Bagaimana jika Tuhan itu jahat? Pertanyaan ini sering muncul ketika kita menghadapi realitas kehidupan yang tampak tidak adil -misalnya, ketika seorang bayi yang baru lahir terlahir dengan cacat padahal belum melakukan kesalahan apa pun. Kondisi seperti ini memicu pertanyaan: apakah ini kehendak Tuhan atau sekadar rahasia yang tersembunyi dari pemahaman kita?
Perspektif Buddha fenomena tersebut tidaklah terjadi secara kebetulan atau karena keinginan Tuhan yang jahat, melainkan sebagai konsekuensi dari hukum karma. Meja altar hanya diisi buah-buahan, melambangkan kemurnian dan keseimbangan, sejalan dengan nilai ahimsa dalam Buddhadharma.
Hidangan tanpa daging juga menjadi bentuk penghormatan pada kehidupan, mengajarkan kesederhanaan dan kebajikan. Karma adalah energi atau akibat dari perbuatan yang telah dilakukan, tidak hanya dalam kehidupan saat ini, tetapi juga dari kehidupan lampau. Meskipun seseorang tampak suci dan belum melakukan perbuatan buruk di kehidupan ini, ia mungkin membawa sisa-sisa energi karma–baik positif maupun negatif-dari kehidupan sebelumnya.
Selama kita masih terperangkap dalam siklus samsara, yakni lingkaran kelahiran, kematian, dan kelahiran kembali, kita akan terus merasakan dampak dari karma. Samsara merupakan realitas yang penuh dengan penderitaan, di mana setiap tindakan, pikiran, dan ucapan kita meninggalkan bekas yang akan terwujud di masa depan.
Meskipun realitas kehidupan kadang tampak tidak adil, pemahaman tentang karma mengajarkan kita bahwa setiap keadaan yang kita alami adalah hasil dari rangkaian perbuatan-baik di masa lalu maupun di masa kini. membangun kehidupan yang harmonis, penuh welas asih, dan dipandu oleh kebijaksanaan sejati.
Dengan pemahaman yang telah dibahas tadi: membangun kehidupan yang harmonis, penuh welas asih, dan dipandu oleh kebijaksanaan sejati. Semoga kita perlahan-lahan bisa membebaskan diri dari lingkaran samsara dan mencapai kehidupan yang lebih damai serta bermakna.
Leave a Reply