADANG
bangunan direkonstruksi lang dari awal. Alih-alih memastikan akurasi sejarah, pihak berwenang lebih memilih menciptakan pengalaman visual yang mengesankan dengan harapan dapat meningkatkan pariwisata dan bisnis.
Namun, intervensi ini menghilangkan kesempatan bagi pengunjung untuk merasakan masa lalu yang sebenarnya. Alih-alih memastikan akurasi sejarah, pihak berwenang lebih memilih menciptakan pengalaman visual yang mengesankan dengan harapan dapat meningkatkan pariwisata dan bisnis.
JEFF ALLEN
Direktur Regional Senior, Asia Tenggara adalah perencana proyek di World Monuments Fund sejak 2009. la mengelola proyek lapangan yang melibatkan komunitas dan bermitra dengan U.S. State Department untuk melestarikan warisan budaya. Sebelumnya, a berpengalaman 15 tahun di Timur Tengah dan Asia.
Sumber: southeastasianarchaeology.com
Leave a Reply